Senin, 05 November 2018

(4)

Deraz mendekati Bunda yang sedang duduk di ruang tengah. Bunda tampak sibuk mengerjakan sesuatu dengan laptopnya.

“Bu,” panggil Deraz.

“Ya, sayang,” Bunda menoleh.

“Saya ingin pulang.”

Bunda tercengang. Ia menyuruh Deraz duduk di sampingnya.

“Pulang ke mana? Rumah Deraz kan di sini.”

Sesaat Deraz diam, lalu berkata, “Anjing saya.”

“Anjing?” Bunda teringat sewaktu mereka meninggalkan rumah Opa Buyut. Ada seekor anjing herder mengejar mobil yang mereka tumpangi. Di jok belakang Deraz berlutut menghadap ke kaca. Ia terus memandangi anjing itu hingga tidak terlihat lagi.

“Ada apa?” Ayah masuk ke ruang tengah dan duduk di kursi dekat mereka.

“Deraz ingat sama anjingnya,” kata Bunda.

“Kasih makan aja itu kucing di luar. Kan ada banyak. Nanti juga datang ke sini terus,” ujar Ayah.

“Kucing di luar mah jelek-jelek, Ayah,” tiba-tiba Zara menimbrung. “Aku penginnya kucing persia.”

“Barang-barang saya,” tambah Deraz kemudian. Ia ingat pada buku-buku kesayangannya, teropongnya, alamat para sahabat penanya, jurnal-jurnalnya.

“Barang-barang apa? Beli di sini saja yang baru,” kata Bunda. “Deraz mau apa? Nanti dibelikan.”

“Kapan kita ke sana lagi?” tanya Deraz.

“Kapan-kapan,” sahut Ayah.

Deraz kembali ke kamar. Ia menulis surat seperti dulu ia menulis surat untuk keluarganya di Indonesia juga para sahabat penanya. Tetapi kali ini ia menujukannya untuk Olga, Günther, bahkan Bruno meskipun ia tahu anjing itu tidak akan dapat membacanya. Dalam surat untuk Olga, ia meminta wanita itu supaya membacakan suratnya untuk Bruno.

Setelah selesai, Deraz menyerahkan surat-surat itu pada Bunda. Tentu saja Bunda bertanya-tanya kepada siapa saja Deraz hendak mengirimkannya.

“Kirim saja,” kata Deraz.

“Iya, nanti Bunda kirimkan,” Bunda mengalah.

Deraz terus menanyakan surat-surat itu hingga Bunda benar-benar mengirimkannya.

Deraz juga terus menanyakan kapan, kapan, dan kapan. Ia berterus terang ingin membawa Bruno kemari. Ayah terkesiap mendengarnya. “Di sini enggak boleh pelihara anjing,” kata Ayah.

“Kenapa?” Ia ingat anak-anak di kelas mengatakan bahwa anjing itu “najis”.

“Najis” itu apa?

“Kotor,” sambung Ayah.

Tetapi Bruno tidak kotor. Deraz suka memandikan Bruno bersama Olga minimal seminggu sekali, bahkan membersihkan giginya dengan sikat.

“Kucing aja,” kata Ayah.

“Jadi beli kucing persia, Yah?” tanya Zara.

“Tamagotchi kamu aja jarang dikasih makan,” sahut Ayah.

“Ah, Ayah, da enggak beneran itu mah, enggak rame,” Zara merajuk.

Sok itu Kak Deraz diajarin Tamagotchi,” suruh Ayah.

Deraz mulai menyadari bahwa kapan-kapan itu berarti tidak akan pernah. Orang tuanya tidak akan pernah membawanya kembali ke sana. Bunda bahkan tidak kunjung sempat membawanya berziarah ke kubur Oma Buyut. Padahal sewaktu di pesawat Bunda bilang, “Nanti di Indonesia Deraz bisa nengok makam Oma Buyut kapan aja.” Tetapi ternyata Oma Buyut dikuburkan di pemakaman keluarga di luar kota, yang berjarak dua-tiga jam dengan mobil. Ketika diingatkan, Bunda selalu berkata, “Nanti, ya, belum ada waktu.”

Ketika Dean tidak ada di kamar, Deraz menarik kopernya ke luar dari bawah tempat tidur. Ke dalam koper itu ia menambahkan setiap lembar uang jajannya. Tumbuh angan-angan Deraz bahwa suatu saat jumlah uang itu akan mencukupi untuk dibelikan tiket pesawat ke Jerman. Ia akan kembali tinggal di rumah Opa Buyut di kaki bukit, dan hidup bahagia bersama Bruno untuk selama-lamanya.

Tetapi Dean mulai mengambili uang jajannya.

“Yah, Deraz, uang jajan aku habis. Pinjem dulu dong,” kata Dean dengan bibir berlepotan saus cakue. Deraz menampakkan keengganannya, tetapi Dean terus membujuk. “Sayang tahu uangnya kalau enggak pernah dijajanin.”

Huh, jangan bilang kalau uang itu juga akan menangis karena tidak dihabiskan!

Dean tidak bilang begitu. Tetapi melihat paras Dean yang kelaparan padahal baru melahap empat bungkus cakue, Deraz merasa tidak tega. Ia pun memberi sebagian uangnya pada Dean, yang segera disambut dengan sorak gembira.

Kebiasaan itu berlanjut sampai di rumah. Tampaknya Dean diam-diam menghitung uang jajan Deraz. Deraz tidak pernah jajan dan cuma memberikan sebagian uangnya pada Dean. Itu artinya masih ada sebagian lain uang Deraz.

Ketika emang bakso lewat di depan rumah, Dean berlari pada Deraz. Saat itu hanya ada mereka berdua, Zara, dan Bik Odah—pembantu yang tidak ikut tinggal di rumah itu. Zara sudah belajar untuk mempertahankan sisa uangnya mati-matian jika diminta Dean, sedang Dean sudah diberi tahu Bunda berkali-kali untuk tidak meminta jajan pada Bik Odah.

“Deraz, aku mau beli bakso. Uang kamu masih ada, kan?”

Deraz diam saja. Tentu saja Deraz tidak mau memberikan uangnya, tetapi Dean memasang wajah yang mengingatkan dia pada Bruno ketika sedang lucu-lucunya. Deraz menggeram. “Berapa?!” Dean tersenyum lebar dan menyebutkan jumlah uang yang ia perlukan. Deraz menyuruh Dean keluar dari kamar dulu dan menutup pintu. Sembari mengeluarkan koper, Deraz terus mengawasi pintu untuk memastikan Dean tidak membukanya dan mengintip.

Kejadian itu berulang lagi, lagi dan lagi. Malah entah bagaimana akhirnya Dean tahu bahwa Deraz menyimpan uangnya dalam koper di bawah tempat tidur. Ia bahkan meminta Deraz untuk membukakan kunci koper itu.

Use your own money!” Deraz geregetan.

“Tapi emang baksonya udah nungguin …!” rengek Dean sambil menjejak-jejakkan kaki.

Nooo …!”

Please ….”

Terlambat. Deraz sudah telanjur melihat wajah memelas Bruno kecil pada Dean.

“Berapa!?”

Dean menyebutkan jumlah uang dengan jari-jarinya.

“Kamu keluar dulu!”

Dean menurut dengan senyum semringah.

Sementara Dean menikmati semangkuk bakso, Deraz menekuk lutut di samping kopernya. Kalau begini terus, kapan uangnya akan cukup untuk membeli tiket?

Ketika berdiri, dari jendela ia melihat sepeda Dean terparkir di teras belakang. Ia belum pernah melihat Dean menggunakan barang itu, tetapi dalam perjalanan pergi-pulang sekolah kadang ia mendapati ada orang yang mengendarainya.

Tetap saja ia membutuhkan kendaraan lain untuk menyeberang dari pulau ke pulau, jika ia hendak bersepeda sampai ke Jerman. Mungkinkah harga tiket feri lebih murah daripada pesawat? Ia mengingat-ingat globe di perpustakaan Opa Buyut. Opa Buyut pernah menunjukkan pada Deraz bahwa mereka tinggal di satu titik di daratan Eurasia yang sangat luas, sementara keluarganya tinggal di pulau kecil bernama Jawa yang letaknya di bawah globe. Antara Eurasia dan Jawa terdapat pulau yang sedikit lebih besar bernama Sumatra. Feri itu kapal untuk menyeberang laut dalam jarak pendek, seperti yang pernah dinaikinya sewaktu Opa-Oma Buyut mengajaknya berjalan-jalan ke Laut Baltik. Jadi untuk menyeberang langsung dari Jawa ke Eurasia sepertinya terlalu jauh jika menggunakan feri. Maka dari Jawa Deraz bisa menyeberang dulu ke Sumatra dengan feri, kemudian dari ujung Sumatra ke Eurasia menaiki feri lagi. Selebihnya Deraz bisa mengendarai sepeda. Deraz tertegun oleh idenya sendiri.

Tetapi perasaan mendorongnya untuk keluar dari kamar. Sambil menggiring sepeda itu ke luar rumah, Deraz berkata pada Dean, “Saya pinjam sepeda kamu!” seakan-akan dengan itu mereka impas.

“Oke!” sahut Dean. Sejak Ayah mencopot roda pengaman dari sepeda itu sehingga jumlahnya tinggal dua, Dean tidak tertarik lagi menaikinya.

Di luar matahari terik. Tetapi tekad Deraz telah tumbuh untuk menjajal ide meninggalkan rumah barunya sendirian.

Zara memerhatikan Deraz dari jendela ruang tamu. Deraz menaiki sepeda lalu mencoba mengayuhnya. Tetapi, baru sebentar sepeda itu berjalan, kaki Deraz sudah menjejak aspal lagi karena nyaris jatuh. Setelah beberapa lama mengamati, Zara menyimpulkan bahwa Deraz belum bisa mengendarai sepeda.

Zara berlari ke teras belakang mengambil sepedanya sendiri, yang sudah roda dua tentu saja. Di luar Deraz belum bisa jauh dari rumah. Zara segera mengayuh sepedanya menyusul. “Kak Deraz, aku ajarin sepeda, yuk!” serunya dengan semangat.

Deraz menoleh. Hah, adik kecilnya itu lagi hendak mengajari!

“Bisa sendiri!” sahut Deraz mengayuh lagi sepeda Dean, sembari mengarah ke selokan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain