Selasa, 31 Januari 2012

pengganti cerpen


inilah jadinya ketika saya ingin menulis cerpen tapi tidak bisa

*"ngomong"

akhirnya si cowok jalan-jalan sore ke taman dan...



Senin, 30 Januari 2012

Andai Duniamu Sunyi dan Kelam


Pagi menjelang siang. Saya bersiap untuk mengurus skripsi saya lagi. Saya memilih sebuah cakram yang menyimpan lagu-lagu dari Rumah Sakit—band indie Indonesia era 90-an—untuk menemani saya.

harmonika yang sudah lama tak kukecup
Di cakram itu, tersimpan pula lagu-lagu yang memuat permainan harmonika. Saya mengumpulkan lagu-lagu tersebut saat lagi keranjingan harmonika. Salah satu lagu yang terkumpul mengombinasikan permainan harmonika dengan beatbox.

Mendengar dentuman-dentuman yang dicipta mulut, seketika ingatan saya melayang pada kenangan saat saya jadi sukarelawan dalam salah satu acara pendamping Biennale Jogja XI, yaitu Family Day, 11 Desember 2011 lalu. Tugas saya waktu itu adalah mengurus bahan dan peralatan masak yang digunakan selama lomba memasak makanan India.

Ada tiga sesi dalam lomba. Jeda pergantian sesi dua dengan sesi berikutnya diisi oleh pertunjukan beatbox. Namun ini bukan beatbox biasa. Tiga pemuda mula-mula tampil untuk mengkreasikan permainan mulut. Di antara mereka ada yang tuna rungu. Selanjutnya, lebih banyak anak muda tampil. Kebanyakan mereka adalah laki-laki. Jumlah semuanya tidak sampai belasan, saya kira. Semuanya tuna rungu. Dengan mengandalkan dentuman yang teraba jantung, mereka menemukan irama yang memandu mereka dalam menampilkan koreografi. Tidak hanya tubuh yang bergoyang, gerakan tangan mereka juga merangkai lirik-lirik yang hanya bisa dimengerti kalangan tertentu. Bahasa isyarat, ya.

Dari belakang panggung, saya melihat wajah-wajah terpana yang menyaksikan pertunjukan luar biasa… yang memang hanya bisa saya saksikan dari belakang itu…

Sesudahnya, seorang pria—katakanlah om pendamping—naik ke panggung juga. Dia menjelaskan bahwa ketika kita, audiens, bertepuk tangan—semeriah apapun—itu tidak begitu berarti bagi mereka. Ia memberitahu kami bagaimana cara yang lebih tepat dalam mengapresiasi mereka. Saya lupa bagaimana, maaf, he he.

Tapi tidak hanya itu yang ia sampaikan pada kami. Ia menjelaskan apa yang sebenarnya para penampil kita tadi sampaikan melalui gerakan-gerakan mereka—gerakan tangan terutama. Kami diberitahu bagaimana cara menyampaikan cinta kami pada mereka. Ini yang paling saya ingat. Kepalkan jari, lalu berdirikan kelingking serta telunjuk dan jempol. Tanda metal? Ya—bukan. Ini artinya “I Love You”. Kelingking merefleksikan “I”—“Aku”—sedang telunjuk dan jempol membentuk “L” dari “Love”. “U” alias “You”—“Kamu” dibentuk kelingking dan telunjuk. Begitulah interpretasi sok tahu saya, disebabkan daya ingat saya yang terbatas.

Kalau tidak salah pula, beberapa hari atau minggu setelah acara tersebut, mereka tampil lagi di Taman Budaya Yogyakarta.

Setelah kenangan itu, saya membayangkan jika dunia saya menjadi sunyi. Yang Cinta AADC katakan jadi semata dusta. Saya sudah ke pasar, tapi tidak hingar bingar. Saya sudah pecahkan gelas, tapi tidak ramai. Mengapa saya harus belajar menari dengan diiringi beatbox agar orang-orang tertarik pada apa yang ingin saya sampaikan? Memangnya mereka mengerti gerakan-gerakan tangan saya? Mengapa mereka harus memerhatikan saya?

Renungkan saja. Betapa komunikasi lisan begitu berarti bagi kehidupan kita. Betapa kita kangen mendengar candaan teman-teman kita. Betapa kita tenteram kala mendengar orang mengaji. Betapa kita seolah tiada energi kalau tidak mendengarkan musik sama sekali barang sehari saja.

Siang. Cakram yang sama memperdengarkan lagu “Beautiful” dari Belle Sebastian—band indie Skotlandia. Lagu ini adalah tentang Lisa yang karena suatu hal akan menjadi buta. Tidak ada yang bisa dilakukan lagi untuk mengubah itu, terepresentasikan dalam penggalan, “They let Lisa go blind.” Sang pendendang kemudian menuturkan proses yang dialami Lisa dalam menghadapi situasi tersebut.

Saya seperti mendengar Lisa berkata,


Orang-orang bilang aku cantik, tapi aku tidak bisa melihatnya
Meski aku sudah minta dihadapkan pada kaca,
                                namun tetap yang kulihat, kelam


Renungkan saja. Bagaimana mata telah membukakan sebegitu luasnya dunia pada kita. Bagaimana menyapukannya pada kata-kata lantas memaknainya telah jadi kebutuhan yang tidak bisa dilepaskan. Bagaimana sosok aktor dan aktris dalam layar melarikan kita dari kebosanan akan kehidupan biasa. Bagaimana seulas senyum dapat menampakkan artinya, bahkan menjadi sedekah, melalui mata.

Bagaimana jika hidupmu tanpa itu?
Apa kamu rela potensi dirimu yang besar itu tersia-siakan hanya karena satu saja indramu tak berfungsi?
Apa kamu akan biarkan nila setitik merusak susu sebelanga?
Tidakkah potensi bagai susu, bagi mereka yang suka susu?

Daripada tertohok sendiri, mending bagi-bagi. Barangkali ada di antara kamu yang lebih bisa menyatakan peduli?

Minggu, 29 Januari 2012

my life is tragically amusing, but I cannot laugh


                Sore kemarin, saya dan Mama keluar rumah bersama. Setelah mobil diparkir di Jalan Banceuy, hampir di depan pabrik kopi AROMA, kami menyusuri jalan tersebut lalu belok ke Jalan ABC.
                Dua orang teman menyebut Jalan ABC ketika saya minta rekomendasi tempat membeli alat perekam suara.
                Setelah memasuki beberapa toko, seorang karyawan toko yang terakhir mengarahkan kami ke sebuah toko di seberang jalan yang bersebelahan dengan apotek.
                Betul saja. Toko tersebut menjual berbagai alat perekam suara. Harga yang termurah adalah 275K namun itu ternyata walkman. Alat perekam suara dengan hasil rekaman dalam format mp3 berharga satu jutaan. Mp3 player sebenarnya bisa digunakan untuk merekam suara, hasilnya dalam format mp3 juga, tapi toko itu tidak menjualnya. Jadi kami tidak mengeluarkan uang di toko tersebut.
                Mama menawarkan saya untuk membeli saja jika alat tersebut memang akan sering digunakan. Namun saya tidak yakin kelak saya akan sungguh jadi wartawan. Toh maksud saya cari alat perekam suara sekarang hanya untuk penelitian—meski untuk hal lain, sesekali, juga akan diperlukan.
Orangtua, bagi saya, biarpun sudah sekian kali mengata-ngatai, pun menurunkan harga diri (anak) dengan atau tanpa disadari, namun masih sudi memberi jika diminta. Di situlah letak kemuliaan mereka.
                Mama penasaran untuk memasuki sebuah toko yang sangat besar—paling besar di antara yang lain, menyerupai mal sebetulnya—yang sebelumnya telah kami lewati. Kalau tidak salah toko-tapi-mal itu bernama LOGIN STORE.
                Begitu hendak menaiki eskalator—langsung tersedia di tepi jalan, Mama menginjak sebuah keset. Tapi itu bukan keset biasa. Keset itu berbentuk lonjong, ada rumbai-rumbai di tepinya, dan berada di atas tumpukan keset lain yang serupa. Pemilik keset-keset itu jelas menyaksikan kejadian tersebut.
                Kata saya dalam dialek Sunda yang sudah dialihkan ke bahasa Indonesia, “Ma, kok diinjak sih, itu kan barang dagangan!”
                Mama sontak mengucap maaf. Ketika sudah di eskalator, kami masih membicarakan insiden itu agar situasinya lebih jelas.
                Lalu Mama bilang kalau kesetnya yang menghalangi.
                Kalau situasi seperti ini ada dalam serial komedi yang biasa saya tonton, saya akan tergelak. Saya teringat karakter Pierce Hawthorne dalam “Community”[1]. Pria berambut putih itu suka mengalihkan kesalahannya.
                Usai melihat barang-barang elektronik dalam bangunan tersebut, kami turun dan tidak menemukan sang pedagang bersama keset-kesetnya lagi di dekat eskalator.
                Sempat mampir ke toko yang menjual alat jahit sebentar, kami kembali menyusuri Jalan Banceuy untuk menuju mobil. Kami berpapasan dengan sang pedagang keset—sepertinya memang orang dan barang yang sama.
                Sang pedagang keset tersebut meminta Mama membeli kesetnya. Ia menawarkan harga 10K/keset sedang Mama mengajukan 5K lalu 15K/2 keset. Ia setuju. Mama memilih dua keset. Pedagang tersebut menggulung lalu mengikat dua keset tersebut dengan potongan tali rafia yang tahu-tahu muncul dari kantong celananya.
Ketika transaksi terjadi, seorang pria, seorang wanita, dan seorang wanita lagi yang lebih muda mendekat. Tampaknya mereka keluarga dan kami menghalangi mereka menuju mobil merah mereka yang diparkir dekat kami.
Sang pria kelihatan tertarik dengan keset-keset yang bertebaran di paving block. Ketika saya dan Mama meninggalkan lokasi, transaksi baru tampaknya sedang terjadi.
barang bukti kejadian
Alhamdulillah. Sikap yang kurang mengenakkan sebelumnya akhirnya tertebus. Tampaknya kami jadi penglaris, tampaknya. Semoga rezeki sang pedagang bertambah.
Jadi selanjutnya Mama hendak mengeluarkan mobil dari tempat parkir. Karena tidak ada tukang parkir yang sigap, saya keluar mobil lagi dan mencari-cari orang yang berkapasitas. Pria berseragam oranye pun tiba lantas mengerahkan segenap kompetensinya. Mama menyiapkan 2K untuk membalas jasa pria tersebut dengan pamrih selembar karcis parkir. Harga yang tertera di karcis rupanya hanya 1,5K.
“Ya udahlah buat amal (kelebihannya),” kata saya.
Lalu Mama bersyukur karena lembaran-lembaran uang yang diberikannya tadi sudah lecek.
***
Well, I have realized for so long that my life is tragically amusing, but I cannot laugh.
Ini hanya suatu sketsa. 
Kelanjutannya saya tidak mau beri tahu kamu. Tingkat ketragisannya sungguh bikin saya tidak ingin ketawa. Sudah tidak seperti “Modern Family”[2] ala Indonesia lagi.
Tapi hidup tetap harus ditertawakan, begitulah salah satu cara untuk menikmatinya.


[1] Serial komedi AS mengenai sebuah grup belajar di suatu community college. Baru kali ini saya menemukan serial yang menampilkan muslim sebagai salah satu tokoh utama, dengan karakter menarik tentu saja, meski identitasnya sebagai muslim tidak begitu ditonjolkan.
[2] Serial komedi AS mengenai sebuah keluarga besar yang gaya hidupnya rada nyentrik.

Selasa, 24 Januari 2012

Deraz Kecil

 Bunda menyuruhku ikut les mengaji juga.

Sebetulnya, lebih asyik mengaji di TPA. Di sana ada lebih banyak anak-anak. Aku bisa bermain dengan mereka.

Tapi aku tidak begitu suka mengaji.

“Dean kan udah hapal huruf hijaiyah. A ba ta tsa…” Aku menyenandungkan hapalanku.

“Udah sampai Iqra berapa?” Aku meringis. “Biar lebih lancar ngajinya ya…”

Sore itu juga kami les mengaji. Aku dan Deraz. Sebetulnya Deraz yang tidak bisa mengaji. Bukan pengalaman yang enak melihat wajah Deraz ketika dia menjadi satu-satunya anak di kelas yang tidak bisa membaca huruf hijaiyah. Dia juga tidak tahu gerakan solat. Padahal seharusnya dia sama dengan aku, Zara, Bunda, dan Ayah. Kami semua muslim.

Dia belum seminggu di sini. Dia mulai tinggal bersama Opa dan Oma di Freiburg sejak usianya tiga tahun hingga tujuh tahun setelahnya. Lalu Opa dan Oma meninggal. Oma duluan, Opa kemudian. Jadi Bunda dan Ayah membawanya kembali bersama kami. Sekarang kami tinggal di Bandung.

Aku senang sama Deraz. Meski dia pendiam. Kami harus bicara dengannya dalam bahasa Inggris yang aku sudah tidak biasa lagi. Hanya bahasa itu dan bahasa Jerman yang dia mengerti. Dia harus belajar bahasa Indonesia supaya bisa mengerti pelajaran di sini. Bahasa Sunda semakin membingungkannya, apalagi bahasa Arab.

Aku selalu mendampinginya. Supaya kalau ada yang dia tidak mengerti, aku bisa langsung memberitahunya. Tapi kalau dalam menyerap pelajaran, aku bukan anak yang pintar. Tapi Deraz selalu bawa kamus ke mana-mana.

Termasuk dalam belajar mengaji. Malam sebelumnya, Deraz memintaku untuk mengenalkannya pada huruf hijaiyah. Semuanya. Dia sudah punya Iqra sendiri. Dia mencatat cara pengucapan menurut lafalku di bawah setiap huruf. Sementara aku mulai terlelap, dia masih belajar mengeja. Aku tidak tahu jam berapa dia tidur.

Pak Karim adalah guru PAI SD yang sekaligus tetangga kami. Aku mengenalkannya dengan Deraz dan mengenalkan Deraz padanya. Deraz terlihat canggung pada pria tua berkopiah itu. Padahal Pak Karim orang yang baik. Beliau mendengarkan dengan sabar setiap perkataan Deraz dalam bahasa Indonesia yang masih patah-patah.

Aku lebih banyak memerhatikan. Aku sendiri tidak begitu minat belajar mengaji, jadi biar Deraz dengan Pak Karim saja terus. Tapi sedikit-sedikit aku menimpali supaya Deraz jadi lebih santai.

Deraz menunjukkan hapalannya semalam pada Pak Karim. Dia berusaha terdengar yakin saat mengucapkan setiap huruf.

Kemudian, dengan pelan dan sikap bijak, Pak Karim membetulkan pelafalan Deraz pada beberapa huruf. Setelah menyadari bahwa itu kesalahanku, aku jadi malu dan merasa bersalah. Aku melihat Deraz terus. Kalau nanti dia menoleh padaku, aku akan memberikannya cengiran terbaikku. Tapi tatapannya terarah saja terus pada Pak Karim dalam-dalam.

Sore itu juga Deraz ingin menamatkn Iqra 1. Aku berharap giliranku tidak akan tiba. Tapi kehadiran Bunda kemudian bikin aku mau tidak mau menyelesaikan satu halaman Iqra 2. Deraz memintaku membacanya lagi setelah maghrib. Dia memerhatikan bacaanku dengan saksama. Dia bahkan membetulkan pelafalanku, sesuai yang Pak Karim ajarkan tadi padanya.

Bunda memberi Deraz serangkaian petunjuk solat buat anak. Deraz suka memerhatikan Bunda solat. Zara juga solat ketika Bunda solat. Tapi sesekali dia menoleh pada Deraz yang tengah mengamatinya, sekadar untuk bertukar senyum. Pandangan Deraz berganti-ganti dari petunjuk di pangkuannya lalu ke Bunda dengan Zara—yang mengikuti gerakan Bunda. Meski sudah berhari-hari dia seperti ini, dia masih ragu untuk solat sendiri.

Deraz bertanya padaku kenapa aku tidak solat juga. Aku meringis sambil mengatakan, “Entar, sama-sama Ayah…” Aku harap Deraz tidak menanyakanku lebih banyak tentang solat. Dia kembali menekuni petunjuknya. Mungkin dia sudah tidak sabar untuk bisa membaca rangkaian huruf hijaiyah yang membentuk bacaan solat yang tertera di situ—meski sudah ada cara membacanya dalam huruf latin.

Setelah makan malam, Bunda menyuruh kami untuk mengerjakan PR bersama-sama di ruang tengah. Aku menyelesaikan PR-ku cepat-cepat supaya aku bisa segera main game. Aku tidak peduli jawabanku benar atau salah. Bunda baru melepaskanku setelah ia mengoreksi pekerjaanku lalu menyuruhku mengerjakannya lagi. Ini bisa sampai berkali-kali.

Ketika aku dan Zara gosok gigi, Deraz masih bersama Bunda di ruang tengah. Bunda membantu Deraz menerjemahkan PR, dan bacaan di buku pelajaran yang berhubungan dengan jawaban PR. Bahkan ketika aku dan Zara sudah ganti piyama dan tiduran di kasur masing-masing pun, Deraz masih dobel kerja keras.

Entah aku sudah tidur berapa jam ketika aku terbangun oleh suara-suara di kamar. Aku seperti mendengar isak tangis disertai desahan lembut menenangkan. Kuseret setengah badanku hingga turun dari kasur. Aku ingin tahu apa yang terjadi di kasur satunya, sepertinya suara-suara itu berasal dari sana.

Aku melihat kepala Deraz di pangkuan Bunda. Dia berusaha menangis tanpa suara, tapi aku bisa melihat mulutnya terbuka dan wajahnya merah basah. Bunda terus membelai-belai kepala Deraz.

Aku tidak menyangka akan melihat Deraz menangis. Selama berada di dekatnya, aku selalu melihat Deraz dengan tampang sungguh-sungguh dan siaga menghadapi kesusahan apapun yang pasti datang. Meski aku banyak teman, dan aku berusaha supaya mereka berteman dengan Deraz juga, namun aku tidak bisa mencegah mereka untuk tidak mengecap aneh pada Deraz. Padahal menurutku Deraz tidak aneh. Dia hanya tidak bisa berbahasa Indonesia, apalagi berbahasa Sunda, dan Islam tapi belum kenal cara beribadah.

Aku khawatir jangan-jangan Deraz mengalami perlakuan tidak menyenangkan saat di sekolah tadi. Kadang-kadang ada beberapa anak yang suka begitu sama anak lainnya. Aku juga tidak bisa selalu di dekat Deraz. Kadang-kadang aku menghampiri teman-temanku di sisi lain kelas dan meninggalkan Deraz begitu saja.

Padahal dia kelihatan baik-baik saja saat main bola dengan teman-teman sepulang sekolah. Teman-teman juga kelihatan bisa menerimanya, lain halnya kalau denganku yang memang tidak pintar main bola.

Kepala Deraz sudah tidak di pangkuan Bunda lagi. Bunda masih memeluknya, mendekapnya lebih erat, namun yang aku bisa lihat dari Deraz hanya tampak belakangnya. Kepalanya terkulai ke dada Bunda. Ia mengatakan sesuatu dalam bahasa yang aku tidak mengerti. Mungkin itu bahasa Jerman.

Aku juga suka bermanja-manja pada Bunda, tapi aku tidak pernah menangis sampai didekap Bunda seperti itu. Aku menjalani hari-hariku dengan ringan, jadi aku tidak pernah menumpahkan beban sama Bunda. Pada saat itu aku memahami kalau Deraz adalah orang yang berbeda denganku, meski kami lahir pada puncak malam yang sama, dan justru karena itu Bunda memanjakannya dengan cara yang entah aku juga bakal mengalaminya atau tidak.

Bunda akhirnya menoleh padaku juga. Ia tersenyum. Aku merasa lebih tenang tapi masih ingin terus mengamati mereka.

Ketika Deraz sudah tidak lagi tersedu, Bunda bicara padanya dengan suara yang lembut sekali. “Opa sama Oma pasti sedih juga kalau lihat Deraz sedih begini…” Bunda terus memberikan kata-kata penghiburan. Aku jadi mengerti apa yang Deraz sedihkan. Cerita Bunda kemudian, tentang aku, Ayah, Zara, dan kerabat kami lainnya, malah jadi hiburan buatku juga sampai aku ketiduran.

Besok paginya, aku lihat wajah Deraz masih sembap. Tapi binar matanya memancar lebih kuat. Kelak ia akan jadi manusia luar biasa. Dan justru karena Opa dan Oma yang telah mengasuhnya waktu kecil, itu menjadi hal yang kurang membahagiakan bagi Bunda.

 

24 Januari 2012

Hijab

Kamu tuh kayak enggak pake celana.

Apa?

Deka melirik kekasihnya sebentar sebelum bola matanya meluncur ke arah lain. Tadi pas di angkot. Dari tempat aku duduk, kamu kelihatannya kayak enggak pakai celana.

Angkot nan padat, penumpang lain hanya menyisakan sedikit ruang untuk pantat. Itu pun tidak di seberang kekasih tepat. Lain kali Deka akan bawa mobil sendiri saja.

Raina sadar bahwa Deka telah bicara dengan nada hati-hati. Namun tatapan gadis itu tetap menajam. Kamu sendiri diem-diem ngeliatin kan…

Deka diam.

Tangan kamu juga dikit-dikit ke situ.

Deka menyanggah. Dia tidak melakukannya. Dia tidak melakukannya lagi setelah mereka keluar dari ruang bioskop. Tangannya tidak ke mana-mana saat mereka sudah di angkot, selain terlipat erat di dada, sementara mata mengawasi kekasih—mengedarkan pandang pada penumpang lain kalau-kalau ada yang…—dengan tak terima.

Ya iyalah. Ya iya Deka tidak melakukannya lagi. Soalnya kamu kan enggak dapat tempat duduk di sebelah aku!

Deka berdecak. Itu tidak benar. Keluar dari ruang bioskop, dia berupaya keras untuk tidak melihat ke bawah—apalagi bagian bawah kekasihnya.

Mereka saling bungkam untuk beberapa lama.

Raina menyukai tungkai kakinya nan jenjang, putih mulus tanpa koreng sebercak pun, tanpa rambut sehelai pun, tanpa selulit segaris pun, serta tanpa hitam senoktah pun pada tempurung lutut. Dia tahu kekasihnya suka. Tentu orang lain juga.

Tapi lancang sekali Deka bilang dirinya bak tak bercelana. Tentu saja dia pakai, meski nyaris tertutup blus yang panjangnya melebihi panggul. Gadis gaul manapun akan memakai padanan seperti itu di era kini kalau lagi ingin.

Sepintas memindai pesan-pesan di ponselnya, Raina membaca…

HIJAB CLASS…

Beberapa temannya telah mendaftar. Konon variasi hijab bakal memperindah mereka.

Dia tidak mau berhijab, kalau sekadar untuk memadamkan bara di hati Deka.

.              

Raina dan Deka tidak berjumpa untuk beberapa minggu. Hubungan mereka baik-baik saja. Mereka hanya tidak selalu punya waktu untuk dihabiskan berdua, meski hanya untuk jalan ke mal dengan angkot seperti sebelumnya.

Namun Deka tidak mau lagi naik angkot.

Malam di akhir pekan, dia membawa mobilnya menuju rumah Raina. Akhirnya mereka punya waktu lagi untuk momen penunjang hubungan.

Tadinya Deka hendak menunggu di dalam mobil. Tukar pesan beberapa kali dengan Raina memberitahunya bahwa sang cewek ribet dandan seperti biasa. Mau tak mau Deka turun dari mobil, pasti bersua calon mertua, karena akan lebih baik kalau menanti di ruang tamu saja.

Iya… Bentar lagi keluar…

Itu sms Raina yang baru Deka baca sambil jalan ke pagar. Belum sampai tujuan, ketika mengangkat kepala, ketika itu juga dia terkesima. Dia melihat wajah Raina, tapi tidak dalam penampilan Raina yang biasa. Pashmina melilit kepalanya hingga menjuntai ke dada. Blusnya berwarna senada dengan corak pashmina yang ramai, namun potongannya membuat gadis itu terkesan kalem.

Raina tidak membiarkan Deka terperangah lama-lama. Bahkan ketika Deka hendak pamit pada orangtuanya pun, gerak-gerik gadis itu ingin agar prosesi disegerakan. Ribet, seperti biasa.

Di dalam mobil, sepanjang perjalanan, Deka menanti Raina sedikit-sedikit mencari cermin untuk memperbaiki penampilannya. Ketika sampai tujuan, Deka melihat cermin hanya untuk memastikan apakah gadis itu juga sedang mengamati pantulan bayangan dari objek yang sama.

Hanya itu yang memercikkan kesenangan bagi Deka, selain ocehan ceria Raina mengenai remeh-temeh yang menimpanya selama mereka tak berjumpa.

.

Sebelum Raina turun dari mobil lalu membuka pagar rumahnya, Deka mengaku.

Aku jadi enggak berani nyentuh kamu.

Sepanjang tadi, setiap kali tangan mereka hendak bersentuhan, entah mengapa Deka refleks menarik tangannya. Padahal Raina biasa saja. Tangannya memang biasa digenggam Deka setiap mereka jalan.

Kamu belum biasa sih liat aku pake hijab. Raina tersenyum. Padahal di kafe tadi dia sudah cerita panjang lebar mengenai mula dia berhijab. Setelah sekian lama, akhirnya dia berhenti berpikir untuk menggunakan hijab, dan mulai melakukan sesuatu.

Kamu kepikiran buat ngehijabin hati kamu juga?

Jawabannya muncul setelah jeda lama.

Insya Allah.

Senyum yang sempat hilang itu muncul lagi.

Lanjutnya, aku lebih suka… kamu jaga jarak sama aku karena aku pake hijab, ketimbang gara-gara pakaian aku terbuka.

.

Air mata Raina merebak setibanya gadis itu di kamar. Apalagi ketika dia mendengar mobil Deka menyala lagi lalu lamat-lamat menjauh. Dia disergap perasaan hubungannya dengan Deka tidak akan bertahan lebih lama.

Tentu saja dia tidak mengungkapkan itu saat Deka meneleponnya sekitar sejam kemudian. Hanya ucapan selamat tidur biasa, yang biasa pula untuk melebar ke berbagai ucapan lainnya, dengan suara rendah kadang meninggi—kalau Raina kelepasan memekik atau Deka tak tahan untuk tak tergelak. Suara akan kembali merendah untuk ucapan selamat tidur yang serius, atau ucapan lain sesudahnya.

Na, aku pingin bisa jadi orang yang lebih baik.

…aamiin…

…tapi… aku pinginnya… bukan karena kamu…

Raina mendengar debaran di dadanya dengan lebih jelas.

Deka menggantung kalimat, Raina menarik gantungan tersebut.

….terus karena siapa?

Mungkin sama kayak alasan kenapa kamu pingin pake hijab.

Raina sangat menanti kelanjutannya.

Em… Mungkin pertama-pertama… yang bakal aku lakuin adalah… menjaga hijab kamu. Termasuk hijab di hati kamu.

Raina sudah berhenti berpikir untuk menggunakan hijab. Dia mulai melakukan sesuatu. Dan itu membuatnya memahami.

 

22-24 Januari 2012

Senin, 23 Januari 2012

Rebut Ruang(publik)mu!

Setelah kejadian tak terduga, yang bikin Nur harus “mengusir” Haryo secara halus dan saya jadi gaul secara tak sengaja, jadi juga kami melaju ke Common Room Minggu petang itu, 22 Januari 2012. Selain Nur, Rizka dan Rizkita juga menyerta. Kami adalah yang tersisa dari gerombolan anak belakang angkatan enam sebuah SMP di Kota Bandung.

Tak ada satupun dari kami yang sudah pernah ke Common Room. Setelah memarkir motor di tempat yang lebih benar di depan tempat gaul tersebut, kami bersua rombongan dari ST INTEN yang berjumlah tiga orang—satu cowok dua cewek. Siapa sangka maksud kami sama! Karena pada sungkan, akhirnya saya jadi yang terdepan. Pemuda dari ST INTEN yang jalan di belakang saya bilang kalau dia ke sini mau beli ayam.

Kami melewati kumpulan pria berpakaian dominan hitam sebelum kami benar-benar memasuki bangunan yang menyerupai rumah tersebut. Ada semacam ruang pamer yang kami lalui pula sebelum kami benar=benar berjumpa keramaian. Tentu saja acara sudah dimulai! Nur dan Rizkita masih saja menyimpan sungkan, sedang saya dan Rizka sudi tersedot animo.

Setelah galau beberapa saat yang diakhiri dengan registrasi melalui laptop, Nur dan Rizkita malah cari tempat solat. Saya dan Rizka ikut anjuran untuk duduk di atas rerumputan yang tertimpa block. Tiga muda/i dari ST INTEN mengekor.

Tak afdol kalau disuguhi materi menarik namun tak mengikatnya dalam catatan. Tapi yang saya bawa hanya jaket Nur dan penampilan, ponsel pun tidak! Alhamdulillah Rizka bawa pulpen, tapi tidak sesuatu yang pantas ditulisi. Untung Nur menyimpan bungkus bekas permen karet di kantong jaketnya.

Jadi daripada tidak ada foto saat kejadian untuk mewarnai tulisan ini, saya sajikan saja apa yang menarik saya lantas menarik teman-teman untuk datang ke mari. Gambar ini saya peroleh dari dinding komunitas Aleut di Facebook.


Pembicara pertama berasal dari Keukeun. Dengan tajuk “the spice of space”, kami kira Keukeun ini semacam komunitas yang kegiatannya masak-masak di ruang publik. Karena kami telat, sayang sekali kami tidak mendapatkan materi dari awal. Ketika kami datang, pembicara sedang menerangkan jenis ruang publik yaitu ruang publik terbuka dan ruang publik tertutup. Karena saat itu kami masih mengondisikan diri, maka kami kurang menyerap materi.  

Setelah penjelasan mengenai ruang publik, pembicara menceritakan bagaimana Keukeun memanfaatkan ruang publik yang ada untuk acara komunitas tersebut. Acara yang dihelat entah kapan itu, maklum saat itu konsentrasi belum penuh, tidak hanya melibatkan Keukeun sebagai penyelenggara, melainkan juga warga Cikapundung, pemerintah kota, dan Museum Konferensi Asia Afrika.

Selama lima bulan, Keukeun melakukan pendekatan dengan pihak-pihak lain, terutama warga Cikapundung. Bagi warga, sering ada acara di wilayah mereka namun mereka sendiri kurang menikmati acara tersebut karena tidak diajak. Nah Keukeun ingin menarik partisipasi sebesar mungkin dalam acara yang bakal memindahkan dapur keluar rumah ini.

Acara yang terwujud kemudian tidak sekadar masak-masak di Jalan Cikapundung, tapi juga ada pertunjukan musik dan lain-lain. Menonton video dokumentasi acara tersebut bikin kami penasaran untuk ikut mencicip makanan yang diproses di ruang terbuka.

Ada sebuah kunci yang pembicara berikan:

good ideas x well documented x networking
powerful epidemic

Keukeun berencana untuk bikin acara lagi Februari mendatang. :D

Setelah pembicara pertama undur diri, kami disuguhi sebuah video dari TED. TED sendiri adalah penyelenggara acara ini. TED adalah singkatan dari Technology Entertainment (and) Design. Sebetulnya, selengkapnya adalah TEDX. X di atas berarti independently apa begitu… he he… intinya sih EO yang secara independen menyelenggarakan acara-acara TED.

inilah High Line...!
Video menampilkan seorang pembicara yang menceritakan sebuah rel kereta api mati, dikenal sebagai High Line, di New York. Pemerintah berencana untuk menyingkirkan rel yang telah ditumbuhi rerumputan liar tersebut, namun sang pembicara dengan temannya memiliki gagasan lain.

Mereka merancang agar rel tersebut bisa dimanfaatkan sebagai ruang publik. Jadi rel tersebut akan dibikin jadi semacam jalan layang—bukan untuk kendaraan melainkan agar masyarakat bisa berjalan-jalan! Tumbuhan akan mengisi bagian tengah jalan yang dikeliling gedung-gedung tersebut. Bagian tepi diisi dengan bangku-bangku sehingga para pengunjung bisa duduk dan bercengkerama, selebihnya dihiasi tanaman pula. Kerangka billboard ditaruh di sisi luar jalan bukan untuk memajang iklan melainkan membingkai para pengunjung yang berada di baliknya.

Setelah video mengenai gagasan nan menakjubkan itu, seorang pembicara yang konon “tamu misterius” tampil di depan kami. Dia adalah Gadis, siswi kelas dua SMAN 19 Bandung, yang sudah aktif berkomunitas sejak kelas tiga SMP. Dia merupakan salah satu penggagas Hayu Ulin di Baksil! (HUB).

Baksil alias Babakan Siliwangi adalah hutan kota di dekat ITB yang pernah hendak dibangun jadi kondominium dan macam-macam, namun kelompok-kelompok masyarakat gigih mempertahankannya sebagai ruang terbuka hijau.

Apa yang dia sampaikan berhubungan dengan video TED sebelumnya. Bermula dari kesukaan bersepeda di Baksil, ditambah maraknya isu pembangunan Baksil, Gadis dan teman-temannya membuat video mengenai aktivitas bersepeda di Baksil. Setelah diunggah di media sosial, video ini rupanya menarik penontonnya untuk bersepeda juga di Baksil.

Namun tentu saja aktivitas yang bisa dilakukan di Baksil bukan hanya bersepeda. Gagasan ini mewujud jadi gerakan HUB. Sejumlah komunitas telah beraktivitas di sini. Tanpa komunitas pun, kita sebetulnya bisa meramaikan Baksil dengan mengajak teman-teman nongkrong di jembatannya. Jembatan yang dirancang mahasiswa Teknik Arsitektur UGM ini membelah hutan tersebut sehingga memberikan kesan Baksil sebagai hutan yang terbuka.

suhuf yang terkumpul selama acara... (catatan materi)
Ada sebuah kutipan milik ketua Walhi dalam presentasi Gadis, “Satu-satunya cara mempertahankan Baksil adalah dengan meramaikannya.”

Setelah mensosialisasikan HUB melalui berbagai media, keinginan Gadis cs selanjutnya adalah membuat buku kecil mengenai panduan berbagai aktivitas yang bisa dilakukan di Baksil. Baksil bisa kok jadi tempat main yang asyik! Baksil juga bisa jadi tempat belajar yang menyenangkan. Ada beberapa spesies menarik di Baksil, seperti pohon cokelat dan pohon yang bagiannya bisa dimanfaatkan jadi minuman cola. Jika pembangunan benar-benar terjadi, sayang sekali kalau spesies-spesies tersebut harus menyingkir…

Setelah Gadis, kami disajikan kembali video dari TED. Pembicara dalam video itu menyajikan lagi video yang membantunya menerangkan bagaimana membuat suatu “gerakan”.

Dalam video yang berlatar sebuah ruang terbuka dengan rerumputan dan orang-orang yang sedang leyeh-leyeh di atasnya, seseorang mendadak berdiri lalu berjoget. Satu-dua orang mengikuti. Beberapa orang menyusul. Dalam waktu singkat, jumlah orang yang berjoget jadi semakin banyak dan terus bertambah. Bagaimana tidak, kalau kamu tidak ikut, kamu mungkin akan diolok-olok karena tidak menjadi bagian dari sesuatu yang wow. Sesuatu itu mulanya berbeda, namun ketika banyak orang melakukannya, maka mereka yang tidak ikutlah yang berbalik menempati posisi “beda”.

Menurut sang pembicara, sebenarnya yang berperan penting dalam suatu gerakan adalah pengikut pertama. Dialah yang mengubah orang sinting jadi pemimpin. Dia yang bikin orang lain jadi lebih tertarik untuk mengikuti juga.

Pembicara dari Aleut pun ditampilkan. Dengan materi bertajuk “Apresiasi Kota untuk Mencintai Tempat Tinggal Kita”, pembicara menjelaskan apa itu Aleut dan kegiatan apa saja yang dilakukannya. Komunitas ini berupaya mencintai kota dengan jalan-jalan. Yeah. Tentu tak sekadar jalan-jalan. Sambil jalan-jalan, ada saja cerita yang dibagi mengenai apapun yang ada di sekitar mereka. Cerita itu bisa berupa sejarah sebuah bangunan, informasi sebatang pohon, pembangunan sebuah saluran, dan lain-lain. Apresiasi menghasilkan penghargaan dan penghargaan membuahkan cinta.

Aleut sendiri konon berasal dari kata dalam bahasa Sunda, “ngaleut”, yang artinya jalan-jalan. Komunitas ini mengadakan kegiatan setiap Minggu. Siapapun bisa gabung. Menurut Rizka, yang pernah ikut acara Aleut saat SMA—kakaknya pun pernah aktif di komunitas ini, biasanya anak-anak Aleut kumpul di Jalan Sumur Bandung. Waktu, biaya, dan rute atau lokasi jalan-jalan sudah ditentukan sejak hari sebelumnya.

Kalau belum jadi anggota tapi ingin ikut kegiatan Aleut, minta saja jadi teman Aleut di Facebook lalu pantau dindingnya menjelang Minggu untuk mengetahui agenda terdekat. Itulah yang dilakukan Reza, pemuda dari ST INTEN. Saya juga tahu acara di Common Room ini pas iseng buka dinding Aleut. Sepanjang acara, sedikit-sedikit Reza jadi teman bercanda saya dan Rizka.

Sebelum penyerahan kaktus pada para pembicara, acara diakhiri dengan pembagian goodie bag dan sosialisasi dari Taman Foto Bandung. Komunitas ini terbilang baru tapi sudah ramai peminat. Misinya adalah untuk pemanfaatan ruang publik juga, terutama taman. Ada enam ratusan taman di Kota Bandung, meski yang berukuran besar dan layak jadi tempat jalan-jalan mungkin hanya belasan. Nah, intervensi yang dilakukan TFD adalah melalui fotografi.

Sekitar jam lima, setelah acara benar-benar dibubarkan, anak-anak Aleut kumpul di depan Common Room untuk koordinasi. Jumlah mereka kiranya separuh dari jumlah peserta acara sebelumnya. Malam itu, mereka hendak ke Pecinan. Mereka berencana kumpul di Jalan Sumur Bandung dulu pada jam tujuh lalu berangkat ke tujuan jam delapan. Sambil pegang kaktus ke mana-mana, pembicara dari Aleut menyambut dengan sangat terbuka kami yang ingin gabung.

Semula, saya dan tiga sekawan ingin ikut jalan-jalan bareng Aleut. Namun malamnya acara dan tanggungan Nur untuk memeriksa hasil ujian praktikum bikin kami urung. Jadi kami pamit pada Reza dan kawan-kawan. Semula Nur dan Rizkita yang mengajak mereka berkenalan, baru saya dan Rizka mengikuti dan mengetahui bahwa bocah yang tadi asyik sama kami ternyata bernama Reza. Dan mahasiswa angkatan 2010 itu pun melepas kepergian kami dengan tatapan kehilangan wa ha ha…

Nur dan Rizkita, plus pembonceng masing-masing, pun kembali ke masjid UNPAD karena Rizka hendak solat. Saat Nur dan Rizkita sedang berlalu, saya dan Rizka membahas acara barusan.

Menurut Rizka, acara ini jadinya sekadar promosi komunitas-komunitas. Bagi saya hal ini bukan masalah dan merasa kata “sosialisasi” lebih tepat ketimbang “promosi”. Namun kami menyadari bahwa kiranya kebanyakan peserta berasal dari komunitas-komunitas yang dipaparkan tadi—sebagian mungkin panitia.

Sosialisasi memang layak dilakukan pada sebanyak-banyaknya orang. Namun, kiranya lagi, akan lebih baik apabila sosialisasi dilakukan pada orang-orang non komunitas ketimbang pada orang-orang yang sudah berkomunitas. Bisa dimaklumi mengapa yang hadir adalah orang-orang dari komunitas itu juga, toh publikasi ditaruh di media komunitas tersebut. Bukan karena penyelenggara tidak perhatian sama orang-orang non komunitas juga kan, mereka toh sudah mempublikasikan acara ini di media-media yang tersedia dan tidak menghalangi siapapun untuk menghadirinya. Masalahnya, jika arti komunitas itu begitu penting, bagaimana cara menarik orang-orang non komunitas agar mau berkomunitas?

Siapapun berhak memanfaatkan ruang publik. Ruang publik bukan sekadar milik komunitas. Ruang publik juga milik pejalan kaki yang lagi galau dan kesepian, pun individu-individu yang sekadar lagi cari inspirasi. Namun seperti yang dikatakan pembicara dalam salah satu video, ruang publik memungkinkan kita saling bergandengan tangan di tengah hiruk-pikuk kota besar. Barangkali aktivitas di ruang publik berpotensi untuk meminimalisir fenomena renggangnya kohesi sosial— keterasingan—antar warga perkotaan? 

Jumat, 20 Januari 2012

(...just another story of a city-explorer)

Kali ini penjelajahan saya diwarnai oleh Juhe. Dia adalah teman sekelas saya di SMA. Dia orang penting di BEM UNPAD dan belum termotivasi untuk segera menyelesaikan skripsinya.

Semula rencana rute kami adalah Museum Geologi – Museum Pos – Taman Lansia – Masjid Istiqamah – Timbel Istiqamah – Perpustakaan Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung. Mari ikuti kebersamaan kami dan ketahuilah bahwa ada perubahan pada rencana tersebut, yeah!

Dikenali mang angkot

Saya dan Juhe janjian ketemu di sekitar Gedung Sate (di mana di sekitarnya terdapat tiga tujuan pertama kami) pukul sembilan. Karena Juhe ketinggalan bis, pun saya telat bangun, maka kami baru bersua sekitar pukul sepuluh seperempat.

tampak belakang mang angkot
Angkot pertama yang saya naiki dari dekat rumah adalah jurusan 01. Ada yang ngetem di seberang jalan, saya masuki saja. Belum ada seorang penumpang pun. Begitu saya duduk, mang angkot bertanya pada saya. Yang saya dengar secara jelas hanya kata “sekolah”. Saya menyanggah. Saya bilang saya mau jalan-jalan. Saya mau ke Jalan Supratman.

Setelah menyebut “Jalan Pahlawan”, saya ngeh kalau rupanya mang angkot ingat saya sering naik angkotnya saat saya masih SMP. Letak SMP saya kan di Jalan Pahlawan. “Meni masih inget atuh Mang, kan udah bertahun-tahun lalu,” kata saya.

“Ya iya, da sering liat.”

Hebat nian mang angkot ini. Namun setelah kami mengarungi Jembatan Kiaracondong, saya disuruh pindah ke angkot lain.

Demo Hizbut Tahrir

Saya melanjutkan perjalanan dengan menaiki angkot jurusan 09. Angkot ini berwarna cokelat dan bolak-balik Caheum – Ciwastra. Sopirnya seorang tambun putih sipit berambut lurus panjang. Begitu hendak memasuki Jalan Diponegoro, di depan Pusdai nan ramai pedagang Jumatan, angkot memutar. Setelah mendekati Gedung Sate, barulah saya tahu kalau halaman Gedung Sate tengah ramai. Dari kejauhan, saya sudah bisa mendengar ada yang berkoar, “…penguasa itu laknat!” atau kalimat lain semacam itu.

Saya langsung menyeberang jalan. Gedung Sate berseberangan dengan Gasibu. Gasibu adalah sebuah lapangan bundar besar yang biasa digunakan untuk berolahraga maupun berjualan. Biasanya Gasibu ramai pedagang saat ada event atau tiap Minggu pagi—semacam Sunday Morning di Jogja.

Para pedagang asongan, maupun orang-orang yang tak terlihat bak pedagang asongan tapi sama penasaran, duduk di tangga Gasibu. Mereka mengamati demonstrasi dari sana. Saya bergabung dengan mereka sejenak.

gedung sate. satu tusuk harganya 6 juta gulden.
Demonstrasi yang bagus menurut saya. Bukan karena isi orasinya, melainkan lebih karena ketertibannya. Polisi berjaga di kedua sisi barisan demonstran. Perempuan dan laki-laki berbaris rapi dalam dua kubu yang dipisahkan sebuah mobil pick up. Di mobil pick up itulah berdiri pria-pria berpakaian rapi. Merekalah sumber keramaian. Setelah munculnya seorang ustadz di tengah mereka, saya meninggalkan mereka. Kasihan lihat anak-anak diajak ikut demo, bukannya saat itu masih jam sekolah...

Area misterius

Tadinya saya mau mengelilingi Gasibu sekaligus bernostalgia. Waktu SD, beberapa kali guru Olahraga saya mengajak murid-muridnya ke mari. Namun area di sebelah kiri Gasibu, dari arah Gedung Sate, lebih menarik perhatian saya.

tidak jelas apa ini fungsinya
Area milik pemprov Jabar itu luasnya sekitar 1,8 atau 1,9 ha.  Sekelilingnya dipagari. Bagian tengahnya berupa danau yang dari kejauhan berwarna hijau. Tepi danau berupa lahan terbuka berisi tanah, rumput, gerombolan pohon di satu sudut, tumpukan ban di sudut lain, sampah, bangunan kecil tak jelas, dan manusia. Ada sepasang manusia yang sepertinya sedang memancing, seorang manusia yang jelas-jelas sedang mandi dan kiranya tak berpakaian sehelai pun, serta manusia-manusia lain yang tak jelas sedang ngapain. Area ini adalah sebuah misteri yang patut disyukuri karena belum tertutup bangunan.

Yang menakjubkan, setelah dicermati, solokan di pinggir area ini berisi banyak ikan kecil berwarna hitan. Konon mereka dinamai inpun.

Museum Geologi

Saya bertemu Juhe di tepat di tengah pelataran Gasibu. Beberapa minggu lalu, lengan kirinya Juhe dioperasi karena kista ganglion (benar cara menuliskannya?). Karena masih menyebabkan bengkak, Juhe menggantung lengannya.

Diiringi musik kolosal dari arah gelombang massa, kami pun menuju Museum Geologi. Bangunan tersebut berada tidak tepat di seberang Taman Lansia, tapi tepat di Jalan Diponegoro yang diteduhi pepohonan rindang di sepanjang dua ruas jalan. Setelah kami susuri sampai ujung, tidak ada satupun gerbang yang terbuka. Pintu museum pun tertutup. Kami kembali ke gerbang yang ada penjaganya. Kami berselisih jalan dengan rombongan Hizbut Tahrir yang sudah kelar dengan aksi mereka. 

Seorang penjaga tengah mengamati arus demonstran tersebut. Bertanyalah kami padanya sehingga kami mengetahui bahwa kami bisa menjumpai rangka dinosaurus di dalam museum tiap hari, kecuali hari di mana ada Jumatan. Senin hingga Kamis, museum dibuka pukul 8 – 16, sedang untuk Sabtu dan Minggu adalah pukul 8 – 14.

Museum Pos

Sepulang sekolah saat kelas 4 SD, saya dan teman suka mengunjungi Taman Lansia meski hanya bagian luarnya. Saat itu ada seorang mas-mas berambut lurus panjang yang berjualan perangko dalam kios. Sejak tempat jualan pindah ke mobil, saya tidak pernah beli perangko lagi untuk koleksi karena memang sudah tidak minat.

selamat datang dan selamat keluar!
Museum Pos terletak di samping kantor pos. Keduanya satu kompleks dengan Gedung Sate. Masih, saat dunia saya sedang dekat dengan benda-benda pos, saya rajin mengunjungi Museum Pos sepulang sekolah. Mulanya, teman-teman saya ke sana dan pulang mendapat notes. Saya juga ingin. Tapi tiap kali ke sana, saya tidak mendapatkan apa-apa. Ini adalah sebuah pelajaran.

Sekarang, yang bisa kita ambil dari museum ini adalah berbagai macam brosur atau leaflet—semacam itu, foto (asal bawa kamera), dan pelajaran bagi mereka yang berpikir.

salah satu deretan koleksi perangko
Museum ini berisi berbagai benda pos. Sebut saja, berbagai varian bis surat, atau penampung bentuk kiriman lainnya, berdasarkan zaman dan kegunaan. Pusaka zadul berupa mesin hitung, mesin ketik, alat timbang, alat cap, hingga perkembangan mode pakaian pengantar pos jelas tersedia. Ada pula deretan panjang beberapa tipe lemari untuk memamerkan koleksi perangko dari berbagai negara dan berbagai seri. O tentu ini referensi berharga bagi para kolektor.

Pada mulanya, biaya pos dikenakan pada penerima kiriman. Suatu kali seorang gadis tidak mau membayar biaya pengiriman surat dari kekasihnya dengan alasan tidak punya uang. Rupanya tanpa membuka surat, gadis tersebut sudah bisa mengetahui isi surat melalu kode-kode yang hanya bisa dipahami ia dan kekasihnya. Dinas pos pun merugi. Adalah Sir Rowland Hill yang mencetuskan gagasan mengenai perangko.

Proses pembuatan perangko melibatkan pelukis yang mula-mula menciptkan desain perangko dalam ukuran besar. Desain tersebut kemudian dimasukkan dalam mesin dan dicetak. Haha. Maklum, gambar-gambar yang menunjukkan proses pembuatan perangko sudah buram, tidak dilengkapi keterangan, bahkan nomor urut gambar sekalipun!

Selain itu, ada pula koleksi yang tidak diberi keterangan sama sekali. Pengunjung jadi tidak mengetahui apa fungsi benda-benda yang dipajang ini. Beberapa aktivitas pos, seperti serah terima kiriman, diperagakan oleh patung-patung dengan wig yang bikin muka mengernyit.

Pos pernah sangat berjaya. Pos adalah komunikasi tercanggih pada suatu masa. Saking vitalnya peran komunikasi, sekian nyawa melayang demi pembangunan Jalan Pos Raya dari Anyer sampai Panarukan. Kendaraan pos bukan hanya sepeda onthel, tapi juga kereta, speedboat, bahkan kapal khusus untuk keperluan tersebut.

the story of mas soeharto

Museum ini pun pernah sangat terkenal. Ada beberapa rak yang khusus untuk memuat kenang-kenangan dari berbagai sekolah yang pernah berkunjung ke mari. Tegal, Cirebon, Yog yakarta… semua pernah mampir dan diamati siswa-siswi dari berbagai daerah tersebut dengan tak sabar karena ingin cepat-cepat belanja ke Cihampelas.

Memaklumi pos sebagai salah satu mata rantai perkembangan komunikasi, memaklumi pula jika bentuk komunikasi ini kini tergerus oleh bentuk-bentuk lain yang lebih wew. Mungkin beberapa puluh tahun lagi akan berdiri pula Museum Facebook atau Museum Twitter. Tapi apa yang mau dimuseumkan ya? Kan semua ada dalam komputer… Oh ya, museum on line tentu saja. Cukup jemari saja yang jalan-jalan di atas kibor. Bulu-bulu hidung pun tak usah siaga menyambut debu.

Museum Pos menggunakan sistem satu pintu. Artinya, pengunjung masuk dan keluar dari pintu yang sama.

Taman Lansia

berisi dan bergizi. sizi.
Sudah pukul sebelas waktu itu. Saya sarapan hanya beberapa lembar roti. Kami sepakat makan nasi tim ayam SIZI. Saya belum pernah menemukan tenda hijau dengan tulisan yang memiliki font khas “SIZI” di kota lain jadi saya kira SIZI khas Bandung. Saya sudah mengonsumsinya sejak SD.

Nasi tim ayam ini berupa setangkup nasi dengan suir-suir cokelat ayam plus seiris telur di puncaknya. Dilengkapi semangkok kecil kuah bening berhiaskan serpihan seledri, nasi ini disajikan dalam wadah khusus. Harganya 9K rupiah. Dengan jeruk hangat seharga 5K rupiah, terasa pentingnya membawa botol minum sendiri dari rumah.

Diskusi intens saya dengan Juhe dimulai sambil makan. Hal seperti ini sejatinya menakjubkan karena melebarkan cakrawala, apalagi dengan orang seperti Juhe.

mana kotaknya?
Dan Taman Lansia adalah tempat yang bagus, sebetulnya, untuk melanjutkan diskusi. Menurut Perda Kota Bandung no. 25 tahun 2009 tentang Hutan Kota, taman ini tergolong hutan kota.Hampir seluruh permukaan taman tertutupi rimbunnya tajun. Bagian tengah taman dibelah kali berwarna putih, hijau pucat, dan sampah. Fasilitas yang tersedia di sini antara lain toilet, bangku, dan tempat sampah yang tidak selalu mudah ditemukan. Beberapa titik hamparan rumput mengundang pula untuk diduduki. Dan taman ini begitu kondusif bagi para pria yang bolos Jumatan.

kata juhe, kalau ada angin benda ini terbang
Sayangnya, kenyamanan taman ini terusik dengan kehadiran orang-orang yang mencurigakan. Memang belum tentu orang tersebut akan mengapa-apakan kita, namun penampakkannya membuat kita kadung waspada. Semoga kamu paham maksud saya.

Saya pun pernah kena. Suatu kali saya duduk sendiri. Saya merasakan seorang pria duduk di tanah di belakang saya. Lalu dia bicara mengenai fakir miskin yang tak kunjung disantuni, padahal sedang Ramadhan, dan ujungnya dia mengatakan Nabi Muhammad itu pembohong. Saya kabur.

Perpustakaan Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung

Informasi mengenai perpustakaan paguyuban ini saya dapatkan ketika saya sedang menambah bahan dari internet. Di sini konon ada sebuah laporan mengenai Babakan Siliwangi dari segi politik dan kebudayaan yang dihasilkan oleh Sanggar Olah Seni. Perpustakaan ini satu kompleks dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat yang terletak di Jalan R. E. Martadinata a.k.a. Jalan Riau, nomornya 209.

ini perpustakaannyaa...
Tidak sesuai dengan bayangan saya, perpustakaan yang dimaksud adalah ruangan berukuran sekitar 3 x 3 m atau lebih, pokoknya kotak, dalam bangunan art deco. Apa ya art deco itu? Mas penjaga ruangan ini yang bilang begitu. Dia berkulit terang, berbadan tinggi besar, dan menjawab “assalamualaikum” ketika menjawab panggilan yang masuk ke ponselnya.

Saya bilang saya mau cari laporan penelitian tentang Babakan Siliwangi. Selama dia mencari, saya dan Juhe melihat-lihat apapun yang bisa dilihat-lihat di sekitar kami. Dia tidak berhasil menemukannya. Sepertinya buku tersebut masih dipinjam. Dia malah menawarkan untuk mencatat nomor saya sehingga dia bisa memberitahu saya kalau buku tersebut sudah kembali. Sayangnya itu tak terjadi.

Saya tanya kalau-kalau ada pustaka lain tentang Baksil. Saya sebutkan juga Haryoto Kunto. Dia pun memberi saya setumpuk buku. Selain judul yang sudah saya sebut dan Wajah Bandung Tempo Doeloe, Haryoto Kunto juga menulis buku-buku lain tentang Bandung sehingga dia dijuluki kuncennya Bandung. Buku-buku Haryoto Kunto yang diberikan pada saya adalah buku mengenai Preanger (nama hotel di Jalan Tamblong, Bandung) dan bangunan-bangunan pemerintahan di Kota Bandung.

Dia menemani kami sebentar sebelum kembali ke pekerjaannya semula di komputer. Ramah lo. Sayangnya, dia kenal kami sebagai mahasiswa mana, mengapa lengan Juhe digantung begitu, dan rencana skripsi saya, tapi kami nihil informasi tentangnya. Saya sesalkan kami tidak tukaran nama, jadi dengan terpaksa di sini saya menyebutnya dengan Mas Okedeh.

Soal informasi tentang Baksil, saya mendapatkannya sedikit dari Album Bandoeng Tempo Doeloe buah karya Sudarsono Katam dan Lulus Abadi (NAVAPRESS Indonesia, Bandung, 2005). Foto terkait Baksil yang saya temukan di Semerbak Bunga di Bandung Raya buah karya Haryoto Kunto (PT Granesia, Bandung, 1986) saya temukan juga di buku bersampul hitam tersebut. Ada sepucuk villa putih di atas hamparan lembah bernama Lebak Gede—yang berarti Lembah Besar. Villa tersebut milik seorang Tionghoa pedagang beras pada tahun 1930-an. Villa bergaya art deco tersebut bernama Villa Mei Ling dan pernah beberapa kali digunakan Belanda saat kedatangan Jepang. Villa ini baru tertutup pepohonan cemara tahun 1970-an. Sebelumnya kita bisa melihatnya dengan leluasa dari kejauhan. Sekarang villa tersebut jadi Dinas Psikologi Angkatan Darat (kalau tak salah) dan terletak di tepi Jalan Ir. H. Juanda.

Dalam pengembangannya kemudian, Lembah Gede dipadati bangunan komersil dan menyisakan sepetak hutan kota yang ternyata baru ada setelah tahun 90-an. Jadi begini kronologinya.

1920-an : Belum ada satu bangunan pun
1930-an : Persawahan
1940-an : Muncul perumahan penduduk di barat
1970-an : Muncul kompleks seni dan budaya dan restoran di utara
1990-an : Mulai tertutup bangunan, terutama kompleks SABUGA dan SAROGA, lalu siapa yang menanam hutan kota? Apakah merupakan bagian dari pembangunan kompleks tersebut?

Mas Okedeh menyarankan saya ke DPKLTS. Anak-anak WALHI suka kumpul di sana. Ada perpustakaan juga. Barangkali saya bisa mendapat data sekaligus bertemu langsung pelakunya.

Sementara saya mencatat informasi tentang Baksil, dari pengarang buku yang sama—Sudarsono Katam—Juhe membaca buku tebal yang mengulas sejarah Bandung berdasarkan perangko. Judul buku itu saya lupa secara persis, saya hanya ingat kata “filatelis”. Secara kami baru dari Museum Pos dan membicarakan filateli sebelumnya, rasanya jadi sesuatu.

Setelah Mas Okedeh selesai dengan pekerjaannya, dia bergabung kembali dengan kami. Kami membicarakan pembangunan di Kota Bandung yang kerap mengingkari kebijakan yang sudah ada.

Pukul dua siang, saya dan Juhe undur diri. O tentu saja kami boleh ke mari lagi. Kamu juga. Perpustakaan ini bisa disambangi Senin – Sabtu. Senin – Jumat pukul 9 – 16 sedang Sabtu pukul 10 – 15. Wow kok beda sama informasi di internet ya. Peminjaman pustaka bisa dilakukan asal kamu anggota.

musola di kompleks ini lega beud!
Tiap Sabtu pukul sepuluh pagi, Heritage berkumpul dalam ruangan ini. Mas Okedeh mengajak kami, barangkali kami mau gabung. Mereka sedang mengerjakan pemetaan Kota Bandung, tepatnya: menyesuaikan tata ruang sekarang dengan tata ruang buatan Belanda. Tata ruang buatan Belanda sebenarnya sudah bagus sekali tapi begitulah. Tampaknya masih kurang pusat perbelanjaan di kota ini.

Tiap bulan pula ada forum terkait. Malam ini pukul tujuh di Braga Permai, forum membicarakan tentang penemuan bangunan megalithikum di Gunung Padang, Cianjur.

Cizz

versi alay dari cheese
Cizz adalah sebuah kafe mungil yang menjual cheesecake dan kawan-kawannya. Letaknya dekat dengan kantor Perhutani yang jualan madu dan ekowisata serta jasa lingkungan lainnya. Kami jalan kaki ke sana dari kompleks Disparbud.

Biarpun mungil, kafe ini tidak pernah kosong dari pembeli. Setidaknya begitulah selama saya dan Juhe di dalam sana dan sekitarnya. Menurut Juhe, yang lebih berpengalaman dengan kafe ini, kafe ini sudah ramai sejak buka. Cabangnya ada di mana-mana meski saya tahunya hanya di jalan ini saja.

Awalnya saya tidak mau beli. Ketika saya mencicipi cheesecake rasa jeruk punya Juhe, saya jadi kian tergoda untuk mencoba pengalaman baru. Akhirnya saya minta diambilkan Chocolate Mousse pada yang berwenang. Kudapan saya termasuk yang termurah, hanya 14K rupiah. Rata-rata harga cheesecake di sini adalah 17K rupiah.

dasar penggoda!
Sesuap, dua suap, pahitnya cokelat, tekstur nan lembut, kudapan ini luar biasa. Suapan-suapan berikutnya, saya eneg. Porsi ini terlalu banyak meski besarnya hanya satu cup!

Keluar dari Cizz, kami menunggu DAMRI. Dapat yang AC. 5K rupiah sampai Jatinangor. Saya hanya sampai perempatan Jalan Pelajar Pejuang jadi kondektur mengembalikan uang Juhe sebesar 2K rupiah.

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain