Selasa, 06 November 2018

(5)

Dalam mimpinya, bayang Opa Buyut yang berbaring diam berganti-ganti dengan bayang Bruno yang menelungkup hingga kepalanya menempel ke tanah. Bruno menatapnya sendu dan mengeluarkan suara yang pilu, seakan-akan bertanya, “Kamu ke mana? Aku menunggu kamu. Kenapa kamu tidak kembali?”

Tetapi tiap kali Deraz hendak menggapai Bruno, tangannya tidak kunjung sampai. Padahal Bruno berada dekat sekali di depannya. Keburu Deraz terbangun.

Deraz merasakan ada aliran di sudut matanya. Ia terduduk dan berusaha menahan desakan yang bergumul dari dadanya. Ia mengelap mata dengan punggung tangan. Napasnya mulai sesak.

Ia turun dari tempat tidur, lalu bersandar pada nakas. Isaknya tak tertahankan. Matanya terasa penuh. Jam di atas nakasnya menunjukkan pukul satu dini hari. Di Jerman sekarang baru malam. Sedang apa Bruno sekarang? Mungkinkah ia sedang seperti di dalam mimpinya itu? Menelungkup dan bertanya-tanya ke mana Deraz pergi, kenapa tidak kunjung kembali? Siapakah yang merawat Bruno sekarang, memberinya makan? Apakah Olga masih bekerja di rumah itu?

“Deraz, kamu kenapa?”

Deraz melihat Dean duduk di lantai juga, di ujung sisi tempat tidur. Sembari menahan sengguk, Deraz berpaling supaya mukanya tidak terlihat oleh Dean. Tetapi sesekali isaknya masih meluap.

“Deraz,” panggil Dean, sembari mendekat. “Kamu mau cerita?”

Deraz diam saja.

Dean pun memeluk Deraz. Biasanya itu yang Dean lakukan ketika Zara menangis, lalu adiknya akan menjadi tenang. “Cup, cup ….”

Tetapi Deraz malah meledak dan menggebuki Dean, yang kontan mengaduh-aduh. Deraz terus menendangi Dean sambil meracau dalam bahasa Opa Buyut, sampai saudaranya itu beringsut menjauh.

Bunda yang belum tidur dan mendengar ada suara membuka pintu kamar si kembar. Lampu kamar menyala. Ia mendapati Dean duduk merapat ke dinding di seberang tempat tidur Deraz sambil memegangi kedua lutut. Sementara itu Deraz berdiri sambil mengusap mukanya dengan kedua belah lengan bergantian.

“Kenapa ini?” tanya Ayah mengantuk.

Dean menyongsong Ayah dan menarik bajunya. “Ayah, aku tidur sama Ayah, ya?”

“Deraz,” Bunda duduk di tempat tidur dan meraih Deraz supaya ikut duduk. “Ada apa?”

Deraz masih belum mau berbahasa Indonesia. Bunda memeluk dan mengusap-usap kepalanya seakan-akan mengerti yang diocehkan Deraz. Ketika melihat bahwa kini yang berdiri di ambang pintu bukan hanya Ayah dan Dean, melainkan juga Zara yang ikut terbangun dan keluar dari kamarnya, Deraz menelusupkan kepalanya ke dada Bunda. Walau teredam, tangisnya bertambah kencang.

“Tidur lagi, yuk,” Ayah menggiring Dean dan Zara agar berbalik lalu menutup pintu.

Setelah Deraz agak tenang dan mengangkat wajahnya lagi, barulah ganti Bunda berbicara.

“Deraz ingat, enggak, waktu dulu dibawa sama Oma dan Opa Buyut?”

Deraz menjawab dengan sesenggukan.

“Waktu itu Bunda takut banget, takut Deraz bakal seperti ini,” kata Bunda.

Isakan Deraz memelan. Bunda melanjutkan, “Tapi dari kecil Deraz sudah mandiri. Deraz sudah bisa memilih mau tinggal sama Oma dan Opa Buyut. Deraz juga enggak pernah merepotkan mereka, selalu menurut sama mereka. Tiap Bunda telepon ke sana, selalu mereka memuji Deraz. Katanya Deraz anak yang cerdas, kuat, dan suka membantu. Ayah dan Bunda bangga sekali sama Deraz. Walau kadang kami khawatir, tapi ternyata Deraz bisa menjaga diri.”

Deraz mengusap sisa air mata dengan jari-jarinya.

“Tapi kan Oma sama Opa Buyut sudah tua. Pada akhirnya, sudah waktunya mereka dipanggil Tuhan.”

Tuhan.

“Malah, Deraz ingat, enggak, sewaktu Oma Buyut meninggal, Deraz enggak mau ikut pulang? Waktu itu Opa Buyut sudah mulai sakit-sakitan. Deraz bilang, ‘Siapa nanti yang jaga Opa?’ Opa Buyut tinggal sendiri, cuma sama pembantu. Opa Buyut juga sudah enggak kuat pergi jauh-jauh, bahkan enggak bisa ikut nganter jenazah Oma Buyut ke Indonesia.”

Deraz diam saja, menunggu Bunda melanjutkan.

“Dulu Deraz berani jauh dari orang tua. Sekarang Deraz juga berani tanpa Oma dan Opa Buyut. Tanpa anjing Deraz. Ya?”

Deraz menjawab dengan sisa isakan, tetapi air matanya sudah habis.

Sisa malam itu Deraz tidur sambil dipeluk Bunda. Dalam mimpinya, Bunda berubah menjadi Oma Buyut.

 

Deraz berpikiran untuk menulis jurnal lagi. Sewaktu tinggal bersama Opa Buyut, sejak dapat lancar menulis, Deraz disuruh untuk menulis jurnal setiap malam. Di dalam jurnal itu ia harus menceritakan apa saja yang dialaminya seharian itu, mulai dari kegiatannya, nama-nama serta kata-kata yang baru dipelajarinya, hingga isi buku yang dibacanya. Deraz tahu bahwa ketika ia tidur, Opa Buyut membaca jurnalnya itu. Kadang Opa Buyut membubuhkan perbaikan jika Deraz keliru mengeja suatu kata. Ketika kesehatan Opa Buyut mulai menurun, ia tidak memeriksa jurnal Deraz lagi. Opa Buyut tidur lebih cepat daripada Deraz. Deraz pun berhenti menulis jurnal.

Deraz sudah membeli jurnal baru, ketika ia dan keluarganya ke toko buku beberapa waktu lalu. Warnanya merah gelap dengan ring di tepinya. Daripada mengikuti Dean keluar kelas pada jam istirahat, Deraz memilih untuk menulisi jurnalnya itu seolah-olah Opa Buyut akan membacanya nanti malam.

Pada awalnya menulis jurnal terasa sulit, sebab Deraz merasa tidak belajar apa-apa sejak berada di tempat yang baru ini. Kalaupun ada buku-buku, bunga-bunga, burung-burung, serangga-serangga, keberadaannya tidak memikat Deraz lagi. Seakan-akan semua itu menarik hanya karena Opa Buyut yang menjadikannya begitu. Tidak ada pula Oma Buyut dengan aneka kudapannya yang lezat, sehingga Deraz bisa menuliskan bahan-bahan dan cara membuatnya di jurnal. Yang bisa ia tuliskan sekarang hanya keluhan dan perasaan. Jika Opa Buyut benar-benar membaca jurnal ini, Deraz tentu akan merasa malu.

Tetapi sekali waktu keluhan dan perasaannya itu sungguh membuat Deraz larut saat menuliskannya, sampai tidak menyadari Putra ada di dekatnya dan merebut jurnal itu.

“Deraz nulis diary!” seru Putra sambil mengacung-acungkan buku itu.

Putra masih sempat membaca sekilas isi buku itu sebelum Deraz menonjoknya. Putra terlempar ke lemari di sudut kelas. Tetapi ia segera bangkit dan balas menyerang Deraz. Deraz terempas ke lantai. Bogem Putra berusaha mengenai mukanya, tetapi Deraz berhasil menyodok perut bocah itu dengan lutut. Putra berguling ke lantai dan ganti Deraz yang berusaha mencekik. Tetapi Putra mendorong Deraz sampai terjatuh ke samping dan mereka pun berguling menubruk bangku-bangku. Anak-anak perempuan yang bangkunya kena menjerit-jerit. Yang lain pada terkesima menyaksikan pergulatan itu sampai Pak Guru masuk. “Kok enggak ada yang melerai sih?” tanpa menyadari bahwa tubuh kedua anak yang berkelahi itu sama-sama lebih besar daripada anak-anak lainnya. Dean yang bertubuh sama jangkung dengan Deraz cuma menonton sambil mengunyah potongan cakue.

Pak Guru menarik punggung Putra yang sedang berada di atas. Tetapi walau Putra sudah dipegangi Pak Guru, Deraz tetap hendak meninjunya. Untung Pak Guru cepat-cepat membawa Putra berkelit. Pak Guru terpojok di antara dinding dan bangku sambil mendekap Putra, sementara Deraz di belakang punggungnya menggebu-gebu untuk mengenai sasarannya. “Tolong ada yang narik Deraz!” perintah Pak Guru.

Tetapi tidak ada satu pun anak yang berani.

“Deraz udah, ya. Pelajarannya mau dimulai!” kata Pak Guru tanpa mengubah posisi. Hanya mukanya berbalik pada Deraz. Deraz terhenti di tempatnya dengan kedua bogem terkepal. Ia mengambil jurnalnya yang terlempar hingga di depan lemari kelas dan kembali ke bangkunya, tetapi matanya terus terarah pada Putra.

“Ayo, semua, kembali ke bangku!” komando Pak Guru.

Anak-anak menurut dengan ketegangan yang berangsur memudar.

“Dia yang salah, Pak!” Deraz yang tadinya sudah duduk tiba-tiba berdiri lagi sambil menunjuk Putra.

“Cuma bercanda atuh!” balas Putra yang kontan berdiri lagi padahal juga sudah duduk.

Deraz hendak keluar lagi dari bangkunya dan Putra berlagak menantang, sehingga akhirnya Pak Guru menyuruh mereka berdua ke depan kelas. Deraz menjelaskan persoalannya dan Putra membela diri. Menurut Putra, Deraz tidak perlu sampai semarah itu. Lengan Pak Guru segera menahan Deraz yang hendak menyerang lagi. “Sudah, Putra, kamu minta maaf, ya. Deraz kan baru di sini, jadi belum akrab sama candaan kamu.”

Dengan geram, Putra menyodorkan tangan. Deraz memalingkan muka ke papan tulis.

“Ayo, Deraz, disambut. Putra sudah minta maaf. Masak mau berdiri terus di depan sampai pulang sekolah?”

Deraz mengulurkan tangan tanpa menoleh.

 

Kekesalan Deraz terbawa sampai ke rumah. Ketika memainkan Game Watch yang dipinjamkan Zara untuknya, ia kalah lagi. “Bego lu!” seru benda itu, yang segera dilempar Deraz jauh-jauh sampai baterainya terpelanting ke luar. Zara menyaksikan itu dari pintu kamarnya dengan gulana. Sebelum ini Tamagotchi miliknya yang dibanting. Game Watch dan Tamagotchi milik Dean sudah almarhum lebih dulu karena sebab yang sama.

Ketika Ayah pulang, Zara mengadu sambil berbisik-bisik.

“Nanti beli lagi!” kata Ayah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain