Aku membuka sebuah buku setebal
sekitar 1000 halaman. Warna halaman buku tersebut sudah menguning. Buku ini
terbit di tahun 80-an. Sepertinya sudah tidak ada lagi yang menjual buku ini
sekarang.
Isi buku tersebut mengenai keadaan
Bandung tempo dulu. Gaya bahasanya cukup enak dibaca. Penulis terkesan ingin
berakrab ria dengan pembacanya. Namun saat ini aku sedang tidak tertarik untuk
membaca. Aku memerhatikan gambar-gambarnya saja. Gambar-gambar tersebut berupa
ilustrasi tangan maupun foto hitam-putih.
Aku sampai pada halaman di mana
terdapat sebuah foto yang menunjukkan Gedung Palaguna pada awal berdirinya.
Palaguna menjadi mal favorit masyarakat Bandung waktu itu. Kita juga bisa
menonton bioskop di sana. Kemudian mal lain bermunculan di kota kembang. Setelah
krisis moneter tahun 1998, keeksisan Palaguna kian pudar. Tempat tersebut jadi
terkesan kumuh dan menyeramkan. Sarang PSK dan kecoak.
Saat aku meninjau ke sana
akhir-akhir ini, lantai dasar gedung masih digunakan. Ada beberapa toko yang
buka. Katanya kontrak mereka akan berakhir tahun 2014. Banyak wacana mengenai
akan dibangun apa Palaguna setelah itu: RTH; perpustakaan; pusat seni dan
budaya; macam-macam.
Kubuka halaman lagi. Kali ini aku
melihat Taman Tegallega tempo dulu. Gerbangnya yang melengkung jadi ciri khas. Taman
tersebut telah ditetapkan statusnya menjadi kawasan konservasi setelah acara
penanaman tanaman langka dari negara-negara Asia-Afrika dalam peringatan 50
tahun Konferensi Asia-Afrika beberapa tahun lampau. Sejak keluarnya perda mengenai
pengelolaan taman tersebut, pengunjung diharuskan membayar retribusi agar dapat
memasukinya. Yang aku herankan, penarikan retribusi ternyata tidak selaras
dengan keadaan fasilitas yang ada di sana. Jembatan dan kandang burung
terbengkalai. Sampah-sampai bertebaran. Kutemukan banyak pula pedagang di sana
padahal sudah jelas peraturan—yang terpampang besar-besar setelah gerbang yang kumasuki—mengatakan
bahwa tidak boleh ada pedagang di dalam kawasan.
Aku mengusap foto tersebut dengan
telapak tangan kananku. Permukaan halaman terasa halus. Tiba-tiba seberkas
cahaya menyeruak dari foto tersebut. Aku merasa seperti terhisap.
Udara kering Bandung menyergap
tubuhku. Sekelilingku tampak agak buram, sephia, sebagaimana kualitas foto yang
kuusap tadi. Tapi mungkin juga karena langit tengah mendung atau waktu sudah
menjelang petang. Cukup banyak orang di taman ini sedang melakukan aktivitas
yang lumrah dilakukan pada sore hari seperti joging, bersepeda, atau sekadar
nongkrong. Aku pandangi langit biru muda-pudar yang menaungiku. Tajuk pepohonan
mengisi sekitarnya. Aku turunkan pandangan ke bawah. Aku dapatkan panorama yang
tak asing. Monumen Bandung Lautan Api di seberang sana jelas menunjukkan bawah
aku tengah berada di Taman Tegallega.
Namun demikian, keadaan tampak
berbeda dari keadaan taman tersebut yang terakhir kali aku kunjungi—sekitar
sebulan lalu. Sekilas, aku mendapati perbedaan pada keadaan infrastruktur. Dan
terutama adalah pakaian yang dikenakan oleh orang-orang yang ada di sini.
Rata-rata mereka mengenakan pakaian dengan warna cerah mencolok. Potongan
rambut mereka pun sangat zadul. Kebanyakan memiliki rambut mengembang. Sadarlah
aku. Sepertinya aku sedang berada di era dua dekadean lampau. Aku langsung ngeh
kalau yang kukenakan adalah jaket kulit dan celana jins yang melekat dari
pinggang—bukan pinggul seperti yang jadi tren di eraku.
Lalu aku perhatikan orang-orang yang
tadinya tersebar tak teratur mulai bergerak membentuk suatu formasi. Aku
tergiring menjadi bagian dari kumpulan tersebut. Entah dari mana datangnya, aku
mendengar suara ketukan yang berirama. Keras sekali. Seperti ada sekian speaker
mengepung kawasan ini, tapi aku tak melihat satu pun. Apakah tersembunyi di
balik rimbun pepohonan? Segera, musik enerjik khas era ini menyusul. Tubuh
orang-orang bergerak, tubuhku juga. Gerakan kami sama, begitu pula langkah
kami. Suatu tarian massal. Tapi aku yakin ini bukan SKJ.
Musik tak terasa lagi datang dari
berbagai penjuru, melainkan menguar dari tubuh kami. Menjadi atmosfer yang kami
hirup dan menggerakkan kami. Aku lihat di kejauhan sepasang laki-laki dan
perempuan. Aku kira mereka beberapa tahun lebih tua dariku. Pakaian mereka
tidak berbeda dari kami. Rambut yang perempuan dikuncir ekor kuda. Tinggi badan
yang laki-laki mungkin beberapa belas cm lebih tinggi. Rambutnya lurus lebat
dan berponi panjang. Ia mengenakan kaca mata.
Tubuhku terus bergerak melakukan tarian yang sama dengan
orang-orang lainnya, namun kuusahakan mataku tak lepas dari mereka. Lengan
kananku melipat, menusuk ke kanan, ganti lengan satunya. Kakiku juga bergerak
ke kanan lalu ke kiri.
Orang-orang membentuk dua kelompok
dengan laki-laki dan perempuan itu berada di depan masing-masing kelompok.
Mereka juga melakukan gerakan yang sama dengan kami. Lalu aku lihat yang perempuan
mendekat ke arah yang laki-laki. Laki-laki itu juga ikut maju. Mereka tidak
dalam tarian yang sama lagi. Perempuan itu bernyanyi. Gerakannya tak lagi sama
dengan kami. Begitupun yang laki-laki. Ia merespons gerakan perempuan tersebut
dengan gerakannya sendiri.
“Teringat ku di masa lalu
Bersenda di taman yang indah
Sungguh riangnya di hatiku
Karna kini kita berjaya
“Citaku tercapai
Punyai kebebasan
Dan dikau berjaya, telah berjaya…”
Beberapa
perempuan maju dan menari mengikuti gerakan perempuan berkuncir ekor kuda.
“Sinaran, mentari menyinari
Menusuk ke jiwaku
Ketika bersamamu
Masanya bila kita berdua
Bagai mahligai indah yang tumpah di muka dunia.”
Ganti
laki-laki itu yang bernyanyi.
“Ikatan telah dijalinkan
Hatiku terima ketika
Segala rasanya di jiwa
Kemesraan terjalin cinta
"Citaku tercapai
Punyai kebebasan
Dan dikau berjaya, telah berjaya..”
Beberapa
laki-laki juga maju lalu menari mengikuti gerakan lak-laki berkacamata
tersebut.
"Sinaran, mentari menyinari
Menusuk ke jiwaku
Ketika bersamamu
Masanya bila kita berdua
Bagai mahligai indah yang tumpah di muka dunia.”
Saat menyanyi, gerakan mereka menyesuaikan kata-kata yang
mereka lantunkan. Ketika tak menyanyi, gerakan mereka jadi sama lagi dengan
kami. Aku perhatikan terus mereka sementara kedua lenganku terangkat ke atas,
bergoyang, lalu turun lagi. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa hapal koreografi
ini. Tubuhku bergerak dengan sendirinya. Mungkin begitu pula yang dialami
orang-orang di sekelilingku. Ekspresi mereka tampak berseri-seri. Aku jadi ngeh
kalau mungkin hanya aku yang bertampang bengong karena sukar memahami apa yang
terjadi.
Musik melambat. Perempuan berkuncir ekor kuda itu maju lagi
dan menyanyi. Tubuhnya dan tubuh laki-laki berkacamata mendekat.
“Oh perihnya rasa
Pabila di kala tiada
Bagai kenangan yang tiba mewujud cahaya sedang menyinar…
Oooo…”
Lalu mereka menari lagi bersama kami selama beberapa lama.
Kami meloncat. Lengan kami bergerak serentak. Kaki kami lincah ke sana ke mari.
Lalu sejoli itu berpisah lagi dari kelompok mereka masing-masing. Tubuh mereka
kembali mendekat. Aku dengar laki-laki itu bernyanyi,
“Citaku tercapai
Punyai kebebasan
Dan dikau berjaya, telah berjaya…”
Mereka mundur lagi dan bergabung
bersama kami. Mereka tetap bernyanyi, bergantian seperti saling menyahut, namun
gerakan mereka tetap sama seperti kami.
“Sinaran, mentari pun menyinar
Pabila dikau pulang
Bersama ku semula…
Masanya bila kita berdua
Bagai mahligai indah
yang tumpah di muka dunia…”[1]
Mereka tak lagi bernyanyi,
setidaknya bukan lagi berupa kata-kata utuh, melainkan seperti “uuu~huhu…” atau
“duruduruuududu…” atau seperti itulah. Bergantian. Mereka tak lagi menari,
melainkan saling mendekat lagi dan memandang lekat tiada putus. Mungkin mereka
sepasang kekasih yang baru jadi.
Musik kontan berhenti seiring dengan kedua lengan kami semua,
para penari, yang terangkat ke atas. Hal itu membuatku agak terkejut. Lalu
orang-orang bubar.
Aku menegur salah seorang perempuan berbaju
pink menyala yang ada di dekatku. “Ada apa ya?” tanyaku.
Ujarnya, “Oh, sebentar lagi mereka
jadi suami istri. Kemarin baru lamaran.”
Perempuan itu berlalu sementara aku
manggut-manggut. Mereka sebetulnya tampak tidak asing bagiku. Tapi, entahlah,
aneh juga. Baru saja aku balik kanan, bermaksud meninjau keadaan taman ini di
tahun 80-an, ketika tubuhku terasa seperti terangkat, lenyap, dan terduduk lagi
di atas kasur. Terasa beban berupa buku tebal yang telah menghisapku tadi di
atas pangkuan. Sejenak pikiranku seperti kosong sebelum kemudian memahami apa
yang barusan kualami.
Inilah pengalaman pertamaku jadi
penari latar.