Sabtu, 03 November 2018

(2)

Deraz mengeluh sakit kepala pada Bunda. Ia duduk di samping Bunda. Bunda meraih kepala Deraz, lalu mengusap-usapnya. “Itu karena Deraz kurang makan …” kata Bunda lembut sementara Deraz bersandar padanya.

Tiap kali makan, Deraz hanya mengambil sedikit yang tersaji di piringnya. Telur dadar dipotongnya secuil saja. Potongan sosis, selada, dan irisan tomat dibersihkannya dulu dari butiran nasi yang melekat dengan ujung sendok. Kuah sayur cuma diicipnya. Nasi pun dicobanya hanya beberapa suap. Ia mengunyah nasi seakan-akan itu otak sapi yang belum dimasak. Setelah itu, ia tidak mau lagi.

Das ist Made.” Deraz menahan supaya tidak terlihat bergidik. Tetapi tidak ada yang mengerti perkataannya. “Larve. Fliegen. Flies.”

No. This is rice. That’s definitely different kind of thing,” sahut Bunda.

Ayah berdeham. “Bahasa Indonesia.” Ucapnya pada Deraz, “Belajar makan nasi.”

“Kalau nasinya enggak dihabisin, entar nangis lo,” kata Zara dengan mulut penuh nasi dan kaki bergoyang-goyang.

Akhirnya piring Deraz diberi tutup. Tinggal Deraz di ruang makan bersama Bunda yang mengeluarkan isi kabinet serta kulkas satu per satu, menawarkan apakah Deraz mau ini atau mau itu.

Ketika Deraz tidur, nasinya benar-benar menangis.

Kenapa aku tidak dimakan?

Aku sudah susah payah tumbuh.

Lalu aku dipukul-pukul sampai lepas dari kulitku.

Itu sakit.

Kamu mau dikuliti hidup-hidup?

Setelah itu aku dibenamkan ke air.

Airnya dipanaskan sampai bergolak.

Tubuhku jadi kembung.

Lalu kamu bilang aku mirip belatung?

Memang!

Deraz terbangun dengan jantung berdebar kencang. Ia menengok ke sisi bawah tempat tidurnya. Tadi suara itu berasal dari situ. Ia duduk merapat ke punggung tempat tidur sambil menarik selimut. Baru setelah napasnya agak tenang, ia merebahkan diri lagi.

Ia hendak mengangkat selimutnya sampai ke dagu ketika mendapati ada yang bergerak di punggung tangannya. Ia menjerit dan duduk lagi sambil mengibas-ngibaskan tangannya. Benda yang bergerak tadi itu berwarna putih dan mungil, seperti sebutir nasi. Ia lalu memandang punggung tangannya dengan ngeri. Tidak ada apa-apa.

Ia pun berbaring dan mengangkat selimutnya sampai menutupi mulut. Langit-langit dipandangnya. Ia memejamkan mata kuat-kuat ketika timbul bayangan butir-butir nasi berjatuhan dari atas sana. Ia menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya yang meringkuk dalam-dalam.

Tetapi lama-lama udara jadi pengap. Ia mengangkat sedikit selimutnya sehingga ada udara segar yang masuk. Beberapa saat kemudian ia dapat tertidur lagi.

Hingga sesuatu bergerak-gerak di kakinya.

Deraz bangkit dan berteriak. Lalu ia mendapati kamar yang terang-benderang dan wajah kaget Dean. Rupanya hari sudah pagi dan Dean hendak membangunkannya.

Ketika hendak memasak nasi pagi itu, Bunda memanggil Deraz. Diajaknya Deraz ke kotak penyimpanan beras. Bunda mengambil sejumput, lalu mencurahkannya ke tangan Deraz. “Rice. Beras. Ini yang jadi nasi.” Bunda menyuruh Deraz mengambilkan beras sebanyak dua cangkir lalu memasukkannya ke wadah cuci. Bunda memperlihatkan Deraz cara mencuci beras, memberinya air, lalu menaruhnya di rice cooker dan mematangkannya dengan mengangkat tuas.

… aku dibenamkan ke air … panas … bergolak ….

Terdengar suara menggelegak dari dalam rice cooker itu.

Beberapa lama setelah rice cooker menandakan nasi sudah matang, Bunda memanggil Deraz lagi. Bunda menyendok sesuap nasi yang masih mengepul dan meniup-niupnya sebentar, lalu menyodorkannya pada mulut Deraz.

Deraz terpaksa meraupnya. Sejenak sesuap nasi itu diam saja di mulut Deraz. Hingga Deraz merasakan tiap butirnya menggeliat, meraba-raba lidahnya, mendaki giginya, dan berusaha mengangkat celah bibirnya. Deraz menelan gumpalan lembek hangat itu bulat-bulat, lalu mengembuskan napas.

“Tuh kan, bisa,” Bunda menatap Deraz senang. “Bunda buatkan nasi goreng, ya.”

… aku dilempar-lempar di wajan dengan minyak yang berasap sampai sekujur badanku gosong ….

Deraz menggeleng.

 

Di sekolah pun Deraz tidak suka jajan apa-apa. Dean sudah membawa Deraz berkenalan dengan setiap penjual jajanan di sekolah itu. Tetapi tidak ada satu pun jajanan yang menarik bagi Deraz. Deraz menemani saja sementara Dean membeli jajanan untuk mereka berdua, yang kemudian dihabiskan oleh dia sendiri.

Ketika malam, semua jajanan itu membangun mimpi Deraz. Ia menginjak tanah becek kecokelatan yang menyerupai potongan batagor dengan kecap dan saus kacang. Lalu di hadapannya muncul monster hijau besar yang di sekujur tubuhnya tumbuh bisul serupa kue ape. Di mata monster itu menggantung belek putih bulat besar yang mengingatkannya pada cilok. Yang lebih mengerikan lagi, dari permukaan batagor itu tiba-tiba menyembul ulat-ulat raksasa berwarna kuning keemasan yang dari mulutnya menyemburkan cairan merah kental.

Padahal cakue mini jajanan kesukaan Dean. Deraz memandang jijik ketika Dean melahapnya satu demi satu sembari mengecap ujung-ujung jarinya yang berlumuran saus.

“Enak lo!” Dean sama sekali tidak peduli pada ekspresi Deraz.

Deraz sudah melihat semua kakus sekolah itu. Ia tidak mau makan makanan yang begitu kemudian sakit perut dan terpaksa buang air besar di salah satu kakus itu.

Ia tidak mau banyak minum atau nanti tahu-tahu kebelet kencing di sekolah. Tidak air putih, tidak juga susu yang padahal sangat ia sukai selama tinggal bersama Oma Buyut dan Opa Buyut.

Dari aromanya saja susu di sini membangkitkan mual. Ia melihat bubuk serupa tepung itu disendokkan ke dasar gelas kemudian dikocok-kocok dengan air panas. Benarkah itu susu? Susu yang Deraz nikmati diperah dari ambing sapi yang montok-montok saat subuh, diantarkan Günther ke rumah Opa Buyut pagi-pagi, kemudian dimasak Olga untuk disajikan hangat-hangat saat sarapan. Deraz mengernyit memandang susu yang dibuat dari bubuk di hadapannya kini. Benarkah ini susu? Ia mencoba meminumnya dan seketika itu juga ingin muntah. Ia tidak mau menyentuhnya lagi.

Bunda membelikan Deraz susu cair dalam kotak. Rasanya tidak seburuk susu bubuk, tetapi tetap saja kalah segar dibandingkan dengan susu sapi Günther.

Dean dan Zara jadi ikut-ikutan ingin beralih dari susu bubuk. Mereka merengek ketika Bunda membuatkan Deraz sarapan khusus berupa oatmeal, kismis, kuaci, potongan pisang, dan yoghurt. Makanan apa lagi ini? Deraz sungkan memakannya diiringi tatapan senewen Ayah serta rajukan iri Dean dan Zara. Nasi goreng dadar bayam jadi tidak laku. Seandainya saja di hadapannya ada sosis buatan Ute—istri Günther, itu sudah cukup.

Deraz tidak hendak memasukkan apa-apa lagi ke mulutnya.

“Deraz, makan, ya?” bujuk Bunda. “Memangnya Deraz enggak lapar?”

Tidak sama sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain