Minggu, 25 November 2018

(24)

Hari itu Deraz tidak ada dispensasi dan mendapat jadwal piket kelas. Seusai sekolah, dengan sukarela ia mengambil sapu dan mulai mengangkat kursi-kursi ke atas meja. Ketika sampai di mejanya sendiri dan mengangkat kursi Zahra, ia melihat sesuatu di kolong milik gadis itu. Rupanya itu sebuah buku berukuran setengah buku tulis namun tebal. Kovernya bergambar Teddy Bear.

Diary?

Memang kadang ia mendapati Zahra duduk memunggunginya. Kepalanya miring dan pundaknya naik seakan-akan membentengi apa pun yang tengah diperbuatnya itu. Rupanya gadis itu suka mencuri-curi kesempatan untuk menulis diary di kelas. Lalu diary miliknya tertinggal. Ceroboh sekali. Deraz menambahkan itu ke daftar kekurangan Zahra.

Ia mengedarkan pandang ke sekeliling kelas. Ada satu anak yang juga sedang menyapu di pojok kelas. Ada juga yang sedang memperbarui tulisan bismillah di atas papan tulis dengan gaya kaligrafi. Sembari mengawasi mereka, Deraz menyelipkan diary itu ke ranselnya.

Ia baru sempat membaca diary itu di rumah saat malam sebelum tidur. Kalimat pertama yang dibacanya: “Aku enggak suka sebangku sama Deraz!”

Kenapa?

Entri itu bertanggal akhir Juli, berarti tidak lama setelah mereka duduk sebangku.

 

Jadi deg-degan enggak jelas, jadi enggak bebas. Padahal Deraz juga enggak bakal ngeliatin aku. Biasa ajalah! Udah gitu, canggung lagi.

 

Ya, Deraz juga merasa canggung.

Malah akhir-akhir ini ia juga merasa deg-degan tanpa sebab.

Apakah itu artinya …

… mereka sehati?

 

Bosen baca buku pelajaran. Tapi enggak tahu juga mau ke mana pas istirahat. Enggak ada yang ngajakin jajan. Mau ngajakin jajan, malu, belum ada yang akrab. Jadi aja kalau ada PR, aku langsung kerjain pas istirahat.

 

Deraz tahu perasaan itu.

 

Deraz juga kalau istirahat suka di kelas dulu, makan bekel. Kayaknya dia enggak nyadar aku di sebelah dia. Kayaknya orangnya tuh fokus banget. Bacaannya aja The Jakarta Post. Terus kalau bekelnya udah habis, dia pergi.

 

Ternyata Zahra juga memerhatikan dia.

 

Untung aja dia jarang masuk.

 

Kok?

 

Padahal udah tahun kedua di SMANSON, tapi aku masih belum punya temen deket. Sekarang di kelas XI aku mesti cari temen baru lagi. Aku pengin punya temen, sahabat, tempat aku bisa cerita segala macam. Bukan cuman di diary. Diary enggak bisa nanggepin.

 

Deraz juga tahu ini.

 

Aku bisa mulai dari senyum. Apa susahnya sih? Ayo, semangat, Zahra!

 

Tetapi, kemarin-kemarin, sebelum Deraz mulai menghindari Zahra, tampaknya gadis itu dapat tersenyum lepas kepadanya. Aslinya, sebegini sulitnya?

 

Tadi aku senyum sama Muti. Muti selalu balas senyum aku. Tapi habis itu aku enggak tahu mesti ngapain. Jadi aja aku cuma duduk lagi, enggak ngelihat ke dia lagi.

 

Pengin coba senyum ke Deraz juga. Tapi malu, entar dikira genit.

 

Enggak, kok. Sama sekali enggak genit, Zahra. Malah … Deraz ingin melihat senyum itu lagi. Rasanya sudah lama sekali ia memalingkan muka dari gadis itu.

 

Alhamdulillah tadi pas istirahat aku diajak sama Muti ke masjid buat salat duha. Dia anak DKM. Cantik, baik, lembut. Aku pengin jadi anak DKM kayak dia deh. Terus aku kenalan juga sama Ria dan Anisa. Habis itu kita jajan. Kebanyakan aku masih diam aja sama mereka, habis enggak tahu mau ngomong apa. Kira-kira aku masih bisa enggak, ya, gabung sama DKM? Tapi boro-boro mau aktif di DKM, gaul sehari-hari aja udah berat. Tapi aku pengin cobain punya aktivitas, daripada cuman sekolah-rumah melulu.

 

Benar, kan. Zahra tidak aktif di ekskul mana pun. Tetapi DKM boleh juga. Itu artinya, ketika nanti OSIS berkegiatan bersama DKM, sebagaimana sudah direncanakan Deraz dalam beberapa program kerja Bidang I, ia bisa beraktivitas bersama Zahra di luar kelas. Ia bisa mendukung Zahra di DKM.

Deraz berdesah.

 

Ternyata enggak buruk-buruk amat sebangku sama Deraz. Dia suka pinjem PR, tapi dia mah enggak nyontek. Enggak kayak si Dean nyebelin itu tuh. Kalau Deraz tuh bener-bener pengin belajar. Aku jadi mesti sering nanya ke Mas Imin atau ke Mas Ardi supaya bisa jelasin kalau dia nanya soal.

 

Mas Imin, Mas Ardi … apakah mereka kakak yang pernah Zahra sebut itu?

 

Bener sih kata Dean, kelas XI pelajarannya makin susah. Tapi kayaknya itu enggak masalah kalau ada motivasi belajar mah. Alhamdulillah sih jadinya aku sebangku sama Deraz soalnya semangat belajar aku jadi tinggi. Padahal pas kelas X asa enggak segininya.

 

Apalagi pas ulangan. Rasanya seneng aja pagede-gede nilai sama Deraz. Mukanya dia lucu gitu kalau pas ngebandingin nilai.

 

Deraz merasa wajahnya memanas.

 

Aku jadi tambah deg-degan. Apalagi kalau lihat lesung pipit dia.

 

Jaga perasaan, Zahra, jaga perasaan!

 

Jangan ke-GR-an!

 

Memang katanya Deraz enggak pacaran. Tapi, ya, nyadar diri ajalah. Aku mah enggak pantes buat dia. Tipenya dia mah yang high class gitu. Lagian hampir semua cewek suka dia.

 

Tapi kalau aku nunduk supaya enggak ngelihat dia, dia malah ngangkat wajah aku pakai alat tulis, malah pernah pakai koran segala. Bener sih kata dia, kalau ngomong tuh sambil lihat lawan biacara. Tapi kan aku enggak kuaaat!!! Aku pengin jaga pandangaaan!!!!!!

 

Deraz menemukan satu halaman yang penuh oleh gambar seraut wajah. Agaknya Zahra berusaha menggambar wajah Deraz. Deraz merasa dapat menggambar potret dirinya dengan lebih baik, tetapi usaha Zahra boleh juga. Gadis itu bahkan tidak melewatkan tahi lalat kecil di sudut mata kiri Deraz.

Adakah detail pada wajah Zahra yang Deraz lewatkan dalam bayangannya? Seketika Deraz ingat pada gigi taring Zahra yang gingsul.

Deraz mau digigit.

Aduh.

Deraz sampai pada September.

 

Kenapa, ya, Deraz jadi jutek gitu? Aku jadi enggak enak. Aku enggak tahu bikin salah apa. Apa aku jelek? Jangan-jangan aku bau, tapi … enggak ah. Aku selalu ganti seragam tiap hari. Kerudung juga aku ciumin dulu kalau-kalau bau, tapi enggak.

 

Apa gara-gara nilai Kimia aku kemarin lebih gede daripada dia? Sama nilai Biologi? Kewarganegaraan? Dia kayaknya enggak seneng kalau nilai ulangan aku lebih gede daripada dia. Tapi masak aku salah-salahin jawaban aku supaya dia seneng?

 

Terus kalau memang aku jelek, memangnya aku bisa apa? Wajah aku dari dulu udah kayak gini.

 

Kadang dia kayak ngeliatin aku. Apa cuma aku yang GR, gitu? Ih, aku pasti cuma GR. Aku mah apa. Tapi ekspresinya dia kalau ngeliatin aku kayak sebel gitu. Kalau sebel, kenapa mesti ngeliatin coba?!?!

 

Dia masih nge-SMS sih. Cuman buat tanya-tanya ada PR atau ulangan apa enggak.

 

Tanggal baru.

 

Padahal aku cuman pengin nyapa biasa aja ke dia. Biasanya juga dia yang negur aku duluan. Tapi kenapa dia sok cool banget kayak gitu? Geuleuh!!!

 

Geuleuh.

 

Jadi kayak lagu dangdut aja. Kau yang memulai, kau yang mengakhiri!

 

Lagu dangdut yang mana? Zahra ternyata penggemar dangdut? Itu kelebihan atau kekurangan?

 

Bisa ganti temen sebangku enggak, ya? Memang siapa yang mau sebangku sama aku?

 

Deraz mau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain