Kamis, 01 November 2018

Prolog

Salakan Bruno lamat-lamat terdengar di kejauhan. Deraz membuka mata. Padahal di dalam mimpinya tadi, ia baru saja hendak berjalan-jalan dengan Opa Buyut. Opa Buyut dapat menggerak-gerakkan kakinya lagi dengan lincah. Opa Buyut kembali menapak bumi. Opa Buyut menggandeng tangannya dan bersama-sama mereka mendaki bukit.

Salakan Bruno kembali terdengar. Deraz membuka jendela kamarnya dan hawa dingin segera menyambut. Berjarak beberapa belas meter dari tempatnya berdiri, Bruno yang melihat Deraz melongok melonjak-lonjak. Anjing itu tertahan oleh rantainya. Padahal langit belum terang benar. Tetapi Deraz tahu bahwa tidak lama lagi salju akan semakin tipis, warna-warni bunga mulai tampak, tubuhnya akan hangat, dan ....

“Olga, hari ini aku akan menaiki bukit!” seru Deraz menghampiri dapur. Wanita gemuk itu sedang mengupas kentang. Ia baru hendak membalas sapa Deraz, namun anak itu sudah berlari lagi.

Mendekati kamar Opa Buyut, Deraz memelankan langkahnya. Pintu kamar Opa Buyut terbuka sedikit. Dulu Deraz harus mengetuk sebelum dapat memasuki ruangan Opa Buyut. Tetapi sejak Opa Buyut harus didampingi perawat, pintu itu tidak pernah lagi tertutup rapat.

Deraz membuka pintu itu perlahan dan melongok. Cahaya yang mulai merambati gorden menampakkan Opa Buyut yang berbaring. Deraz merasa segan hendak membangunkan Opa Buyut. Tetapi ketika ia mundur, terdengar suara lirih, “Mein Junge ....”

Ja, Opa ....” Deraz memasuki kamar. Ia berlutut di samping tempat tidur Opa Buyut.

Tangan Opa bergetar mencari-cari kepalanya. Setelah sampai, kepalanya diusap. “Kamu akan ke bukit?”

Deraz merasa malu. Sepertinya ia bersuara terlalu keras tadi. “Ja, Opa. Kemarin-kemarin sudah cukup hangat. Hari ini pasti bagus untuk berjemur.”

Ach so.”

Perawat masuk. “Guten Morgen, Herr Berger.” Satu lagi wanita gemuk berpipi merah. Ia tersenyum ramah sambil membawa baki. “Ah, Deraz, kamu sudah bangun.”

“Hari ini bagus untuk berjemur,” ujar Deraz.

Stimmt.” Wanita itu mengulangi perkataan Deraz dan Opa Buyut terkekeh sementara ia dibantu duduk.

“Apa Opa bisa naik ke bukit?” tanya Deraz.

Wanita itu menggeleng, “Nicht heute.”

Opa Buyut terkekeh lagi. “Na ja, mein Junge, Opa juga sudah tidak sabar ke bukit lagi.”

“Tapi nanti Opa akan berjemur, lalu besok Opa bisa berjalan-jalan ke kebun.”

Wanita itu tersenyum. Opa Buyut menyambut, “Mudah-mudahan.”

Deraz dipanggil karena air mandinya sudah siap. Setelah mandi, ia mengenakan celana pendek dan kemeja lalu bergegas ke ruang makan. Segelas susu segar dan beberapa potong roti gulung sudah menunggunya. Olga mengamati caranya makan. “Tidak perlu buru-buru. Opa juga makan pelan-pelan.”

“Aku tahu!” balas Deraz.

Olga tertawa.

“Olga, Opa akan bisa jalan-jalan lagi,” tambah Deraz.

Ja, mudah-mudahan saja.”

Setelah sarapan, Deraz kembali ke kamar Opa Buyut. Opa Buyut berdiri! Perawat gemuk membantunya mengenakan baju hangat lalu memakaikan syal. Baik Deraz maupun perawat gemuk mengawasi Opa Buyut yang berjalan tertatih-tatih menuju pintu. Ketika Opa Buyut mencari-cari pegangan, Deraz segera menyambut tangannya. Perawat gemuk membawakan kursi roda.

“Aku rasa ini kemajuan bagus,” Opa Buyut terkekeh begitu duduk di kursi roda.

Sementara Opa Buyut menikmati matahari, di dekatnya Deraz dan Bruno bermain lempar-tangkap bola sampai diingatkan pada rencana menaiki bukit. “Nanti keburu siang,” kata Opa Buyut.

“Baik, Opa!” Bruno menyalak seakan-akan menyetujui. Deraz segera masuk ke rumah. Ke dalam tas ia masukkan buku bacaan, botol minum, teropong, dan tidak lupa—ia buru-buru lari ke kamar Opa Buyut—selembar saputangan. “Ayo, Bruno, nanti keburu siang!” kata Deraz pada Bruno yang masih berada di dekat Opa Buyut. Bruno segera berlari menyusul Deraz.

“Hati-hati!” Mendengar suara Opa Buyut, Deraz semakin bersemangat.

Deraz tidak melihat ketika sesudah itu Opa Buyut memegangi dadanya dan menoleh pada perawat gemuk. “Sepertinya ini waktu untuk kembali,” ucapnya agak terengah.

Mereka melewati jalan pintas menuju bukit, yang berupa jalan setapak di belakang rumah. Salju sudah tidak tampak. Ujung bilah rerumputan membasahi kaus kaki Deraz.

 

Sag mir, wo die Blumen sind

wo sind sie geblieben[1]

 

Deraz berdendang pelan, sambil menyibak rerumputan dengan sebatang dahan yang baru saja ia temukan. Bruno terengah-engah di belakang.

Menaiki punggung bukit, Deraz bisa melihat panorama desa: petak-petak hutan, rumah-rumah yang agak berjauhan dengan satu sama lain, dan selebihnya padang penggembalaan. Ia mencari-cari sebuah rumah lalu melihat ada satu sosok yang bergerak ke arah kandang domba. “Günther!” teriaknya sekencang mungkin. Ia meloncat melambai-lambai. Bruno ikut-ikutan. “Auk! Auk!” Tentu saja Günther tidak mendengar.

Günther yang memberikan Bruno pada Opa Buyut tiga tahun lalu. Saat itu Bruno masih kecil sekali. Bruno salah satu anak dari sepasang anjing herder yang dimiliki Günther.

“Bruno, ayo kita balapan!” Deraz membuang dahannya dan langsung berlari.

Bruno menggonggong mengiyakan.

Sampai di bawah pohon di puncak bukit, Deraz tersengal-sengal merebahkan diri. Walau Bruno tidak mendahuluinya, tetapi anjing itu masih dapat berlari berputar-putar mengelilingi Deraz seakan-akan meledek. Bruno lalu berjalan-jalan sendirian mengitari puncak sedang Deraz berguling mencari posisi pas untuk memandangi matahari yang masih merangkak menuju singgasana.

Napas Deraz mulai tenang. Lama ia memerhatikan matahari yang begitu bulatnya. Timbul dalam pikiran: apa gerangan yang sedang dilakukan Oma Buyut? Mereka bilang Oma Buyut dikubur. Deraz membayangkan Oma Buyut berbaring diam di bawah tanah. Oma Buyut digerogoti cacing sampai tinggal kerangka. Apakah hidup Oma Buyut sudah sampai di situ saja? Apakah hidup itu suatu garis lurus yang mengarah dari kelahiran menuju kematian?

Lalu terbayang olehnya pipi Opa Buyut yang kempot, jemarinya yang serupa ranting. Padahal sebelum ditinggal Oma Buyut beberapa bulan lalu, Opa Buyut masih berisi.

Bruno sudah kembali dan bertelungkup di samping Deraz. Deraz memiringkan tubuhnya ke arah Bruno. “Bruno, mungkinkah Opa hidup selamanya?”

Bruno menatapnya polos sambil menjulurkan lidah. Deraz memeluk kepala Bruno. Bruno lucu sekali! “Kamu tidak akan ke mana-mana, kan, Bruno?” Bruno menjilati wajahnya. Deraz kegelian dan melepaskan diri.

Mereka turun ketika matahari sampai di singgasana. Ketika melewati hutan, sesekali Deraz berhenti dan mengeluarkan teropong. Ia mendapati burung dengan paruh kuning, kepala hitam, dan perut kemerahan. Ada juga yang paruhnya hitam, badannya putih, sedang sayapnya kebiruan. Nanti Deraz akan mencari tahu keterangan tentang mereka di ensiklopedia. Ia juga memetik beberapa tangkai bunga gerbera di pinggir jalan.

Setelah membersihkan diri dan makan siang dengan bistik, kentang tumbuk, serta sayur, Deraz membuka pintu kamar Opa Buyut perlahan-lahan. Opa Buyut sudah berbaring lagi.

Deraz meletakkan jambangan berisi bunga gerbera pada nakas di samping tempat tidur Opa Buyut. “Opa,” panggil Deraz hampir berbisik.

Opa menoleh perlahan-lahan.

Syukurlah.

“Kamu sudah kembali, mein Junge.”

Deraz duduk di tepi tempat tidur Opa Buyut. “Tadi saya melihat burung. Tapi saya belum lihat di ensiklopedia,” lapor Deraz.

Ach, gut,” ujar Opa Buyut.

Deraz lalu menceritakan setiap detail perjalanannya ke bukit tadi bersama Bruno hingga menyadari bahwa Opa Buyut sepertinya tertidur. Ia memegang tangan Opa Buyut. “Opa.”

“Opa di sini, mein Junge.”

“Opa mau beristirahat?”

“Opa tidak apa-apa.” Opa Buyut membuka matanya lagi dan tersenyum.

“Opa, mau saya bacakan buku?”

Ja.”

Deraz segera turun dari ranjang dan berlari ke perpustakaan. Ia mengambil buku berjudul ABC Petits Contes. Buku itu berisi banyak ilustrasi berwarna yang menarik. Ia belajar membacanya sudah sejak bertahun-tahun yang lalu. Tetapi menurut Opa Buyut ia belum juga dapat membacanya dengan baik. Susah sekali mengucapkan ‘r’ Perancis dengan benar.

Deraz lalu naik ke tempat tidur Opa Buyut, duduk di sampingnya dan mulai membaca. Ia berusaha membaca buku itu dengan sebaiknya-baiknya, seakan-akan setiap kata yang diucapkannya dengan benar akan memperpanjang hidup Opa Buyut barang sehari atau seminggu.

Ketika Deraz akhirnya membuat kesalahan, Opa Buyut biasanya akan menegur. Tetapi kali ini Opa Buyut diam saja. “Opa?” panggil Deraz. Ia memegang tangan Opa Buyut. Agak dingin, tetapi ia masih bisa merasakan denyutnya yang lemah.

Deraz meletakkan buku di kaki ranjang lalu berbaring di sisi Opa Buyut. Ia memerhatikan dada Opa Buyut yang samar-samar terlihat naik-turun hingga ia tertidur.

Deraz terbangun beberapa jam kemudian oleh salakan Bruno. Sepertinya ini waktunya Olga memberi Bruno makan sore. Sembari menegakkan diri, Deraz mengejap-ngejapkan mata dan memandang sekitarnya. Cahaya dari luar sudah meredup. Ia menoleh pada Opa Buyut yang terlihat sama seperti sewaktu sebelum ia tidur tadi. Ia menggenggam tangan Opa Buyut. Rasanya lebih dingin daripada sebelumnya.

“Opa?”

Ketika keluar dari kamar Opa Buyut, Deraz bertemu perawat gemuk yang membawa baki. Perawat gemuk tersenyum padanya. “Guten Tag,” sapa wanita itu ramah.

Deraz menatap mata wanita itu. Ia meneguk ludah, dan berkata tersendat, “Opa sudah tidak ada.”


[1] “Sag mir, wo die Blumen sind versi bahasa Jerman dari “Where Have All The Flowers Gone?” pertama kali dibawakan oleh Marlene Dietrich

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain