Rabu, 07 November 2018

(6)

Ayah menanyakan kelanjutan pelajaran Iqro’ Deraz dengan Zara. Melihat Zara memandang Deraz sedang yang dipandang hanya melengos, Ayah tahu belum terjadi apa-apa.

“Dede ikut TPQ lagi atuh. Ajakin Kak Deraz sama Dean sekalian,” kata Ayah.

“Anak TPQ mah baong-baong, Ayah,” alasan Zara. Anak-anak yang dimaksud itu termasuk Dean. Tiap kali datang ke TPQ, sebentar kemudian ia sudah keluar lagi bersama anak-anak lainnya. Lalu mereka berkeliaran sampai ke sawah, keluar-masuk gang, dan baru kembali ketika magrib ke rumah masing-masing.

Ayah melihat jam dinding. Kurang dari sepuluh menit lagi waktu isya.

“Deraz, ayo sini, Ayah ajarin wudu. Dean, kamu udah hafal wudu, belum?” Ayah mengajak Deraz ke kamar mandi.

Deraz menurut saja ketika Ayah memberinya petunjuk tentang cara mencuci tangan, berkumur, dan seterusnya hingga membasuh kedua belah kaki. Lalu Ayah memakaikan sarung pada Deraz dan memaksa Dean untuk ikut ke masjid.

“Aku mah salat di rumah aja, Ayah,” kata Dean.

“Salat apaan? Ayo temenin Deraz atuh!”

Sesampai mereka di masjid, azan berkumandang. Deraz baru mengetahui bahwa suara yang tiap beberapa kali sehari didengarnya semenjak berada di sini itu ternyata berasal dari tempat ini. Ayah menunjuk orang yang sedang melaksanakan salat sunah dan menyuruh Deraz memerhatikan gerakannya. Ketika waktunya salat berjamaah, “Deraz ikut aja dulu gerakannya, ya.”

Sesudah salat berjamaah, Deraz dan Dean duduk di teras masjid sementara Ayah masih mengobrol di dalam bersama bapak-bapak.

“Dean, tadi itu kita apa?” tanya Deraz.

“Salat,” sahut Dean.

“Salat itu apa?”

Dean mengerutkan kening. “Berdoa sama Allah.”

“Allah itu apa?”

“Allah itu tuhan.”

“Tuhan?”

“Tuhan itu … yang menciptakan manusia,” kata Dean.

“Oh.” Deraz terdiam.

Dean berharap Deraz tidak bertanya lagi.

“Berdoa itu … apa?”

Dean menggaruk lehernya. “Berdoa itu …” akhirnya ia berkata, “minta sama Allah supaya … mmm … supaya masuk surga dan enggak masuk neraka.”

Ganti Deraz yang mengerutkan kening. “Surga … neraka …?”

“Kamu mah nanya aja ih!” ujar Dean.

Deraz jadi terdiam. Untung tidak lama kemudian Ayah keluar dan mengajak mereka pulang.

Setelah mereka kembali di rumah, sementara Ayah berbincang dengan Bunda, Dean memperlihatkan pada Deraz komik siksa neraka. Komik itu sungguh penuh horor. Deraz tidak bisa tidur. Ia baru mengetahui bahwa setelah mati orang dapat hidup lagi dan disiksa. Lalu, bagaimana dengan Oma Buyut dan Opa Buyut? Bagaimana kehidupan mereka setelah mati?

 

Sore itu Bunda sudah ada di rumah. Ia menyuruh anak-anak pada mandi dan bersiap. “Nanti mau ada guru ngaji,” kata Bunda.

Ketika bel rumah berbunyi, Bunda segera menyambut dan mempersilakan tamu itu masuk. Sementara keduanya berbincang, anak-anak mengintip.

“Itu tuhan!” seru Dean sambil berbisik.

“Bukan, ari kamu,” tegur Zara.

“Kata anak-anak TPQ, itu tuhan, hihihi,” sahut Dean.

Penampakan tamu itu menyerupai kakek-kakek yang ada di sampul belakang buku Iqro’. Ia mengenakan kopiah hitam, kacamata tebal, serta kemeja batik, tetapi tanpa tongkat. Usianya mungkin sekitar enam puluhan tahun.

Namanya Pak Karman.

 

Sejak sore itu, Pak Karman datang ke rumah tiga kali seminggu. Deraz dikenalkan pada huruf-huruf hijaiah, sementara Zara melanjutkan pembacaan buku Iqro’. Pada awalnya Dean ikut bersama mereka. Tetapi karena tidak ada yang mengawasi, kemudian ia mangkir sama sekali. Sebelum Pak Karman datang, Dean sudah mengacir entah ke mana. Ketika Zara mengadu sehingga Bunda menegur Dean, anak itu beralasan,

Da aku mah udah hapal surat-surat.”

“Tapi belum lancar cara bacanya, kan?” ujar Bunda. Entah bagaimana Dean hafal surat-surat juz Amma hanya dengan mendengarkan bacaan teman-temannya. Dean juga berhenti les piano dengan alasan ia sudah luwes memainkannya, padahal pembacaan not baloknya masih kacau.

Pak Karman tidak hanya menuntun mereka membaca Iqro’, tetapi juga mengajarkan cara salat yang benar, serta selalu menutup kunjungannya dengan menceritakan kisah para nabi, utusan Allah Sang Pencipta Segala-galanya.

“Allah itu seperti apa?” tanya Deraz, yang kemudian teringat pada percakapannya dengan Dean tempo hari.

“Allah itu tidak seperti apa pun yang kita lihat,” ucap Pak Karman dengan nada lunak. “Tidak ada sesuatu pun yang bentuknya menyerupai Allah.”

“Bagaimana kita … membayangkan Allah?”

Zara menoleh pada Deraz. Kakaknya itu selalu menanyakan apa pun yang tidak pernah terlintas sedikit pun di pikirannya.

“Ketika matahari sedang terang-terangnya, coba Deraz keluar dan melihat matahari itu. Bisa enggak Deraz melihatnya? Nah, melihat matahari saja kita enggak sanggup, apalagi melihat yang menciptakan matahari itu? Atau, coba Deraz lihat langit. Langit yang kita lihat cuma yang tertangkap oleh mata kita. Padahal langit jauuuh lebih luas daripada itu. Langit saja besarnya sedemikian, apalagi yang menciptakan?”

Deraz menganga. Ia teringat pada globe di perpustakaan Opa Buyut. Globe itu miniatur bumi, sedang ia sendiri tidak dapat melihat wujud asli bumi dengan mata kepalanya sendiri. Ia harus ke luar angkasa dan berada pada jarak tertentu baru bisa melihat bumi dalam ukuran sebesar globe. Tetapi bumi itu sendiri kecil jika dibandingkan dengan luasnya angkasa. Ada planet-planet lainnya yang berukuran lebih besar daripada bumi. Deraz pernah melihat gambar tentang itu di salah satu majalah lawas milik Opa Buyut. Dan, Allah lebih besar daripada itu semua?

“Itulah sebabnya kita mengucapkan ‘Allahu akbar’ ketika salat. Allah itu Mahabesar. Tidak ada yang menyamai kebesaran Allah. Saking besarnya, tidak dapat terlihat oleh mata kita.”

Pak Karman lalu menyuruh Deraz dan Zara menghadapkan telapak tangan ke wajah. “Coba lihat garis-garis di tangan Adek. Lalu dekatkan ke mata, semakin dekat ….”

Deraz menempelkan telapak tangannya ke wajah, menariknya lagi, lalu iseng mendorong telapak tangan Zara sampai melekat di wajah adiknya itu.

“Ih …!” Zara menyingkirkan tangan Deraz.

Pak Karman terkekeh.

“Semakin dekat, malah tidak terlihat, kan, garis-garis di tangan kita?” lanjut Pak Karman. “Begitu juga Allah. Allah sangat amat dekat dengan kita, bahkan lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Ketika ada keluarga kita yang meninggal dunia, kita tidak akan merasa kesepian karena kita ingat bahwa Allah selalu ada bersama kita. Allah itu kekal, tidak pernah mati. Dan, Allah tidak akan pernah meninggalkan kita. Allah selalu memberi kebaikan pada kita, dengan mendatangkan orang-orang baru yang sayang pada kita.”

Tiba-tiba saja Deraz menyadari keberadaan adiknya, ayah-ibunya, saudara kembarnya. Kepalanya terasa penuh sampai hendak meruap dari matanya.

“Pak … ke mana keluarga kita yang meninggal dunia?” tanya Deraz dengan suara ditegar-tegarkan.

“Semua orang, termasuk kita yang masih hidup ini, nanti pasti akan mati. Tetapi, sesungguhnya cuma badan luar kita ini yang mati. Jiwa kita tetap hidup dan tinggal di alam barzakh. Nah, kita yang masih hidup ini harus mendoakan keluarga kita yang sudah meninggal. Kita meminta kepada Allah supaya di alam sana keluarga kita bisa hidup dengan tenang dan Allah mengampuni dosa-dosa mereka, memberi mereka rahmat dan pertolongan. Allah pasti mendengarkan setiap doa kita, asal kita tidak berputus asa.”

“Bagaimana cara berdoa?”

Alih-alih jawaban dari mulutnya, Pak Karman malah mengeluarkan saputangan dari saku celana. “Alhamdulillah,” ia berucap untuk setiap bersin yang membersit ke saputangannya.

Zara menggoyang-goyangkan telunjuk seolah-olah hendak mengingat sesuatu. “Yarhamukallah!” ujarnya kemudian.

“Yahdikumullah …” Pak Karman tersenyum seraya menurunkan saputangan dari wajahnya.

Deraz terkesima. Seakan-akan Opa Buyut memang belum mati, walau jasadnya berbeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain