Kamis, 29 November 2018

(28)

Begitu Senin sepulang sekolah tiba, waktunya rapat mingguan OSIS. Beberapa menit sebelum pukul setengah dua, Ipong masuk ke sekretariat dengan menggebu-gebu. “Eh, udah pada kumpul, kan, semua? Mulai aja sekarang, yuk!” Sebagian besar pengurus OSIS memang sudah pada berada di dalam sekretariat atau di luarnya. “Gue ada pengumuman penting!”

“Si Deraz belum ada, Pong.”

Biasanya rapat justru baru dimulai atas ajakan (atau desakan) Deraz, entah formasi sudah lengkap atau belum. Ia punya julukan lain lagi: Mister On Time.

“Si Deraz lagi ada tugas negara!” Tadi Ipong memergoki Deraz sedang berjalan bersama Zahra ke gerbang. Atau malah bisa jadi ke tempat yang lebih jauh daripada itu. “Alf, gue mulai, ya!” Ipong berdiri di depan papan tulis. Anak-anak yang sudah pada duduk mengarahkan perhatian padanya. Alf juga, yang sebelumnya menghadap layar komputer. Ipong cekikikan sendiri sembari mengeluarkan dompet dari saku celana. Lalu ia mengacungkan sebaris foto. “Lihat, kemarin gue sama Alf ketemu sama siapa!”

“Lah, terus lu sendiri sama si Alf ngapain?” tanya Jati seraya mengikuti anak-anak lain berdiri dan mengerubungi sebaris foto itu.

“Itu siapa, Pong, yang jilbaban?” gumam anak-anak.

“Ceweknya Deraz!”

Anak-anak terbelalak.

“Beneran?!”

“Tuh, si Alf juga saksinya!” Ipong menuding Alf, satu-satunya anak yang tetap duduk.

Alf yang bersidekap berujar, “Belum terkonfirmasi. Namun dari gelagat yang bersangkutan, jiga nu heu euh.”

“Lu bayangin aja deh, guys, Deraz makan tahu gejrot! Terus lumpia basah! Disuapin lagi!”

“Seriusan?!”

“Terus gandengan tangan pas nyebrang.”

“Bener kitu, Alf?”

Alf mengangguk-angguk.

“Lah, terus lu sendiri sama Alf ngapain, Pong?” Jati masih penasaran.

“Gue sama Alf tuh tadinya mau jalan bareng si Rieka juga, ke BIP. Tapi terus si Rieka ngebatalin, mau nge-date sama si Dendeng. IYA, KAN, RIEKA?” Ipong berteriak pada Rieka yang sudah menarik diri dari kerumunan.

Rieka cuma menjawab dengan raut masam.

“Terus jadinya lu nge-date sama si Alf dong,” simpul Jati.

“Eh, lu jangan mengalihkan fokus deh. Kayak Deraz jalan berdua sama cewek enggak cukup aneh aja,” balas Ipong.

“Aneh sih,” Gilang mengangguk-angguk, “kayaknya. Da gue mah memang enggak pernah lihat. Tapi mungkin aja sebenarnya di luar sekolah Deraz memang hobi jalan sama cewek. Kita kan enggak tahu.” Ia mulai berspekulasi.

“Enggak!” tegas Ipong. “Deraz tuh pas weekend kalau enggak ada acara cuman di rumah aja. Baca-baca NGI sambil dengerin jaz sama minum cokelat Belgia atau jus brokoli, tergantung cuaca!”

“Lu kok tahu sih, Pong?”

“Tahu dong! Eh, lu jangan ngalihin fokus dong!”

Seketika itu juga Deraz masuk dan terkejut mendapati anak-anak sedang berkerumun di tengah ruangan. Apakah rapat sudah dimulai tanpa dirinya? Deraz melirik arloji G-Shock di tangan kirinya. Ia hanya terlambat dua menit. Tumben anak-anak mulai tepat waktu tanpa dirinya.

“Deraz, si Ipong mencoba memfitnah lu. Katanya lu udah punya cewek,” ungkap Jati.

Gilang menjumput foto dari tangan Ipong lalu menodongkannya pada Deraz. “Lu harus jelasin foto ini, Raz.”

Deraz menatap foto itu sebentar, namun malah melanjutkan langkah tanpa respons apa-apa. Ia mencari posisi yang strategis di karpet lalu duduk. “Ayo, kita mulai rapatnya.”

“Anjir, tiis pisan, anjir!” komentar anak-anak.

Mereka pada duduk mengikuti Deraz. Foto dikembalikan pada Ipong. Namun Gilang terus memerhatikan Deraz. Ketika rapat hendak dimulai oleh Alf, tiba-tiba ia menyela, “Eh, lihat, si Deraz wajahnya merah.” Serentak anak-anak menoleh pada Deraz. Deraz diam saja.

“Lu kenapa, Raz? Habis lari?” tegur Gilang.

“Enggak,” ucap Deraz pelan.

“Habis nganterin si Zahra ke gerbang, gue bilang juga,” kata Ipong, walaupun ia belum bilang.

“Ayo, kita mulai rapatnya. Keburu asar,” tegas Deraz lagi.

Namun anak-anak bergeming.

“Mana foto tadi, Pong?” Gilang mengarahkan tangannya pada Ipong, yang dengan sigap mengeluarkan dompetnya lagi. Ketika foto sudah di tangannya, Gilang kembali menodongkan foto itu pada Deraz. “Rapat enggak akan dimulai sampai kamu menjelaskan foto ini.”

“Eh, enak aja, lu. Gue ketuanya di sini, woi,” tegur Alf, namun tidak ada yang menggubris.

“Apa yang mesti dijelaskan?” sahut Deraz.

“Cewek dalam foto ini, yang kata Ipong cewek kamu.”

“Dia Zahra, anak XI IPA 9,” terang Deraz. “Kami sekelas.”

“Kamu ngapain sama dia?”

“Cari buku di Gramedia.”

“Oh.”

“Lah, terus lu sama Alf ngapain, Pong?” Jati kembali menoleh pada Ipong.

“Kan tadi udah gue jelasin!” Ipong geregetan.

“Terus kenapa muka kamu merah ngelihat foto ini?” selidik Gilang lagi.

“Di luar tadi panas,” jawab Deraz.

“Masuk akal.” Gilang manggut-manggut.

“Udah, kan? Ayo, mulai rapatnya, yuk!” ajak Alf.

Alf membuka rapat. Setelah rapat berjalan beberapa menit, Soraya mengacung. Alf mempersilakan Soraya untuk mengutarakan pendapat.

“Ada yang masih mengganjal, Alf. Kita masih belum mengklarifikasi,” ucap Soraya dengan nada serius, “apakah benar Deraz makan tahu gejrot dan lumpia basah disuapin, udah gitu gandengan tangan—“

Seketika anak-anak bersorak sembari mengalihkan perhatian pada Deraz.

“Itu di luar konteks topik rapat kita hari ini,” Alf mengingatkan, tetapi tidak ada yang menggubris.

“Beneran, Raz?!” Wajah-wajah penuh penasaran menyerbu Deraz.

“Mmm,” Deraz bergumam.

“Anjir, Deraz, muka lu merah lagi!”

Tong jaim lah, Raz!”

“Kita mengerti kok. Semua orang pernah mengalami.”

Deraz menatap Alf, meminta Mitratama kembali mengarahkan rapat. Namun yang ditatap malah menyentuhkan telapak tangan ke dadanya sendiri. “My deepest condolescence for you, Bro,” matanya berbicara disertai senyum simpati.

 

Walaupun Deraz menegaskan bahwa itu urusannya pribadi dan memberi pidato tentang pentingnya efektivitas serta efisiensi waktu rapat, anak-anak malah teryakinkan bahwa memang ada sesuatu di antara dua insan itu. Mereka mulai menyindir Deraz. “Mau ngajak si bunga apel ke mana weekend ini?” Ketika sedang pada bersantai-santai di sekretariat OSIS dan ada Deraz di sekitar, mereka mengambil gitar dan galon kosong lalu menyanyi beramai-ramai, “Lihat kebunku, penuh dengan bunga …. Mawar, melati, semuanya indah!” Mereka mengarang, “Kemarin urang minjem catatannya si Deraz. Halamannya penuh gambar bunga, anjir!” Seperti biasa, Deraz menanggapi setiap ledekan anak-anak OSIS dengan raut datar tanpa kata, namun sekarang disertai pipi merah jambu, yang terperhatikan oleh mereka.

Malah, sebagai pemimpin yang berperhatian, Alf punya pemberian khusus untuk Deraz. Karena ia juga otaku, maka tidak afdal jika dirinya tidak pernah mencoba-coba menggambar manga walaupun levelnya tidak kunjung beranjak dari pemula. Ia menempelkan manga karyanya di papan komunikasi sekretariat OSIS. Panjangnya hanya satu halaman HVS. Isinya berupa panel-panel berukuran.

Pada panel pertama, tampak sebentuk jarum pentul dengan muka-tangan-kaki serta rambut rancung yang semestinya Deraz menyongsong dalam keceriaan dengan balon suaranya berisi: “Deaaan …!”

Pada panel kedua, tampak sebentuk jarum pentul lain dengan beberapa anggota tubuh, namun yang satu ini berponi lempar, menyambut sosok yang semestinya Deraz itu dengan tidak kalah ceria. “Deraz …!” isi balon suaranya.

Pada panel ketiga, kedua sosok serupa jarum pentul hidup itu berhadapan. Deraz berkata, “Aku jatuh cinta!” Dean membalas, “Selamat, ya!”

Pada panel keempat, kedua sosok kembar beda rambut itu berpegangan kedua tangan sembari berputar-putar dan melompat-lompat.

Pada panel kelima, muncul bunga-bunga dilatari kedua sosok yang masih berputar-putar namun jaraknya menjadi jauh itu.

Pada panel keenam, rupanya mereka sedang berada di padang bunga.

Pada panel ketujuh, kedua sosok itu semakin kecil sementara di sudut kanan atas terdapat matahari dengan muka bayi.

Adip terbahak sembari menunjuk-nunjuk gambar itu. Deraz mengernyit, lalu menjambret gambar itu dari papan, menggumalkannya, dan melemparkannya ke tempat sampah. Ulah siapa lagi ini?! batinnya geram. Padahal di pojok kanan bawah gambar itu terdapat tanda tangan Alf. With love.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain