Kamis, 15 November 2018

(14)

Caturwulan berakhir. Nilai-nilai Deraz tidak begitu bagus, tetapi mencukupi untuk naik kelas. Begitu juga dengan Dean. Deraz dimaklumi, tetapi Dean dikomentari Ayah, “Dean dulu pas kelas satu asa pinter, sekarang kok jadi Nobita?” Sekarang Deraz sudah tahu siapa itu Nobita.

Anak-anak kelas enam sudah pada lulus, digantikan oleh anak-anak kelas lima yang sekarang menjadi anak-anak kelas enam yang baru. Seperti anak-anak kelas enam yang sebelumnya, mereka juga mulai mengisi lapangan saat jam istirahat untuk bermain bola. Deraz mengamati mereka dari pinggir lapangan. Wajah-wajah baru, nama-nama baru, dan gaya bermain pun beda lagi.

Tibalah momen tujuh belasan. Wali Kelas mengumumkan bahwa sekolah akan mengadakan perlombaan. Ia hendak mendaftar anak-anak yang mau ikut. Deraz segera mengacung ketika Wali Kelas menanyakan siapa saja yang mau bergabung dengan tim sepak bola kelas. Karena duduk tepat di depan meja guru, maka ia langsung terlihat. Beberapa anak lain juga mengacung, tetapi sewaktu kelas empat mereka tidak sekelas dengan Deraz. Beberapa anak laki-laki yang sekelas dengan Deraz di kelas empat batal mengacung. Tetapi karena jumlah pendaftar kurang, Wali Kelas menunjuk mereka untuk ikut. Mereka menerima dengan terpaksa. Deraz menghafalkan wajah mereka semua.

Ketika ada kesempatan, Deraz mendekati mereka satu per satu. Ia memperkenalkan diri, memastikan bahwa mereka memang bergabung dengan tim sepak bola, lalu mengajak berlatih. Anak-anak yang sebelumnya tidak sekelas dengan Deraz mengiyakan saja. Tetapi anak-anak yang sudah pernah sekelas dengan Deraz menampakkan keengganan.

“Kita harus berlatih supaya menang,” kata Deraz.

“Iya, kan semuanya kamu yang ngegolin,” sahut mereka sinis.

No,” sahut Deraz. “Kita kerja sama dan pakai strategi. Karim, kamu suka nyundul jadi kamu bisa di bek. Brilian, kamu jago tekel. Kamu juga banyak lari-lari. Kamu bagus jadi gelandang. Supri,” Deraz memandang anak itu sejenak. Ia pernah berebut bola dengan anak itu di depan gawang lawan, padahal mereka satu tim. “Kamu larinya cepat dan pintar menerima umpan. Kamu penyerang.”

“Kamu sendiri jadi apa?”

“Saya …” Sudah beberapa hari ini Deraz mencoba berlatih bola lagi bersama Zara. Ia menyuruh Zara menendang bola sekuat-kuatnya dari berbagai jarak dan sisi dengan aneka gaya, yang tentunya ia ajarkan dulu. Sementara itu ia berusaha untuk menampik setiap tendangan dari adiknya itu dengan teknik-teknik yang dijabarkan dalam buku Sepak Bola: Langkah-langkah Menuju Sukses. “Saya jadi penjaga gawang.”

Anak-anak terkejut.

“Tapi nanti kalau kita lawan kelas enam gimana? Mereka kan badannya gede-gede! Kamu jadi penyerang ajalah, enggak apa-apa!”

Awalnya memang Deraz berpikir bahwa menjadi kiper akan membosankan. Kerjanya hanya berdiri di depan gawang dan mengamati pertandingan, walaupun itulah yang dilakukannya sehari-hari untuk mengisi jam istirahat yang sendiri. Tetapi, kalau ada kesempatan, sebetulnya Deraz ingin aktif berlarian juga. Tetapi kali ini Deraz punya tujuan lain. Timbul dalam pikirannya bahwa dengan menjadi kiper justru ia dapat melihat seluruh lapangan dan mengarahkan para anggota timnya. Lagi pula semakin ia mempelajari teknik-teknik menjadi kiper di buku, semakin ia penasaran ingin mencobanya. Kiper juga ternyata harus menguasai tendangan jauh.

“Yang penting kita berlatih dulu supaya tahu kekuatan masing-masing,” tegas Deraz.

Selanjutnya mereka berkumpul untuk menentukan tempat dan waktu latihan. Anak-anak merasa tergugah oleh keseriusan Deraz. Sewaktu di kelas empat, pada lomba sepak bola tujuh belasan mereka bermain asal saja. Saat itu kesempatan pertama mereka bermain bola di lapangan, di luar pelajaran Olahraga. Tetapi kini Deraz hendak mengarahkan mereka seolah-olah ia tahu segalanya. Ia bahkan sudah membelikan mereka bola untuk latihan.

Awalnya mereka bersepakat untuk berlatih pada jam istirahat. Lapangan tengah jelas-jelas tidak bisa digunakan karena sudah dikuasai anak-anak kelas enam yang baru. Mereka bergerak ke sisi sekolah tempat berangkal bertebaran, tetapi diusir penjaga sekolah yang tidak ingin ada kecelakaan lagi di situ. Mereka pindah ke pelataran sekolah yang sekaligus tempat parkir mobil guru, lalu dihalau oleh Pak Satpam karena khawatir akan ada kaca yang pecah kena lemparan bola.

“Gimana kalau pulang sekolah aja? Lapangan tengah mungkin kosong,” usul Supri.

“Tapi saya sudah dijemput mobil jemputan,” kata Deraz.

“Naik angkot ajalah!”

“Angkot?”

Rupanya semua anak di kelompok itu sudah pada naik kendaraan umum sendiri untuk pulang, kecuali Deraz. Ia bahkan baru tahu soal angkot.

“Kamu juga naik angkot atuh!” dorong anak-anak.

Sepulang sekolah, Deraz menghampiri sopir jemputan.

“Pak, saya mau pulang naik angkot. Saya mau latihan sepak bola dulu.”

Pak Sopir mengerutkan kening. “Memangnya tahu naik angkot apa?”

“Mmm …” Deraz kebingungan. Ketika melihat kendaraan hijau tua dengan pintu samping yang terbuka dan berisi banyak orang hendak melewati sekolah, ia menunjuk, “Yang itu.”

“Itu mah angkotnya ke Ledeng. Rumah kamu kan di Kawaluyaan.”

Ledeng? Apa itu? Di mana itu?

“Bilang dulu sama orang tuanya. Saya enggak mau tanggung jawab kalau nanti adiknya sampai hilang.”

Deraz menghampiri anak-anak dengan mangkel. “Tidak bisa hari ini. Saya tidak tahu naik angkot apa ke rumah.”

“Rumah kamu di mana?”

“Kawaluyaan.”

“Gampang itu mah. Entar bareng aja sama saya naik angkot ijo muda. Tapi saya turun duluan, soalnya rumah saya di Reog. Nanti kamu bilang aja ke sopirnya minta diturunin di Kawaluyaan.”

Deraz menyampaikan itu kepada Pak Sopir. Tetapi orang itu tetap menggeleng. “Pokoknya saya enggak mau tanggung jawab apa-apa kalau adiknya sampai kesasar. Pulang sekarang aja. Anak-anak lain udah pada naik.”

“Kalian latihan dulu saja. Saya harus bilang dulu sama orang tua,” kata Deraz akhirnya kepada anak-anak.

“Tapi tujuh belasan kan bentar lagi. Kalau enggak latihan dari sekarang, gimana?”

“Tidak apa-apa. Saya menyusul besok,” putus Deraz.

“Gimana sih, kan kamu yang ngajakin latihan?” kata Supri.

“Enggak apa-apa kali. Deraz kan udah jago mainnya. Emang kita yang butuh latihan.” Karim menepuk bahu Supri.

“Maksud saya bukan begitu.”

Pak Sopir memanggil Deraz dari kejauhan. Mobil jemputan hendak berangkat.

“Besok, ya.”

Setelahnya Deraz merasa malu pada anak-anak. Mereka sudah pada berani menaiki kendaraan umum sendiri dengan risiko hilang atau tersasar, sementara ia masih menumpang mobil jemputan. Ia tidak sabar menyampaikan ini pada Ayah dan Bunda.

Ketika kesempatan itu tiba, Ayah menjawab, “Ya, nanti kalau ada waktu, Ayah ajarin.”

“Tidak bisa. Saya harus latihan sepak bola sepulang sekolah besok. Tujuh belasan sebentar lagi.”

Ayah mengusap-usap kepala, tampak berpikir-pikir. “Besok ada latihan, lagi …” gumamnya kepada diri sendiri. Lalu ia melontar pertanyaan, “Dean atau Dede, besok ada yang mau nungguin Deraz latihan terus nganter ke tempat Ayah? Masih hapal kan jalannya? Deket kok.”

Zara mengerang. “Aku males nunggu ….”

Tiba-tiba Bunda menceletuk, “Besok bukannya ngaji sama Pak Karman?”

Deraz sampai lupa!

“Iya, besok kan ngaji sama Pak Karman, jadi aku enggak bisa,” imbuh Zara.

“Deraz enggak ngaji?” tanya Bunda.

Deraz menunduk. Situasi ini benar-benar sulit. Ia mengangkat kepala. “Tapi saya sudah janji sama anak-anak. Sekali ini saja. Setelah tujuh belasan, saya tidak akan absen mengaji lagi.”

“Zara, tolong bilangin atuh ke Pak Karman,” sahut Bunda.

“Iya, Bun!”

“Kalau gitu, Dean temenin Deraz. Kamu mah tara ngaji, kan?” kata Ayah. Zara selalu melapor apa pun kepada Ayah dan Bunda.

“Tiba-tiba Dean jadi pengin ngaji, Ayah,” ujar Dean. Walaupun kini mereka kembali sekelas, tetapi Dean masih memilih untuk duduk sebangku dengan anak lain.

Ayah berdecak. “Besok kamu nemenin Deraz latihan, ya. Habis itu anterin Deraz ke kantor Ayah. Sambil nemenin kamu sambil ngerjain PR. Daripada kalau di rumah, main terus. Kalau gitu, Dede besok bilang juga ke Pak Us-us, Dean sama Deraz enggak ikut dulu soalnya mau sama Ayah.”

“Iya, Ayah!”

“Loh, tapi besok juga jadwal Ayah latihan, kan?” ujar Bunda.

“Iya. Makanya itu anak-anak bakal sampai malam.”

“Dean, Deraz, besok sambil nunggu Ayah, sambil ngerjain PR, ya. Sambil belajar juga kalau ada ulangan,” kata Bunda.

Hanya Deraz yang mengiyakan.

Malam itu Deraz menulis surat kepada Pak Karman. Isinya permintaan maaf bahwa ia belum bisa mengaji dulu karena akan berlatih sepak bola untuk tujuh belasan. Ia menitipkan surat itu kepada Zara, sebelum adiknya itu masuk ke kamar hendak tidur.

Sepulang sekolah keesokan harinya, lapangan tengah ternyata digunakan untuk latihan marching band.

“Kalau gini, paling-paling kita latihan di taman,” kata anak-anak. Deraz menurut saja. Dean juga.

Begitu mereka sampai di taman, Dean menegur Deraz, “Kamu bawa Bobo?” Setelah mendapatkan Bobo, Dean duduk di dekat bangunan yang menyerupai kurungan ayam raksasa di tengah taman. Deraz dan kawan-kawannya mencari tempat yang lapang untuk berlatih. Meski begitu, sesekali latihan terganggu oleh orang yang lewat. Mereka juga tidak bisa menendang dengan leluasa karena khawatir mengenai orang atau sesuatunya.

Ketika sedang asyik-asyiknya bermain, tiba-tiba salah seorang di antara mereka terhenti. Ia memandang ke arah Dean. Kawannya mendekati dan ikut memerhatikan. Anak-anak yang lain pun pada berhenti, termasuk Deraz. “Ada apa?” tanyanya menghampiri anak-anak yang berkumpul melihat ke arah yang sama.

“Itu,” seorang anak menunjuk sambil berkata agak berbisik. Telunjuk anak itu tidak mengarah pada Dean yang sedang anteng membaca Bobo, tetapi ke beberapa meter di samping agak belakangnya. Agak tersembunyi oleh kurungan ayam raksasa, ada seorang lelaki mengenakan topi melihat pada Dean. “Lihat tangannya!” Walaupun berusaha menutupi dengan tas selempangnya, tetapi dari sisi Deraz dan anak-anak perbuatannya itu terlihat cukup jelas.

Deraz menyeringai. “Orang itu sedang apa?”

“Itu Om Pedo!” terang seorang anak sambil berbisik juga, walau sama-sama tidak mengerti yang sebenarnya dilakukan orang itu.

Deraz mengambil bola, berdiri di depan anak-anak, lalu menendangnya sekuat tenaga. Bola itu tepat mengenai muka Om Pedo, yang seketika terhuyung-huyung ke belakang.

Anak-anak tercengang.

“Wah, kalau gitu kamu emang cocok jadi kiper. Kamu bisa langsung nendang ke gawang lawan dari gawang kita.”

“Kita lihat saja,” sahut Deraz, sebelum meneriaki Dean supaya pindah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain