November ini saya menulis ulang Yang Keenam, novel yang saya
garap dalam rangka CampNaNoWriMo edisi Juni 2012. Maka jadilah Yang Kedelapan,
dan sayapun ditahbiskan sebagai pemenang NaNoWriMo 2012. Tidak usah tepuk
tangan, terima kasih.
Yang Kedelapan terdiri dari 51.304 kata menurut word count saya, tapi 51.002 menurut word count NaNoWriMo. Saya mengetiknya selama
katakanlah 2 minggu di Ms Word 2007 dalam format Georgia 12, single 0 pt, A5 normal, dan bahasa Indonesia (265 halaman).
Menulis ulang
Biang untuk novel ini sesungguhnya sudah saya garap menjadi
satu cerpen di pertengahan tahun 2009, satu cerpen di akhir tahun 2010, satu
cerpen di pertengahan tahun 2012, dan satu novel di pertengahan tahun 2012
alias Yang Keenam; sekaligus mengilhami beberapa cerpen di tahun 2011 – 2012 dan
satu novel di tahun 2011 alias Yang Kelima.
Adapun perbedaan signifikan antara Yang Kedelapan dan Yang
Keenam terletak pada sudut pandang. Dalam Yang Keenam saya mengolah bahan
melalui sudut pandang orang pertama dengan perspektif sembilan karakter. Dalam Yang
Kedelapan saya menggunakan sudut pandang orang ketiga dengan perspektif satu
karakter. Saya merasa Yang Kedelapan lebih baik.
Maka penulisan novel ini terasa sangat lamban. Dalam sehari
saya hanya mampu menulis sekitar 2000 – 3000 kata. Padahal tidak ada aktivitas
lain yang saya kerjakan—tentu saja selain makan, minum, mandi, dan semacam. Dalam
kondisi yang sama saya bisa menulis hingga 5000 kata untuk Yang Ketujuh. Tiap
menyelesaikan satu bagian untuk Yang Kedelapan, saya langsung membacanya
sekaligus mengeditnya. Bisa sampai berkali-kali. Hal mana dalam NaNoWriMo
makruh untuk dilakukan sebetulnya. Bagaimanapun cerita ini telah saya tulis
berulang lagi. Tentu saya mengharapkan hasil yang lebih baik dari waktu ke
waktu. Sebisa mungkin saya meminimalisasi penulisan yang asal-asalan.
Teknik
Yang saya sadari dari penulisan saya adalah saya banyak
mengandalkan: Dialog, latar tempat kadang tidak penting selama dialog
dimungkinkan; Permainan rima, kadang jatuhnya bikin gaya bahasa saya terkesan
ketinggian; Logika, tergantung pada pembaca apakah sebagai pun itu mempan; Arus kesadaran, well,
tidak tahu apa tepat demikian, yang jelas pikiran saya selaku narator dan
pikiran karakter sering bercampur aduk—bahkan karakter bisa mengoreksi
pernyataan saya yang menurutnya tidak tepat.
Saya rasakan menulis novel sebagai upaya untuk menciptakan
visualisasi yang mengesankan dalam benak pembaca.
Tema
Siapapun yang merasa alim atau ingin jadi alim tidak akan
menyukai cerita ini. Sayapun tidak
menyukai cerita yang menonjolkan hubungan asmara baik lawan jenis maupun
sesama jenis. Padahal cerita ini mengeksplorasi tentang itu. Ditambah karakter
yang sepintas enggak saya banget…
Tapi entah kenapa saya selalu bisa mengaitkan diri dengan
setiap novel yang saya tulis. Setiap karakter menjelma alegori. Tema dalam novel ternyata merefleksikan apa yang
saya sendiri alami dalam kehidupan saya. Bagaimanapun saya berusaha untuk menggarap cerita ini dengan serius.
Saya kira menulis novel telah membantu saya untuk lebih
memahami diri saya—kehidupan saya. Terlepas dari apakah orang lain dapat mengapresiasi novel tersebut atau tidak. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar