Minggu, 11 November 2018

(10)

Bermain dengan anak-anak kelas enam sangat menantang Deraz. Tidak seperti ketika bermain dengan anak-anak sebayanya, kali ini ia harus tahu diri. Ia tidak bisa serta-merta mengajukan diri untuk menjadi yang pertama menendang bola. Anak-anak yang satu tim dengan dirinya pun belum percaya padanya, sehingga ia tidak kebagian bola. Lawan sangat lihai mempermainkan dia, sehingga sangat sulit mengambil bola dari mereka.

Kesempatan Deraz hanya datang ketika lawan mengoper bola. Ia harus cepat-cepat menangkap bola itu sebelum sampai ke kaki anak lain. Ia ingin menunjukkan kemampuannya menendang bola langsung ke gawang seperti yang pertama-tama. Tetapi entah kenapa dalam situasi kali ini ia merasa grogi sehingga tendangannya meleset.

Ketika datang lagi kesempatan Deraz untuk memotong umpan, lawan segera mengincar dengan sangat gesit. Mereka tidak segan-segan menjegal untuk merampas bola hingga Deraz terjatuh.

Deraz tidak bisa mengeluh. Ketika mengamati pertandingan bola di televisi, ia mengamati bahwa para pemainnya juga acap kali bermain keras. Adakalanya mereka sampai bertengkar dengan wasit untuk menentukan apakah itu pelanggaran atau bukan.

Ketika si juara karate kembali masuk sekolah, Deraz tersisih lagi ke pinggir lapangan. Tetapi ia terus mengamati. Pengalaman bermain langsung dengan anak-anak itu di lapangan telah memberinya sudut pandang baru. Kalau ingin diakui, ia harus bermain dengan cara mereka. Di halaman belakang rumah pun ia mulai melatih gerakan kaki, arah badan, dan lirikan mata, sembari membayangkan di hadapannya ada lawan tangguh yang hendak ia kecoh.

Deraz baru bisa bermain lagi dengan anak-anak kelas enam ketika ada salah seorang di antara mereka yang absen. Tidak seperti sebelumnya, kali ini Deraz mulai diberikan operan. Mereka sudah tahu namanya. Tetapi, begitu bola berada di kaki Deraz, dengan segera seorang anak mendesaknya. Deraz berusaha mempertahankan bola, tetapi anak itu menyikut rusuknya keras-keras. Deraz pun oleng, dan anak itu mengacir dengan bola. Bel tanda berakhirnya jam istirahat berbunyi. Permainan otomatis disudahi.

Anak kelas enam yang sakit itu tidak masuk sampai berhari-hari, katanya kena DBD. Selama itu pula Deraz boleh ikut bermain bersama anak-anak kelas enam. Tetapi anak yang sama selalu berhasil merebut bola dari Deraz dengan kasar. Selain disikut, tulang kering Deraz ditendang, mukanya ditutup-tutupi, kakinya dikait. Deraz memerhatikan bahwa anak tersebut berbuat sekasar itu hanya padanya. Apa karena ia kelas empat?

“Kamu mainnya kasar!” Deraz tidak tahan lagi. Ia menunjuk anak itu sehabis lututnya dibuat lecet hingga berdarah.

“Kalau enggak kuat enggak usah ikut main!” ledek anak itu sembari maju menantang.

“Tapi kamu curang! Kamu tidak boleh main kasar begitu!”

“Kamu yang cemen!”

Deraz belum tahu arti kata “cemen”, tetapi sepertinya itu buruk. Hampir saja ia beradu fisik dengan anak itu, tetapi anak-anak lain menengahi.

“Kalian mah ganggu permainan aja. Kalau mau gelut, di tempat lain!”

“Ayo!” tantang anak itu berani.

“Ayo!” Deraz terpancing.

Beberapa anak kelas empat mengamati kejadian itu dari pinggir lapangan.

“Dean, itu si Deraz mau kelahi lagi.”

Dean juga memerhatikan semua itu dengan wajah keruh. “Ah, udah, biarin ajalah!” ucapnya.

“Jangan gitu ari kamu!” sahut teman-temannya, yang padahal biasa mengompori perkelahian Deraz dengan Putra.

Sementara itu si anak kelas enam membawa Deraz ke sisi sekolah yang sepi. Di sekitar mereka terdapat tumpukan pasir dan bahan-bahan bangunan lain yang terbengkalai.

“Ayo!” tantang anak itu lagi pada Deraz, yang baru menyadari bahwa lawannya ternyata si juara karate. Karena Deraz tidak kunjung memulai, anak itu menyulut, “Hooo, kelas empat aja belagu!”

Umpannya berhasil. Selanjutnya mudah saja bagi anak itu mempraktikkan jurus-jurus yang ia kuasai sementara Deraz membabi buta. Tetapi tiap kali ia berhasil menjatuhkan Deraz, lawannya itu segera bangkit lagi dan menyerang sekuat tenaga.

Sementara itu beberapa anak mulai bermunculan tidak jauh dari mereka. Dean didorong kawan-kawannya. “Pisahin atuh, Dean! Jangan diem aja!”

Dean menggeram. Ia maju juga menyerbu kedua anak yang sedang sengit itu. Ia maju berkali-kali, karena selalu terpental oleh tonjokan Deraz atau tendangan si juara karate.

Perkelahian baru terhenti ketika datang Pak Satpam dan penjaga sekolah memisahkan kedua anak bertubuh besar itu. Keduanya masih meronta-ronta bahkan ketika sudah dipegangi orang dewasa. Bel tanda berakhirnya jam istirahat berbunyi. “Tuh, udah waktunya masuk ke kelas lagi!” bujuk Pak Satpam.

“Kita lanjut pulang sekolah!” seru Deraz belum puas.

Si juara karate melepaskan diri dari cekalan penjaga sekolah hendak menyerbu Deraz, tetapi berhasil ditangkap lagi dan diseret menuju kelasnya.

Anak-anak kelas empat mengikuti Deraz yang dipegangi Pak Satpam. Belum sampai di kelas, seorang anak tidak sengaja menoleh pada Dean dan memandangnya ngeri. “Dean, kamu berdarah.” Hampir seluruh bagian lengan kanan seragam Dean berwarna merah. Kainnya juga koyak.

“Oh, pantas dari tadi nyut-nyutan,” sahut Dean baru memerhatikan.

“Astagfirullah!” ucap Pak Satpam melihat itu. “Ayo ke UKS sekarang juga!” Ia melepas Deraz dan ganti memegangi Dean. Anak-anak kompak ikut berbalik arah. “Eh, jangan ikutan semuanya! Balik ke kelas!”

Deraz termasuk yang ikut ke ruang UKS.

Guru yang hari itu bertugas menjaga ruang UKS mengamati luka Dean. “Tadi kena apa, kok sampai kayak gini?” tanyanya khawatir.

“Tadi ada yang berantem, Bu. Terus anak ini kena. Kejadiannya di samping sekolah, yang banyak berangkalnya. Mungkin ada belingnya,” terang Pak Satpam.

“Waduh, bahaya itu. Dean, kamu berantem?” Bu Guru kaget.

“Enggak, Bu. Tadi Dean cuma mau misahin aja, terus jatuh.”

“Parah ini lukanya, harus dijahit,” gumam Bu Guru sembari memeriksa.

Dean yang tadinya bersikap tenang mendadak berwajah pucat. “Enggak apa-apa. Diplester aja, Bu.”

“Pak Satpam, tolong carikan mobil, ya.”

“Iya, Bu.” Pak Satpam memelesat.

“Jangan dijahit, Bu,” kata Dean ketakutan. “Udah enggak apa-apa kok. Enggak sakit.”

“Enggak, enggak. Mau dilihat dokter aja, biar enggak infeksi. Biar enggak tambah sakit.” Bu Guru mulai membalut luka Dean dengan perban.

Sebentar kemudian, Pak Satpam sudah muncul kembali di pintu. “Mobilnya sudah siap, Bu!”

“Ayo, Dean.” Bu Guru menarik Dean berdiri dari kursi. Anak-anak mengikuti mereka menuju pintu. “Kalian kembali ke kelas aja,” kata Bu Guru.

“Saya ikut, Bu!” tegas Deraz.

“Ya udah, kamu aja yang ikut. Bawa sekalian tas Dean.”

Deraz langsung berlari ke kelas mengambil tas mereka berdua. Dengan cepat Deraz menjelaskan pada guru yang sudah memulai pelajaran di kelas bahwa Dean kecelakaan dan ia mau ikut mengantarnya ke rumah sakit. Lalu ia berlari lagi ke pelataran sekolah tempat mobil sudah menunggu.

Di perjalanan, Dean terus-terusan membujuk Bu Guru sambil sesekali melihat lengannya yang dibalut perban tebal. “Enggak akan dijahit, kan, Bu? Udah enggak sakit, kok.”

“Enggak. Mau diperiksa dokter aja,” Bu Guru mengulang-ulang.

“Bener, ya, Bu?”

Mobil berhenti di depan pintu UGD. Setelah duduk sebentar di ruang tunggu, perawat mendekati mereka. Dean lalu dibawa ke salah satu tempat tidur di sebuah ruangan besar. Langkah Deraz terhenti begitu tirai ditarik menutupi saudara kembarnya. Seorang lelaki yang mengenakan jas putih masuk ke balik tirai. Deraz menanti dengan dada berdebar.

Sebentar kemudian terdengar teriakan Dean: “Ayah! Ayah! Ayaaah …! Enggak mau! Enggak mau! Enggak mauuu …!”

“Tolong dipegangi kakinya,” suara lelaki.

“Enggak mauuu …! Ayaaah …!”

“Kepalanya juga.”

Deraz merasa tegang sekaligus menggigil. Seakan-akan ia sendiri yang berada di balik tirai itu menghadapi hal mengerikan apa pun yang dapat membuatnya sehisteris itu. Dengan lemas ia kembali duduk di ruang tunggu.

Akhirnya Bu Guru keluar dari ruang tindakan. Ia menawari Deraz untuk menengok Dean. Tetapi Deraz menggeleng. Ia bahkan baru menyadari bahwa Dean sudah tidak menjerit-jerit lagi.

“Ibu tinggal dulu, ya, mau laporan ke sekolah.”

“Iya, Bu.”

Ketika kembali, Bu Guru berkata, “Nanti ayahnya mau jemput ke sini.”

Ayah baru datang ketika siang berseragam kantornya. Ia langsung masuk ke ruang tindakan setelah berbincang sebentar dengan Bu Guru. Beberapa lama Ayah di dalam, lalu keluar dengan menggandeng Dean. Di lengan Dean ada plester panjang, dan semua lecetnya sudah diobati. “Yuk, Deraz,” kata Ayah begitu mereka melewatinya. Deraz segera bangkit menyusul. Ia menggendong dua ransel, masing-masing di depan dan di belakang tubuhnya.

Sementara Ayah membuka kunci pintu mobil, Dean memamerkan plester pada lengannya yang baru dijahit pada Deraz. Sembari tersenyum, ia menggerak-gerakkan lengannya itu seakan-akan ingin menunjukkan bahwa tidak ada masalah. Wajahnya sama sekali tidak menampakkan tanda-tanda sehabis menangis. “Jangan digitu-gituin, jahitannya masih basah,” tegur Ayah.

Di perjalanan mengantar Deraz dan Dean pulang, Ayah bertanya, “Dean tadi misahin yang berantem? Kok bisa sampai gitu lukanya?”

“Iya, Ayah, tadi Dean jatuh-jatuh,” sahut Dean.

“Lah, yang berantemnya sendiri gimana? Luka-luka juga, enggak?”

Deraz menunduk.

“Enggak tahu, Yah,” kata Dean.

“Kok enggak tahu?!”

“Dean aja yang ke rumah sakit.”

“Misahin yang berantem boleh, bagus. Tapi Dean kan suka oleng. Mending panggil Pak Satpam atau guru aja,” ujar Ayah.

“Iya, tadi juga akhirnya dipisahin sama Pak Satpam, Ayah.”

Deraz juga tidak berani melirik ke mana pun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain