Jumat, 23 November 2018

(22)

Pada tahun ajaran baru Deraz mendapatkan kelas XI IPA 9. Pada hari pertama kegiatan belajar mengajar efektif ia terlambat datang ke sekolah. Ban sepedanya gembos dalam perjalanan pergi, sehingga ia baru masuk pada pelajaran kedua. Saat itu semua bangku di kelas sudah ditempati, kecuali satu di paling depan tepat di hadapan meja guru serta di paling belakang. Deraz otomatis menempati bangku paling depan.

Dua bulan pertama di kelas XI sangat penuh kesibukan.

Seiring dengan berlalunya MOS dan menjelangnya pergantian kepengurusan OSIS, banyak laporan pertanggungjawaban yang harus dibuat. Deraz juga harus mulai menyiapkan rancangan program kerja untuk Bidang I.

Selain itu, sama-sama ada penyisihan untuk sepak bola dan debat.

Tim sepak bola SMANSON mengikuti Piala Coca Cola walau harus bertanding di Jakarta, dan Deraz termasuk ke jajaran pemain inti.

Sementara itu, ada seleksi debat tingkat regional. Tahun lalu Deraz gagal lolos ke tingkat nasional, sehingga tahun ini ia mesti mengulang tahapan seleksi dan sangat bertekad untuk berhasil menembusnya bahkan sampai ke tingkat dunia.

Ketika Deraz mengurus MOS, Renata terbang ke Wales untuk mengikuti WSDC. Sebelum Renata berangkat, mereka masih sempat bertemu. “Promise me, next year is your turn,” kata Renata pada Deraz.

I promise,” kata Deraz sungguh-sungguh. “God willing.”

Maka hari-hari Deraz pun dipenuhi oleh bekerja, bekerja, bekerja, dan latihan, latihan, latihan, serta dispensasi, dispensasi, dispensasi. Adakalanya jadwal latihan debat bentrok dengan rapat OSIS, atau latihan sepak bola berbarengan dengan kursus bahasa Jerman. Kalau itu terjadi, Deraz mesti memilih yang satu dan menambal yang lain dengan bekerja, belajar, atau berlatih sendiri kapan pun ia sempat untuk mengejar ketinggalan. Itulah gunanya punya PDA dan Deraz biasanya berhasil mengikuti jadwal yang ditetapkannya sendiri. Ia penuh semangat untuk mencapai semuanya. Ia juga enteng saja menolak ajakan teman-temannya untuk begini begitu atau ke sana kemari jika waktu mereka tidak sesuai dengan agendanya. Waktu kosong pasti ada nanti, teman bisa dicari—ada begitu banyak orang di dunia ini.

Di samping itu, AFS masih membuatnya ketar-ketir. Deraz merasa optimistis telah menjalani tahapan seleksi yang sudah-sudah dengan sebaik-baiknya.

Untuk tes pengetahuan umum, ia membaca koran, majalah, dan RPUL kapan pun sempat.

Untuk pertunjukan bakat, ia meminta bimbingan Ipong karena hendak membawakan lagu dengan gitar diiringi nyanyian. Ipong menyanggupi permintaan itu dengan sebaik-baiknya, malah disertai dukungan mental. “Lu tuh kalau debat aja lantang, koar-koar, tapi kalau nyanyi kayak Chiki yang kelamaan dibuka, udah gitu ketumpahan cakue!” Ipong tahu saja Deraz jijik dengan cakue.

Ketika wawancara, dengan mantap Deraz menjawab negara tujuannya adalah Jerman. Kalau bukan Jerman, Austria atau Swis.

"Lo, itu kan negara berbahasa Jerman semua?" tanya kakak pewawancara.

"Saya ingin menyempurnakan bahasa Jerman saya. Cita-cita saya ingin menjadi Habibie di bidang kedokteran. Selepas SMA saya akan kuliah di sana. Oleh karena itu saya ingin mengenalnya dari sekarang supaya bisa mempersiapkan diri lebih baik dalam studi," jelas Deraz dengan tegas.

"Kamu enggak ingin melihat tempat yang lain dulu sebelum tinggal di Jerman atau sekitarnya?"

"Saya orang yang fokus."

Kakak pewawancara manggut-manggut. "Kamu tahu di negara-negara Amerika Latin juga ada koloni berbahasa Jerman. Kalau misalnya kamu dapatnya di negara sana, gimana? Kan di sana juga kamu tetap bisa mempraktikkan bahasa Jerman kamu."

"Memang. Saya menyerahkan keputusan akhir pada pihak AFS. Tapi prioritas saya tetap.”

Namun masih ada seleksi tahap nasional dan internasional. Sehabis WSDC, Renata akan berangkat ke Brasil lewat program AFS. Kalau Renata dan abangnya saja bisa mendapatkan kedua kesempatan itu, kenapa Deraz tidak?

Tentu saja Deraz tidak lupa berdoa tiap habis salat.

Ya Allah, izinkanlah Deraz bertemu Bruno lagi, walau untuk terakhir kali.

Ia pernah membaca artikel tentang anjing gembala Jerman yang menyatakan bahwa rentang hidup makhluk itu hanya sembilan sampai tiga belas tahun. Jika ia meninggalkan Bruno ketika usianya tiga tahun, maka sekarang anjing itu sudah sepuluh tahun. Jika ia berhasil lolos seluruh seleksi AFS, mendapatkan Jerman, dan berangkat tahun depan, berarti Bruno akan berusia sebelas tahun.

Mungkinkah Bruno masih hidup?

Belum lagi kursus bahasa Jerman dan latihan band.

Oh, sibuknya, Deraz sibuk sekali.

Karena itu penting bagi Deraz untuk mengenal teman sebangkunya, yang ternyata perempuan berjilbab. Tetapi gadis itu menunduk terus, seakan-akan tidak mau melihat Deraz. Suaranya saja lirih. Yang penting Deraz punya nomor ponselnya, supaya tidak ketinggalan informasi di kelas.

“Nama kamu?”

“Zahra.”

“Zahra,” ulang Deraz. Namanya seperti adik Deraz. Mudah-mudahan untuk seterusnya tidak tertukar. “Eh, kayaknya kamu … familiar deh.”

“Maksudnya?”

“Mungkin kita pernah ketemu di mana gitu.”

“Kita kan satu sekolah.”

“Bukan, maksudnya ….”

“Kita satu gugus.”

“Oh, kamu gugus satu juga?”

“Iya.”

Gadis itu tersipu tiap kali bersuara.

“Oh, iya, ya.”

Deraz teringat bahwa sepertinya ia memang pernah melihat Zahra berada di sekitarnya selama MOS. Gadis itu selalu menunduk. Kalaupun wajahnya terlihat, ia tampak murung, seakan-akan menyesali kejatuhan Nabi Adam dari surga. Kadang juga wajah itu kebingungan, seolah-olah ia sendiri yang baru dilempar ke dunia jahanam.

Ketika Dean mampir ke XI IPA 9 saat jam istirahat, barulah Deraz menyadari bahwa Zahra sekelas dengan saudaranya itu sewaktu di X-7. Kadang Deraz menghampiri Dean ke sana. Malah sepertinya Dean pernah sebangku dengan Zahra. Ketika mendapati kali ini Deraz yang sebangku dengan Zahra, Dean semringah.“Wah, perfect couple!”

Ia duduk di meja di samping meja Deraz. Sembari mengunyah sebagian roti Deraz, ia mencerocos, “Kamu beruntung, Yaz, sebangku sama Zahra. Dia itu cewek paling pintar dan rajin sedunia! Kalau ada PR, nanya aja sama dia, Yaz. Belajar bareng, gitu.” Lalu ia membentangkan buku pelajaran dan buku tulisnya di hadapan Deraz. “PR Akuntansi pertama nih. Kamu ngerti, kan? Hitung-hitungan, da.”

Deraz mengernyit membaca soal-soal di buku pelajaran. Ia menoleh pada Zahra dan kaget mendapati gadis itu cemberut maksimal.

“Kamu mah enggak berubah, Dean,” ucap Zahra penuh benci.

“Kelas XI pelajarannya makin susah!” sahut Dean ceria.

Baru kali ini Deraz sebangku dengan perempuan. Rasanya canggung. Zahra sama sekali tidak ceriwis seperti Ipong. Apalagi ketika cuma mereka berdua di kelas. Tiap jam istirahat, Deraz ingin makan bekalnya dulu sambil membaca The Jakarta Post. Rupanya gadis itu juga tidak ke mana-mana.

“Kamu enggak jajan?” tegur Deraz.

Gadis itu menggeleng seraya tersipu.

Setelah menghabiskan bekalnya, Deraz keluar dari kelas sampai jam istirahat berakhir.

Tiap kali waktu dispensasi akan berakhir dan esoknya Deraz harus masuk sekolah lagi, ia menanyakan kabar di kelas pada Zahra: PR, tugas kelompok, ulangan, dan kemajuan pelajaran.

Ia suka meminjam PR Zahra untuk dibandingkan dengan punyanya. Kerap kali Zahra mengetahui pemecahan soal-soal yang sulit dan menjelaskannya kepada Deraz.

“Wah, kamu pintar, ya,” puji Deraz.

Zahra tersipu. “Nanya ke kakak kok.”

Tidak hanya itu. Catatan Zahra juga super lengkap dan rapi, komplementer yang sempurna bagi buku pelajaran. Malah Zahra suka membuat rangkuman sendiri yang ditulisnya dengan pulpen atau spidol warna-warni dan dihiasi dengan Stabilo atau stiker-stiker kecil nan lucu pada lembaran kertas HVS atau folio. Jika ada yang salah tulis, ia menggunakan correction tape alih-alih correction pen supaya lebih rapi. Bahkan kertasnya pun berwarna-warni. Lembaran kertas itu dilipat dan disisipkannya pada buku catatan pelajaran yang bersangkutan. Belum lagi jika itu pelajaran eksakta. Zahra membuat kumpulan soal beserta cara pemecahannya sampai sedetail mungkin.

“Wah banget,” Deraz kehabisan kata.

“Biar aku sendiri ngerti sama semangat belajarnya,” kata Zahra.

“Pinjam semuanya, ya. Mau difotokopi.”

Belum lagi ketika ada ulangan. Ketika masih ada waktu sebelum ulangan, mereka menyempatkan diri untuk membahas bagian-bagian yang sulit. Malah kadang Zahra mengajukan pertanyaan seperti yang hendak menguji hafalan atau pemahaman Deraz. Tentu saja Deraz membalasnya. Ketika Deraz mendapat nilai ulangan yang lebih besar daripada Zahra, ia tersenyum puas sedang gadis itu memandangnya dengan menyipitkan mata seakan-seakan tidak terima. Ketika yang terjadi sebaliknya, Deraz terus-terusan membandingkan jawabannya dengan milik Zahra memikirkan kesalahannya sedang gadis itu tersipu kegelian.

Deraz merasa senyum Zahra menyeretnya ke masa silam, ketika ia masih dapat menemani Oma Buyut menyirami bunga di kebun. Ada satu bunga yang sangat Deraz sukai, yang menurutnya menyerupai bintang. Warnanya putih, putiknya kuning, dan harumnya menyamankan. Deraz suka membelai-belai kelopak bunga itu dari pangkal ke ujung.

“Oma, ini bunga apa namanya?”

Oma Buyut menoleh. “Oh, itu bunga lili.”

Deraz menghirup aroma bunga itu lagi.

“Deraz suka? Boleh petik. Nanti taruh di jambangan.”

“Terima kasih, Oma.”

“Sama-sama, Deraz.” Oma Buyut tersenyum.

Oma Buyut lalu membantu Deraz mengambil beberapa tangkai bunga itu. Setelah ditata di jambangan, Deraz menaruh bunga itu pada bufet di seberang tempat tidurnya. Saat malam, ia memandangi bunga itu sembari tercium samar-samar wanginya. Sampai ia terlelap dan terlena oleh mimpi. Ketika ia membuka mata saat pagi, bunga itu yang pertama-tama tampak dalam pandangannya.

Tiap kali Zahra menunduk, yang sering sekali terjadi, Deraz mengangkat dagu gadis itu dengan pensil, pulpen, gulungan The Jakarta Post, atau apa pun yang kebetulan dipegangnya.

“Kalau bicara, lihat orangnya. Kalau enggak nyaman lihat mata, kamu bisa lihat kening, hidung, atau dagu. Pokoknya lihat lawan bicara kamu,” mendadak Deraz jadi pakar etiket di depan Zahra.

Padahal ia hanya ingin melihat senyum itu lagi.

Dan lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain