Minggu, 18 November 2018

(17)

Di English Club, Deraz mengenal Renata. Cewek itu bertubuh kecil dan berambut pendek keriting. Usianya sama dengan Deraz. Tetapi Renata satu tingkat di atasnya. Renata andalan sekolah untuk lomba debat dan pidato, baik berbahasa Indonesia maupun berbahasa Inggris.

Deraz tertarik untuk mengikuti lomba-lomba seperti Renata. Bahasa Inggris Deraz relatif paling lancar dibandingkan dengan anak-anak baru lainnya di English Club. Ditambah keaktifan dan keberaniannya, ia lolos seleksi untuk mewakili sekolah dalam mengikuti lomba. Namun memang berbicara dalam jangka waktu tertentu di depan banyak orang secara terstruktur tidak semudah mengegolkan bola. Ketika latihan, rasanya mending. Tetapi dalam lomba yang sebenarnya, ketika melihat para pesaing yang tampak percaya diri, Deraz merasa sangat tegang. Ia mulai berbekal saputangan Opa Buyut di saku celana seragamnya. Saputangan itu berguna untuk mengelap keringatnya yang banyak menitik saat ia gugup.

Apalagi, begitu lomba usai, tanpa tedeng aling-aling Renata mencecarnya.

Don’t look at your note too often!”

You moved your hands like you were dancing!”

Don’t speak another language while you are nervous!”

You spoke like your bladder was bursting!”

Awalnya Deraz kaget ketika dikata-katai begitu oleh Renata. Rasanya ia ingin menonjok mulut cewek itu. Tetapi yang dikatakan cewek itu memang benar. Deraz bertambah kaget karena ternyata Renata merekam penampilannya dengan handycam. Entahkah itu lomba debat atau pidato, Renata selalu membawa handycam dan meminta teman atau guru pembina merekamkan penampilannya. Ketika ia sendiri sedang tidak tampil, ia merekam penampilan orang lain.

Tiap selesai lomba, Renata suka mengajak Deraz ke McDonald’s atau KFC. “It’s my guilty pleasure,” aku Renata sembari melahap ayam goreng.

Saat itu Deraz sedang mencoba menu yang sama. Rasanya enak juga.

They fry this with black oil.”

Black oil?”

I mean, waste cooking oil. Minyak jelantah, yang udah dipakai berkali-kali sampai hitam.”

Deraz menyeringai. Ia jadi merasa mual dan tidak ingin meneruskan makan.

Renata tertawa. “Enggak tahu, deng. But it’s definitely junk food. I am glad I don’t have to participate in speech competition every single day.”

Yeah, I would definitely die by dehydration,” sahut Deraz, mengingat keringatnya yang terkuras saat lomba tidak kalah banyak daripada ketika ia bermain bola.

Sembari mengudap, mereka membahas lomba yang baru lalu dengan melihat hasil rekaman di handycam, baik penampilan mereka sendiri maupun penampilan orang lain, sampai sedetail-detailnya.

Renata senang sekali mengoreksi pengucapan bahasa Inggris Deraz yang masih sering keliru.

“Di-tur-min, not de-ter-main!”

“I know!”

Then why did you still mispronounce it?!”

I was too nervous!”

Mereka bisa menghabiskan waktu hanya untuk mengulang-ulang cara yang benar dalam mengucapkan suatu kata serta memberi tekanan pada tiap-tiap sukunya. Agaknya Renata berambisi sekali untuk bisa mengucapkan bahasa Inggris sesempurna penutur asli. Deraz ketularan.

Ketika Deraz sudah dibelikan kamus elektronik Alfalink oleh Bunda, ganti ia yang menunjukkan pada Renata kesalahannya.

“Eks-pur-tiz, not eks-per-tais!” ucap Deraz sembari menyalakan kamusnya. Lalu terdengar suara dari alat itu mengucapkan kata tersebut dengan sebenar-benarnya.

Fine, you’re right!” sahut Renata sembari melipat lengan dan memutar mata.

Renata juga suka mengajak Deraz untuk berlatih di rumahnya. Ia punya abang yang langganan juara debat. Ketika abangnya ada di rumah, ia meminta bantuannya untuk melatih mereka. Kalaupun abang Renata tidak ada, Deraz suka memerhatikan benda-benda yang dipajang di ruang tamu rumah itu. Keluarga Renata pengumpul trofi seperti Ayah dan Bunda. Sembari menemani Deraz melihat-lihat, Renata berkata, “My dream is to participate in WSDC.”

What’s that?”

World Schools Debating Championship. My brother just participated in WSDC in Singapore.” Renata menunjuk foto abangnya berfoto bersama para delegasi Indonesia lain. “And then I want to be an ambassador or a minister.”

Cool.”

What’s your dream?”

Deraz termenung. Ia teringat pada Bunda, yang membawanya pada Opa Andre dan Opa Buyut. “A doctor,” akhirnya ia berucap. I want to study medicine in Germany and be a doctor,” ulangnya mantap.

You can join WHO.”

Huh?

World Health Organization? United Nations? Dream big.” Renata tersenyum.

Right,” sahut Deraz, walau belum hendak memutuskan. Ia belum pernah berpikir sampai sejauh itu. Ia jadi ingin merancang cita-citanya sedetail mungkin sedari sekarang.

Renata jadi tahu bahwa Deraz juga punya guilty pleasure ketika anjing pomeranian peliharaannya keluar. Awalnya anjing itu bersikap galak pada Deraz. Kontan Renata menyuruh Pam-pam masuk. Namun, seiring dengan kerapnya kedatangan Deraz ke rumah, Pam-pam menjadi jinak. Ketika Deraz masuk ke ruang tamu, anjing itu menyambut dan berputar-putar di dekat kakinya. Deraz tidak tahan ingin menyentuh Pam-pam. Tetapi ia sudah tahu bahwa kalau menyentuh anjing, ia harus mencucinya tujuh kali yang salah satunya dengan tanah. Walau begitu, terlihat jelas oleh Renata sikap Deraz yang takut-takut tetapi mau ketika berhadapan dengan Pam-pam. Malah Deraz pernah sekali kelepasan membelai anjing itu. Setelahnya Renata heran melihat Deraz mengorek-ngorek tanah di halaman.

Renata juga berterus terang pada Deraz bahwa makanan di rumahnya bercampur dengan babi. Kalau Deraz mau, ia bisa membeli makanan dari penjual keliling. Deraz pun mafhum untuk membawa bekal sendiri ketika mengunjungi rumah Renata.

Deraz tidak mengerti sebabnya anjing dan babi senajis itu. Rumah Renata sendiri tampak bersih dan rapi. Deraz terus memikirkan, kalau jadi kuliah di Jerman nanti dan berkesempatan untuk mengunjungi Bruno lagi, bagaimanakah ia mesti memperlakukan anjing itu? Ia rindu memeluk Bruno, tetapi konsekuensinya mungkin ia harus mandi lumpur. Bagaimanapun, sepeninggal Pak Karman, Deraz ingin terus mengamalkan ajarannya. Seakan-akan dengan begitu ia menjaga Pak Karman tetap hidup dalam kesehariannya. Ketika azan terdengar, ia meminta izin pada Renata untuk salat dulu di masjid terdekat. Renata sendiri religius. Tiap sebelum lomba, ia mengajak untuk berdoa dulu menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Deraz mengangkat kedua belah tangannya sedang Renata mengaitkan buku-buku jemarinya. Mereka sama-sama menunduk dan memejamkan mata.

Ketika tahun ajaran berganti, Renata memberi tahu Deraz bahwa abangnya tidak bisa melatih mereka lagi. “He’s in Germany now. He’s got accepted by AFS.” Renata mengajak Deraz masuk ke ruang keluarga dan menyalakan komputer. Ia membuka kotak surel dan memperlihatkan foto-foto kiriman abangnya. Salah satu foto menampakkan abang Renata berlatarkan jembatan yang bentuknya menyerupai gelombang putih. Di bawah jembatan itu mengalir Sungai Rhine. Deraz ingat pernah dibawa ke tempat itu ketika mengunjungi kerabat Opa Buyut, bertahun-tahun yang lampau.

What’s AFS?”

It’s a student exchange program in high school. I consider to join, too.”

High school? Kalau begitu, ia tidak harus menunggu sampai kuliah untuk bisa kembali ke Jerman. Ia bisa kembali lebih cepat untuk menemui Bruno!

I can’t wait to be in high school,” gumam Deraz. Ia seakan-akan mendengar Bruno menggonggong di kejauhan, menunggunya datang. Jarak mereka terbentang begitu jauh. Namun, seiring dengan berlalunya waktu, jarak itu mulai mendekat. Deraz menghitung-hitung. Dalam empat tahun, Bruno akan berada di pelukannya lagi. Walaupun ia harus mandi lumpur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain