Jumat, 16 November 2018

(15)

Deraz baru mengetahui bahwa di samping bekerja di kantor pemerintah, Ayah juga melatih atlet. Selama hari-hari menjelang tujuh belasan, seusai latihan bola Deraz pergi ke kantor Ayah. Ternyata letaknya hanya di sisi lain taman seberang sekolah. Menjelang sore, Ayah membawa Deraz ikut ke velodrom yang letaknya cukup jauh, keluar dari batas kota. Deraz mengamati Ayah berinteraksi dengan atlet-atletnya.

Deraz baru menyadari bahwa sesungguhnya ia bisa menanyakan bagian-bagian yang tidak ia mengerti dalam buku Sepak Bola: Langkah-langkah Menuju Sukses kepada Ayah. Ayah pasti tahu. Ayah mengernyit ketika Deraz menyodorkan buku itu padanya dan menanyakan hal-hal yang mendetail.

“Deraz mau jadi atlet sepak bola?”

“Tidak. Ini buat tujuh belasan.”

Ayah mengerutkan bibir, tetapi menjelaskan juga dengan sesederhana mungkin hal-hal yang ditanyakan Deraz.

Tujuh belasan tiba. Lomba sepak bola diadakan untuk anak-anak laki-laki kelas empat, lima, dan enam. Pada babak penyisihan, kelas Deraz bisa mengalahkan tim kelas empat dengan mudah. Begitu pula dengan tim kelas lima lainnya pada babak semifinal. “Untung kita latihan, ya,” kata anak-anak tim Deraz. Namun, di babak final mereka harus berhadapan dengan tim kelas enam.

Sebelum pertandingan dimulai, Deraz berunding dulu dengan timnya. “Mereka yang pakai lapangan waktu istirahat.” Deraz menyebut nama serta ciri-ciri mereka, sementara anak-anak timnya melirik mencari-cari para anak yang dimaksud. Deraz sudah hafal gaya permainan tiap-tiap anak dan selalu memikirkan siasat untuk menaklukkan mereka. Sekarang saatnya untuk beraksi.

Walau begitu, pada akhirnya mereka kalah. Anak-anak kelas enam bermain dengan begitu agresif. Mereka sangat percaya diri dapat mengalahkan anak-anak yang kelasnya di bawah mereka. Permainan berlangsung dengan sengit. Pada babak pertama tim kelas enam unggul satu angka. Tim Deraz tentu memanfaatkan waktu jeda tersebut untuk menyusun strategi lain.

“Kalian jangan takut-takut mainnya!” ujar Deraz.

“Kamu enak badannya gede,” sahut seorang anak.

“Kamu jadi penyerang ajalah, Deraz!” kata anak lain.

“Ini darurat!” imbuh anak yang lain lagi.

“Tapi kita tetap harus bekerja sama,” sahut Deraz sembari memandang timnya satu per satu.

“Pastilah!”

Babak kedua dimulai. Deraz berusaha bermain seagresif tim kelas enam. Tetapi serangannya selalu berhasil dipatahkan. Tahu-tahu saja kakinya dijegal, bola terlepas. Anak-anak itu seakan-akan tahu bahwa Deraz telah dijadikan andalan timnya. Sering kali Deraz berada dalam keadaan terkepung. Jangankan mengalahkan, mengimbangi saja susahnya minta ampun. Setelah permainan berakhir, anak-anak terkapar di lorong depan kelas.

“Kelas enam mainnya edan pisan, euy!” celetuk seorang anak sementara meredakan napasnya.

“Larinya pada gancang-gancang pisan, anjir.”

Suku urang ditekel. Nyeri pisan, anjir.” Seorang anak melipat sebelah kaki dan mengamati lututnya yang lecet.

Anak lain ada yang sikunya berdarah juga.

“Eh, si Deraz ke mana?”

Mereka pada celingukan. Tahu-tahu Deraz muncul membawa sekantung plastik hitam. Isinya beberapa gelas minuman dingin. Ia juga membeli beberapa plester. Anak-anak kegirangan.

Nuhun, Raz!”

Deraz memandangi anak-anak yang pada menyeruput minuman. Tampaknya tidak ada yang menyadari. Haruskah ia mengatakannya? Ia menunduk dan mengangkat kepala berkali-kali.

“Ternyata jadi kiper itu enggak gampang,” akhirnya ia mencetus.

Anak-anak terdiam dan memandangnya.

“Iya, gara-gara kamu kita kalah,” sahut seorang anak.

Maneh sok-sokan jadi kiper sih,” anak lain mengompori.

Sudah begitu, Deraz tidak mampu menendang langsung dari gawangnya hingga membobol gawang lawan. Ketika bola mendekati gawang lawan, tahu-tahu ada yang menyundulnya.

Deraz menunduk saja.

Lalu ia mendengar anak-anak tertawa.

Maneh serius pisan.”

Deraz mengangkat kepala. Semua anak tersenyum padanya.

“Lumayanlah kita pakai latihan. Kalau enggak, mungkin kita enggak sampai ke final.”

“Atau enggak, kita kebobolan terus sampai skor mereka 7-0!”

“Ya, kita juga sudah berjuang maksimal dan kompak,” ujar Deraz.

“Eh, habis ini mau main lagi enggak di taman?”

“Capek atuh!”

“Besok we, atuh? Sambil si Deraz katanya mau berburu Om Pedo!”

Tawa anak-anak meledak. Deraz tersenyum.

“Deraz, atuh kamu belajar naik angkot. Jadi tiap pulang sekolah kita bisa main dulu terus pulangnya bareng.”

“Belum boleh sama Ayah.”

“Yaaah ….”

Tetapi di kepala Deraz tercetus sebuah ide.

“Kalian mau enggak nantang kelas enam? Kalau kita menang, kita bisa ikut main sama mereka di lapangan waktu istirahat.”

Anak-anak terdiam. Mereka berpandangan.

“Tadi aja kita udah habis-habisan, terus kalah.”

“Karena itu kita harus terus berlatih,” ucap Deraz.

“Yang penting maneh bisa naik angkot dululah! Lagian mau latihan terus juga kapan, di mana? Kan bisanya cuman di taman pas pulang sekolah.”

“Tidak apa-apa. Pulangnya saya bisa ke kantor Ayah. Tapi tiap Selasa, Rabu, Jumat, saya les ngaji. Jadi saya bisa tiap Senin, Kamis, Sabtu.”

“Boleh,” anak-anak setuju.

Demikianlah. Anak-anak bermain bola tiap Senin, Kamis, dan Sabtu sepulang sekolah di taman sampai mereka menghimpun keberanian untuk menantang anak-anak kelas enam. Tentu saja Deraz yang didorong-dorong untuk maju mengajukan tantangan itu, sementara yang lain menunggu respons anak-anak kelas enam dari balik punggungnya.

Anak-anak kelas enam menyetujui, tetapi mereka bermain sangat kasar. Deraz menyemangati anak-anak supaya mereka maju terus tiap hari, tiap jam istirahat, sampai mereka berhasil mengalahkan kelas enam. “Justru dengan menantang mereka terus-terusan, kita jadi punya kesempatan main di lapangan tiap hari, kan? Biar kalah juga.” Maka tiap hari ada saja plester baru yang menempel di kulit.

Anak-anak kelas enam sampai malas menanggapi mereka. “Lagi? Udahlah! Kalian kan udah kalah berkali-kali!”

“Kalian mainnya kasar. Karena itu kami kalah,” sahut Deraz.

“Udahlah! Kalian cari tempat lain aja. Lapangan tuh punya anak kelas enam!”

“Banyak anak kelas enam lain yang juga pengin main. Gara-gara kalian, mereka jadi enggak kebagian!”

Anak-anak kelas enam tidak mau mengacuhkan mereka lagi.

“Udahlah, Deraz. Nanti juga kita bisa main di lapangan pas kelas enam.” Anak-anak tim Deraz malah ikut-ikutan membujuk. Tetapi Deraz tidak puas. Ia maju lagi ketika anak-anak kelas enam sudah pada menyebar ke seluruh lapangan dan memulai permainan.

“Kita main sekali lagi. Tapi kali ini pakai peraturan. Ada wasitnya, kayak waktu tujuh belasan.”

Anak-anak kelas enam cuma memandang Deraz sepintas, lalu meneruskan permainan.

“Sekali lagi aja! Kalian enggak berani?!”

Deraz malah kena hantam bola. Tetapi ia mengambil kesempatan itu untuk menyandera bola sampai anak-anak kelas enam menyetujui. Anak-anak kelas enam pun menyerah.

“Sekali lagi aja, ya?” kata mereka. “Habis itu kita bener-bener enggak mau ngeladenin kalian lagi.”

“Oke!” Deraz sepakat.

“Terus siapa wasitnya?”

“Pak Guru Olahraga,” jawab Deraz mantap.

Ternyata meyakinkan guru Olahraga untuk mau menjadi wasit merupakan persoalan tersendiri. “Udah bener kalian main di taman aja sepulang sekolah,” kata Pak Guru.

“Tidak, Pak. Lapangan itu harusnya bisa dipakai bareng-bareng, bukan kelas enam saja,” Deraz kukuh. “Sekali saja, Pak,” Deraz terus membujuk. “Biar anak-anak kelas enam tahu peraturan main bola. Mereka kalau main suka pada kasar.”

Pak Guru mengembuskan napas. “Ya sudah.”

Pertandingan itu diadakan keesokan harinya. Begitu bel tanda istirahat dimulai berbunyi, anak-anak sudah bersiap. Deraz langsung berlari menjemput wasitnya di ruang guru. Karena waktu istirahat tiga puluh menit, maka tiap babak terdiri dari sepuluh menit dengan jeda lima menit. Anak-anak kelas enam memilih yang terbaik di antara mereka, sedang tim Deraz isinya anak yang itu-itu saja.

Pertandingan dimulai. Benar dugaan. Tim kelas enam beberapa kali kena semprit karena melakukan pelanggaran. Tetapi mereka memiliki banyak pemain cadangan. “Kita cuma sedikitan, tapi kita main fair. Jangan sampai ada yang bikin pelanggaran,” begitu kata Deraz pada teman-temannya sewaktu mereka berlatih. Mereka tidak hanya berlatih teknik, tetapi juga belajar peraturan. Kedua tim bermain maksimal dengan cara yang berbeda. Begitu bel tanda istirahat berakhir berbunyi, otomatis pertandingan disudahi. Tim Deraz unggul dengan skor 1-0.

Anak-anak kelas enam kecewa dan ingin marah, tetapi mereka sendiri yang awalnya menyetujui. Mereka menjadi benci pada anak-anak kelas lima. Sementara itu, Deraz berkata pada timnya, “Sekarang kelas lima bisa ikut main di lapangan. Yang main jangan cuma kita aja. Semakin banyak anak kelas lima yang bisa ikut main, semakin bagus. Jadi jumlah kita bakal ngalahin jumlah anak kelas enam yang biasa main di lapangan.” Mereka pun mulai mengajak anak-anak kelas lima lainnya untuk ikut bermain bola di lapangan secara bergantian.

Memang pada akhirnya timbul kesinisan antara kelas lima dan kelas enam. Tetapi masing-masing kelas menjadi kompak dengan sesamanya. Anak-anak perempuan mulai ikut menonton bola di pinggir lapangan untuk mendukung angkatannya masing-masing, dan pada akhirnya menyoraki pemain favorit mereka.

Anak-anak perempuan kelas lima punya favorit mereka sendiri, yang tidak lain tidak bukan adalah Deraz. Tiba-tiba saja Deraz menjadi cowok paling tampan satu angkatan, ditunjang dengan posturnya yang tinggi besar. Memang Deraz tidak akrab dengan anak-anak perempuan. Malah ia pernah memarahi mereka karena terlalu dekat dengan lapangan sehingga ada yang mukanya kena bola dan menangis. Tetapi mereka terus membicarakannya diam-diam.

Ketika caturwulan baru, anak-anak sepakat memilih Deraz menjadi ketua kelas. Mereka sudah tidak lagi memedulikan cara bicaranya yang aneh ataupun gayanya yang suka memerintah. Deraz tidak lagi duduk sendiri di depan meja guru karena ada anak yang mau menemaninya, walaupun bukan Dean. Dean sendiri termasuk yang suka ikut menyoraki Deraz di pinggir lapangan ketika bermain bola.

Malah Dean telah kembali pada kebiasaan lamanya, yaitu meminta uang Deraz.

Saat itu mereka sudah mulai pulang dengan kendaraan umum. Uang Deraz pas-pasan untuk ongkos pulang dirinya sendiri karena selebihnya sudah diambil Dean. Uang Dean sendiri sudah tidak bersisa. Dean memutuskan, “Aku mau pulang jalan kaki!”

Deraz terkejut. Jarak antara rumah dan sekolah amat jauh. Nanti bagaimana kalau asma Dean kambuh dan ia sekarat di pinggir jalan?!

“Enggak bakal!” sahut Dean tidak peduli.

Karena sangsi, Deraz pun mencari Zara dan menjelaskan situasinya. Zara cemberut. Sudah lama Dean tidak merampok uang jajannya, sejak ada Deraz. Tetapi sekarang ganti Deraz yang meminta uangnya! Walaupun itu gara-gara Dean juga. Zara menyerahkan sebagian uangnya dengan terpaksa.

Deraz kembali pada Dean, yang sudah siap dengan beberapa anak yang bersedia pulang jalan kaki juga. “Saya sudah dapat uang. Kita naik angkot saja!” kata Deraz. Tetapi Dean tidak mengacuhkan. Ia mulai berjalan bersama teman-temannya. Zara sudah berada di dekat Deraz. Deraz memandang gelisah antara Zara dan Dean yang semakin jauh. Zara baru kelas tiga SD, sedang Dean nanti kena asma. “Zara, kamu berani, ya, naik angkot sendiri!” putus Deraz lalu menyusul Dean.

Zara menaiki angkot sambil menahan tangis karena ditinggal sendiri oleh kakak-kakaknya. Untung tidak terjadi apa-apa di jalan. Malah kemudian ia merasa bangga karena berhasil melalui perjalanan pulang dengan angkot sendirian. Ia jadi penasaran akan nasib Deraz yang dibawa Dean menempuh perjalanan panjang pada siang panas yang banyak asap, banyak debu. Dean pasti kerap berhenti, kerap jajan. Berjam-jam setelah Zara tiba di rumah, barulah kakak-kakaknya sampai. Dean tampak segar walau kulitnya mencokelat akibat sengatan matahari siang, sementara Deraz—yang seperti udang rebus—ambruk di sofa dan mimisan.

Suatu kali mereka pulang bertiga dengan angkot, seperti yang sudah-sudah. Tetapi kali ini, setelah turun dari angkot, dan Zara mendahului mereka ke pangkalan ojek, Dean tiba-tiba memanggil, “Dede, memangnya uang kamu cukup buat naik ojek?”

Zara menoleh, lalu memeriksa uang di saku seragamnya. “Aaa, uang aku enggak ada!” ujarnya panik.

“Jalan aja atuh!” sahut Dean. “Kita juga mau jalan.”

Deraz sebenarnya ingin naik ojek seperti biasa, tetapi sudahlah. Ternyata Dean senang jalan sambil ditemani.

“Capek …” erang Zara, tetapi apa boleh buat.

Begitu Zara berjalan lagi di depan, Dean memperlihatkan lembaran uang ribuan pada Deraz, yang terbelalak. “Nanti kita beli es di warung, yuk,” Dean semringah.

Dean dan Deraz pun mampir dulu di warung untuk membeli es krim, masing-masing mendapat satu. Mereka juga membeli es krim untuk Zara. Ketika mereka keluar dari warung, Zara sudah jauh. Dean memanggilnya. “Dede mau es krim?!” Zara menoleh dan menunggu kakak-kakaknya mendekat. Ia mengambil es krim bagiannya.

Ketika Zara sedang menikmati es krim, tiba-tiba Dean menceletuk, “Makasih, ya, Dede, udah jajanin kita es krim.” Deraz merasa muka Zara yang kebingungan itu menggelikan.

Tetapi kemudian Zara tersadar. “Dean, kamu ambil uang aku, yaaa …!?”

Tawa Dean meledak. Deraz juga, tetapi ia berusaha menahannya.

“Dean jeleeek …!”

“Daripada cantik-cantik bego! Hahaha …!”

Mereka berkejaran sampai ke rumah, walau setelahnya Dean cepat-cepat mengeluarkan inhaler.

Kadang Deraz masih berkelahi di sekolah, entah dengan anak kelas enam atau sesama anak kelas lima, dan terlihat oleh Zara, yang otomatis melaporkannya kepada orang tua mereka. Setelah beberapa kali laporan, Ayah membawa Deraz melihat-lihat berbagai klub bela diri. Deraz memilih klub kickboxing, biarpun Bunda mengungkapkan ketidaksetujuannya.

“Dasar tukang ngadu!” Dean mengatai Zara suatu kali.

“Iya, kamu tukang ngadu,” Deraz ikut-ikutan, padahal klub kickboxing menyenangkan.

“Daripada tukang main! Tukang gelut!” balas Zara.

Sementara itu, Zara jadi dibelikan kucing persia, yang ia beri nama Adrenalin. Tetapi kucing jantan berhidung gepeng itu hanya mau dipegang oleh Zara dan Bunda. Selain itu, ia senang tidur di kap piano Dean. Dean yang ingin main piano dan hendak menyingkirkan kucing itu malah dicakar.

“Dede, kucing kamu mah pikasebeleun, kayak yang punya.”

“Dean cucurut! Genderuwo!”

“Bagusan hidung kamu daripada hidung dia, tahu! Tapi lebatan rambut dia daripada rambut kamu.”

Deraz menahan geli karena lagi-lagi Zara kebingungan, tidak tahu apakah itu pujian atau ejekan. Entah kenapa ia mulai menikmati pertengkaran kecil-kecilan di antara Dean dan Zara. Ia jadi tidak merasa sepi lagi.

Guru-guru yang menyadari keaktifan Deraz mulai menunjuk dia untuk mengikuti berbagai lomba mewakili kelas ataupun sekolah. Ruang tengah di rumah mulai diisi oleh trofi dengan namanya. Deraz mulai bersemangat dengan lomba-lomba yang ada di Bobo hingga suatu kali ia memenangkan lomba meringkas cerita asli Indonesia. Ia menjadi juara harapan dan memperoleh voucer belanja buku senilai lima ratus ribu rupiah. Tentu saja Deraz girang sekali dan termotivasi untuk mengikuti lagi ajang serupa.

Deraz mulai belajar berpuasa saat Ramadan. Ia juga mengalami disunat bersama-sama Dean, yang ternyata belum. Sementara itu, cerita-cerita Pak Karman tentang para nabi semakin menarik. Selain Nabi Muhammad, Deraz juga tertarik pada kisah Nabi Ibrahim yang seorang pemikir serta Nabi Musa dalam menghadapi kaumnya yang pembangkang.

Jetzt ist alles gut, Opa, tulis Deraz dalam jurnalnya. Ia membayangkan nun jauh di sana Bruno pun sedang menikmati sebatang tulang yang besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain