Sabtu, 17 November 2018

(16)

Deraz dan Dean berhasil lulus dari SD. Tetapi nilai mereka tidak mencukupi untuk masuk ke SMP negeri. Mereka pun dimasukkan ke SMP swasta di tengah kota. Deraz langsung merasa nyaman dengan sekolah itu, apalagi toiletnya seperti di hotel berbintang.

SMP tersebut memiliki banyak ekskul. Tentu saja Deraz memilih ekskul sepak bola. Ia juga tertarik dengan English Club sejak melihat para anggotanya berlatih debat. Rasanya keren bisa berbicara cepat-cepat dan meyakinkan. Selain itu, ia ingin mengasah kemampuannya berbahasa Inggris. OSIS juga sepertinya menarik.

Baru sekitar satu semester Deraz bersekolah di SMP, ada berita duka. Pak Karman meninggal dunia pada usia 63 tahun. Saat itu Jumat Ramadan. Bunda membawa Deraz dan Zara menengok ke rumah duka.

“Deraz, Zara, masih mau diterusin ngajinya? Kalau mau, nanti dicarikan guru lagi,” kata Bunda ketika mereka pulang. Bunda tahu keduanya sama-sama sudah lancar membaca Alquran. Anak-anak tidak segera menjawab.

Beberapa lama sepeninggal Pak Karman, Bunda melihat Deraz menjadi lebih pendiam daripada biasanya sementara Zara biasa saja. Kadang Bunda mendapati Deraz duduk menyendiri di balik tempat tidurnya. Bunda mendekati Deraz. Ujarnya, “Deraz, mau ikut kursus yang lain? Di sekitar sekolah Deraz kan banyak tempat kursus. Di depan ada kursus musik, terus di samping ada kursus bahasa Jerman sama kursus bahasa Inggris.”        Deraz mengiyakan saja ketika Bunda mengajaknya meninjau tempat-tempat kursus tersebut.

Keluar dari tempat kursus musik, Bunda bertanya pada Deraz, “Dulu waktu sama Oma Buyut disuruh belajar piano, enggak?”

“Iya, Bu.”

Bunda tersenyum. “Dulu Bunda dikursusin piano sama Oma Buyut, tapi Bunda enggak suka. Oma Buyut senang sekali sama piano. Opa Buyut pinter mainnya.”

Deraz diam saja mengenang permainan piano bersama Opa Buyut dalam benaknya.

“Deraz mau ngelanjutin belajar piano? Nanti bisa gantian pakai piano Dean.”

Deraz menggeleng.

Di tempat kursus bahasa Jerman, ternyata ada persyaratan bahwa peserta harus berusia minimal lima belas tahun atau duduk di kelas satu SMA. Bunda menjelaskan bahwa Deraz pernah tinggal di Jerman dan dapat berbicara bahasanya. Resepsionis mengusulkan supaya Deraz mengikuti tes penempatan saja dulu. Deraz jadi mengetahui bahwa banyak anak SMA mengambil kursus bahasa tersebut karena hendak kuliah di Jerman. Ada banyak keunggulan kuliah di sana, di antaranya biaya pendidikan yang gratis di sebagian tempat. Deraz jadi teringat pada keinginannya dulu untuk kembali ke Jerman. Sekarang ia sudah lancar bersepeda, tetapi tabungannya masih jauh dari cukup. Tetapi itu tidak penting lagi, karena ia sudah menemukan satu cara yang lebih menarik untuk kembali ke sana.

Dari tempat kursus bahasa Jerman, Bunda mengajak Deraz ke tempat kursus bahasa Inggris, yang letaknya hanya beberapa bangunan di sebelah kiri. Dari situ, Bunda membawa Deraz ke dua tempat kursus bahasa Inggris lain yang ada di sekitar area itu namun letaknya lebih jauh.

“Nah, gimana, Deraz? Ada yang tertarik?” tanya Bunda ketika mereka pulang.

Deraz memutuskan bahwa ia ingin mencoba belajar gitar. Ia pernah melihat beberapa anak membawa gitar ke sekolah, dan mereka tampak keren. Ia juga memilih tempat kursus bahasa Inggris yang jaraknya sekitar tujuh belas menit berjalan kaki dari sekolahnya. Kursus bahasa Inggris akan sangat menunjang Deraz di English Club.

Untuk kursus bahasa Jerman, Deraz mempertimbangkan untuk mengambilnya ketika SMA nanti. Tumbuh angan-angannya untuk berkuliah di Jerman juga. Ketika tinggal di sana nanti, tentu ia bisa mengunjungi Bruno sesekali. Bagaimana kabar Bruno sekarang, ya? Tidak pernah ada balasan atas surat-surat yang dulu dikirimkannya ke tempat Opa Buyut. Tidak terasa sudah bertahun-tahun Deraz meninggalkan anjing itu. Sekarang Bruno pasti sudah bertambah besar. Deraz menghitung usianya berarti sudah tujuh tahun.

Bunda membelikan Deraz gitar Yamaha akustik. Selain belajar gitar di tempat kursus, ia juga bergabung dengan Akustik Club di sekolah.

“Nama gitar kamu apa?” tanya Dean.

Deraz bingung. Haruskah memberi alat musik nama?

“Kalau piano aku namanya Baby,” kata Dean lagi.

Kemudian terlintas di pikiran Deraz, “Othello,” walau ia tidak ingat dari mana nama tersebut.

Belajar gitar ternyata cukup mengasyikkan. Deraz suka mendengar dentingnya. Hatinya menjadi tenteram. Kadang Dean mengajaknya bermain bersama. Malah Ayah menyuruh mereka bikin band sekalian dengan Zara, yang memang sudah lama mengikuti les biola. Tetapi hal itu tidak pernah terwujud, karena Dean dan Zara lebih suka mencela permainan satu sama lain.

Selain itu, Deraz mulai suka mengamati papan pengumuman kalau-kalau ada informasi mengenai lomba tertentu. Ia merasa tertarik mengikuti lomba apa pun. Ia pernah mendaftar lomba catur, walaupun belum pernah memainkannya. Setelah mendaftar, barulah ia mencari bacaan tentang itu dan mempelajarinya. Ia tidak berpikir untuk menang, tetapi penasaran saja apakah sesungguhnya ia memiliki potensi di situ. Begitu juga dalam lomba-lomba lainnya. Setelah mengikuti lomba, barulah ia mengetahui kemampuannya. Jika hasilnya lumayan atau bagus, barulah ia berhasrat untuk bisa menang dalam kesempatan berikutnya.

Jadwal Deraz mulai padat. Di samping belajar dan berlatih untuk lomba-lomba yang hendak diikutinya, tiap hari ada saja ekskul atau kursus. Senin dan Kamis malam latihan kickboxing. Selasa latihan sepak bola. Rabu waktunya English Club, sedang Jumat Akustik Club. Belum lagi kursus gitar sekali seminggu, kursus bahasa Inggris dua kali seminggu, serta kegiatan OSIS yang kadang mengambil waktu pada akhir pekan. Deraz mulai mengenal lebih banyak rute angkot dan tabiat para sopirnya.

Ketika menang lomba menulis esai, Deraz memperoleh hadiah tabungan pendidikan. Bunda segera membantunya mengurus pembuatan kartu ATM. Bunda hendak mengirim tambahan uang jajan ke rekeningnya tiap bulan. Kata Bunda, “Jangan bilang-bilang Ayah, Dean, sama Zara, ya. Bunda kasih Deraz uang lebih karena sekarang kan Deraz banyak aktivitas. Deraz harus banyak makan. Apalagi Deraz kalau makan pilih-pilih. Sekarang Deraz bisa beli makanan apa aja yang Deraz suka, sama kalau ada keperluan buat OSIS dan sebagainya. Bunda percaya sama Deraz. Uangnya digunakan seperlunya. Tiap habis dari ATM, Deraz SMS ke Bunda ambilnya berapa dan keperluannya untuk apa. Ya?”

“Iya, Bu,” ucap Deraz serius. Uang jajan yang biasa ia terima setiap hari bolehlah ia bagi bersama Dean. Tetapi untuk yang satu ini, sesuai dengan amanat Bunda, akan ia rahasiakan baik-baik, terutama dari Dean, pastinya.

Deraz jadi semakin memerhatikan Bunda. Bunda tampak tidak pernah tidur. Ia tidur paling malam dan bangun paling pagi. Ia selalu tampak sibuk mengerjakan sesuatu, entahkah berkutat dengan laptop dan buku-buku tebal di ruang tengah, menyiapkan makanan untuk keluarga, atau mengurus keperluan anak-anak. Ia juga selalu tampil cantik dan wangi, baik di luar maupun di dalam rumah. Ketika merasa capek, Deraz tinggal melihat Bunda yang sepertinya tidak mengenal lelah.

Walaupun tidak ada PR atau ulangan, Deraz tetap bergabung bersama Bunda di ruang tengah. Ia membawa buku pelajaran dan membaca bab yang sepertinya akan dibahas besok di sekolah. Dengan begitu, ketika guru menerangkan bab tersebut ia sudah ada gambaran. Ia menandai bagian-bagian yang tidak dimengertinya. Jika Bunda tidak bisa menjelaskan, ia akan menanyakannya kepada guru. Ketika ulangan tiba, persiapannya menjadi lebih ringan.

Melihat Deraz ikut-ikutan bertahan di ruang tengah sampai menjelang tengah malam, Bunda menegur. Apalagi dilihatnya Deraz sebetulnya sudah mengantuk. “Deraz enggak tidur?”

“Ibu juga enggak tidur,” sahut Deraz.

“Bunda masih ada pekerjaan.”

“Saya juga.”

“Lo, katanya enggak ada PR sama ulangan?”

“Iya, tapi saya mau belajar.”

“Deraz harus banyak istirahat. Besok latihan kickboxing sampai malam, kan?”

“Ya …. Tapi Ibu juga tidak tidur.”

Bunda tersenyum. “Ya udah. Bunda juga mau tidur sekarang. Dilanjutkan besok lagi.”

“Tapi pekerjaan Ibu masih ada.”

“Istirahat juga penting.” Bunda sudah mematikan laptop. “Yuk?” ucapnya sembari beranjak.

Deraz tidak tahu bahwa beberapa jam kemudian pada dini hari Bunda bangun lagi melanjutkan pekerjaannya. Kalau sudah kadung terlelap, Deraz sulit sekali bangun. Ia mulai memasang alarm supaya bangun lebih pagi, tetapi selalu Dean yang mematikannya kemudian membangunkan saudaranya itu dengan segala cara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain