Jenajenajenajenajenajenajenajenajenaje
Kalikilikiliki kalikilikiliki
Yak hoya yak hoya yak hoya yak hoyaya
Mana rotihe sambel oncom dicampur jahe
Dipake roda rodahe
Meregehese cap jahe
“Itu kamu
ngerapal mantra apa, Yan?”
“Hah?”
Dean mencabut earphone dari lubang
telinganya. Baik denting instrumen maupun gelegar vokal, ala Katy Perry, Taylor
Swift, apa Jessie J., menyerbu. Kepala tak lagi geleng-geleng, pundak henti
goyang-goyang, si bocah menatap Deden serius. “…mantra pelet.”
“Mau.”
“Ya
bukanlah… Itu teh lagu Mamah Bungsu…”
Deden
mengernyit.
“…’Oncom
Garing’, tahu? …bala-bala… ampyang-ampyaaaang…?”
Mulut
Deden terbuka sedikit. Di seberang sekre KOMBAS aka Komunitas Band SMANSON, dirinya berhadapan dengan seorang anak
muda yang memiliki segalanya: rambut dipangkas menurut tren terkini, jumper bermotif semarak dari clothing negeri Merlion, sepatu kets
dengan model yang bikin liur mengalir, detak-detik dari arloji mengkilat, iPod
yang menyimpan lagu-lagu Mamah Bungsu. Who
the hell is Mamah Bungsu? Is she the sister of Mamah Sulung?
“Kamu
bener-bener hipster ya, Yan? Selera
kamu tuh enggak mainstream…”
Dean
tersenyum.
“…tapi
juga bukan indie.”
Dean
mengangkat bahu.
“Emang
lagunya kayak gimana sih?” Deden masih penasaran apakah sungguh itu bukan
mantra pelet. Dean memberikan sebelah earphone-nya
pada cowok dengan rambut mengembang dan kumis tipis itu. Tak hanya dikasih
dengar, Deden sekaligus diberi lihat bagaimana Mamah Bungsu dan para penarinya
beraksi di antara saung-saung pada hamparan rumput. Bak habis minum larutan
penyegar, wajah Deden semringah.
“Kapan-kapan
gua minta yah ini…” Deden menunjuk-nunjuk layar iPod Dean.
“Boleh,
boleh…” kata Dean senang.
“iPod-nya.”
“Eh,
jangan…”
“…lagunya…”
Tapi
pertunjukan belum tamat, saat riuh diganti ramai langkah yang menapak atau
terseret. Seseorang di ambang pintu sekre KOMBAS yang meriah menepuk tangannya
berkali-kali, memberi isyarat pada mereka yang berada di luar agar segera
masuk. Dinding sekre tersebut berwarna-warni berkat dihias oleh para muralis
SMANSON yang punya jargon: muralis
moralis lagi demokratis, yang cuman bisa miris lihat kreativitas siswa dikikis,
kita tangkis dengan menggarap dinding sekolah sampai habis!
Tapi
tidak termasuk dinding sekre di sebelahnya, seolah para muralis anarkis itu
tidak punya bayangan sama sekali bagaimana memberi sentuhan pada budaya nonpop.
Ketua
Apresiasi Budaya Sunda alias ABS, Asep Sujalma, telah mengatakan bahwa ekskul
mereka terbuka atas segala gempuran budaya. Tapi gembong muralis SMANSON masih
dalam dalihnya: ia belum menemukan konsep sempurna mengenai bagaimana mural
yang nyunda. “Gambar angklung saja
apa susahnya!” keluh Asep. Semangat nyunda
kudu disebarkan, tapi bagaimana
caranya, kawanan ABS lebih suka mengumpulkan bobodoran (:lawakan).
Sayup-sayup
terdengar suara dari sekre yang terletak di ujung gang itu.
Leupeut isi daging bahasa Cinana naon?
Bacang!
Bagian anu paling teuas dina kalapa?
Batok!
Lamun anu teu ngagaduhan buuk?
Botak!
Lamun maneh bahasa Cinana naon?
Bo-lo-ho!
Deden bangkit
dengan mengangkat gitarnya. Ia sangka Dean juga hendak mengarah ke sekre
KOMBAS.
“Emang
ada apa gitu?” tanya Dean.
“Briefing… Pembagian jatah nge-gig di kantin.”
“Nyegik?”
“NGE-GIG. Ah maneh mah sunda pisan
(:kamu sunda banget).”
“Oh. Da saya mah mau ke sana,” tunjuk Dean
pada sekre ABS yang dindingnya berhiaskan jejak kaki, terutama di sekitar
jendela. Kadang kala awak ABS tidak menyimpan kunci pintu di tempat yang
ditentukan, sehingga mereka terbiasa untuk memasuki sekre lewat jendela
alih-alih pintu.
Gebyar
tawa tertelan oleh lautan siswa yang memasuki sekre KOMBAS.
“Eh Dean,
hir… hir…”
“Yes, Sir.”
Dean
menyalami semua orang yang ada dalam sekre ABS. Subhanallah, lebih banyak dari
biasa—lebih dari jumlah normal jemari di sebelah tangan itu termasuk banyak
kan?
“Helti? Helti?”
“Pain… Pain…” Dean masih kagok berbicara dalam bahasa Sunlis alias
Sunda-Englis, yang entah mengapa malah bikin ia jadi ingin menangis. Padahal
bahasa Sunda tak kalah unik dan mengagumkan, di mana lagi kita bisa menemukan
kata selucu “cileuh” (:belek), “dahdir” (:liur), “jigong” (:liur), dan “acay”
(“liur) yang ternyata memiliki makna? Belum “tisoledad” (:terjungkal), dan itu
bahkan bukan judul lagu Westlife.
Kini
tidak hanya dengan bahasa Inggris, ABS juga coba berakulturasi dengan bahasa
Mandarin rupanya.
Ketika
awal nimbrung bareng ABS, Dean mengaku pada Asep.
“Kang, sebetulnya saya cuman ⅜ Sunda, yang ¼-nya
Betawi, ¼ lagi Minang, terus sisanya antah berantah. Kebetulan aja saya tinggal
di Bandung dari SD.”
“Iya enggak apa-apa Yan, sesuai namanya, Apresiasi
Budaya Sunda, seharusnya ini bisa jadi wadah buat siapapun yang ngerasa
berbudaya Sunda, enggak mesti orang Sunda. Coba liat si Depid.”
Mereka sama-sama menoleh pada Depid, Dadang, dan Ipul
yang tengah seru berdialog.
Gaplok bahasa Cinana naon?
Cabok siah!
Lamun dibuka jadi bau, naon
siah?
Calangap!
Lamun budak leutik karek
bisa ngomong?
Capetang!
Biwir anu gemesin?
Cameuh!
Depid, anggota baru ABS yang agaknya Tionghoa murni
itu, tidak mengabsahkan bobodoran tersebut, tapi tidak juga menyembunyikan
tawa. Depid oh Depid, yang bikin Dean bersyukur namanya tidak mengandung huruf
f satupun—kalau nama ayahnya tak masuk hitungan—atau ia akan bernasib sama
seperti Depid, yang di kartu pelajarnya tertulis nama “David Suniaraja”. Tanpa
belas kasihan oknum ABS mengubah nama trendi itu tanpa upacara bubur merah
putih segala.
Tapi saat
ini anak itu belum datang.
Asep
berkata pada Dean, “Dean, ini anak-anak ABS. Emang jarang pada keliatan, tapi
sekarang semuanya sekarang pada kumpul di sini.” Dean mengangguk-angguk. Satu
per satu pengisi lingkaran memperkenalkan diri, yang tidak makan waktu banyak.
“Teman-teman di sini juga pingin denger cerita kamu, Yan, tentang Darso, Nining
Meida, Bungsu Bandung, Kustian, dan kawan-kawan…”
Dean
memperbaiki posisi duduknya dengan rikuh. Padahal ia kemarin iseng saja berbagi
wawasan akan koleksi lagu-lagu Sunda milik ayahnya pada Asep, kok sekarang ia
merasa didaulat jadi narasumber forum begini? Memang siapa ia?
Tak ia
sangka omongan Asep kemarin itu serius.
“Iya Dean, sebenernya saya khawatir juga lama-lama ABS
yang Apresiasi Budaya Sunda ini malah jadi ABS yang Anak Buah Sule, karena tiap
kali ketemu kita malah ngabodor wae.”
“Tapi Akang, apan ngabodor ge
budaya Sunda?” Dean mengingat betapa humoris Ayah beserta para saudaranya yang
bertebaran di Tanah Pasundan. Toh ia bergaul dengan anak-anak ABS juga supaya
ia bisa banyak ketawa.
“Iya, tapi pengetahuan kamu tentang tembang-tembang
Sunda membuktikan kalau budaya kita enggak sekadar ngabodor!”
“Ah, piraku Akang, anak-anak ABS enggak kenal sama
lagu-lagu Sunda, seenggaknya tahulah kalau cuman lagu kayak ‘Wayahna’ atau
‘Jalir Janji’ mah, atau seenggaknya kalau penyanyinya mah sama
Doel Sumbanglah.”
“Ya udah makanya entar kita ngobrolin juga sama
teman-teman yang lain, tapi kamu ikut yah, kayaknya kamu tahu banyak.”
Sebenarnya
Dean tidak mengerti amat tentang para penyanyi Sunda itu. Ia hanya suka
mendengarkan lagu-lagu mereka. Toh setelah Asep memancing, ada juga satu-dua
yang tahu kalau Darso telah almarhum, dan Nining Meida pernah berkolaborasi
dengan Linkin Park.
Tapi sepertinya bukan hal lagu-lagu Sunda yang tengah dibicarakan forum ini,
Dean jadi tak enak karena sudah datang telat. Sepertinya ini merupakan forum
yang rada serius.
“Katakanlah
SMANSON ini mewakili Kota Bandung yah, Provinsi Jawa Barat, di mana mayoritas
penduduknya teh orang Sunda. Jadi
coba, ada berapa populasi orang Sunda di SMANSON ini? Apa jangan-jangan emang ngan saukur (:cuman sedikit)?
“Seperti
kata Doel Sumbang, ka marana ari urang
Sunda, disebut euweuh, aya, disebut aya, euleuh, ka mana atuh? Urang Sunda ka
marana, urang Sunda di marana? Urang Sunda, urang mana, urang Sunda, anjeun
saha? Naha ngan saukur nu ngeusian kulon Jawa?
(: …ke mana orang Sunda, disebut enggak ada, ada, disebut ada, pada ke
mana? Orang Sunda pada ke mana, di mana? Orang Sunda, orang mana, kamu siapa?
Kenapa hanya sedikit yang ada di Jawa Barat?) Nu ngeusian SMANSON, SMA negeri panggeolna se-Bandung Raya?
“Pinginnya
mah ABS teh bisa kayak PS3—Paguyuban
Siswa Sosial SMANSON. Semua anak sosial dianggap sebagai anggota PS3. Begitupun
ABS dengan orang Sunda. Jadi semua orang Sunda bisa ngumpul di sini kayak
keluarga, terus sama-sama belajar tentang budayanya, gitu…”
Mata Dean
menyapu berbagai alat musik di sudut ruangan. Ada tumpukan angklung di samping
karinding, calung, kacapi, dan tamborin, sementara suling tergantung, dan gitar
bersandar di bawahnya. Kendang dan galon bak memandang lesu pada hadirin yang
tengah menyimak celotehan Asep. Dean bertanya-tanya dalam hati apakah
benda-benda itu pernah digunakan ABS pada momen selain demo ekskul di MOS.
Mereka tampak jarang disapa kemoceng.
Serta-merta
dua orang cowok berdiri di ambang pintu. Dean mengenali mereka sebagai orang
KOMBAS. “Sep, punten ih mau ngambil
alat…”
“Mangga… Mangga… (:Silakan)”
Mereka
mengambili gitar, galon, dan beberapa alat musik lain.
“Eh Kang,
kirain teh itu punya ABS,” ucap Dean
spontan.
“Oh
bukan, itu KOMBAS nitip alat.”
Ternyata bukan
hanya dua orang itu yang hendak mengambil alat. Yang tersisa hanya alat musik
yang khas seperti angklung, karinding, calung, dan kacapi. Tapi tidak lama
kemudian datang lagi beberapa orang dari KOMBAS.
“Sep,
kita mau pinjem tempatlah.”
“Oh… Ya
udah atuh. Barudaks (:Anak-anak), pindah wae
yuk ke kantin. Bade ditraktiran ku si Atin,” ajak Asep sembari bangkit.
Yang bernama Atin kontan protes. Tapi tidak ada satupun yang komplain mengapa
mereka harus pindah, atau mungkin mereka hanya mengungkapkan dalam hati saja,
sebagaimana Dean.
Apa-apaan ini, tersingkir dari sekre sendiri!
Sementara
mereka beranjak, anak-anak KOMBAS melepas sekat yang membatasi sekre KOMBAS
dengan sekre ABS. Padahal sekre KOMBAS sendiri sudah makan dua kavling, tapi
hari itu pendatang briefing KOMBAS
memang sedang banyak sekali. Di antara orang-orang KOMBAS, Dean melihat sosok
Depid, si bocah bermata sipit dan berkulit pualam yang diragukan
ke-Sunda-annya. Namun Depid merasa lebih Sunda ketimbang Tionghoa,
mentang-mentang ia lahir dan dibesarkan di kawasan yang bukan Pecinan di Kota
Bandung. Sesaat Dean merasa kecewa, ah Depid, padahal kemarin anak itu
kelihatan bersemangat dengan ABS.
Kantin
lengang, sekitar sejam telah lewat dari bel pulang sekolah. Anak-anak ABS yang
tak seberapa mengisi salah satu bangku panjang di bagian tengah kantin.
Sebagian malah berpencar untuk mencuil sisa dagangan dari beberapa penjaja
kuliner yang masih berjaga. Tapi Asep tetap melanjutkan wacananya, yang bikin
Dean mendadak gatal untuk menimpali.
“Mangga, Yan, in Sundanis plis.”
“Waduh
Kang, mengingat pembaca cerita ini belum tentu orang Sunda, meskipun udah
banyak kata-kata dalam bahasa Sunda yang muncul dari tadi, saya ngomongnya
pakai bahasa Indonesia puitis aja ya Kang.”
Asep
mengangguk dengan penuh wibawa. Sebelah tangannya terangkat rendah. “Silahkan,
Anak Muda.”
“Jadi
pada suatu ketika, ketika baik aku dan saudara kembarku yang tidak mirip aku
itu belum lahir ke dunia, ibuku melanjutkan sekolah ke Boston. Lalu ayahku
menyusul ibuku tinggal di sana, lalu mereka memiliki anak.” Hening sebentar.
“Ayahku separuh Sunda dan separuh Betawi, tapi ayahku merasa lebih Sunda
ketimbang Betawi. Dan ketika ayahku bersinggungan dengan budaya Barat, ayahku
menyadari bahwa dirinya memiliki budaya yang berbeda, yaitu budaya Indonesia,
khususnya budaya Sunda.” Dean berhenti sejenak, sebelum kembali melanjutkan
dalam takzim. “Jadi ayahku bilang, barangkali kita baru bisa mengenali diri
sendiri setelah kita mengenal orang lain. Tapi jangan sampai juga kita terlalu
terkesima dengan orang lain, sampai-sampai kita lupa sama diri kita sendiri.”
Ketika
itulah Depid datang dengan ngos-ngosan.
O Depid, kukira kau telah berkhianat! Dean jadi merasa bersalah karena semula telah
berprasangka. Asep menyalami Depid. “How
ar yu, Depid?” sapa Asep.
“Nais… Nais…” balas Depid. “En how
eubot yu, Broh?”
“Gut poreperlah, hahahaha…! Kenapa
gerangan kamu baru kemari sekarang, Depid?”
“Iya
Kang, tadi pas saya baru datang ternyata sekre kita lagi dipake sama KOMBAS.
Kirain ABS lagi gabung sama KOMBAS, enggak tahunya cuman KOMBAS aja. Yah saya
udah terlanjur duduk.
“Tapi
Kang!” seru Depid tiba-tiba dengan bersemangat. “Ternyata KOMBAS lagi bagi-bagi
jatah gig, terus saya bilang aja
kalau ABS juga mau tampil.”
“APA?!”
Asep terperanjat. Icih dan Atin yang berada di belakangnya ikut histeris.
“Kenapa?”
Depid terheran-heran.
Icih
berkata dengan berat, “Sejak Pak Tatang dimutasi, kita kan udah enggak punya
pelatih musik lagi, Dep.”
“Loh,
tapi kan ada akang-akang dan teteh-teteh yang udah pernah diajarin sebelumnya?”
“Iya,
pasti masih ingetlah Kang, cara mainin gending,” Dean sudah tersulut.
Kebingungan
malah mendera para senior ABS.
Tiba-tiba
Asep berdiri dan menunjuk-nunjuk para anak kelas X. “Ya udah kalo gitu itu
tugas kalian, anak-anak baru, bikin pertunjukan buat gig-nya KOMBAS!”
“APA?!”
ganti anak-anak kelas X yang menjerit.
“Tapi
kita bahkan belum belajar apa-apa di ABS, Kang,” protes Pratiwi, salah satu
anak kelas X.
“Ya di
sinilah kita belajar. Kita lerning bai
duing! Kalian yang mikirin konsepnya, entar kita bimbing dan bantuin di
bagian instrumen,” kata Icih seolah sekonyong-konyong mendapat kekuatan.
“Betul
sekali Cih, kata Doel Sumbang juga, gancang
geura hudang, buka ceuli buka mata. Geura tembongkan urang Sunda oge bisa. (:…segeralah
bangkit, buka telinga buka mata. Segera tunjukkan orang Sunda juga bisa.) Bisa!
Kapan kita dapat giliran tampil, Depid?”
“Seminggu
sekali, Kang. Tiap Senin.”
“Senin…”
gumam Asep.
“Itu
enggak sampai seminggu!” seru Atin.
“Enggak apa-apa,
kita akan terima tantangan KOMBAS itu. Hatur
nuhun (:Terima kasih) Depid, apresiasi kamu terhadap budaya Sunda sangat
kami hargai. Kita bakal memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya! Nah,” Asep
berbalik pada Dean, “Dean, ada usul kita mainin apa?”
Dean
merogoh saku celana abunya. File
terakhir yang dimainkan iPod-nya adalah videoklip lagu Mamah Bungsu. “Kalau ada
nari-narinya gitu, gimana Kang?”
“Enggak
apa-apa. Kita kan ada Arini, kemarin masuk SMANSON-nya pakai jalur prestasi.
Juara nari jaipongan dia,” ujar Dadang.
“Oh,
Arini anak X-6 bukan?” kenal Dean.
“Emang
dia anak ABS gitu?” tanya Icih.
“Ya
enggak penting siapa orangnya, yang penting kan Apresiasi Budaya Sunda! Kayak
kata si Asep aja tadi…” sergah Dadang.
“Dean,
kamu kenal Arini kan?”
“Siap,
Kang!”
Dengan
semangat Siliwangi, Dean melangkah ke X-6 esok pagi. Arini si mojang priangan
berkulit kuning langsat menyambut Dean dengan senyum merekah. O Dean senang
sekali apabila menemui cewek yang tengah bersuasana hati bagus. Dengan antusias
Dean memprovokasi Arini. “Kamu enggak boleh menyembunyikan bakat kamu, Arini!
Kamu harus tampil, biar dunia bisa melihat siapa kamu sebenarnya. Dan ABS
dengan tangan terbuka bersedia membonceng di belakang kamu!”
“Maksud
kamu apa sih, Yan?” Arini memuntir rambut lurusnya yang hitam kemilau. Maka
Dean terus melancarkan kalimat-kalimat provokasinya, yang tadi itu hanya
preambule.
“Pokoknya
kamu donlot semua videonya Bungsu
Bandung, Rini!”
“Hmm… Oke
deh.” Kepala Arini terangkat sedikit.
Dua hari
tanpa kepastian dari Arini tak menggundahkan satupun anak ABS, tampaknya mereka
sudah lupa kalau mereka telah mengikat kontrak dengan KOMBAS via Depid. Hanya
Depid yang di balik tawanya atas bobodoran
para akang ABS, memendam gelisah.
“Dean,
gimana, Arini mau enggak?” tanya Depid sebelum ketidakpastian berlipat jadi
tiga hari.
“Ah iya…”
Dean juga sepertinya baru ingat.
Yang
bikin Depid tambah cemas ialah karena besok sudah memasuki akhir minggu, akan
susah mengumpulkan anak-anak untuk latihan—yang masih abstrak juga apa yang mau
dilatih.
“Kalau si
Arini enggak bisa, kamu siap-siap jadi Jet Li nyanyi lagu Sunda yah?”
“Hah!”
Tapi di
penghujung siang yang sunyi itu Arini mengetok pintu sekre ABS. Para cowok yang
pada main gapleh kompak menoleh. Jarang cewek ABS yang betah mendekam lama di
sekre, apalagi kalau tidak perlu amat.
“Arini!
Akhirnya kamu datang juga!” sambut Dean ceria. “Gimana, udah liat video-video tea?”
“Arini…”
ucap Arini pada satu per satu jejaka ABS yang lantas cengar-cengir sehabis
disalami cewek bening. “Udah, Yan…” jawab Arini akhirnya. Dan rupanya
kedatangan Arini ialah untuk memperlihatkan hasil latihannya. Sementara para
cowok membentuk formasi setengah lingkaran yang cukup lebar sehingga Arini
leluasa di tengah mereka, gerak-gerik Arini terlihat agak resah. “Mmm… Gimana
yah… Ada musiknya enggak, Yan?”
“Eh,
tunggu, tunggu dulu…” seru Ipul tiba-tiba. Ia bergegas ke sekre sebelah lalu
kembali dengan membawa speaker dan
laptop milik seorang anak KOMBAS. Dean menransfer tembang-tembang Bungsu
Bandung dari iPod-nya ke sana. Tak lama kemudian, beberapa anak KOMBAS
menghampiri ambang pintu sekre ABS karena penasaran. Tapi mereka hanya berdiri
di sana sementara intro salah satu lagu Bungsu Bandung yang dipilih Arini
mengalir. Mereka mendekat ketika pinggul Arini bergoyang. Mereka telah duduk
ketika Arini memamerkan gerakan lengannya yang gemulai. Jumlah mereka bertambah
begitu vokal jernih Arini mengalun dengan genitnya.
Kiceup Akang, abdi ge ngartos
Kiceup Akang, aya hartosna
Moal hilap Kang, moal lepat
Da abdi kumaha Akang, da abdi kumaha Akang
(:Kedipan
Akang, saya mengerti,
Ada
maksudnya
Tak akan
lupa, Kang
Saya
bagaimana Akang saja)
Dalam
perjalanan ke rumah, bagian atas dan bawah tubuh Arini masih bermain-main di
dalam kepala Dean. Dean mengibas-ngibaskan kepala. Bagaimanapun begitu melihat
demo pertunjukan Arini, Asoi, selaku manajer gig KOMBAS, langsung memutuskan ABS dapat jatah dua lagu di gig KOMBAS Senin besok. Alat-alat musik
dibersihkan, KOMBAS bahkan menyumbangkan sebagian miliknya, juga anak-anak yang
menonton menawarkan jasa untuk meramaikan dengan instrumen yang mereka kuasai.
Kibor diterima, saksofon ditolak. Yang biasa meniup flute dari platina diharapkan mengganti instrumennya dengan suling
bambu. Yang piawai menggebuk drum dengan senang hati coba menabuh kendang. Asep
juga mengerahkan anak-anak ABS lama agar kembali berbakti, selama ini mereka
pada mendekam di balik kulit berbagai ekskul lain. Latihan intensif akan
dimulai sejak esok sampai Minggu. Sayang sekali Dean tidak kebagian jatah,
biarpun hanya untuk memukul calung di lagu favoritnya: “Oncom Garing”.
Ooooo… oncooooom… dendang Arini dengan merdunya, diiringi liukan nada dari suling bambu.
Ujung
kantin SMANSON disemuti para siswa Senin itu, saat jam istirahat. Tiga baris
pertama, yang tidak bisa dikatakan membentuk barisan sebetulnya, didominasi
oleh kaum adam. Beberapa cowok lain tampak menaiki bangku di belakang
kerumunan, atau menyelinap ke tepi panggung rendah, untuk merekam pertunjukan
dengan gadget masing-masing.
Oncom, oncom…
Bala-bala…
Ampyang-ampyang jiga goreng dage…
Duh tingali si tukang dagang
Dupi lama Kang Dadang
Nyandak-nyandang karanjang
Teu tebih tina sangkaan
Tos teu lepat eta teh si tukang ampyang
Jenajenajenajenajenajenajenajenajenaje
Kalikilikiliki
kalikilikiliki
Yak hoya yak hoya yak
hoya yak hoyaya
Mana rotihe sambel oncom dicampur jahe
Dipake roda rodahe
Meregehese cap jahe
Lala… lala… lalalalalala…
Arini
meniru vokal Mamah Bungsu dengan amat apik. Cemprengnya menyayat pendengaran, sekaligus
serak di beberapa bagian. Para pemain berbagai instrumen di
belakangnya—kebanyakan dimainkan dengan dipukul—menggoyang-goyangkan bagian
atas tubuh mereka saking semangat. Kepala, pundak, lengan, dung dung plak tak
tung tung tung tung…
Dean
termasuk pengamat di barisan terdepan. Walaupun separuh mata terpicing karena
terik mentari, Dean tetap bisa menikmati. Perhatiannya yang intens terpecah
karena rangkulan Icang, kawan sekelasnya. Anak berambut keriting megar itu
berdecak. “Coba pakai kemben,” ucapnya. Dean kembali menatap Arini, betul juga
kata Icang. Arini dalam balutan putih kelabu tak lebih menarik dari Arini dalam
kemben mewah di khayalan Dean.
Icang
mengeluarkan selembar uang lima ribuan dari saku baju, lalu melipat-lipatnya.
Dilemparnya lipatan uang itu ke arah Arini, jatuh tepat satu meter di depan
kakinya sendiri. Dean mengambil lipatan uang tersebut, lalu ganti melempar.
Tepat mengenai dahi Arini. Sekilas Arini mengernyit, namun dengan lekas larut
kembali dalam penghayatan lagunya. Para cowok semakin riang mengelu-elukannya.
Kelar
“Oncom Garing”, Arini berseru pada para pemirsanya. “Ari ‘Surabi Haneut’ bade?”
“Badeeeeeee!”
“Awawawawaw….”
Teriakan-teriakan ala siamang bersahutan, belum lagi suitan. Beberapa cowok
menaiki panggung rendah. Mereka mengiringi tarian Arini yang memang interaktif.
Gig ABS
sukses! Jarang-jarang panggung diriuhi sampai sebegitunya. Belum aplaus dan
suitan yang menyemarakkan saat instrumen terakhir berhenti dimainkan. “Sakali deui! Sakali deui! (:Sekali lagi!)” Koar itu terdengar di beberapa
tempat, tapi giliran pemain berikutnya tak mungkin dibatalkan. Nantikan lagi
ABS minggu depan, sadulur sarerea (:saudara
sekalian)!
Para
pemain turun dari panggung rendah dengan peluh membanjiri wajah, namun
semringah di sana baru pudar setelah lama.
“Akhirnya
kita enggak cuman tampil di demo ekskul aja, Sep!” seru Ekal pada Asep. Ekal
ialah salah satu anak ABS lama yang sejatinya piawai memainkan karinding, tapi
lebih banyak memantulkan bola basket.
Cowok-cowok
yang hanya jadi pemirsa melirik-lirik mereka—Arini—dengan hasrat terpendam.
Sesaat Dean merangkul Arini erat sampai gadis itu memekik, saking gemas.
“Arini, lu hebat!” Aset yang sungguh berharga bagi ABS, pelestari sinden dan
jaipongan.
Bahkan
cewek-cewek yang secara resmi anggota ABS malah baru ngeh kalau ekskul mereka
jadi tampil di gig KOMBAS. Tapi
mereka telah terbiasa untuk mengabaikan ABS, sehingga kalau tak dikirimi sms
oleh Asep mereka tak akan datang di pertemuan ABS.
Jadilah
pertemuan sesudah pertunjukan itu hanya diisi cowok-cowok, yang memang lebih
nyaman begitu bagi para cowok itu. Mereka mencari-cari siapa lagi cewek yang
punya potensi seperti Arini, semestinya dari ABS.
“Tapi
cewek-cewek di ekskul kita pada jilbaban, gimana nih Bal…” sahut Dadang.
“Arini!”
tuding Ipul.
“Iya,
Arini,” sahut yang lain.
“Arini!
Arini!”
“Pokoknya
Arini!”
Mereka
ingin minggu depan Arini dipastikan tampil lagi, dengan membawa lagu-lagu Mamah
Bungsu yang lain. Para anak KOMBAS sudah pada mengantri, barangkali ABS butuh
pemain tambahan. Motivasi mereka lebih didasari atas keinginan untuk
menyaksikan Arini dari belakang, mesti tak kalah sensasional ketimbang dari
depan. Sebagai orang yang telah berjasa dalam mengorbitkan Arini, Dean sungguh
bangga.
***
Dari muka
gang, nyanyian Mamah Bungsu sudah terdengar. Sekre-sekre lain tampak senyap
karena ditinggal para pegiat yang beraktivitas di lain tempat. Langkah Dean
tertahan di depan sekre KOMBAS. Agak susah percaya bahwa alunan musik etnik itu
mengalun dari sana. Lenggokan Arini dikelilingi alat musik khas Sunda yang
dimainkan beberapa awak KOMBAS. Kali ini betulan ABS yang meminjamkan alat,
bukannya jadi penyedia jasa penyimpanan alat.
Yang
lebih bikin Dean terpana adalah keluarnya beberapa cewek berjilbab dari sekre
ABS, tapi Dean tidak mengenali mereka sebagai anak ABS, melainkan kakak kelas.
Anak ABS lamakah? Tapi mereka lebih pas disebut sebagai anak-anak DKM alias
rohis. Ah mungkin benar begitu.
Lantunan
tembang Mamah Bungsu yang jadi latar tak kuasa menepis suasana redup yang
mengitari sekre ABS.
“Yan, ada
lagu lain enggak yah selain Bungsu Bandung?”
Mata Dean
membesar. Pas benar dengan apa yang mau ia sampaikan. Mereka duduk melingkar di
ubin sekre. Adem dan lembap berkat hawa yang dibawa mendung.
Dean
menceritakan pertemuannya dengan Zia beberapa waktu lalu. Cewek yang termasuk
teman dekat sekaligus kakak kelasnya itu menanyakan keterlibatan Dean di ABS.
Menurut Zia, penampilan ABS kemarin menyiratkan ketidakadilan gender. Hanya
cowok yang mendapatkan kesenangan dari tontonan itu, sedangkan cewek-cewek
sendiri pada risi. Dibilangi begitu, Dean malah curhat soal visi ABS dalam
mempopulerkan budaya Sunda, setidaknya dalam lingkup sekolah. Balas Zia, “Ya…
tapi enggak mesti gitu juga kali, jangan sampai budaya Sunda disukai cuman
gara-gara suka nampilin cewek bahenol!”
“Ah cewek
itu mah emang banyak omongnya,” sergah Asep yang pernah sekelas dengan Zia saat
kelas X. “Kayaknya kita kemarin cukup diapresiasi juga sama penonton cewek.”
Dean
termenung. Omongan Zia itu justru melintaskan sesuatu dalam kepalanya. Orang
Sunda jangan hanya dikenal karena pintar ngabodor,
pun molek secara fisik, tapi juga religius. “Saya pikir anak-anak DKM tadi pada
ke sini mau ngajak kolaborasi, Kang.”
“Kolaborasi
gimana, Yan?” Muka Dadang mengerut.
“Ya kali
aja kasidahan pakai bahasa Sunda gitu… Anak DKM emang suka silaturahmi gitu ya
Kang?”
“Enggak gitu juga sih.” Asep menaikkan sebelah
kakinya. “Ya sebenernya masalah itu juga. Mereka enggak nyaman aja sama kita
kemarin. Kayaknya minggu depan enggak mungkin kita tampilin Arini lagi deh.”
…nu paling ngeunah jadi pagawe kantoran…
Musik
Bungsu Bandung masih mengalun kencang dari sekre sebelah.
“Enggak
tahu tah gimana anak-anak KOMBAS,” sambung Asep.
Dean
mengeluarkan iPod. Ia memindai koleksi lagu Sunda yang dimilikinya dalam benda
tipis itu. “Tapi kalau Arininya gimana, Kang?”
“Ya kalau
bisa jangan Arini sih…”
“Terus
siapa dong Kang?” Dean melirik kedua akang di hadapannya bergantian.
Dadang
mengerutkan mulut. “Ah, nya enggeus we lah, kita tarik aja sekalian anak DKM yang nyanyi buat kita!”
“Oh…”
Dean harus mencari koleksi kasidah berbahasa Sunda kalau begitu.
Asep
berdecak. “Ah mereka mah, paling
cowok-cowoknya aja yang bisa diajakin nyanyi.”
“Yang
dari ABS we atuh Kang. Akang gitu, yang nyanyi?”
Asep dan
Dadang menggeleng dengan ngeri.
Ketika
Mamah Bungsu dan Arini tak lagi dianjurkan, sedangkan cowok-cowok dari DKM jadi
pilihan, maka tampaknya Dean harus berpaling pada deretan lagu favorit Ayah.
Petang itu juga mereka menghampiri cowok-cowok DKM yang baru kelar rapat.
Cewek-cewek DKM yang tadi menyambangi sekre ABS memandang dari kejauhan dengan
penuh rasa ingin tahu.
“Bacain
Yan, lagu apa aja yang kita tawarkan,” titah Asep begitu negosiasi dengan tim
nasyid dari DKM dimulai.
“Kali ini
mah lagu-lagunya dijamin aman, Kang,”
sambut Dean. “Ada ‘Cilaka’ dari Iwan Ernawan, ‘Jang’ dari Oon, atau ‘Dina
Amparan Sajadah’-nya Darso.”
Muka-muka
itu terlihat asing dengan daftar lagu yang disebutkan Dean.
“Emang
kenapa gitu sama si Arini?” tanya salah satu personil tim nasyid.
Biarlah
itu menjadi rahasia perusahaan.
Arini
datar saja ketika pihak ABS, siapa lagi kalau bukan Dean, menyampaikan bahwa
ABS memutuskan untuk tidak minta bantuannya lagi. Hanya anak-anak KOMBAS yang
sekuat tenaga menahan kecewa agar tidak sampai terpancar dari ekspresi mereka.
“Kalau
begitu ABS tampilnya sekali aja ya,” pungkas Asoi dengan dingin.
Kendati
mendapat tendangan mental dari KOMBAS begitu, Asep memantapkan rencana
penampilan selanjutnya yang menggaet personil tim nasyid DKM. Apa sebab,
melontar pula komplain dari guru yang kala itu terheran-heran mendengar ada
dendang tak umum melantun dari kantin SMANSON. Jika biasanya jam istirahat
diisi hingar-bingar irama pop, rock, atau kadang jazz, mengapa kali ini selera
siswa SMANSON mendadak jegleg? Guru
itupun, beserta guru-guru lain yang diajaknya, mendekati kantin. Dari kejauhan,
dalam pandangan guru itu, gig SMANSON
tampak bagai panggung remang-remang.
“Warung
kali, remang-remang,” komentar Dadang.
Dean
sebetulnya agak tidak rela kesan yang ditimbulkan oleh tembang-tembang Mamah
Bungsu kok seperti itu. Memang kenes, tapi Mamah Bungsulah yang belakangan ini
setia mengeloni pendengaran Dean menjelang tidur.
Penampilan
“Dina Amparan Sajadah” secara drastis menyurutkan animo siswa SMANSON untuk
menonton. Hanya sebagian pedagang kantin saja, mang-mang dan bibi-bibi, yang
berdiri di tepi panggung. Muda-mudi lebih memilih untuk menghabiskan kudapan
mereka di bangku yang sejauh mungkin letaknya dari panggung rendah.
“Berasa
di kawinan enggak sih,” komentar salah seorang siswa.
“Enggak
ah. Kawinannya enggak di gedung kali ya…” tanggap yang lain.
“Anak-anak
KOMBAS pada ke mana sih? Hiburan istirahat gini kok malah nyewa organ tunggal?”
Mendengar
komentar-komentar semacam itu, gondok menjejali leher Dean. “Dina Amparan
Sajadah” adalah salah satu lagu favorit Ayah, yang secara otomatis jadi
kesukaan Dean juga. Lagu tersebut sekiranya termasuk lagu Sunda paling populer,
dengan lirik yang menggugah kalbu pula. Tiap kali mendengar lagu itu Dean
seakan diingatkan untuk salat. Tapi mengapa anak-anak pada pasang tampang
menghina begitu, seolah tak rela kata-kata pengajak tobat itu membelai
pendengaran mereka.
Usai
sekolah hari itu, sekre ABS tampak rada penuh. Baik oleh pegiat aktif ABS yang
tak seberapa, anak-anak ABS lama yang masih terkena sihir Arini kendati sudah
minggu lalu, sampai para cewek ABS yang tumben datang tanpa diundang. Para
cewek protes karena mereka tidak dilibatkan, anak-anak lama bertanya-tanya ke
mana Arini, sedang para pegiat aktif bingung memikirkan kesempatan nge-gig berikut yang terancam hilang.
“Arini!
Arini! Arini!” seru anak-anak lama yang semuanya cowok.
“Arini
tapi jangan nyanyiin Bungsu Bandung?” usul Depid.
“Arini
tapi dijilbabin terus nyanyiin lagu ‘Sujud’?” tambah Dean.
“Kapan
nih kita-kita ikutan main?” sahut cewek-cewek.
Ricuh itu
kemudian disela oleh tawaran Dean yang disampaikan Asep. Kali ini Dean mengajukan
tembang “Kaseureud” dari Darso. Menurut Dean tembang ini sangat nyunda karena mengandalkan calung
sebagai instrumen utama. Para cewek bisa unjuk kabisa melalui instrumen, sedangkan yang cowok kebagian unjuk suara
tapi tidak perlu punya vokal menggelora. Selain itu kandungan lirik lagu
tersebut agaknya tidak bakal menyentil siapapun yang barangkali belum siap
tobat. Tema bobogohan selalu bisa
menyentuh siapa saja.
Sebagian
cowok ABS tampak tidak puas karena wacana Arini terputus begitu saja, sementara
para cewek ABS bersemangat untuk memulai latihan besok. Para anak lama ABS yang
cewek pun ditarik untuk menransfer ilmu bermusik mereka pada anak-anak baru,
mengingat ABS belum memiliki guru pembina baru yang dapat mengayomi. Sayangnya
tidak ada cowok ABS yang cukup percaya diri untuk menyanyi. Mereka malah
menyarankan untuk menggaet lagi personil tim nasyid DKM.
“Yang
tadi juga bagus kok sebenarnya, nyanyinya,” kata Ipul yang diiyakan oleh
beberapa orang. “Cuman ya emang kita aja kurang ngandelin instrumen, sama
kurang dukungan dari anak ABS sendiri. Makanya besok pas ABS tampil, yang
enggak ikut main juga ikutan kumpul di depan panggung.”
Semangat
terpompa lagi. Para cewek ABS berlatih dengan giat. Meskipun ini hanya gig kecil-kecilan bagi KOMBAS, tidak
se-“wah” kesempatan untuk tampil di Bazaar atau gig yang lebih besar, namun bagi ABS ini merupakan kesempatan
penting untuk menunjukkan eksistensi ekskul tersebut yang selama ini
termarginalkan.
Hari yang
dinanti pun tiba. Suasana yang semula meriah akibat lagu ngetop yang dibawakan band sebelumnya mendadak jadi hening ketika
satu per satu pemain ABS menaiki panggung. Surutnya nuansa riang memundurkan
banyak penonton, mereka lebih tertarik untuk beli nyamikan lagi ketimbang
bertahan dan mengawasi anak-anak ABS yang dari segi penampilan saja memang
bersahaja—tak seperti anak-anak KOMBAS yang rata-rata mengikuti mode. Namun
anak-anak ABS yang tidak ikut main siaga dengan tugas mereka sehingga sekitar
panggung tetap terkesan ramai.
Di muka
kantin, Dean menegur setiap orang yang ia kenal agar lekas menuju ujung kantin
dan menonton pertunjukkan paling beda dalam sejarah gig SMANSON. Beberapa bilang “oke”, tapi Dean tak bisa memastikan
apakah mereka benar-benar sampai tujuan, sebab perhatian Dean segera teralih
pada orang lain yang juga tak boleh luput dipersuasi. Biarpun instrumen calung
sudah bertanding dengan was wes wos pendatang yang menjejali kantin, upaya Dean
belum putus. Semangat timbul tenggelam, sesuai reaksi yang ia terima. Lama-lama
Dean sebal dengan semakin banyaknya ekspresi tak minat.
“Soalnya
kan kita enggak ngerti bahasa Sunda,” ujar Unan, kawan sekelas Dean, ketika
Dean menanyakan alasan untuk tidak mendengarkan lagu Sunda. Dean mencegat cewek
yang baru saja membeli awug itu, dan makin gemas saja ia akan jawaban Unan.
“Emang
kalau nyanyi kokoreaan atawa jejepangan gitu ngerti artinya?"
“Iya kan
sambil belajar…”
“Emang
udah berapa lama sih tinggal di Bandung?”
“Ya udah
dari lahir sih…”
“Emang
kalau dengerin lagu Barat gitu lebih ngerti ya? Aw…” Dean mengelus lengannya
yang dipukul Unan, meski pelan.
“Ya
iyalah!”
“Biasanya
kan lagu-lagu gituan diputernya di kampung-kampung,” ucap Tria yang sedari tadi
menemani Unan.
“Enggak
ah. Ayah gue juga suka muter kok di rumah, tapi rumah gue di komplek tuh,
jalannya lebar, cukup dua mobil!” Dean agak tak bisa menyembunyikan
kekesalannya.
Ketika
alunan instrumen calung itu berakhir, Dean mendekati kawanan ABS-nya. Tapi
pembahasan ada saatnya nanti sepulang sekolah. Ah Dean tak sabar menantikan
itu.
Yang
berkumpul di sekre ABS usai sekolah kali itu tak lebih banyak dari minggu lalu,
hampir semua adalah anak ABS yang hadir saat pertunjukan tadi.
“Gimana
pertunjukannya tadi, Barudaks?” tanya
Asep.
“Lumayanlah,
tapi masih banyakan anak ABS-nya yang nonton,” terdengar sebuah laporan.
“Terus
dari KOMBAS-nya sendiri gimana?” sahut seseorang.
“Yah
enggak ada komplain apa-apa sih,” lapor Depid selaku penghubung ABS dengan
KOMBAS.
“Tapi
seenggaknya musik kita lumayan bedalah dari musik-musik kantin biasanya.
Kayaknya tadi ada beberapa anak bukan ABS yang ngeliatin kita terus, ya anggap
aja itu juga apresiasi,” kata seseorang yang lain.
“Nah,
kalau gitu buat minggu depan kita mau nampilin apa lagi nih?” tanya Asep pada
forum.
“Ya udah
calung lagi aja atuh,” ucap Amel,
cewek ABS lama yang selama ini lebih
sibuk mengurus studinya.
“Kayaknya
mending kita ada pariasi deh. Pas
pertama kan rame tuh, ada Arini. Yang kedua, yah rada-rada jegleg tapi enggak apa-apalah. Menurut saya yang ketiga ini
lumayan. Grafiknya naik lagi dikit.”
“Kalau
gitu kita Arini lagi!” sahut seorang cowok ABS lama.
Ramailah.
“Kalau
ada Arini kita bisa tampil dua kali!” seru Ekal.
“Ya
terserah deh, asal yang cewek-cewek tetep bisa ikutan main!” ucap Amel, yang
buru-buru disambung, “Tapi instrumen aja, enggak ikutan geol.”
“Menurut
kamu gimana, Yan?” tanya Asep di sela-sela kericuhan. Perbendaharaan Dean yang
tampaknya paling Asep percaya.
Dean tak
langsung menjawab. Sesungguhnya ia masih menyimpan kecewa atas jawaban beberapa
kawan sekelasnya tadi, dan mengingat ekspresi tak minat yang berhamburan
sepanjang jam istirahat tadi sungguh menyakitkan. “Sebetulnya saya enggak puas,
Kang. Masih ada orang yang mendiskreditkan musik Sunda. Padahal buat saya mah musik Sunda itu sejajar sama musik
manapun, ya Beethovenlah, ya The Beatleslah, ya siapalah…” Perbendaraahan musik
Dean secara umum sebetulnya tak terlalu kaya, ia tidak suka menghapal nama-nama
apalagi judul-judul yang mengikutinya. “Saya pingiiin pisan ngeliat anak-anak KOMBAS juga ikut nikmatin lagu Sunda,
bukannya langsung menyingkir pas kita naik panggung.” Bagi Dean, sesungguhnya
yang lebih penting adalah lagu Sundanya, bukan ABS. Menyinggung lagu Sunda
berarti menyinggung martabat Ayah yang amat dikaguminya, ayahnya yang orang
Sunda. Dan Dean tidak tahu lagi lagu Sunda apa yang cukup memikat bagi telinga
orang-orang itu. Apa yang dirasa nikmat bagi telinganya yang dapat menerima
segala jenis musik, belum tentu cocok bagi orang-orang tertentu. O Dean menyesali
adanya kalangan yang begitu picik dalam mendengarkan musik. Padahal tak sedikit
juga lagu Sunda yang menyampaikan pesan agar bermoral baik, tak semata yang
seronok dan hanya memanjakan kaum lelaki.
Tahu-tahu
saja teriakan Dadang terdengar, “Eh! Kenapa sih kita harus diperbudak terus
sama KOMBAS? Harus selalu nyesuain diri sama keinginan mereka? Si KOMBAS itu
dari awal emang udah enggak niat nampilin kita!” Yang lain terdiam. “Kalau
perlu kita bikin gig kita sendiri,
dan namanya juga bukan gig, tapi
bahasa Sundanya gig!”
“Emang
apa bahasa Sundanya gig?”
“Dang…
Dang… Tenang, Dang… Inget yang di sebelah…” Kedua tangan Asep menepuk-nepuk
bahu teman di sampingnya itu.
“Ah
peduli amat!” sergah Dadang. “Kalau perlu juga, kita keluarin semua barang
KOMBAS dari sini!”
“Ya! Ya!
Ya!” Anak-anak lama terkompori. Kendati mereka lebih aktif di ekskul lain,
ternyata tak satupun yang menyambi di KOMBAS.
“Ulah! Ulah! Entar sekre kita jadi keliatan enggak ada isinya,” masih Asep
coba menenangkan Dadang dan pengikutnya yang bertambah banyak.
“Enggak
bisa, Sep. Kita udah terlalu sering toleran sama mereka, selalu kita yang
banyak berkorban. Tapi apa yang mereka kasih sama kita?”
Dendam
laten yang telah turun temurun itu akhirnya meledak, meski dalam wadah sendiri hingga
rasanya bak Kawah Candradimuka.
Dalam
situasi itu, Dean merasa sama genting. Saudara kembarnya kan anak KOMBAS. Kalau
KOMBAS sampai tawuran dengan ABS, bisa jadi perang saudara! Kalau anak-anak ABS
nantinya sampai kepikiran untuk menghunus kujang, anak-anak KOMBAS bisa balas
dengan apa? Stik drum? Dean cemas memikirkan keselamatan saudara kembarnya.
Depid sama bungkamnya dengan Dean, anak
berambut lurus lebat itu meringkuk saja di pojok sekre. Selama hampir sejam
Dean bertahan dalam panasnya luapan aspirasi ABS. Dan ketua ABS, Asep Sujalma,
pun memutuskan bahwa mulai minggu depan mereka tidak akan berkontribusi lagi
dalam gig KOMBAS.
“Sebelum
kita didepak mereka, kita depak mereka duluan!”
“Iya!
Kita tunjukkan kalau orang Sunda juga punya kuasa! Bisa punya kehendak atas
diri mereka sendiri!”
Dan bara
itu lalu mereka padamkan dengan mendengarkan Cangehgar bersama-sama. Dean
keluar dari sekre ABS dengan was-was, mengikuti Depid. Selaku penggagas unjuk gigi ABS via gig KOMBAS, cemberut di wajah Depid itu amat kentara. Dean
merangkul anak itu.
“Menurut
kamu mereka bakal beneran bikin gig
sendiri, Yan?”
Dean
menggumam tak jelas karena belum kepikiran jawaban yang enak untuk dilontarkan.
Ia giring Depid ke seberang, lalu mereka duduk menghadap kedua sekre yang
diam-diam dalam sengketa itu.
“Siapa
yang mau nonton ya?” Depid malah menjawab sendiri pertanyaannya.
Dean
sendiri ragu, tidak enak diingatkan akan itu. Namun melihat sekilas sosok
saudara kembarnya yang baru memasuki gang sekre, perasaan Dean jadi lebih
tenang. Mereka saling melambaikan tangan. Deraz hanya menengok sebentar sekre
ekskul debatnya yang terletak di muka gang, lalu kembali menghilang. “Tenang
Pid. Gua bakal bikin pertunjukan kita banyak yang nonton,” tandas Dean yakin.
***
Secara
biologis mereka adalah saudara kembar, tapi secara rupa diragukan. Tidak
seperti Dean yang letoy lagi
kerempeng, tubuh Deraz tegap berisi. Ia gemar mandi matahari, sehingga kulitnya
tak sepucat Dean. Sejak SMP ia sudah terkenal sebagai siswa yang bergelimangan
prestasi, baik secara akademis maupun ekstrakulikuler, dan di SMA ini ia lanjut
aktif di OSIS, ekskul debat dan sepak bola, serta KOMBAS. Gig SMANSON biasanya tambah ramai ketika Deraz berada di panggung
untuk memamerkan kemampuannya memetik gitar, namun yang diburu para mojang
SMANSON sesungguhnya adalah fisik Deraz yang menawan.
Tapi
meski sama ⅜ Sunda sebagaimana Dean, Deraz lebih menghargai ⅛-nya yang antah
berantah. Ia sama sekali tidak fasih berbahasa Sunda, igauannya saja dalam
bahasa Jerman dan hanya Dean yang tahu.
Memang
Deraz tak bisa diandalkan dalam urusan susundaan,
tapi posisinya yang acap dianggap lebih dewasa dari Dean membuatnya sukar
menolak pinta Dean. Dan Dean tahu benar vokalis band Deraz adalah jajaka Priangan tulen, yang sama terjerat
akan pesona Deraz sebagaimana para mojang SMANSON. Kalau Deraz sedia, Ipong
bisa apa?
“Pong,
nyadar Pong, maneh teh urang Sunda. Tong hilap sareng jati diri maneh!” seru Dean dalam kesempatan itu. Ia mengguncang-guncangkan
tubuh Ipong yang memang jauh lebih kecil darinya.
“Jadi
maunya elo apa sih?” Biarpun dialek Ipong ala anak gaul ibu kota, tapi paras
molek dan kulit kuning langsatnya lantang bicara bahwa ia keturunan
Sangkuriang.
“Deraz
udah mau. Bram, Yoga, sama Adib,” Dean menyebut nama-nama personil lain dalam
band Deraz, yang mengangkat bahu saja kala Dean menyebut nama mereka, “iya-iya
aja. Nah sekarang tergantung elo,” tunjuk Dean, “sebagai nyawa dari band ini!”
Jika Deraz diibaratkan ujung tombak yang menyebabkan atraksi band dapat mengena
di hati pemirsa, Ipong adalah pelempar tombak tersebut. Kepiawaian Deraz dalam
menggeber gitar sesungguhnya hanya pelengkap bagi vokal Ipong yang menggelora
bak androgini.
“Nyanyi
lagu ‘Mobil Butut’-nya Bungsu Bandung!”
“Ogah!”
“Kalau
gitu, ‘Wayahna’!”
“Itu
apa?”
“Argh,
Pong, gue tahu orangtua elo dua-duanya raden, apa elo bisanya nembang pupuh
doang?”
“Pupuh
juga gue udah enggak inget!”
“Elo
orang Sunda apa bukan? Masak enggak tahu lagu-lagu Sunda? Gue aja yang cuman ⅜
ngerti, apalagi elo yang 100%!”
Sementara
Bram, Yoga, dan Adib menyeruput jus masing-masing, Deraz yang sudah familier
dengan interaksi Dean-Ipong tiap kali bersua menyela, “Lagunya kayak apa ya,
Yan?” Dean menoleh pada saudara kembarnya. Betul juga! Lagu yang dimainkan band
ini kan biasanya tergantung pada apa yang lagi asyik Deraz ulik—kalau bukan
pada eksperimen vokal Ipong. Serahkan pada Deraz!
Tangan
Deraz tak kunjung menyentuh senar, padahal Dean sudah memperdengarkan lagu
‘Wayahna’ berkali-kali. Kencang-kencang pula!
“Bingung
tuh si Deraz,” tuding Adib. “Ada yang iramanya enggak disko enggak?”
“Enggak…”
sahut Dean. “Ayo Yaz, elo kan pasti pernah denger juga kan Ayah muter lagu ini
di rumah?”
“Iya
Yan…” tukas Deraz sabar. Tapi ia tinggalkan juga sang gitar demi rapat OSIS,
begitupun dengan para personil lain. Sudah satu band, satu kelas, satu
organisasi pula, mereka terlalu kompak, termasuk dalam bikin Dean lieur. Ketika tidak ada seorangpun di
rumah, ia coba mengaransemen sendiri lagu itu dengan piano. Setelah menemukan
nada-nada yang tepat, ia malah tidak percaya diri. Bagaimana kalau orang-orang
tetap tak menyukai permainannya?
Dan ia
hanya bisa melewati sekre ABS dengan lesu, memandangi orang-orang yang sudah
gembira hanya dengan main kartu sembari mendengarkan Cangehgar. Namun di
sebelah gelak tawa itu, samar-samar ia mendengar denting gitar dan dentum bass.
Flute yang ditiup Yoga menghasilkan
melodi lirih. Gumaman Ipong berubah jadi kata-kata yang tertangkap, “…tempe deui, tempe deui… Wayahna tumis deui
tumis deui…” Kepala berjambul itu bergoyang-goyang, sementara mata hitam
besarnya menancap pada secarik kertas lecek di tangan. Mereka duduk di lantai
sekre KOMBAS yang berlapiskan karpet biru, hanya Deraz dan Yoga yang duduk di
kursi. Kepala Deraz juga ikut bergoyang pelan seiring tabuhan galon yang Adib
mainkan. Dentuman bass Bram menambah riak yang membangkitkan gejolak tubuh
untuk bereaksi. Tapi semuanya terjadi dalam ritme yang tenang. Tidak sangka
‘Wayahna’ versi akustikan akan begini indahnya. Geletar haru menyelubungi Dean
yang hanya berdiri di ambang pintu.
Di hari
H, sekitar panggung dijejali orang-orang yang terkesima: para penggemar Deraz,
pengurus KOMBAS, siswa dari berbagai kalangan lainnya, dan tak terkecuali
anak-anak ABS. Suara sok sengau Ipong menimbulkan kekocakan tersendiri yang
menggelitik telinga, Dean tersenyum-senyum mendengarnya. Di beberapa bagian
suara rendah Deraz, Adib, dan Bram melatari dendang Ipong yang kadang dibikin
sok genit. Alunan flute yang
dimainkan Yoga menjadi hiasan tersendiri.
Tiba-tiba
Ipong yang semula menyanyi dengan lagak takzim bangkit lalu menepuk-nepuk
tangan di atas kepala sesuai irama. Membaca isyarat itu, Dean mengeraskan
suaranya yang sedari tadi sebetulnya membersamai. Ia mendekati Asep yang
terpana di sisi kantin. “Ikut nyanyi, Kang,” ucapnya di sela-sela nyanyiannya.
Dean menoleh pada anak ABS lain yang memerhatikan, mengajak untuk melakukan hal
yang sama. Tak lama, bagian depan panggung telah dibahanai suara-suara tak
kompak tapi bermaksud sama, yang lama-lama jadi serempak jua.
“Yuk ayeuna mah ti awal we lah… Kemon, Son!”
Ipong
mengedarkan pandang pada para personilnya. Paduan instrumen yang semula hampir reff dialihkan dengan lembut ke intro
tanpa kesan terputus.
Wayahna, jengkol deui jengkol deui
Wayahna, asin deui asin deui
Wayahna, tumis deui tumis deui
Wayahna, deungeun sangu sapopoe
Isuk-isuk jengkol, beurang asin, ari peuting tumis
Begitu
seterusnya untuk tempe, tahu, endog,
urap, kangkung, dan waluh. Meloncati bagian reff,
paduan instrumen melambat yang disusul Ipong dengan, “Hayu ah kabeh miluan, heu euh! Jengkol…”
“Jengkol!”
“Asin…”
“Asin!”
Ipong mengarahkan mikrofon ke arah audiens.
Lalu
menaruhnya lagi di depan mulut. “Tumis…”
“Tumis!”
Begitu
seterusnya.
“Tempe…”
“Tempe!”
“Tahu…”
“Tahu!”
“Angeun kacang…”
“Angeun kacang!”
“Urap…”
“Urap!”
“Ulukutek…”
“ULUKUTEK!”
Gelegar
tawa.
Dean puas
sekali melihat Tria dan Unan di sela kerumunan coba mengikuti dendang dengan
kagok. Wajah Ipong di atas sana juga tampak puas, meski bercucuran keringat.
Biar resek, Dean mengagumi kemampuan Ipong sebagai vokalis yang interaktif.
“Kepada barudaks ABS, kita tunggu yah
kolaborasinya!” Ipong menunjuk entah pada siapa ke arah penontonnya, tapi
tentunya setiap anak ABS akan merasa. “Ieu
gig maneh oge, Son!”
***
Lega
benar Dean. Beberapa minggu terakhir ini terasa cukup melelahkan baginya yang
tak terbiasa aktif dalam kegiatan ekskul, kalau sekadar main sih ayo saja! Ia
mungkin tidak akan nimbrung ke ekskul manapun dulu untuk sementara, tapi ia
sudah mulai menimbang-nimbang sasaran selanjutnya. Biar demikian, dengan atau
tanpa ia menjadi anggota ABS, budaya Sunda sebagai bagian dari dirinya akan
selalu ia apresiasi. Dean berjanji!
Sekali
Dean main ke sekre ABS, ia masih ditanya Asep lagu apa yang ia sarankan untuk gig berikut. Gembira benar Dean,
ternyata ABS tidak jadi mundur sebagai pengisi gig KOMBAS!
“Kalau
perlu kita bikin supaya mereka bisa nampilin kita dua kali seminggu!” malah
Dadang yang bertekad begitu, yang segera disambut tabokan dari teman-temannya.
“Eee… Ngomong tiasa, ari getol latihan tara!”
Belum
juga Dean angkat suara, sudah melayang saran-saran dari para anggota ABS. Yang
cewek ingin lagu-lagu Adele dimainkan dalam nuansa calung. Yang cowok tetap
Arini, tapi mereka juga setuju untuk mengalihbahasakan lagu-lagu Adele ke dalam
bahasa Sunda, lalu menantang para vokalis KOMBAS untuk menyanyikannya dengan
sempurna. Dean tak sabar untuk menyaksikan segala konsep yang lucu-lucu itu.
Depid
sendiri memimpikan jumlah anak ABS bertambah dari waktu ke waktu, jumlah yang
cukup untuk memainkan tumpukan angklung di pojok sekre. Jangan jadikan mereka
sekadar rongsokan bambu!
“Kalau
gitu tahun ajaran besok kita mesti gaet banyak banget orang, Dep,” ucap Asep.
“Sip
Kang!” Depid mengacungkan jempol. Anak itu tertawa renyah. Ah Dean jadi semakin
ingin melihat Depid berdiri di panggung rendah itu, sebagai Jet Li yang
menyanyikan lagu Sunda dengan kocaknya.
Owe tumpak becak kaliling-liling
Calana butut tuluy ka alun-alun
Di alun alun aya kantol polisi
Apapunlah,
apapun agar ungkapan ekspresi ini dapat tersampaikan. Omong-omong, Arini masih
mau tidak ya, membawakan aksi Mamah Bungsu lagi, untuk Dean saja tapi hihihi.
Dean tersenyum mesum. Tidak juga tidak apa-apa, toh masih bisa Dean nikmati
sendiri keelokan suara Mamah Bungsu beserta ragam instrumen yang mengiringinya
via iPod.
Oncom-oncom… bala-bala… ampyang-ampyang…
“Emang
enaknya apa sih lagu-lagu kayak gituan?” tanya Zia. Ia dan cewek itu tengah jalan
bareng menuju rumah sepupu Zia, yang adalah teman sekelas Dean, yang mana Dean
ingin menanyakan cara mengerjakan PR Kimia, yah begitulah. Cewek itu terus
memerhatikan tubuh Dean yang bergerak-gerak pelan mengikuti irama degung.
“Enaknya
yang ini nih…” Dean memberikan sebelah earphone-nya
pada Zia. Sekarang belaian merdu itu sama mengalir di rongga pendengaran
mereka. “Dengerin baik-baik… Habis ini…”
Jenajenajenajenajenajenajenajenajenaje
Kalikilikiliki kalikilikiliki
Yak hoya yak hoya yak hoya yak hoyaya
Zia
terperangah. “Emang itu bahasa Sunda?”
“Teuing. Sigana mah lain nya?”
Mereka
terbahak.
“Enak
juga ya?” Zia tampak mulai menikmati. Kepalanya bergoyang pelan. Dean
memberikan earphone-nya satu lagi
sehingga Zia bisa menikmati lagu itu sepenuhnya. Toh ia sudah hapal setiap nada
yang memeriahkan lagu itu, termasuk berapa kali jena, kaliki, dan yak hoya dalam satu bait.
::sapoe pinuh dina 13/05/12::