Kamis, 08 November 2018

(7)

Sejak kehadiran Pak Karman, semangat belajar Deraz kembali tumbuh.

Ia mulai membukai Bobo, yang dilanggan Bunda untuk anak-anak. Ia membaca majalah itu dari halaman pertama sampai halaman terakhir. Ia mengerjakan setiap kuisnya juga setiap nomor pada rubrik “Untuk Latihan di Rumah”, kecuali soal untuk kelas 5 dan kelas 6 karena banyak di antaranya yang ia belum tahu cara atau jawabannya.

Ia mulai naik ke gudang di lantai atas dan membaca buku-buku pelajaran Dean dari kelas 1 SD.

Ia mulai memerhatikan pembicaraan anak-anak. Ia mencatat setiap kata yang tidak ia mengerti.

Geuleuh itu apa?” tanya Deraz pada Dean suatu kali.

Geuleuh itu … ya geuleuh.” Padahal Dean sering menggunakannya, tetapi tidak dapat menjelaskan artinya.

Atuh?”

Atuh ….” Dean mengernyit. “Atuh mah apa, ya?”

“Mah?”

Dean menggeleng sambil menggaruk-garuk kepalanya.

Deraz menanyakan itu pada Ayah.

Atuh, mah, teh, da, itu enggak ada artinya,” jelas Ayah.

Why does everyone use them?” Melihat tatapan Ayah, Deraz cepat-cepat mengulang pertanyaannya dalam bahasa Indonesia.

“Karena orang Sunda mah ngomongnya gitu.”

Deraz membutuhkan waktu untuk mengerti bahwa di Indonesia ada berbagai suku dengan bahasanya masing-masing. Di Indonesia orang tidak hanya berbahasa Indonesia, tetapi juga mencampurnya dengan bahasa lain yang sesuai dengan daerah tempat tinggalnya. Bahasa Indonesia yang orang gunakan sehari-hari juga tidak sesuai dengan yang Deraz baca di buku pelajaran ataupun majalah.

Ketika mendengarkan perkataan orang lain, Deraz berusaha memilah setiap kata dan menentukan mana yang bahasa Indonesia dan mana yang bahasa Sunda. Ia juga mencoba menghilangkan atuh, mah, teh, da, untuk mendapatkan inti dari kalimat yang diutarakan orang. Belum lagi, beberapa orang gemar sekali menyelipkan anjing dalam perkataan mereka. Deraz bingung karena tidak melihat ada seekor anjing pun di sekitar. Deraz menanyakan itu pada Ayah. Ayah malah terbahak-bahak.

“Itu juga enggak ada artinya,” kata Ayah setelah gelaknya reda. “Orang kalau pakai anjing itu maksudnya mau ngomong kasar. Enggak baik itu. Enggak usah ditiru.” Melihat raut Deraz yang masih kebingungan, Ayah berkata lagi, “Deraz jangan pusing. Waktu sama Opa Buyut juga, Deraz diajarin banyak bahasa, kan?”

Benar juga. Sewaktu baru tinggal bersama Oma-Opa Buyut, Deraz menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Dengan Oma Buyut, ia terus menggunakan bahasa Indonesia. Lalu Opa Buyut mulai mengajari Deraz bahasa Jerman, supaya ia bisa bercakap-cakap dengan Olga, Günther, serta para tetangga. Dalam bahasa itu pula Opa Buyut mengajari Deraz membaca dan menulis. Opa Buyut dan Oma Buyut sendiri sering mengobrol dalam bahasa Belanda. Sementara itu, di perpustakaan Opa Buyut ada banyak buku cerita anak-anak dalam bahasa Inggris dan bahasa Perancis. Dengan para sahabat penanya, Deraz menggunakan bahasa apa pun menyesuaikan dengan bahasa mereka dibantu oleh Opa Buyut.  Semua bahasa itu masuk begitu saja ke dalam kepala Deraz. Deraz tahu kapan harus menggunakan tiap-tiap bahasa itu. Kenapa di sini mempelajari bahasa menjadi susah? Belum lagi ada bahasa Arab. Walaupun Deraz semakin lancar membaca rangkaian huruf hijaiah berkat bimbingan Pak Karman, tetapi ia tidak mengetahui sama sekali artinya. Kata Pak Karman, yang penting sekarang Deraz bisa membacanya lebih dulu. Mengenai artinya, nanti ketika sudah sampai di Alquran, Deraz bisa membaca tafsir dan terjemahan.

“Kalau be-le-gug, itu apa, Ayah?”

Ayah memerhatikan Deraz memegang catatan. Ia mengambilnya dari tangan Deraz lalu mengernyit. Beberapa kata keliru dituliskan oleh Deraz, tetapi Ayah tidak mau repot-repot memperbaikinya. “Ini … ini … ini …” Ayah menunjuk-nunjuk sambil mencoret dengan pensil, “… ini semua kasar. Deraz jangan ikut-ikutan ngomong ini, ya. Kasih tahu Dean juga.”

Deraz mulai sering mengacungkan tangan di kelas. Ketika guru memberikan pertanyaan, ia mengacung. Ketika guru memberi kesempatan untuk bertanya, ia juga mengacung. Setibanya di rumah dari sekolah, setelah ganti baju, makan siang, dan beristirahat sebentar sambil membaca Bobo, ia mengerjakan PR. Setelah makan malam, ketika Bunda duduk di ruang tengah berkutat dengan laptopnya, Deraz bergabung untuk menanyakan soal yang sulit.

Ketika sedang sendirian di kamar, kadang ia mengulang-ulang cara pengucapan suatu kata sebagaimana yang ia dengar dari orang-orang. Ia mengutak-atik imbuhan, membandingkan antara penulisan dan penggunaannya di dunia nyata. Akhiran -kan biasanya diganti dengan -in. Bacakan—bacain. Bersihkan—bersihin. Dengarkan—dengerin. Awalan me- juga biasanya dihilangkan. Memasukkan—masukin. Menirukan—­niruin. Huruf s pada awal kata kadang tidak disebutkan. Saja—aja. Sudah—udah. Belum lagi kata-kata dalam bahasa Sunda. Ia masih suka keliru membedakan antara “eu” Sunda dan “eu” Jerman. Ia ingin berhenti menjadi bahan omongan anak-anak.

Zara yang suka memerhatikan Deraz berbisik-bisik pada Bunda. “Bunda, Kak Deraz ngomong sendiri!”

Bunda jadi ikut memerhatikan. “Itu Kak Deraz lagi belajar,” kata Bunda kemudian.

Deraz juga mulai mengamati isi ruang tengah yang berada di antara ruang tamu dan ruang TV. Sepanjang dinding ruangan itu tertutup oleh foto, lemari, dan rak, kecuali di salah satu pojok tempat meja memuat seperangkat komputer. Dari jajaran medali dan trofi yang terpajang di rak, Deraz mengetahui bahwa dulu Ayah atlet balap sepeda yang sering mengikuti tour di luar negeri. Dari deretan buku besar dan tebal yang ada di lemari, Deraz mengetahui bahwa dulu Bunda belajar kedokteran. Deraz mengambil salah satu buku Bunda. Beratnya tidak kalah daripada ensiklopedia-ensiklopedia di perpustakaan Opa Buyut. Tetapi kertasnya lebih bagus, gambar-gambarnya aneh, dan aromanya pun beda. Mungkin itu karena buku-buku Opa Buyut berumur jauh lebih tua. Deraz mulai memerhatikan gambar-gambar di buku Bunda. Oh, jadi seperti ini organ tubuh manusia.

Kunjungan ke rumah Oma Anna dan Opa Andre juga mulai menarik. Oma Anna itu ibunya Bunda, anaknya Oma Buyut. Oma Anna tampak berusia tidak jauh dari Bunda. Tetapi Opa Andre yang ayahnya Bunda terlihat jauh lebih tua daripada istrinya, bahkan mungkin hampir setua Oma Buyut. Tiap kali datang ke sana, Oma Anna selalu sudah menyiapkan makanan dan minuman yang khusus dibuatnya untuk menyambut kedatangan mereka. Sementara Dean dan Zara menemani Oma Anna menonton film India di televisi, Deraz berjalan-jalan sendiri di rumah besar itu. Tempat yang paling menarik bagi Deraz adalah ruang studi Opa Andre. Ruangannya luas dengan deretan lemari berisi buku-buku yang semacam dengan milik Bunda. Dibandingkan dengan ruang studi Opa Andre, ruang tengah rumah mereka terasa sempit dan berjejal. Opa Andre sendiri suka menyepi di ruangan itu, membaca buku-bukunya. Deraz boleh masuk serta ikut duduk membaca di ruangan itu, dan ia tahu diri untuk menjaga ketenangan.

“Bunda, Opa Andre itu apa pekerjaannya?” tanya Deraz suatu kali.

“Opa Andre itu dulunya spesialis bedah tulang,” kata Bunda.

“Oh, bedah …. Dokter, ya?”

“Iya.”

“Bunda juga dokter?” Deraz mengingat buku-buku yang sama milik keduanya.

“Iya. Tapi sekarang Bunda jadi pengajar dan peneliti.”

“Oh.”

Opa, sekarang Deraz punya begitu banyak hal untuk dituliskan di jurnal!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain