Jumat, 09 November 2018

(8)

Pada awalnya Deraz masih mau ikut Dean berkumpul bersama teman-temannya, kadang-kadang. Tetapi di rombongan Dean selalu ada Putra. Putra yang pernah membaca sekilas jurnal Deraz melapor kepada anak-anak, “Di diary Deraz ada banyak ‘ich’-nya.”

Ich, kamu,” tiba-tiba seorang anak mencolek temannya dengan gaya dicentil-centilkan.

Ich, kamu jangan gitu, ich,” balas temannya dengan lagak serupa.

Lalu mereka beradu jari-jari sambil menjauhkan muka, maksudnya hendak menirukan cewek-cewek yang sedang berkelahi.

Anak-anak lain pada tertawa menyaksikannya, tetapi Deraz tidak.

Das ist Deutsch!” tukas Deraz. “That’s German! You have no idea about the language I wrote! Stupid monkey!”

Anak-anak terdiam. Mereka tidak langsung memahami yang diucapkan Deraz dalam sekali tarikan napas itu. Tetapi mereka sudah mendapatkan pelajaran Bahasa Inggris dan tahu benar arti kata “stupid” dan “monkey”.

Putra membalas Deraz. “Maneh nu stupid!” Kedua anak itu pun kembali bergulingan.

“Bahasa Indonesia ge teu baleg si Deraz mah,” anak-anak lain mengompori.

Wajah Dean yang biasanya cengar-cengir jadi meredup.

Besok-besoknya Deraz lebih memilih untuk menyendiri di kelas, menulis jurnal atau membaca buku pelajaran. Tetapi lama-kelamaan Deraz bosan juga. Ia berjalan ke ambang pintu kelas dan mendapati anak-anak bermain bola. Sepertinya asyik berlari-lari, saling meneriaki, menangkap bola dengan kaki, dan menggoceknya. Sepertinya seru menggiring bola menuju gawang, dan dalam perjalanan itu ada banyak lawan mengadang. Hatinya berdebar setiap kali seseorang berhasil membawa bola mendekati gawang. Hatinya mencelus setiap kali seseorang berhasil mengambil bola itu dan menendangnya ke arah lain. Hatinya bersorak setiap kali seseorang berhasil meloloskan bola melewati gawang. Hatinya kecewa ketika terdengar bel tanda berakhirnya jam istirahat sehingga permainan harus disudahi.

Tiba pelajaran Olahraga. Pak Guru yang mengenakan topi dan berkalung sempritan menyuruh anak-anak berkumpul di lapangan. Sebelah tangannya mengapit bola yang ukurannya sama seperti yang biasa digunakan anak-anak bermain, tetapi bahannya beda dan tampaknya lebih berat. “Hari ini kita akan belajar permainan bola besar. Apa saja permainan bola besar itu, Anak-anak?”

Dean mengacungkan jari dengan semangat. “Pak! Pak!”

“Ya, Dean?”

“Bolanya Laa-Laa, Pak!”

Anak-anak tertawa meriah.

“Kebanyakan nonton Teletubbies kamu mah,” kata Pak Guru.

“Hehehe,” sahut Dean.

“Yang termasuk permainan bola besar itu adalah sepak bola, bola voli, dan bola basket. Hari ini kita akan belajar sepak bola,” lanjut Pak Guru.

“Hore …!”

“Cara menendang itu ada bermacam-macam,” Pak Guru memulai pelajaran. “Pertama, yaitu dengan menggunakan kaki sebelah dalam.” Pak Guru celingukan. Dulunya Pak Guru berpikir bahwa Dean anak yang tepat untuk dijadikan peraga karena badannya yang menjulang. Tetapi setelah beberapa kali memanggil Dean ke depan, Pak Guru kapok. Kali ini Pak Guru mendapati bukan Dean sendiri yang badannya paling tinggi. “Hei, kamu, anak baru, kembarannya Dean,” tunjuk Pak Guru. Deraz pun keluar dari kumpulan dan mendekati Pak Guru di depan. Pak Guru menyuruh Deraz berdiri di depan bola, menghadap anak-anak. Lalu mulailah ia memberi petunjuk sambil menggerak-gerakkan anggota tubuh Deraz, mulai dari lututnya, punggungnya, kakinya, kedua tangannya, sampai kepalanya. “Nah, sekarang cara-cara menahan bola.” Pak Guru lalu memanggil satu anak lagi ke depan. Ia memberi jarak sekitar lima meter antara anak itu dan Deraz berhadapan. Setelah memperbaiki pose anak yang satunya, Pak Guru menyuruh Deraz mempraktikkan cara-cara menendang yang sudah diajarkan tadi.

Ternyata ada lebih banyak cara menahan bola daripada menendangnya. Deraz memerhatikan semua itu dengan sungguh-sungguh.

“Nah, sekarang kita latihan mengoper bola!”

Pak Guru lalu menyuruh anak-anak berbaris berhadap-hadapan. Ia memberi petunjuk pada anak yang berdiri di ujung paling depan. “Kamu tendang bola ini ke teman di depan kamu.” Lalu katanya pada anak lain di hadapan anak tersebut, “Kamu tahan dulu bolanya, baru tendang lagi ke teman yang di samping depan kamu,” sambil menunjuk anak yang dimaksud. “Begitu seterusnya sampai ujung. Mengerti?”

“Mengerti, Pak!” sahut anak-anak.

“Sekarang nendangnya pakai kaki bagian dalam dulu, ya!”

“Iya, Pak!”

Awalnya Pak Guru menghentikan praktik itu tiap sebentar untuk mengingatkan anak-anak mengenai cara menendang dan menahan bola yang benar. Tetapi berangsur-angsur temponya dipercepat. Setelah beberapa kali mengulang latihan tersebut, Pak Guru mencoba bentuk-bentuk latihan yang lain lagi. Pak Guru juga menerangkan bagian-bagian dalam lapangan sepak bola yang sebenarnya beserta aturan permainannya.

“Hari ini segitu dulu. Sekarang kita main!”

Anak-anak bersorak.

Para anak laki-laki tidak sabar mempraktikkan ajaran Pak Guru tadi. Pak Guru lalu membagi mereka menjadi dua tim. Deraz dan Dean mendapat tim yang sama. “Dean, kamu jadi kiper aja, ya!” kata anak-anak tim mereka.

“Oke!” sahut Dean. Dengan santainya ia berjalan ke gawang.

“Tim ini siapa kaptennya?” tanya Pak Guru.

Anak-anak berdiskusi dan main tunjuk. Sebelum mereka dapat memutuskan, Deraz mengangkat tangan.

“Ya udah, kamu, sini.” Pak Guru menyuruh Deraz mendekat. “Siapa nama kamu teh?”

“Deraz, Pak.”

Anak-anak tercengang melihat Deraz yang sudah berjalan ke tengah lapangan.

“Kenapa dia?”

“Kamu sih kelamaan!”

“Deraz … Dean …” gumam Pak Guru sementara kapten kedua tim mengambil posisi berhadapan di tengah lapangan. Pak Guru lalu mengeluarkan koin dari saku celananya. “Cara menentukan tim yang menendang duluan yaitu dengan menggunakan koin. Siapa kepala, siapa ekor?”

“Kepala, Pak!” ucap Deraz lebih cepat dan lebih keras daripada kapten tim satunya.

Pak Guru melempar koin sehingga memutar ke atas. Koin jatuh ke tanah dan menampakkan kepala. Deraz memandangnya puas.

Pak Guru mengarahkan kedua anak itu agar berdiri dalam separuh lapangan masing-masing dan meletakkan bola tepat di tengah-tengah lapangan. Ia lalu menepi dan meniup peluit panjang-panjang. Serta-merta Deraz melancarkan tendangan yang langsung membobol gawang.

Anak-anak melongo.

“Satu kosong!” seru Pak Guru.

“Yeah!” Deraz girang sendiri.

Pak Guru kembali meletakkan bola di tengah lapangan. “Tendangan selanjutnya dimulai dari tim ini,” Pak Guru memaksudkan pada tim lawan Deraz.

Deraz segera mengambil tempat yang strategis. Pak Guru meniup peluit. Kapten tim lawan menendang bola pada kawan di samping belakangnya, yang lantas mengoper pada kawan lain yang sudah masuk ke separuh lapangan milik tim Deraz. Namun Deraz berhasil menahan tendangan itu, menggiring bola kembali ke separuh lapangan milik lawannya, berkelit dari kaki lawan yang berusaha mencuri, dan menyepak langsung ke arah gawang.

“Dua kosong!” ujar Pak Guru.

Anak-anak melongo lagi.

Anak-anak tim lawan menyadari bahwa mereka harus berhati-hati terhadap Deraz, sementara anak-anak tim Deraz berpaling ke belakang, memandangi Dean yang berjongkok di tengah-tengah gawang sambil mengupil.

Pak Guru kembali menaruh bola di tengah lapangan. Deraz cepat-cepat mendekati karena tahu kali ini giliran timnya yang menendang bola pertama. Tetapi Pak Guru berkata, “Sekarang kamu oper dulu ya ke teman kamu.” Deraz pun mengedarkan pandangan dan menyadari bahwa ia cuma mengenali Dean dan Putra. Putra anak paling gendut di kelas dan sekarang jelas-jelas berada di tim lawan. Anak-anak selebihnya semua berwajah sama di mata Deraz. Ia melihat seorang anak menanti beberapa meter agak di sampingnya, di separuh lapangan milik timnya. Begitu peluit dibunyikan, ia mengoper bola kepada anak itu, yang segera menangkap lalu menggiringnya memasuki separuh lapangan milik tim lawan. Anak itu mengoper kepada anak lain di sayap seberang. Bola ditangkap dan si anak lainnya itu kebingungan hendak mengopernya ke mana. Uh, andai saja Deraz tahu namanya, ia akan memanggil anak itu! Anak itu menendang asal saja tetapi keras sehingga bola melambung. Dengan cepat Deraz menangkapnya. Bisa saja ia menendang langsung ke gawang seperti sebelumnya. Tetapi dari sisi lapangan Pak Guru berteriak, “Oper, Deraz, oper!” Beberapa anak sudah mengepung Deraz. Ia memainkan bola itu di antara kedua kakinya supaya tidak dijambret, sementara matanya mencari-cari. Ia melihat seorang anak dalam posisi terbuka di pinggir lapangan. Ia tendang bola ke arah anak itu, yang segera ditangkap dan dibawa lari ke gawang yang dijaga Dean!

“Kenapa dikesi-ituin!” terdengar keluhan, yang mestilah berasal dari tim Deraz.

Deraz buru-buru menyusul. Ia harus merebut kembali bola itu dan membawanya ke arah yang semestinya!

Sebelum memasuki daerah penalti, seorang anak berhasil menahan serangan itu dan mengoper bola kepada kawannya. Tidak lama kawannya itu menguasai bola, tim lawan sudah mendesaknya. Anak itu pun melambungkan bola yang segera ditangkap sundulan Deraz. Dari kepalanya, bola itu turun ke lutut lalu ke kaki, dan Deraz segera membawanya ke gawang lawan.

“Oper, Deraz, oper!” lagi-lagi terdengar teriakan Pak Guru.

Deraz agak geram tetapi ia melihat agak jauh dari dirinya seorang anak berlari mendahului sembari melihat ke arahnya. Deraz pun mengoper bola kepada anak itu. Bola ditangkap dan dibawa ke arah sebaliknya.

Sesaat Deraz kebingungan dan seketika itulah gol menembus gawang di belakang Dean.

“Dua satu!” ujar Pak Guru.

“Deraz, kamu kalau ngoper jangan ke tim lawan, ih!” seru seorang anak. Deraz mengamati wajah anak itu yang mestilah satu tim dengan dirinya. Hidungnya pesek. Baiklah, Deraz akan mengoper kepada si hidung pesek kali berikutnya.

Permainan pun berlanjut. Pertahanan tim lawan semakin ketat dan berkali-kali Deraz diteriaki karena merebut bola dari timnya sendiri.

“Pak! Deraz mah mainnya teu baleg!” protes anak-anak tim Deraz tanpa memerhatikan tim lawan menjadi leluasa menguasai bola.

“Gol …!”

“Dua dua!”

Deraz menyadari kesalahannya. Ia mengamati wajah anak-anak, berusaha membedakan mana yang tim lawan dan mana yang timnya sendiri. Ia tahu bahwa ia harus bermain dengan hati-hati karena ada beberapa wajah yang masih belum dapat ia tentukan: kawan atau lawan? Bola berada di kakinya lagi. Tetapi karena terjepit dan tidak bisa menentukan wajah-wajah yang potensial menerima operannya sebagai kawan atau lawan, Deraz melambungkan bola itu ke luar lapangan.

Pak Guru mengambil bola lalu masuk ke lapangan. Serta-merta Deraz mendekat. Seorang anak dari tim lawan juga menghampiri. Deraz terus mengawasi bola. Ia ingin sekali menjadi yang pertama menendang dan langsung memasukkan bola itu ke gawang, demi menebus kesalahannya. Kesempatan itu tiba. Pak Guru menjatuhkan bola, dan segera kaki Deraz menyepaknya menembus gawang lawan.

“Yeah!” seru Deraz.

“Tidak sah,” kata Pak Guru.

“Hah?”

Anak-anak tim lawan memandangi Deraz dengan geli. Anak-anak dari timnya sendiri mengamati semua itu dengan malas.

“Bola harus menyentuh tanah dulu baru boleh ditendang. Yang tadi itu namanya pelanggaran,” kata Pak Guru. Ia menangkap bola yang dilemparkan seorang anak padanya. “Ulang lagi, ya. Ingat, bola harus menyentuh tanah dulu.”

Pak Guru bersiap menjatuhkan bola di antara Deraz dan seorang anak lagi dari tim lawan. Begitu bola menyentuh tanah, kaki Deraz langsung menendangnya. Seketika itu pula ia memelesat hendak menguasai bola itu. Langkahnya yang besar-besar berkat tubuhnya yang menjulang sangat menguntungkan. Tetapi baru saja kaki Deraz menangkap bola, Pak Guru meniup peluit. “Setelah bola ditendang, bola harus disentuh pemain lain dulu baru boleh kamu mainkan lagi,” terang Pak Guru.

“Hah?”

Anak-anak tim lawan terbahak. Anak-anak tim Deraz sudah kehilangan semangat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain