Jumat, 02 November 2018

(1)

Sejak hari pertama menjejakkan kaki di sekolah, Deraz sudah menarik perhatian. Bukan saja karena ia calon siswa baru.

“Dean, itu siapa?” tanya anak-anak ketika Dean tiba di sekolah. Mereka melihat Deraz yang berbaju bebas digandeng Bunda ke ruang kepala sekolah. Deraz tampak menyerupai Dean. Keduanya bertubuh sama jangkung, berkulit sama putih, dan berambut sama kecokelatan. Hanya saja rambut Deraz seperti rumput, sedang rambut Dean bak serutan kayu.

“Itu saudara kembar aku,” kata Dean.

“Hah, kamu punya saudara kembar?!”

Tentu saja Deraz tidak langsung bersekolah hari itu. Ayah dan Bunda menjelaskan pada kepala sekolah bahwa selama ini Deraz dibesarkan oleh Oma-Opa Buyutnya di Jerman dan baru kali ini berada di Indonesia. Sebelumnya ia lahir dan tinggal di Amerika Serikat karena saat itu Bunda masih menyelesaikan studi di sana. Deraz lalu diwawancara dan dites. Hasilnya, Deraz dianggap mampu mengikuti kelas yang sama dengan Dean. Kembarannya tersebut sudah bersekolah di SD itu sejak awal kelas satu.

Keesokan paginya, Dean menarik tangan Deraz ke kelas. Anak-anak langsung menyambut keduanya dan mengajak Deraz berkenalan. Teringat ketika dulu mereka berkenalan dengan Dean di kelas satu. Dean selalu tersenyum lebar. Celotehannya yang bercampur antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris menggelikan, tetapi Dean ikut tertawa ketika mereka menertawakannya. Anak-anak langsung merasa nyaman dengan Dean. Deraz lain sama sekali. Ia menyambut uluran tangan anak-anak tanpa tersenyum dan terlihat malas menyebut namanya sendiri.

“Putra, aku sebangku dulu, ya, sama Deraz,” kata Dean pada teman sebangkunya.

“Tapi kamu yang pindah, ya!” sahut Putra.

“Oke!” ujar Dean sambil mencari-cari bangku yang kosong dan menemukan tempat tepat di depan meja guru. “Deraz, kamu di deket dinding, ya.”

Deraz menurut saja. Ia juga mengikuti ketika setelah bel berbunyi tiba-tiba ada yang mengomando, “Siap, beri salam!”

Anak-anak serempak berdiri tegak. “Selamat pagi, Pak Guru!” ucap mereka kompak.

Seorang bapak-bapak berseragam yang masuk menjawab salam. Lalu ia meletakkan buku-buku pada meja di depan meja Deraz dan Dean. Ia kaget mendapati Dean duduk tepat di hadapannya. “Oh, Dean nemenin saudaranya, ya.”

“Iya, Pak,” ujar Dean ceria.

“Nah, Deraz, mau memperkenalkan diri di depan kelas?”

Dean menoleh pada Deraz dan memberikan senyuman mendukung. Ia lalu beranjak dari bangku untuk memberi jalan pada saudaranya.

Deraz berdiri di depan kelas dan memandang anak-anak yang menatapnya. Bukankah mereka sudah pada mengajaknya berkenalan tadi? Dengan gugup ia mengulang menyebutkan namanya, nama lengkapnya. Setelah itu, ia tidak tahu lagi yang mesti dikatakan. Pak Guru memancing dengan meminta Deraz menceritakan tentang tempat asalnya, hobinya, dan sebagainya. Deraz berusaha mencerna setiap kata yang diucapkan Pak Guru. Ia berusaha menjawab setiap permintaan Pak Guru, tetapi tiap sebentar ia harus berhenti untuk mencari kata-kata dalam bahasa Indonesia. Sesekali ia kelepasan mengeluarkan kata dalam bahasa Jerman. Ia memerhatikan anak-anak saling berbisik. Tertangkap olehnya, “Ngomongnya aneh, ya.” Deraz terdiam dan menunduk.

“Ada lagi, Deraz?”

Deraz menggeleng. Pak Guru menyuruhnya duduk.

Bahkan ketika pelajaran sudah dimulai, Deraz merasakan mata anak-anak terus terarah padanya. Ia tidak bisa berkonsentrasi pada perkataan Pak Guru. Dean malah lempar-lemparan kertas dengan teman-teman di belakangnya, berhenti sebentar ketika Pak Guru menegur, lalu meneruskan perbuatannya. Deraz membuka-buka buku pelajaran, memerhatikan yang dituliskan Pak Guru pada papan tulis, tetapi tidak ada yang masuk ke kepalanya. Ada begitu banyak kata dalam bahasa Indonesia yang tidak ia mengerti. Padahal biasanya ia menyukai Matematika. Sewaktu tinggal di rumah Opa Buyut, tiga kali seminggu ia mendatangi tetangga yang pensiunan Guru Matematika untuk minta pelajaran. Malah ketika bukan hari Matematika, Deraz mengerjakan PR yang diberikan dengan rajin. Kini ia harus berbagi guru dengan banyak anak lain yang pada berisik.

Ketika jam istirahat, anak-anak kembali merubung bangku Dean dan Deraz.

“Deraz, kamu ngomong lagi dong,” pinta anak-anak.

Dean menoleh pada Deraz, namun kembarannya menggeleng.

Atuhlah, Deraz ….”

“Deraz, kamu bener punya anjing?”

“Tapi kan anjing najis, Deraz?”

“Deraz, kamu Islam bukan?”

“Deraz, kamu bisa bahasa Jerman, atuh?”

“Deraz, kenapa kamu suka ngelihatin burung?”

“Deraz, Dean pipisnya berdiri, enggak?”

Pertanyaan anak-anak banyak sekali. Dean berusaha menjawab untuk Deraz dengan gurauan serta gayanya yang asal-asalan, tetapi anak-anak menampiknya. “Jangan kamu yang jawab atuh, Dean!”

“Eh, Deraz, kamu belum jalan-jalan keliling sekolah, kan?!” ucap Dean tiba-tiba.

Bahkan ketika Dean mengajaknya berkeliling sekolah, Deraz mendapati mata-mata melirik padanya. Kenapa ada banyak sekali orang di sini? Di mana-mana orang. Ketika dalam perjalanan antara rumah dan sekolah tadi pun di mana-mana rumah, di mana-mana bangunan, di mana-mana mobil.

Guru pada mata pelajaran setelah istirahat sangat memerhatikan Deraz.

“Ayo, Deraz, dikeluarkan buku dan alat tulisnya.”

“Udah dicatat, Deraz?”

“Deraz ngikutin dulu aja, ya.”

“Deraz mengerti?”

“Deraz, mau coba baca teks di halaman dua tujuh?”

Deraz mengerutkan kening menyoroti kata demi kata yang ada pada buku pelajaran Basa Sunda. Hampir semua kata asing baginya.

Pelajaran jadi terasa lebih lambat. Anak-anak harus menunggu Deraz mengeluarkan buku dan alat tulisnya. Mereka harus menunggu Deraz selesai mencatat. Mereka harus menunggu Bu Guru yang menunggu apakah Deraz akan mengangguk atau menggeleng. Mereka harus menunggu Deraz menyelesaikan membaca satu paragraf dengan susah payah. Meski begitu, yang terakhir menjadi hiburan tersendiri bagi anak-anak. Mereka mengikik tiap kali Deraz bertemu huruf “ē” atau “eu”, sementara Bu Guru dengan sabar membetulkannya.

Saat pergantian pelajaran, terdengar anak-anak menirukan kata-kata yang tadi keliru Deraz ucapkan. Dean tersenyum mendengarnya dan heran melihat raut Deraz yang masam.

Pelajaran berikutnya yaitu Agama Islam. Ketika guru masuk, anak-anak serempak mengucapkan, “Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh!” yang baru kali itu Deraz dengar. Di akhir pelajaran, anak-anak bergiliran menyetor hafalan juz Amma pada guru. Dean menyimak temannya yang sedang melatih hafalan, sementara kepala Deraz berputar melihat bacaan dalam bahasa Arab yang hurufnya melingkar-lingkar.

Ada saja anak yang usil menegur, “Deraz, kamu udah hapal sampai surat apa?”

“Saya tidak tahu,” ujar Deraz pasrah.

“Deraz, kamu enggak hapal surat apa-apa?”

Bertambah anak-anak yang menatapnya dengan heran.

“Deraz, kamu Islam bukan sih?”

Uh, apa sih dari tadi Islam-islam? Surat yang ia tahu cuma surat yang ia kirimkan pada sahabat pena serta keluarganya di Indonesia, dulu sewaktu ia tinggal bersama Oma-Opa Buyut.

“Dean, Deraz Islam bukan sih?”

“Deraz mah Islam kayak aku,” terang Dean.

 

Ketika di rumah saat makan malam Ayah dan Bunda menanyakan hari pertama Deraz di sekolah. Deraz masih melanjutkan aksi bisunya, sehingga Dean yang bercerita. Ayah dan Bunda mendengarkan Dean dengan raut serius.

“Enggak apa-apa, ini kan baru hari pertama,” kata Ayah.

Ini baru hari pertama.

Bunda menambahkan, “Nanti Bunda carikan guru ngaji, ya.”

“Sementara ajarin dulu sok sama Dede.” Ayah menoleh pada Zara, adik Deraz dan Dean.

“Iya, Ayah!” gadis berambut lurus sebahu itu mengangguk dengan semangat.

Setelah makan malam, Zara menghampiri Deraz sambil mendekap buku Iqro’ jilid pertama. “Kak Deraz, aku ajarin Iqro’, yuk!”

Deraz menatap adiknya yang baru duduk di kelas dua SD itu. Anak sekecil itu mau mengajari dia? “Nanti saja,” Deraz melengos.

 

Ketika tengah malam, Deraz terbangun dari tidurnya hendak ke kamar mandi. Dalam kegelapan ia melihat cahaya menyorot dari celah pintu kamar Ayah dan Bunda yang terbuka sedikit. Ia mendekat hingga dapat menangkap dengan cukup jelas,

“Sementara di sekolah internasional aja. SMP baru dimasukkan ke sekolah negeri,” suara Bunda.

“Lama-lama juga terbiasa. Lihat Dean sama Zara. Mending dari sekarang diajar berbaur. Makin gede, makin susah,” tanggap Ayah.

“Tapi Deraz kan lain, Ayah.”

“Sekolah internasional itu—“

Deraz berbalik ke kamar mandi. Ia ingin segera tidur lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain