*"ngomong" |
Ruang
Selasa, 31 Januari 2012
pengganti cerpen
Senin, 30 Januari 2012
Andai Duniamu Sunyi dan Kelam
harmonika yang sudah lama tak kukecup |
Orang-orang bilang aku cantik, tapi aku tidak bisa melihatnya
Meski aku sudah minta dihadapkan pada kaca,
namun tetap yang kulihat, kelam
Minggu, 29 Januari 2012
my life is tragically amusing, but I cannot laugh
barang bukti kejadian |
Kamis, 26 Januari 2012
Selasa, 24 Januari 2012
Deraz Kecil
Bunda menyuruhku ikut les mengaji juga.
Sebetulnya, lebih asyik mengaji di TPA. Di sana ada lebih
banyak anak-anak. Aku bisa bermain dengan mereka.
Tapi aku tidak begitu suka mengaji.
“Dean kan udah hapal huruf hijaiyah. A ba ta tsa…” Aku menyenandungkan
hapalanku.
“Udah sampai Iqra berapa?” Aku meringis. “Biar lebih lancar
ngajinya ya…”
Sore itu juga kami les mengaji. Aku dan Deraz. Sebetulnya
Deraz yang tidak bisa mengaji. Bukan pengalaman yang enak melihat wajah Deraz
ketika dia menjadi satu-satunya anak di kelas yang tidak bisa membaca huruf
hijaiyah. Dia juga tidak tahu gerakan solat. Padahal seharusnya dia sama dengan
aku, Zara, Bunda, dan Ayah. Kami semua muslim.
Dia belum seminggu di sini. Dia mulai tinggal bersama Opa dan
Oma di Freiburg sejak usianya tiga tahun hingga tujuh tahun setelahnya. Lalu
Opa dan Oma meninggal. Oma duluan, Opa kemudian. Jadi Bunda dan Ayah membawanya
kembali bersama kami. Sekarang kami tinggal di Bandung.
Aku senang sama Deraz. Meski dia pendiam. Kami harus bicara
dengannya dalam bahasa Inggris yang aku sudah tidak biasa lagi. Hanya bahasa
itu dan bahasa Jerman yang dia mengerti. Dia harus belajar bahasa Indonesia
supaya bisa mengerti pelajaran di sini. Bahasa Sunda semakin membingungkannya,
apalagi bahasa Arab.
Aku selalu mendampinginya. Supaya kalau ada yang dia tidak
mengerti, aku bisa langsung memberitahunya. Tapi kalau dalam menyerap
pelajaran, aku bukan anak yang pintar. Tapi Deraz selalu bawa kamus ke
mana-mana.
Termasuk dalam belajar mengaji. Malam sebelumnya, Deraz
memintaku untuk mengenalkannya pada huruf hijaiyah. Semuanya. Dia sudah punya
Iqra sendiri. Dia mencatat cara pengucapan menurut lafalku di bawah setiap
huruf. Sementara aku mulai terlelap, dia masih belajar mengeja. Aku tidak tahu
jam berapa dia tidur.
Pak Karim adalah guru PAI SD yang sekaligus tetangga kami.
Aku mengenalkannya dengan Deraz dan mengenalkan Deraz padanya. Deraz terlihat
canggung pada pria tua berkopiah itu. Padahal Pak Karim orang yang baik. Beliau
mendengarkan dengan sabar setiap perkataan Deraz dalam bahasa Indonesia yang
masih patah-patah.
Aku lebih banyak memerhatikan. Aku sendiri tidak begitu minat
belajar mengaji, jadi biar Deraz dengan Pak Karim saja terus. Tapi
sedikit-sedikit aku menimpali supaya Deraz jadi lebih santai.
Deraz menunjukkan hapalannya semalam pada Pak Karim. Dia
berusaha terdengar yakin saat mengucapkan setiap huruf.
Kemudian, dengan pelan dan sikap bijak, Pak Karim membetulkan
pelafalan Deraz pada beberapa huruf. Setelah menyadari bahwa itu kesalahanku,
aku jadi malu dan merasa bersalah. Aku melihat Deraz terus. Kalau nanti dia
menoleh padaku, aku akan memberikannya cengiran terbaikku. Tapi tatapannya
terarah saja terus pada Pak Karim dalam-dalam.
Sore itu juga Deraz ingin menamatkn Iqra 1. Aku berharap
giliranku tidak akan tiba. Tapi kehadiran Bunda kemudian bikin aku mau tidak
mau menyelesaikan satu halaman Iqra 2. Deraz memintaku membacanya lagi setelah
maghrib. Dia memerhatikan bacaanku dengan saksama. Dia bahkan membetulkan
pelafalanku, sesuai yang Pak Karim ajarkan tadi padanya.
Bunda memberi Deraz serangkaian petunjuk solat buat anak.
Deraz suka memerhatikan Bunda solat. Zara juga solat ketika Bunda solat. Tapi
sesekali dia menoleh pada Deraz yang tengah mengamatinya, sekadar untuk
bertukar senyum. Pandangan Deraz berganti-ganti dari petunjuk di pangkuannya
lalu ke Bunda dengan Zara—yang mengikuti gerakan Bunda. Meski sudah
berhari-hari dia seperti ini, dia masih ragu untuk solat sendiri.
Deraz bertanya padaku kenapa aku tidak solat juga. Aku meringis
sambil mengatakan, “Entar, sama-sama Ayah…” Aku harap Deraz tidak menanyakanku
lebih banyak tentang solat. Dia kembali menekuni petunjuknya. Mungkin dia sudah
tidak sabar untuk bisa membaca rangkaian huruf hijaiyah yang membentuk bacaan
solat yang tertera di situ—meski sudah ada cara membacanya dalam huruf latin.
Setelah makan malam, Bunda menyuruh kami untuk mengerjakan PR
bersama-sama di ruang tengah. Aku menyelesaikan PR-ku cepat-cepat supaya aku
bisa segera main game. Aku tidak peduli jawabanku benar atau salah. Bunda baru
melepaskanku setelah ia mengoreksi pekerjaanku lalu menyuruhku mengerjakannya
lagi. Ini bisa sampai berkali-kali.
Ketika aku dan Zara gosok gigi, Deraz masih bersama Bunda di
ruang tengah. Bunda membantu Deraz menerjemahkan PR, dan bacaan di buku
pelajaran yang berhubungan dengan jawaban PR. Bahkan ketika aku dan Zara sudah
ganti piyama dan tiduran di kasur masing-masing pun, Deraz masih dobel kerja
keras.
Entah aku sudah tidur berapa jam ketika aku terbangun oleh
suara-suara di kamar. Aku seperti mendengar isak tangis disertai desahan lembut
menenangkan. Kuseret setengah badanku hingga turun dari kasur. Aku ingin tahu
apa yang terjadi di kasur satunya, sepertinya suara-suara itu berasal dari
sana.
Aku melihat kepala Deraz di pangkuan Bunda. Dia berusaha
menangis tanpa suara, tapi aku bisa melihat mulutnya terbuka dan wajahnya merah
basah. Bunda terus membelai-belai kepala Deraz.
Aku tidak menyangka akan melihat Deraz menangis. Selama
berada di dekatnya, aku selalu melihat Deraz dengan tampang sungguh-sungguh dan
siaga menghadapi kesusahan apapun yang pasti datang. Meski aku banyak teman,
dan aku berusaha supaya mereka berteman dengan Deraz juga, namun aku tidak bisa
mencegah mereka untuk tidak mengecap aneh pada Deraz. Padahal menurutku Deraz
tidak aneh. Dia hanya tidak bisa berbahasa Indonesia, apalagi berbahasa Sunda,
dan Islam tapi belum kenal cara beribadah.
Aku khawatir jangan-jangan Deraz mengalami perlakuan tidak
menyenangkan saat di sekolah tadi. Kadang-kadang ada beberapa anak yang suka
begitu sama anak lainnya. Aku juga tidak bisa selalu di dekat Deraz.
Kadang-kadang aku menghampiri teman-temanku di sisi lain kelas dan meninggalkan
Deraz begitu saja.
Padahal dia kelihatan baik-baik saja saat main bola dengan
teman-teman sepulang sekolah. Teman-teman juga kelihatan bisa menerimanya, lain
halnya kalau denganku yang memang tidak pintar main bola.
Kepala Deraz sudah tidak di pangkuan Bunda lagi. Bunda masih
memeluknya, mendekapnya lebih erat, namun yang aku bisa lihat dari Deraz hanya
tampak belakangnya. Kepalanya terkulai ke dada Bunda. Ia mengatakan sesuatu
dalam bahasa yang aku tidak mengerti. Mungkin itu bahasa Jerman.
Aku juga suka bermanja-manja pada Bunda, tapi aku tidak
pernah menangis sampai didekap Bunda seperti itu. Aku menjalani hari-hariku
dengan ringan, jadi aku tidak pernah menumpahkan beban sama Bunda. Pada saat
itu aku memahami kalau Deraz adalah orang yang berbeda denganku, meski kami
lahir pada puncak malam yang sama, dan justru karena itu Bunda memanjakannya
dengan cara yang entah aku juga bakal mengalaminya atau tidak.
Bunda akhirnya menoleh padaku juga. Ia tersenyum. Aku merasa
lebih tenang tapi masih ingin terus mengamati mereka.
Ketika Deraz sudah tidak lagi tersedu, Bunda bicara padanya
dengan suara yang lembut sekali. “Opa sama Oma pasti sedih juga kalau lihat
Deraz sedih begini…” Bunda terus memberikan kata-kata penghiburan. Aku jadi
mengerti apa yang Deraz sedihkan. Cerita Bunda kemudian, tentang aku, Ayah,
Zara, dan kerabat kami lainnya, malah jadi hiburan buatku juga sampai aku
ketiduran.
Besok paginya, aku lihat wajah Deraz masih sembap. Tapi binar
matanya memancar lebih kuat. Kelak ia akan jadi manusia luar biasa. Dan justru
karena Opa dan Oma yang telah mengasuhnya waktu kecil, itu menjadi hal yang
kurang membahagiakan bagi Bunda.
24
Januari 2012
Hijab
Kamu tuh kayak enggak pake celana.
Apa?
Deka melirik kekasihnya
sebentar sebelum bola matanya meluncur ke arah lain. Tadi pas di angkot. Dari tempat aku duduk, kamu kelihatannya kayak
enggak pakai celana.
Angkot nan padat, penumpang
lain hanya menyisakan sedikit ruang untuk pantat. Itu pun tidak di seberang
kekasih tepat. Lain kali Deka akan bawa mobil sendiri saja.
Raina sadar bahwa Deka telah
bicara dengan nada hati-hati. Namun tatapan gadis itu tetap menajam. Kamu sendiri diem-diem ngeliatin kan…
Deka diam.
Tangan kamu juga dikit-dikit ke situ.
Deka menyanggah. Dia tidak
melakukannya. Dia tidak melakukannya lagi setelah mereka keluar dari ruang
bioskop. Tangannya tidak ke mana-mana saat mereka sudah di angkot, selain
terlipat erat di dada, sementara mata mengawasi kekasih—mengedarkan pandang
pada penumpang lain kalau-kalau ada yang…—dengan tak terima.
Ya iyalah. Ya
iya Deka tidak melakukannya lagi. Soalnya
kamu kan enggak dapat tempat duduk di sebelah aku!
Deka berdecak. Itu tidak
benar. Keluar dari ruang bioskop, dia berupaya keras untuk tidak melihat ke
bawah—apalagi bagian bawah kekasihnya.
Mereka saling bungkam untuk
beberapa lama.
Raina menyukai tungkai
kakinya nan jenjang, putih mulus tanpa koreng sebercak pun, tanpa rambut
sehelai pun, tanpa selulit segaris pun, serta tanpa hitam senoktah pun pada
tempurung lutut. Dia tahu kekasihnya suka. Tentu orang lain juga.
Tapi lancang sekali Deka
bilang dirinya bak tak bercelana. Tentu saja dia pakai, meski nyaris tertutup
blus yang panjangnya melebihi panggul. Gadis gaul manapun akan memakai padanan
seperti itu di era kini kalau lagi ingin.
Sepintas memindai pesan-pesan
di ponselnya, Raina membaca…
HIJAB CLASS…
Beberapa temannya telah
mendaftar. Konon variasi hijab bakal memperindah mereka.
Dia tidak mau berhijab, kalau
sekadar untuk memadamkan bara di hati Deka.
.
Raina dan Deka tidak berjumpa
untuk beberapa minggu. Hubungan mereka baik-baik saja. Mereka hanya tidak
selalu punya waktu untuk dihabiskan berdua, meski hanya untuk jalan ke mal
dengan angkot seperti sebelumnya.
Namun Deka tidak mau lagi
naik angkot.
Malam di akhir pekan, dia
membawa mobilnya menuju rumah Raina. Akhirnya mereka punya waktu lagi untuk
momen penunjang hubungan.
Tadinya Deka hendak menunggu
di dalam mobil. Tukar pesan beberapa kali dengan Raina memberitahunya bahwa
sang cewek ribet dandan seperti biasa. Mau tak mau Deka turun dari mobil, pasti
bersua calon mertua, karena akan lebih baik kalau menanti di ruang tamu saja.
Iya… Bentar lagi keluar…
Itu sms Raina yang baru Deka
baca sambil jalan ke pagar. Belum sampai tujuan, ketika mengangkat kepala,
ketika itu juga dia terkesima. Dia melihat wajah Raina, tapi tidak dalam
penampilan Raina yang biasa. Pashmina melilit kepalanya hingga menjuntai ke
dada. Blusnya berwarna senada dengan corak pashmina yang ramai, namun
potongannya membuat gadis itu terkesan kalem.
Raina tidak membiarkan Deka
terperangah lama-lama. Bahkan ketika Deka hendak pamit pada orangtuanya pun,
gerak-gerik gadis itu ingin agar prosesi disegerakan. Ribet, seperti biasa.
Di dalam mobil, sepanjang
perjalanan, Deka menanti Raina sedikit-sedikit mencari cermin untuk memperbaiki
penampilannya. Ketika sampai tujuan, Deka melihat cermin hanya untuk memastikan
apakah gadis itu juga sedang mengamati pantulan bayangan dari objek yang sama.
Hanya itu yang memercikkan
kesenangan bagi Deka, selain ocehan ceria Raina mengenai remeh-temeh yang
menimpanya selama mereka tak berjumpa.
.
Sebelum Raina turun dari
mobil lalu membuka pagar rumahnya, Deka mengaku.
Aku jadi enggak berani nyentuh kamu.
Sepanjang tadi, setiap kali
tangan mereka hendak bersentuhan, entah mengapa Deka refleks menarik tangannya.
Padahal Raina biasa saja. Tangannya memang biasa digenggam Deka setiap mereka
jalan.
Kamu belum biasa sih liat aku pake hijab. Raina tersenyum. Padahal di kafe tadi dia sudah
cerita panjang lebar mengenai mula dia berhijab. Setelah sekian lama, akhirnya
dia berhenti berpikir untuk menggunakan hijab, dan mulai melakukan sesuatu.
Kamu kepikiran buat ngehijabin hati kamu juga?
Jawabannya muncul setelah
jeda lama.
Insya Allah.
Senyum yang sempat hilang itu
muncul lagi.
Lanjutnya, aku lebih suka… kamu jaga jarak sama aku
karena aku pake hijab, ketimbang gara-gara pakaian aku terbuka.
.
Air mata Raina merebak
setibanya gadis itu di kamar. Apalagi ketika dia mendengar mobil Deka menyala
lagi lalu lamat-lamat menjauh. Dia disergap perasaan hubungannya dengan Deka
tidak akan bertahan lebih lama.
Tentu saja dia tidak
mengungkapkan itu saat Deka meneleponnya sekitar sejam kemudian. Hanya ucapan
selamat tidur biasa, yang biasa pula untuk melebar ke berbagai ucapan lainnya,
dengan suara rendah kadang meninggi—kalau Raina kelepasan memekik atau Deka tak
tahan untuk tak tergelak. Suara akan kembali merendah untuk ucapan selamat
tidur yang serius, atau ucapan lain sesudahnya.
Na, aku pingin bisa jadi orang yang lebih baik.
…aamiin…
…tapi… aku pinginnya… bukan karena kamu…
Raina mendengar debaran di
dadanya dengan lebih jelas.
Deka menggantung kalimat,
Raina menarik gantungan tersebut.
….terus karena siapa?
Mungkin sama kayak alasan kenapa kamu pingin pake
hijab.
Raina sangat menanti
kelanjutannya.
Em… Mungkin pertama-pertama… yang bakal aku lakuin
adalah… menjaga hijab kamu. Termasuk hijab di hati kamu.
Raina sudah berhenti berpikir
untuk menggunakan hijab. Dia mulai melakukan sesuatu. Dan itu membuatnya
memahami.
22-24 Januari 2012
Senin, 23 Januari 2012
Rebut Ruang(publik)mu!
inilah High Line...! |
suhuf yang terkumpul selama acara... (catatan materi) |
Jumat, 20 Januari 2012
(...just another story of a city-explorer)
tampak belakang mang angkot |
gedung sate. satu tusuk harganya 6 juta gulden. |
tidak jelas apa ini fungsinya |
selamat datang dan selamat keluar! |
salah satu deretan koleksi perangko |
the story of mas soeharto |
berisi dan bergizi. sizi. |
mana kotaknya? |
kata juhe, kalau ada angin benda ini terbang |
ini perpustakaannyaa... |
musola di kompleks ini lega beud! |
versi alay dari cheese |
dasar penggoda! |
Banyak Dibuka
-
“ Du ” (“ You ” dalam bahasa Inggris) adalah lagu yang dibawakan oleh Peter Maffay, seorang musisi Jerman. Lagu ini menjadi hit terbesar d...
-
Gambar dari situs web Pustaka Yayasan Obor Indonesia . Penulis : Bahagia, SP., MSc. Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta ISBN ...
-
Perkenalan dimulai waktu SMA, lewat novel 1984 yang dipinjam dari perpustakaan sekolah. Kondisi buku tersebut sudah tidak begitu bagus. Di ...
-
Penulis : Fachruddin M. Mangunjaya Penerbit : Yayasan Obor Indonesia atas bantuan Bank Dunia ( The World Bank ) dan Conservation Internat...
-
Tersebutlah kisah sepasang suami istri. Sang suami dikenal sebagai seorang suami yang berperasaan. Dia mau membantu istrinya mengerjakan ...
-
Di rumah ada seekor kucing betina. Dia lahir dari seekor kucing betina liar yang kawin dengan salah seekor kucing jantan yang dipelihara d...
-
...sebelumnya ada Makam Kristen, Makam Batak, dan Makam China... Makam Freemason Kami menemukan dua makam dengan simbol Freemason yai...
-
Buku Sejarah dan Sejarawan yang ditulis oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto dan diterbitkan oleh PN Balai Pustaka ini tebalnya hanya 24 h...
-
Malam pergantian tahun, sudah kutetapkan resolusi. Salah satunya adalah membantu orang lain. Mulai tahun depan tidak akan ada lagi yang bila...
-
Pada 13 – 16 Oktober 2010, saya berkesempatan untuk pulang ke Bandung. Tak sedikit sesuatu menarik yang saya temu dan alami selama di sana....
Pembaruan Blog Lain
-
Tempo Nomor 24/XXXI/12 – 18 Agustus 2002 (Edisi Khusus 100 Tahun Hatta) - ISSN : 0126-4273 Rp 17.500 Mohammad Hatta adalah pahlawan nasional favorit saya karena selain sama-sama kutu buku, ada banyak anekdot… Read more Tempo Nomo...6 hari yang lalu
-
Batasan - Hari ini akan kuterima batas-batasku. Hari ini akan kutetapkan batas-batas dalam kehidupanku. Hanya karena keluargaku hidup dalam kekacauan, bukan berarti ...2 tahun yang lalu
-
Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu - *Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penan...6 tahun yang lalu