Senin, 31 Desember 2012

XI. Epilog (versi 1)

Rieka yang mahasiswi Fakultas Hukum se­bu­­ah perguruan tinggi negeri di Bandung. Me­nye­le­sai­kan studi dalam tempo 3,5 tahun dan menjadi ak­­tivis BEM tercatat di organizer miliknya, pun tang­­gal dan jam di mana ia akan menyalakan Skype un­tuk bersua yang tersayang. Di organizer pula ter­te­ra daftar mengenai apa saja yang harus Rieka ingat­kan pada Dean tiap kali terhubung. Jangan lu­pa makan, yang banyak, yang teratur! Jangan lupa sa­lat. Jangan lupa kunci pintu apartemen. Jangan lu­pa pakai jaket. Jangan lupa buang sampah. Ja­ngan lupa cuci piring. Jangan lu­pakan aku.

Mereka dipisahkan rentang 12 jam. Ketika Ri­­eka usai kuliah, Dean sedang meneguk kopi di se­be­­rang dengan mata terancam mengatup sewaktu-wak­tu. Rieka menawarkan diri agar ia yang be­ga­dang sekali-kali, tapi Dean tidak mau.

Siang Rieka sibuk. Dean menawarkan sore, di mana pagi bagi Rieka pun sibuk. Dean yang pagi, Ri­eka sedang sore, tapi Dean belum bangun. Ba­ngun atuh, salat subuh enggak sih? Dean ce­nge­nges­an. Rieka tidak bisa mengingatkan Dean lewat te­lepon sebagaimana dulu. Dean mengajukan sore sa­ja untuk Rieka, biar Dean yang pagi termotivasi un­tuk bangun. Tapi kadang Rieka punya acara saat so­re. Ya sudah kalau begitu mah kayak begini lagi aja…

Rieka minggat sebentar, lalu kembali dan men­dapati Dean ketiduran bertelekan meja atau ber­sandar di kursi. Namun Rieka bergeming. Me­non­ton cowok itu tertidur, sampai waktu bagi Rieka un­tuk mengerjakan aktivitas lain. Boston sejuk saat mu­sim panas dan bersalju saat musim dingin, Dean kem­bali jadi jumper mania. Potongan rambut ce­pak saja. Wajah menirus. Tidak tampak lagi kesan metroseksual dari dirinya.

Tahun pertama di Boston Dean memutuskan un­tuk memperpanjang masa orientasinya. Ia ber­la­tih piano secara intensif dengan bimbingan teman Pak Al yang notabene mengajar di Berklee, serta be­kerja paruh waktu. Biaya hidup di sini mahal, Neng, kata Dean, seolah sang ibunda tidak mem­be­ri subsidi yang cukup. Tentu Dean pun melihat pe­lu­ang berupa program beasiswa unggulan dari Ke­men­dikbud RI, tapi mendapat beasiswa atau tidak me­nurut Bunda Dean harus segera melanjutkan pen­didikan.

Tahun kedua di Boston Dean mengambil ju­rus­an Performance dan entah apa lagi… Yang lebih pen­ting bagi Rieka adalah bagaimana Dean me­nik­mati hidupnya yang baru. Banyak istilah baru da­lam dunia musik yang harus Dean kuasai, begitu je­li­met, bikin ruwet. Dean mulai risau akan GPA. Pi­a­no dan akademis bukan kombinasi bagus, menurut De­an, ia masih melihat dua hal tersebut bagaikan mi­nyak dan air. Belum masalah lain. Pandai ber­te­man tidak menjamin segalanya selalu berjalan lan­car. Lagipula di Boston tidak ada emang-emang yang bisa Dean ajak mengobrol sewaktu-waktu. De­an paham culture shock yang ia alami, lagipula ia per­nah tinggal di Boston sebelumnya sejak bayi hing­ga balita, namun mendengarnya mengeluh membuat Rieka gulana.

Pernah Dean bilang, ia membentuk grup mu­sik bersama beberapa teman yang asyik, dan na­ma grup tersebut adalah Riekaholic.

Pernah Dean bilang, ia ingin kembali ke In­do­nesia saja, lalu menjadi mahasiswa di fakultas sam­ping fakultas Rieka.

Pernah Dean bilang, ia menjadi sukarelawan di pusat kegiatan remaja setempat, dan mengajari a­nak-anak bermain musik itu ternyata me­nye­nang­kan.

Rieka harap Dean tidak bosan dengan ber­ba­gai upaya Rieka agar cowok itu selalu optimis. Ri­e­ka bilang pada Dean bahwa ia bayangkan Dean mam­pu menjadi setaraf Richard Clayderman, Bubi Chen, dan berbagai nama lain yang sengaja Rieka te­lusuri sebelumnya di internet.

“Kalau suatu saat kamu konser di Indonesia, a­ku janji bakal nonton kamu di paling depan,” en­tah kalimat ini sudah Rieka ucapkan berapa kali. 

Tahun ketiga di Boston mereka memasuki fa­­se baru dalam hubungan mereka. Dean, kamu ja­ngan ngerokok lagi. Rieka, si Juwi bilang kamu ja­lan sama Ryan ya, siapa tuh Ryan. Dean, kenapa sih enggak di sini enggak di sa­na teman-teman ka­mu tipenya kayak begitu terus. Rieka, aku nungguin ka­mu dua jam, besok a­ku ada tes, dan enak banget ka­mu bilang kalau kamu mendadak ada acara, kenapa sih kamu enggak ngomong dari sebelumnya. Dean, kamu tuh enggak per­nah dengerin ka­ta-kata aku. Rieka, aku enggak bi­sa terus-terusan ber­u­sa­ha jadi Deraz, aku nye­rah.

Dean meninggalkan layar begitu saja. Ting­gal sandaran kursi yang berhadapan dengan Rieka.

Siapa, Dean, siapa…

…siapa yang menyuruh kamu untuk jadi Deraz…

Rieka menutup muka. Tersengguk.

 

*akhirnanowrimo2012*

Jumat, 28 Desember 2012

X. Masa depan

Di antara sepuluh jari, dan bidang di mana me­reka berpijak, kini hanya sepasang yang bekerja pa­ling giat. Bertalu-talu kepala jempol diadu de­ngan tuts-tuts. Kedelapan lain pasrah tidak lagi ber­tu­kar panas alami, melainkan menopang kotak ke­cil yang diklaim mampu merangkum kehidupan bah­kan menjembatani kehangatan.

Pasangan yang pernah diklaim paling hangat di SMANSON, lalu sempat WIKA[1] mereka rusak, ki­ni agaknya telah terbiasa dengan yang adem. Ma­sih terlihat mereka beriringan, berhadapan, tanpa sen­tuhan-sentuhan yang dulu membuat mereka khas dibandingkan pasangan-pasangan lain di SMAN­SON.

Para peramai-penggembira yang notabene co­wok pun menyimpulkan bahwa pacaran tidak meng­ganggu stabilitas hati, selama adu fisik tidak jor­joran. Bagaimanapun mereka sangat ter­pe­nga­ruh oleh adegan berupa aksi, baik yang bikin se­nang maupun sebaliknya. Enggak aksi, enggak co­wok.

Cowok yang cepat belajar akan meng­hin­dar­kan diri dari mengulangi kesalahan. Rieka tahu De­an berusaha menghindari fisiknya, walau tidak ken­ta­ra bak upaya cowok-cowok DKM. Dean tidak me­na­rik tangannya yang tersentuh, bergeming saja, dan tidak menuntut lebih. Ia tampak alamiah, wa­lau matanya bukan lagi mata yang biasa. Binarnya sa­mar-samar.

Rieka yang veteran OSIS, dan tanggungan for­malnya hanya akademis, memasak hampir tiap pa­gi, padahal dulu hanya hanya beberapa hari se­ka­li. Menelusuri lagi di internet, bahan-bahan sarat le­mak dan kalori. Tidak lagi saling menyuapi, Dean bi­sa makan sendiri. Ia makan dengan lahap, sampai tan­das, kecuali potongan cabai, bawang, dan se­ma­cam. Rieka harus bersabar sampai pipi itu isi lagi, se­kaligus memikirkan bagaimana mata itu isi juga.  Se­sekali Rieka putus harap. Ia ajak Dean makan junk food saja sepulang sekolah… sementara ia sen­di­ri pesan salad.

Sekadar ke McD atau KFC terdekat. Rieka ting­galkan mobilnya, si March. Membonceng Dean na­ik Hattori, yang mana jok belakang lebih men­ju­lang. Dean tersentak begitu Rieka peluk erat dari be­lakang. Rileks selanjutnya. Mau ke mana, Sa­yang? Sekadar supaya ada percakapan toh sudah pas­ti tujuan. Rieka pun sekadar ingin merasakan. De­an yang begitu kurusan. Tidak lama kemudian le­ngan Rieka lepaskan.

“…kemarin malam, chatting sama Deraz. Pas la­gi di Istanbul katanya liat darwis, yang nari mu­ter-muter itu loh…” Dean memeragakan dengan te­lun­juk, sedang tangan yang satu menggenggam bur­ger ukuran raja, sebelah pipi gembung oleh cam­puran roti, salad, keju, daging, bombay, ma­cam-macam. “Tadinya pingin nyoba, tapi katanya se­patunya yang nari itu dikasih paku. Enggak jadi deh…” Mulut Dean melahap lagi. Sesungguhnya Dean mampu makan sangat banyak. Rieka sengaja be­li burger ukuran ratu untuk dirinya sendiri, yang ha­nya ia icip sedikit, selanjutnya biar suruh Dean yang habiskan. “Terus dia habis ketemu saudaranya Opa di Freiburg… warisan gitu… tapi enggak sem­pat ngurus.” Rieka tahu. Rieka juga baca blog De­raz, yang cowok itu buat semenjak ia resmi jadi pe­la­jar yang ditukar. Blog trilingual, Rieka cuman ba­ca posting berbahasa Indonesia.

Rieka memasang sebelah earphone ke lubang telinga Dean, sebelah lagi untuk telinga sen­di­ri. Rieka menyetel “In The Sun” dari She and Him, just another Zooey’s song, Ipong silahkan me­le­dek. Repeat track, sampai Dean menyadari. Eks­pre­si tercenung sesaat, mata ke lain arah, lalu bur­ger milik Rieka mulai dijamah, dicuili.

Rieka mendapat tatapan Dean lagi. Sorot yang lembut sekaligus Rieka belum pernah lihat.

“Ri… Ri-eka.”

“Iya…”

“Kamu mau nungguin aku?”

Tentu saja Rieka akan menungguimu meng­ha­biskan makanan, Dean. Masih ada sekotak lagi ken­tang goreng, yang jatah Rieka, juga untuk Dean.

“Nunggu aku sampai jadi sesuatu?” lanjut De­an.

Jeda.

“Sesuatu yang bisa ngebanggain kamu?”

Rieka terus diam.

Rieka selalu mengira ia dan Dean akan me­nem­puh jalur yang berbeda selepas SMA— jurusan yang beda, fakultas yang beda, bahkan perguruan ting­gi yang beda—dan kini pikirannya melanjutkan, akan ada orang-orang baru yang berbeda pula un­tuk satu sama lain… lingkaran mereka akan se­ma­kin banyak, semakin melebar, dan belum tentu ber­iris­an… orang baru yang lebih baik dan lebih tepat, mung­kin, untuk satu sama lain. Rieka segera kem­ba­li ke hari ini. Ia masih bersama Dean, dan mung­kin akan terus bersama sampai habis sisa masa SMA, lalu menempuh jalur yang berbeda… sebelum ling­karan pikiran itu melarutkannya lagi, Rieka se­ge­ra kembali ke hari ini.

“Kamu udah yakin mau ke… Kedokteran Gigi sa­ma Hukum?” Ganti topik. Ganti raut. Rieka me­ra­sa sedikit lebih lega. Tanyakan hal yang sama pa­da Dean, hal ke mana ia hendak melanjutkan. Co­wok itu menggeleng. Senyumnya tipis.

Dean terlalu kenyang untuk bangkit, tapi Ri­eka tidak bisa mengemudikan Hattori… Tawa yang ge­li. Mari tunggu sebentar, sampai Dean cukup ri­ngan untuk mengantarkan Rieka kembali pada March.

Persoalan dimulai. Dean di atas Hattori se­la­lu di belakang, tidak berusaha menyusul atau me­nyam­ping, Rieka dalam March yang tidak kena angin, debu, dan razia.[2] Tidak usah sampai rumah, De­an, Rieka sudah berpesan. Cowok itu pun mem­be­lok di suatu pangkalan ojek.

.

Uak dan istrinya bertolak dari San Fransisco, ka­rena panggilan anak mereka yang berdiam di ru­mah Papa Rieka. Kak Mita akan menikah, yang asum­si Rieka disebabkan oleh pacar cewek tersebut lu­pa kenakan pengaman. Bagaimanapun Rieka acap melihat benda-benda di kamar Kak Mita, yang sebenarnya Rieka tidak mau ketahui fungsinya sam­pai ia sendiri menikah kelak. Namun Rieka te­lah tahu, Rieka telah menduga, walau barangkali ti­dak seorangpun mengira hal yang sama.

Malam setelah unduh mantu majalah-ma­ja­lah bridal bertumpuk di sofa tengah rumah Rieka. Is­tri Uak dan Mama Rieka menghabiskan waktu la­ma untuk memperbincangkan setiap halaman da­lam majalah. Padahal konsep pernikahan telah di­pu­tuskan dengan besan.

“Enggak apa-apa… besok buat Eka yang ka­yak gitu aja…” kata Istri Uak.

Rieka yang mengamati dari jarak cukup jauh ter­perangah diam-diam.

“Emang si Eka mau dinikahin kapan gitu, Ma? Mau sekalian besok juga?” tegur Papa Rieka yang baru nimbrung.

Rieka menggeleng walau tidak satupun me­li­hat.

“Ya tergantung anaknya aja gimana… sama si­apa…” kata Mama Rieka.

“…sama siapa ya, Ma?”

“Pacarnya yang sekarang kayak gimana?” ta­nya Istri Uak.

Palu di balik dada Rieka berdentum.

“Hahaha…. Dean!” Papa Rieka tergelak. Ia yang pernah mencita-citakan Dean sebagai biker yang santun berbahasa Sunda.

Wajah Rieka mengerut.

“Ya gimana entar aja lah, Ceu… Masih ja­uh…” kata Mama Rieka.

“Ah paling berapa tahun lagi sih. Sekarang aja Mita baru dua-dua… Nikah muda kan sekarang la­gi ngetren…!” suara Istri Uak.

Rieka meninggalkan arena.

.

“Cowok elo enggak cemburu?”

“Enggak apa-apa. Dia juga suka kok jalan sa­ma temen-temen ceweknya.”

“…’temen-temen’ kan.”

Cemburu sama Ipong, Dean pun tahu itu ga­gas­an yang aneh. Dalam hal tertentu Dean memiliki pan­dangan yang sama dengan Rieka soal Ipong. Ipong, yang saat ikut ekskul teater di SMP selalu di­tun­juk untuk memerankan cewek berkat suara dan tin­ggi badan yang ia miliki. Jika saja Ipong me­mi­liki suara yang berat, badan yang menjulang, tiap orang bakal memandangnya sebagai cowok garang.

“Temen-temen elo setipe semua sih, yang annoying gitu.”

“Makanya. Gue lebih seneng curhat sama elo,” senyum Rieka, yang menurutnya bercerita pa­da Ipong sama seperti bercerita pada cewek dengan ti­pe lain, yaitu tipe yang lebih senang bergaul de­ngan cowok ketimbang dengan “sesama” cewek.

Makanan, minuman, sofa, dan suasana, se­mua telah kondusif bagi Rieka untuk meng­ung­kap­kan kegundahan. Ruang semacam itu bertebaran di ba­nyak titik di Kota Bandung.

“Gue rasa… gue takut sama Dean.”

Ipong yang heran, Rieka tidak heran.

“Takut kenapa?”

“Gue pikir… Dean serius banget sama gue…” …ter­ingat Dean telah memintanya untuk “me­nung­gu”… “…dia pernah ngomongin soal anak…” saat ja­lan-jalan melintasi suatu perumahan Dean ber­ta­nya rumah seperti apa yang Rieka inginkan, dan ten­tu saja Rieka menyembunyikan insiden di ruang ta­mu, “…gue kan enggak sampai kepikiran dia se­ba­gai future husband…”

“Bukannya kalian udah married gitu ya?”

“Itu kan di Facebook.”

Ipong seolah kaget.

“Pacaran ya pacaran aja, nikah urusan lain la­gi…”

“Ya udah enggak usah dipikirin.” Ipong me­ngo­yak lapisan berbentuk hati di atas cappuccino pe­sanannya.

“Enggak usah dipikirin terus anak gue sama dia udah lima aja…” sungut Rieka.

“Oh dia pingin anak lima?”

“Genap sih. Dia pinginnya jumlah yang ce­wek sama yang cowok sama.”

Ipong terkekeh. “Terus elo enggak pingin dia ja­di suami elo gitu?”

“Enggak tahu!” sergah Rieka. “Gue belum si­ap aja, Pong, kalau kudu mikirin soal itu mah. Gue kan masih pingin kuliah, kerja, dapet gaji dulu sepuluh juta… per bulan! …masih so long banget eng­gak sih gue nikah tuh? Sementara Dean tuh mi­kir­nya kayak itu tuh udah di depan mata banget… ta­pi gue herannya malah dia enggak kepikiran soal ku­liah, kerja, atau apa. Dia masih enggak tahu coba, mau ngisi apa buat SNMPTN, mau kuliah di ma­na…”

“Ya udah elo aja yang mikirin itu, dia mikirin si­sanya, soal anak dan sebagainya itu, saling nge­leng­kapin kan,” tukas Ipong.

“Iiih Ipong!” seru Rieka dengan gemas.

“Ya elo juga kan yang awalnya pingin sama dia.”

“Iiyaa…”

“…sampai elo bela-belain dia bisa dapat jatah gig lah, apalah.”

“Iya. Gue sampai bikin proker khusus gitu ta­hu enggak sih, buat dia, biar dia tuh rada… is­ti­lah­nya apa ya… ya lebih beres aja lah, lebih enak di­li­at…” …lebih punya karisma… “…ya ampun, Pong, gue tuh.. sayang… sama dia. Tapi gimana ya,” Rieka me­nyibak rambutnya yang panjang, “perasaan gue ke dia tuh sebenernya lebih kayak ke ingin nge­ra­wat gitu, pingin supaya dia bisa lebih baik, terlepas da­ri kita bisa everlasting apa enggak. Toh pasti en­tar ada waktunya kita nemuin jalan masing-ma­sing… Ya intinya gue seneng aja ngurus dia. Gue se­neng bisa marah-marahin orang tanpa orang itu nye­rang gue balik… enggak kayak kalau sama elo gi­tu, Pong!”

Ipong tergelak.

“Aneh enggak sih perasaan kayak gitu?”

“Yang marah-marah?”

“Enggak… Yang gue pingin ngurus dia…”

“Enggak tahu sih ya,” Ipong menyeruput isi cang­kir di tangan, “mungkin karena elo enggak pu­nya adik kali ya.”

“Elo gitu sama adik-adik elo?”

Ipong mengedikkan badan. “Enggak. Udah ada orangtua gue ini.”

“Ah Ipong…”

Diam sejenak. “Gimana ya Ka… gini kali ya, iba­rat elo ini petani yang nanam padi. Elo rawat pa­di elo sampai bagus, kasih pupuk, ini itu, hamanya elo cabutin, sampai padi elo hijau, bagus…”

“…ya, gue sempet punya analogi gitu juga, ta­pi enggak persis sih, at least gue enggak mikir sam­pai padi…” karena Rieka jarang melihat sawah di Kota Bandung, kalau bukan sudah tidak ada sa­ma sekali.

“…tapi ya padi bukan rumput, Ka. Dia kan ma­sih harus kuning dulu baru bisa diambilin pa­di­nya. Dan dia enggak bisa sampai ke situ kalau ujug-ujug elo ninggalin dia. Elo yang nanem dia, dia ber­gan­tung saa elo buat ngerawat dia, kalau enggak ja­di­nya ya ilalang semua…”

“Kok kesannya kayak gue yang bertanggung ja­wab sama dia gitu sih?” sela Rieka.

“Ya emang elo tanggung jawab! Elo udah num­buhin perasaan gitu ke dia, ngebiarin dia deket sa­ma elo. Menurut gue sih sebenernya si Dean tuh ra­da obsesif sama elo, cuman ya dia enggak berani nge­kang elo. Elonya aja yang coba pengertian. Se­ka­rang udah deh. Gue tanya sama elo, elo mau lan­jut sama dia apa enggak…”

Rieka diam.

“Dia udah sampai taraf ngeganggu enggak bu­at elo?” kejar Ipong.

“Enggak, Pong,” Rieka menggeleng. “Gue ta­kut­nya cuman pas dia nyinggung-nyinggung soal ma­sa depan sama gue aja. Kalau enggak ya gue fine-fine aja sama dia.”

“Ya udah, enggak usah elo pikirin. Kalau dia nying­gung lagi ya enggak usah terlalu ditanggepin lah. Emang sering ya dia nyinggung?”

“Enggak juga sih.”

“Elo masih enjoy sama dia?”

“…masih…”

“Ya udah, enggak ada masalah kan kalau gi­tu…” Ipong mengangkat lagi cangkir yang semula su­dah diletakkan di meja. “…terus pas gue ketemu elo lagi tahu-tahu anak elo sama dia udah lima aja…” Ipong terbahak.

“Ah Ipong…” Bahu Rieka turun. Ia belum ju­ga menyentuh pesanannya, yang sudah sedari tadi da­tang.

“Kalau menurut gue sih, elo malah mestinya nyon­toh si Dean tuh,” lanjut Ipong. “Dia tuh jujur. Apa adanya. Kalau dia pingin sesuatu, ya dia tun­juk­in sama elo…” mengingatkan Rieka akan insiden di ruang tamu itu lagi—hih!

“Elo kok malah jadi belain dia gitu sih, Pong?”

“Setelah segala yang elo lakuin sama gue, gi­ma­na gue enggak jadi simpatik sama dia?” Ipong me­lahap potongan pancake. “Apalagi se­karang ini kan dia yang pastinya sering banget ngabisin waktu sa­ma elo.”

“Ya Ipong. Gue kan udah minta maaf…” sa­hut Rieka segera. Duhai Ipong. Sentimennya ku­mat!

“Baru kali ini, Ka, gue liat elo bener-bener sa­yang sama cowok elo. Sama cowok-cowok se­be­lum­nya kan elo enggak pernah. Gue merhatiin!—se­da­ri kita SMP!”

Rieka benar-benar harus segera mencarikan ce­wek untuk Ipong.

“Gue bener-bener maafin elo kalau elo mau nga­ku ke Deraz.”

“Ya ampun Ipong…” Rieka tercengang. “Ma­sih aja elo ungkit-ungkit… Deraznya aja udah eng­gak ada…”

“Deraz tuh masih ada. Dia cuman pelesir ben­tar ke Jerman.”

Rieka tidak berkata-kata. Padahal sudah la­ma ini ia berhasil tidak memikirkan Deraz lagi, di­ba­yang-bayangi cowok itu. Rieka tidak tahu ba­gai­ma­na ia bisa bilang pada Ipong. Ipong pasti me­nyang­gah. Mending Rieka mengalah.

“Sana tuh, elo… kayak lagu favorit elo itu… na­ik sepeda ke bukit…”

“…ngapain?”

“…nyariin Deraz terus elo ungkapin semua ke dia. Perasaan elo yang sebenernya. Kalau elo su­ka, bilang suka! Kasih tahu dia yang sejujurnya. Ka­lau­pun elo ditolak, elo enggak bakal nyeselin itu!” Ipong akhirnya ingat judul lagu yang ia maksud, “AITAKATTA[3]! Kalau perlu elo nyanyiin lagu itu du­lu sampai sepuluh kali!”

Rieka termangu.

“Ya biar enggak ngeganjel aja gitu. Nge-clear-in…”

“…terus apa gue mesti bilang yang se­ju­jur­nya juga sama Dean…?”

Ipong menggeleng. “Jangan, ke dia mah. Ka­sih­an.”

Punggung Rieka terhempas ke sandaran so­fa.

Dari kafe Ipong mengajak Rieka berkaraoke. Alf menyusul dengan motor. Alf diminta Ipong un­tuk mengajarkan tarian ala JKT 48 pada Rieka, wa­lau Ipong sendiri piawai menginjak-injak dance stage di mesin Dance Dance Revolution. Ba­gai­ma­na­pun Alf adalah kawan yang fasih dalam me­nya­nyi­kan baik lagu-lagu J-Pop maupun K-Pop. Se­pu­lang dari berkaraoke Ipong menyumpah-nyumpah ti­dak bakal menyentuh genre itu lagi.

.

Rieka mencoba untuk menuruti titah Ipong, sa­at di Facebook ia menemukan Deraz sedang on­line. Ia membuka kotak obrolan dengan cowok itu, na­mun tidak segera mengetikkan sesuatu. Ia ba­yang­kan mengatakannya pada Deraz.

Deraz.

Deraz.

Saya…

Saya…

Saya suka…

Saya suka sama kamu.

Saya suka sama kamu.

Saya pernah suka sama kamu.

Deraz offline. Rieka menunggu. Deraz tidak kun­jung online sampai Rieka memutuskan untuk ti­dur malam itu.

Segera, ketika Rieka mendapat kesempatan kon­dusif dengan Ipong untuk melaporkan.

“Aku enggak bisa… bilang gitu sama Deraz…”

Ipong menanti Rieka melanjutkan.

“Itu kayak elo ngatain sesuatu yang padahal elo enggak gitu… itu kan… eu… apa ya istilahnya… mu­na, gitu…”

Ipong melongo saja.

Sekalian Ipong pun ingin mengatakan.

“Tahu enggak kenapa Deraz enggak bisa su­ka sama elo?”

Misteri terbesar dalam kehidupan Rieka.

“Kenapa?”

“Ya makanya, elo sekalian bilang sama dia, se­kalian nanya…”

“Ipong!”

Cowok itu terkekeh.

“Elo tahu, sering si Deraz tuh disinggung so­al cewek…” Perhatian Rieka langsung terpusat. “Bi­a­sanya kan diem aja… enggak komen… disinggung te­rus… ditanya-tanya lah, tipenya kayak gimana… Eng­gak tahu. Masak dia bilang enggak tahu? Di­ta­nya we, kalau tipe cowok gimana…” Rieka me­nyi­mak dengan dada berdebar, “…dia ketawa aja… Te­rus gue nanya we ke dia, kalau tipenya kayak si Ri­eka gimana… Raz. Si Rieka kan cantik, pinter, bla bla bla…” Ah Ipong. Rieka tersipu. “Terus Deraz bi­lang… Rika itu… gimana ya…” nada Ipong men­jel­ma nada yang biasa Deraz gunakan, “…dia terlalu mi­rip sama ibu saya. Oh, kamu enggak suka tipe yang kayak ibu kamu, Raz? Ceuk gue teh. Deraz ge­leng-geleng. Kok Dean suka? Gue nanya lagi.” Rieka sa­dar dari terbius. “Enggak sempet kejawab, so­al­nya waktu itu teh lagi pas ngapain lah, gue lupa.” Ri­eka kembali terbius dalam kemenungan. “Ya gue ja­di mikir aja kalau si Dean tuh mother complex.”

Tidak terpikir oleh Rieka sebelumnya. Ia me­nye­rupai sosok yang ia kagumi.

.

Perpustakaan, baik di sekolah maupun di ka­fe, menjadi pilihan Rieka untuk tempat ia dan Dean be­lajar bareng. Dikitari berderet-deret buku bikin De­an malas berpaling ke mana-mana. Fokusnya ha­nya Rieka atau bentangan buku-buku di bawah da­gu, atau Bumblebee.

“Kamu kayaknya cocok di Komunikasi deh, Yan.” Rieka alihkan perhatian Dean dari Bum­ble­bee. Rieka dengan buku kumpulan soal IPC, sedang De­an dengan buku kumpulan soal IPS, saling ber­bagi soal—tentu saja Rieka tidak akan serahkan soal IPA pada Dean. “Kamu kan biasanya ceriwis ba­nget,” walau belakangan tidak. Setahu Rieka Ko­mu­ni­kasi dan Akuntansi adalah jurusan yang paling di­idamkan di kelas IPS. Dean lemah di Akuntansi, co­ret Akuntansi.

“Komunikasi, terus satunya apa?” tanggap De­an dengan nada malas. Kepalanya terkulai di atas kumpulan soal.

“Sastra?” Rieka asal.

Dean menggeleng dengan kepala tetap me­nem­pel. “…enggak suka baca yang be­rat-berat…”

“Sosiologi… apa kek.” Rieka tutupi ke­jeng­kel­an dengan menekuni barisan soal lagi.  Se­ki­ra­nya banyak jurusan di ranah IPS yang bisa jadi te­pat untuk Dean, mengingat kepribadian Dean yang se­nang bersosialisasi—anggap saja terkait. Yang di­he­rankan adalah Dean tidak menunjukkan minat pa­da satupun. Jurusan apapun sepertinya bakal sa­ma saja bagi Dean.

Dean mengangkat kepala. Kini tubuhnya sem­purna menghadap Rieka, dengan kedua lengan me­magari tepian kumpulan soal. “Bunda ngasih gue dua pilihan.” Gumaman Rieka tanda me­nyi­mak. “Pertama, sekolah yang bener, terus terserah mau nerusin ke mana.” Dean bicara seperti zombi. “Ter­serahnya tuh terserah mau di UNPAD, atau di UN­PAR… atau SBM ITB… yang disebut Bunda baru itu aja sih.” Dean menggaruk kening dengan ujung ja­ri. “Yang kedua… Bunda ngizinin kalau gue fokus di piano… asal di Berklee.”

“Ber…?”

“Ya… kayak sekolah musik gitu deh. Tapi ja­uh. Jauh banget. Enggak kebayang lah jauhnya ka­yak gimana. Pokoknya antah berantah…” Dean meng­acak rambut bagian belakang. Raut yang ma­las.

“Berklee?” Serasa sering dengar, di tabloid, di majalah, sekolahnya orang-orang terkenal. 

Ceuk si Ayah mah… ngapain sih jauh-jauh… kan di Bandung juga ada… STSI, Jakarta IKJ, pa­ling banter ISI… nu di Jawa keneh.”

“Terus?”

“Kata si Pak Al gue enggak ada masa depan di klasik, mending gue belajar kontemporer aja di Ber­klee. Itu orang bisanya nyusahin aja, bener deh…” gerutu Dean. “…dulu juga pas awal-awal gue les sama dia kan, sebenernya dia emang udah pi­ngin ngarahin gue, cuman kan waktu itu gue masih ke­cil, Bunda enggak pingin mempersempit masa de­pan gue.” Dean menggaruk kening lagi. “Pas yang se­karang juga, pas Bunda pingin ngelesin gue lagi, kayak enggak ada pilihan aja, ke si Babah lagi. Gue mah di tempat les musik biasa juga enggak apa-apa, yang ngajar mbak-mbak muda, cantik…” Badan De­an condong pada Rieka. “…percaya, Neng, yang pa­ling cantik di hati aku cuman kamu…”

Namun bukan itu yang penting bagi Rieka. Ri­eka meraup tangan Dean bagai menggapai bin­tang. “Kayaknya emang lebih baik kamu ngikutin passion kamu, Yan.”

Passion?” ulang Dean seperti baru men­de­ngar kata tersebut untuk pertama kali.

“Iya... Lagu-lagu yang suka kamu kasih ke aku itu, lagu buatan kamu sendiri…? Lagu-lagunya Bumble­bee?” yang sampai sekarang masih Dean su­ka mainkan dengan Baby, atau kibor di studio se­wa­an milik kakeknya Zahra (Rieka sudah tahu yang ma­na Zahra walau hanya ditunjukkan dari jauh bu­kan oleh Dean malah), sekaligus merekamnya, lalu mem­perdengarkan hasilnya pada Rieka.

“Emang apa gitu passion aku?” tanya Dean la­gi seolah tidak kunjung mengerti.

“…piano?”

Dean menatap Rieka dalam diam, lalu ucap­nya dengan pelan, “Piano itu cuman alat,” Ganti Ri­eka yang tidak mengerti. “Passion aku,” lanjutnya, “ka­mu.”

.

Jauh sebelum kartu undangan prom datang, Ri­eka dan Dean sudah survei ke mana-mana. Me­re­ka susuri clothing-clothing di sepanjang Jalan Tru­no­joyo, berdesak-desakan dengan ibu-ibu di Pasar Ba­ru, berlagak sosialita di Trans Studio Mall sam­pai Cihampelas Walk, hingga bertualang ke rimba Ci­mol Gedebage. Menebak-nebak dresscode prom ja­di keasyikan tersendiri.

“Kalau aku pakai cocktail dress ini, Yayan mau pakai apa?” tanya Rieka kenes.

“Yayan mau pakai tuksedo deh. Lengkap sa­ma topengnya. Jadi tuksedo bertopeng deh, ha-ha-ha…” Dean terbahak.

Itu kalau dresscode-nya formal.

“Kalau Yayan milih vest yang ini, Neng gi­ma­na?”

“Samaan aja… Tapi aku mau pakai baby shirt yang ini…”

“Kalau gitu kita cari adult shirt yang kom­pak­an sama baby shirt kamu itu ya, Neng.”

Itu kalau dresscode-nya kasual.

“Neng, aku jadi pingin pakai tuksedo be­ner­an.”

“Kalau gitu, kita cari baju Sailormoon di ma­na ya, Yan?”

Itu kalau dresscode-nya superhero.

“Yan, tuniknya lucu ya Yan…”

“Kayaknya aku punya baju koko yang cocok sa­ma itu deh Neng, di rumah.”

Itu kalau dresscode-nya pesantren kilat.

Entah bakal ada nominasi pasangan ter­kom­pak atau tidak di prom nanti. Dresscode masih abs­trak, undangan belum dicetak. Tapi mereka sudah me­nenteng kantong belanjaan da­ri tiap clothing yang mereka sambangi. Dean bahkan “me­nye­lun­dup­kan” model-model terbaik yang ia lihat ke da­lam kepala.

“Kayaknya blus yang di 5àsec kemarin itu…”

Rieka ketuk kepala Dean dengan pulpen. “Fo… kus.” Besok Dean ujian Akuntansi sedang Ri­eka Fisika, tidak ada main-main.

“…cocok sama bawahan yang di Kings itu loh, unyu banget…”

Rieka menatap Dean dengan tajam. Cowok itu menunduk. “Si Bumblebee lagi cerewet ba­nget…” kilahnya sembari memutar telunjuk yang meng­arah ke kepala.

Rieka tidak peduli.

“…demi kamu, Rieka… demi kamu…” suara De­an. Buku pelajarannya bertumpuk-tumpuk di me­ja, semua terbuka, tapi tak ada satupun yang me­lekat lama di mata. Dean mencoba lagi. Ia pa­sang juga headphone di kepala.

“Kamu baca apa dengerin?”

“Dua-duanya.”

“Konsentrasi kamu bisa dibagi gitu ya?”

Dean mengangkat bahu. “Kali aja?”

Setidaknya Dean bisa jadi penyegar di te­ngah kepenatan Rieka mengutak-atik soal.

Rieka masih tidak meluangkan waktu untuk ja­lan-jalan ketika ujian praktik. Dean pun ikut-ikut­an. Sepulang ujian biasanya mereka bertukar cerita me­ngenai kelancaran masing-masing lewat telepon.

“Tadi pas ujian agama, gurunya heran. Aku juz amma hapal, tapi pas disuruh baca Quran eng­gak bisa…” lantas Dean tertawa.

“Kamu hapal juz amma?” Rieka takjub. Ia ki­ra orang yang malas salat paling hapal beberapa su­rat pendek saja.

“…eh… iya… aku kan dengerin, Sayang… Ta­hu-tahu aja nempel di kepala, hehe…” cengengesan.

Kartu undangan prom akhirnya datang, ber­ben­tuk tanda tanya. Setelah memindai wak­tu dan lo­kasi prom, mata Rieka sampai pada dresscode yang harus dikenakan.

Dean menggeleng ke­tika Rieka menyarankan co­wok itu datang ke prom sebagai pianis.

“Kalau Neng jadinya mau pakai apa ke prom?”

 “Palingan blazer yang ungu itu aja Yan, sa­ma blus ruffle, rok midi, terus sepatunya yang kita li­hat di Edward Forrer itu loh, yang haknya tiga sen­ti…” …sesuai pilihan kedua Rieka ya­itu Hukum. Pi­lihan pertama Rieka sebetulnya Kedokteran Gigi, ta­pi Rieka malas mencari jas dokter. Lagipula ia pi­kir kedua pilihan itu sama baik, cuman soal passing grade saja.

“Oh. Gampanglah, nyocokkinnya…”

“Jangan cuman sekadar nyocokkin sama aku dong Yan. Yang penting kamu mau datang se­bagai apa pas prom. Itu kan dresscode-nya,” kata Rieka lem­but.

Dean menggeleng, tersenyum, yang malah bi­kin Rieka jadi gemas. Melihat tatapan ko­song De­an, Rieka menyadari kalau kosong jugalah yang meng­isi benak Dean akan masa depan.

“Ke mana ajalah, asal universitasnya sama ka­yak Neng,” begitu kata Dean lagi saat Rieka men­de­sak soal jurusan yang hendak Dean tuju selepas SMA.

“Ya mau universitasnya sama kan tetep ha­rus pilih jurusan juga Yan,” sambut Rieka. Ia tahu De­an tidak minat dengan Hukum, apalagi Ke­dok­ter­an Gigi.

“Aku tuh enggak mau ke mana-mana,” ucap De­an akhirnya, setelah suntuk dikejar tanya yang sa­ma oleh Rieka dari hari ke hari. “Aku cuman pi­ngin di sini, sama kamu, sama Ayah, sa­ma Bunda, sa­ma…” Dean terus menyebut nama saudara-sau­da­ranya, teman-temannya… setiap o­rang yang me­re­ka kenal dan memiliki kesan masing-masing bagi De­an.

“Iya… Tapi prom tuh tinggal berapa lama la­gi Yan, kamu belum tahu mau pakai apa ke sa­na, ka­mu enggak tahu kamu mau datang sebagai apa.” La­ma-lama kesabaran Rieka surut.

“Apa aja boleh deh, cocokkin sama kamu aja. Eng­gak usah macem-macem lah…”

Rieka merengut. Ia tak bisa membiarkan De­an dalam kegalauan terus. Ah, bukan, bu­kan Dean yang galau, justru Rieka!  

Padahal semua tergantung pada Dean sen­di­ri.

 “Duh! Aku tuh enggak mau kamu ber­gan­tung terus sama aku!” pungkas Rieka.

Rieka memutuskan untuk tidak terlalu serius me­mikirkan Dean. Toh banyak pula teman me­reka yang masih gamang, formulir SNMPTN pun belum ter­isi, lantas asal saja memilih pa­kai­an untuk prom. Asal ada kemeja, dasi, jas, dan celana bahan, yang co­wok sudah bisa berlagak ja­di eksekutif di per­u­sa­ha­an ternama. Yang cewek sama saja, asal ada bla­zer dan blus pokoknya, su­dah berasa dosen. Bahkan ada yang berencana pakai jaket, celana jeans, dan ka­os saja, lalu menga­lungi SLR dan mengaku war­ta­wan. Beruntung yang orangtuanya punya profesi de­ngan pakaian khu­sus, macam PNS, dokter, atau mon­tir, sehingga penampilan mereka rada beda.

Sebetulnya Dean bisa saja pinjam jas ibun­da­nya yang bergelar dokter itu, atau sekadar pa­kai training dan mengalungi stopwatch bak ayahnya yang pelatih atlet. Tapi Dean kukuh ingin tampil se­ra­si dengan Rieka.

.

Pengumuman kelulusan.

Rieka gembira dengan nilai-nilainya.

Dean bersyukur nilai-nilainya cukup untuk me­luluskannya secara jujur.

SMANSON tidak memiliki tradisi corat-coret se­­ragam, namun Rieka dan Dean berencana untuk meng­­adakan acara “hias” seragam ala mereka. Me­re­ka kumpulkan berbagai macam pewarna, lalu sa­ling menghiasi seragam satu sama lain. Seragam itu ti­dak mereka kenakan, melainkan dihamparkan di lan­tai lantas dihias-hias, seperti anak TK lagi lomba meng­gambar.

“Kita ke prom pakai baju ini aja yuk, Neng.”

“Ih Yayan ngaco aja deh.”

Prom semakin dekat. Rieka masih belum ta­hu Dean bakal mengenakan apa. Rieka bahkan su­dah mematut-matut diri di depan Dean, saat Dean ma­in ke rumah Rieka di akhir minggu. Dean bilang ia sudah punya pakaian yang senada dengan blazer Ri­eka. Dean ganti mengajak Rieka main ke ru­mah­nya.

Rieka sudah beberapa kali bertandang ke ru­mah Dean, tapi ia masih merasa malu. Dean selalu mengon­disikan seluruh anggota keluarganya—wa­lau tidak selalu lengkap—agar menyambut Rieka de­ngan sebaik-baiknya. Padahal Dean diperlakukan bi­asa saja di rumah Rieka, seolah Dean adalah peng­huni rumah itu juga yang tidak harus dianggap be­gitu istimewa.

“Takut enggak ketemu lagi sama Rika, ka­ta­nya,” imbuh Ayah Dean begitu Rieka keluar da­ri da­pur. Sedari tadi Rieka membantu Bunda dan Za­ra menyiapkan makanan. Rieka menatap pria ra­mah itu dengan heran.

Dean, yang masih sok sibuk di dapur, ru­pa­nya mendengar itu lalu berkilah, “Ah Ayah, De­an kan entar masih mau balik lagi!”

“Sekalian aja sih Yan…” Bunda keluar de­ngan membawa pinggan yang mengepulkan asap. Wa­nita itu tersenyum begitu melihat Rieka. “Eng­gak apa-apa kan ya, Rika?”

Rieka menggeleng dengan sopan. Ia belum se­jam di rumah itu, tapi dari percakapan an­ta­r para peng­huni rumah itu ia tahu kalau masa depan Dean su­dah ditentukan. Cowok itu akan be­rangkat ke Bos­ton sehari setelah prom.

“Aku cuman mau registrasi sama audisi aja, Neng, paling enggak nyampe dua minggu juga udah ba­lik,” ucap Dean. Mereka menyepi di taman be­la­kang rumah, begitu makan malam ber­sama usai. Ia ulangi, “Aku pasti balik dulu. Kan enggak tahu juga ba­kal keterima apa eng­gak.” Cowok itu telah di­daf­tar­kan sang bunda untuk mengikuti summer pro­gram di Berklee College of Music. Secara me­nge­jut­kan aplikasi Dean diterima. Rieka menjadi jelas ke­na­pa setahun lalu Bunda mengirim Dean “liburan” ke Bos­ton, cowok itu telah dipersiapkan sejak lama.

“Ayah kamu bilang kamu takut enggak ke­te­mu lagi sama aku,” kata Rieka. “Jangan-ja­ngan emang kamu bakal enggak balik-balik lagi…”

“…ya kan belum tentu…! Bunda sih… Ka­lau­pun enggak keterima summer program-nya, Bun­da pi­nginnya aku tetep di Boston aja, belajar piano sa­ma temennya Pak Al di sana, sampai aku keterima di Berklee…” Suara Dean melemah. “Maaf aku baru nga­sih tahu kamu se­ka­rang. Aku takutnya kalau aku ngasih tahu kamu dari la­ma, bisa-bisa aku eng­gak jadi berangkat. Kamu pasti bakal nyegah-nye­gah aku…”

“Ih apa sih!” Rieka memukul lengan Dean pe­lan, sedang cowok itu mesem saja. “Akhirnya ka­mu fokus sama bakat kamu, Yan…” Rieka tidak me­nger­ti kenapa suaranya melirih, dibarengi isak. “Aku seneng kok, Yan.” Kedua belah bibir Rieka sa­ling menekan. Rieka menubrukkan pundaknya ke le­ngan Dean, lalu tangan cowok itu merengkuh sisi pun­dak Rieka yang lain. “…aku yakin kamu bisa ja­di pianis hebat.”

“…entar susah kalau kita pingin ketemuan…” na­da Dean yang muram.

“…ya…” Rieka tidak ingin membuat suasana ki­an suram. Apanya yang suram. Justru sepertinya ma­sa depan yang cerah akan menyambut Dean. “Ki­ta kan masih bisa ketemu, Sayang,” suara yang agak parau membuat Rieka malu. “Di Skype, Twitter, apa kek…”

“…setiap hari…”

“Iya, setiap hari…”

Rieka lepaskan rangkulan Dean.

“Yang penting kamu udah jelas kamu jadi apa… Toh bakat kamu emang di situ kan?” Rieka meng­genggam tangan Dean untuk menguatkan co­wok itu. “Semangat ya Yan, yang yakin cita-cita ka­mu bakal kesampaian. Kata Pak Al juga, ba­kat ka­mu itu harus terus diasah, otherwise it’s nothing.”

Dean tersenyum. “Jadi mau liat enggak, aku pa­kai apa besok?”

“Kamu bakal dateng sebagai pianis?”

Dean mengerutkan kening seraya meng­geleng. “Enggak. Aku kan udah nyocokkin sama ka­mu.”

Rieka berdecak. Dean masih saja keras ke­pa­la. Rieka pun menggeleng. Malam terus berjalan. Ri­eka lebih ingin lekas pulang, dan menyimpan hal yang tidak akan mengejutkan lagi baginya besok ma­lam, tapi tetap menggembirakan sekaligus me­le­ga­kan baginya.

.

Di pembuka malam itu Dean bersama Hat­to­ri datang ke rumah Rieka. Rieka perhatikan setelan De­an memang serasi dengan padu padan yang ia ke­nakan. Rieka kira seorang pianis bakal ber­pa­kai­an lebih formal, sebelum menyadari bahwa seorang mu­sisi bisa saja berpakaian sesuka hati. Ah terserah De­an lah.

Rieka biarkan Dean mengemudikan March, wa­lau agak ketar-ketir. Dean meyakinkan Rieka bah­wa ia sudah lancar, antara lain berkat kursus pri­vat lagi cuma-cuma dari Pak Sam (soal biaya di­tang­gung majikan resmi saja lah). Tapi Dean belum me­miliki SIM A. Ditilang polisi bakal menjadikan ma­lam ini semakin indah, kata Dean. Melihat sikap De­an yang sangat percaya diri Rieka menjadi lu­ma­yan tenang.

Gemerlap SMANSON dalam gelap tampak da­ri kejauhan. Rangkaian lampu kecil-kecil di­pa­sang mulai dari pepohonan di area parkir guru, sta­di­on, hingga lapangan. Area yang terbuka seperti la­pangan dinaungi kuncup-kuncup putih, sekiranya ba­kal hujan. Setiap peserta prom harus mengambil name tag dulu di muka stadion, baru di­per­ke­nan­kan masuk lebih dalam ke area sekolah.

“Lagunya kok kayak lagu tepang sono ba­pak-bapak berumur gini, Son?” tegur Dean pada be­berapa adik kelas yang menjaga meja registrasi.

“Kan konsepnya kayak reunian gitu, Kang. Ja­di ceritanya akang-akang sama teteh-teteh ini udah pada sukses, terus balik lagi ke sekolah…” te­rang salah satu adik kelas yang cewek. Ia me­nge­na­kan kebaya dan sanggul, sementara ada temannya yang hanya mengenakan kaos dan celana jeans. Tam­pak panitia sendiri tidak memiliki konsep jelas me­ngenai dresscode mereka. Dalam hati Rieka mem­banding-bandingkan prom tahun ini de­ngan prom tahun lalu yang mana ia menjadi pa­ni­tia.

Akhirnya Rieka bisa maju dalam antrian. “Teh, ini…” seseorang menyodorkan name tag pada Ri­eka. Sementara Rieka memilih spidol mana yang akan ia gunakan untuk menggurat keterangan di name tag, Dean masih mengobrol dengan para adik ke­las. “Baru aja lulus udah reunian lagi,” begitu ko­men­tar Dean yang Rieka dengar. Selanjutnya co­wok itu tertawa-tawa dengan mereka. Seketika lagu yang tenang lagi mendayu-dayu digantikan oleh la­gu kontemporer yang mengajak jingkrak-jingkrak.

“Yan, ini, Yan…”

Dean mengambil name tag yang Rieka se­rah­kan, tanpa beranjak dari obrolan dengan para adik kelas. Rieka temukan spidol yang cocok. Dean me­longok selagi Rieka tuliskan nama berikut gelar yang ia dambakan, serta pro­fesi idaman di masa de­pan, pada name tag sesuai petunjuk dari panitia. “AD­VOKAT”, demikian sepenggal tulisan Rieka mes­ki ia tahu jurusan Hu­kum bisa saja meng­a­rah­kan­nya pada profesi lain yang sebidang. Dean baru se­lesai menulis ke­tika Rieka sudah menyematkan name tag di dada.

“Sini aku pasangin.” Rieka mengambil name tag Dean. Sekilas ia membaca kata di bawah nama De­an—cowok itu tidak melengkapinya dengan gelar apa­pun. Rieka tertegun. Kertas berbalut plastik te­bal itu bergeming dalam genggaman. Tidak ada “PIANIS”, “PEMAIN PIANO”, apalagi “PENYIAR RA­DIO”.

Rieka tengadah. Senyum Dean begitu hangat pa­danya. Kini Rieka mengerti kenapa Dean kukuh ka­lau pakaian mereka harus se­rasi, tidak peduli apa­pun profesinya kelak. Itulah cita-citanya.

“Aku pingin datang sebagai suami kamu, Ri­eka.”

Lengan kanan cowok itu menekuk, menanti le­ngan Rieka mengait di sana.



[1] Water heater

[2] The Panas Dalam - Persoalan

[3] Performed by JKT 48

Selasa, 25 Desember 2012

IX. Affair

Rieka tidak serta-merta melupakan Tito ga­ris miring Oon sejak kehadiran Dorita. Memang meng­asuh dua anak itu merepotkan! Kali pertama Ri­eka memahami perbedaan karakter. Yang satu lin­cah, doyan menjatuhkan barang, yang lain an­teng. Yang satu cerewet, tidak henti mengeong, yang lain bungkam. Yang satu bisa mencecap susu, yang lain membiarkan wajahnya basah. Yang satu ba­nyak pup, yang lain bersih selalu. Dorita suka pup di tempat yang bersih. Rieka menjerit ketika men­dapati pup di wajah Tito itu Oon, yang se­ka­li­gus menjadi kali terakhir Rieka melihat badutnya. Ri­eka tidak sudi menyentuh boneka itu lagi.

.

Tidak diragukan lagi. Ada sesuatu di antara se­joli paling hangat se-SMANSON raya—mereka ti­dak lagi hangat! Tidak ada lagi adegan saling meng­ga­mit, rangkul-merangkul, siapa tiduran di pang­ku­an siapa. Masing-masing bawa kendaraan sendiri, pu­lang sendiri. Dunia tidak lagi terabaikan. Dunia kem­bali milik bersama. Wabah penyakit hati di SMAN­SON berangsur-angsur pulih. Para cowok yang dengki tidak lagi memerlukan plang bertulisan “DILARANG PACARAN! MENGGANGGU STA­BI­LI­TAS HATI!”, dan mereka siap untuk ber­kom­pe­ti­si. Tidak saja cowok kelas XII, cowok kelas XI pun ter­tarik untuk menguji nyali. …tunggu dulu! Me­mang sudah pasti sang kembang adalah mantan sek­um, tapi mantan… si… itu…? Belum ada per­nya­ta­an resmi! Status mereka di Facebook masih: Me­ni­kah. Itu mah pada malas buka Facebook kali me­re­ka, jadi statusnya juga belum diubah… Ke­sen­jang­an antara dunia maya dan dunia nyata menjadi jelas. Tapi tetap saja! Diragukan lagi.

“Udah dicerai Om Dean apa belum sih kamu teh?” maka mereka yang dianggap sekadar pe­ra­mai-penggembira oleh Rieka itupun bertanya-ta­nya.

Rieka hanya melengos dengan congkak.

“Gue bilang juga apa. Pas Deraz pergi, pergi ju­ga perasaan elo sama Dean.”

Untuk yang ini Rieka tidak bisa tidak acuh.

Ia pastikan dalam radius satu meter tidak ada lagi orang selain… Ipong. Mulut Ipong bahkan ha­nya sepuluh senti—setelah dibulatkan—dari te­li­nga­nya, sebelum menjauh.

Kadang sendiri itu menguntungkan. Seramai ini di Kabita dan ia sendiri. Demi apa… Kadang Ri­eka ingat kalau sebenarnya ia memiliki banyak te­man, pernah, namun sudah begitu lama ia ke­sam­ping­kan. Dan hingga sekarang mereka betah di sam­ping. Rieka sedang tidak ingin menyamping. Te­man-temannya yang cewek, tiap kali ia melihat tu­buh mereka ia bertanya-tanya apakah ada di an­ta­ra mereka yang juga pernah mengalami sensasi itu… dengan seseorang. Tidak usah iri pada Rieka yang pernah, Rieka iri pada mereka yang belum per­nah, dan Rieka tidak iri pada Kak Mita yang ti­dak saja pernah tapi rutin.

“Ini enggak ada hubungannya dengan itu,” ka­limat pertama Rieka untuk Ipong setelah be­be­ra­pa bulan.

 “Enggak ada hubungan… terus emang ke­na­pa elo sama Dean?” Kedua lengan Ipong bertopang pa­da di meja. “Apa udah ada yang nge-bully elo ga­ra-gara kedeketan elo sama Dean…” …yang paling se­ring jadi alasan bagi Rieka untuk putus dengan pa­ra pacarnya semasa SMP, yang rata-rata kakak ke­las. Ipong mendengus. “Ah tapi kayaknya enggak mung­kin deh.”

Ipong juga kenal Anne sejak SMP, dan mung­kin Ola sejak SMA, tapi cuman Rieka yang bi­sa merasakan tusukan dari tatapan mereka. Ke­dua­nya melintas di depan penjual zuppa-zuppa. Asal elo tahu, gue korban, balas tatapan Rieka, namun me­reka begitu saja berlalu. 

“Enggak pulang, Ri?” ucap Ipong akhirnya, ka­rena Rieka tidak menjawab. Cowok itu pun du­duk di samping Rieka.

“Nunggu Pak Sam.”

“Elo bukannya udah bawa mobil sendiri?”

“Entah ya, Pong. Gue rasa bawa kendaraan sen­diri di Bandung ini kalau enggak perlu-perlu amat itu… konyol. Elo stres di jalan gara-gara ma­cet, panas, semrawut, padahal elo bagian dari pe­nye­bab stres itu sendiri. Ya mending gue disetirin deh, tinggal tiduran, ngerjain yang lain…”

Ipong tersenyum.

Rieka yang veteran OSIS notabene calon ma­ha­siswi di PTN. Sepulang sekolah yang biasa diisi ra­pat kini digunakan untuk mengerjakan soal-soal di buku tebal.

Ipong bergeming di samping Rieka, hingga Ri­eka pergi, atau hingga Kabita sepi. Pak Sam ma­sih berkeliaran dengan tugas dari Mama Rieka. Ri­eka belum pergi saat Kabita cukup sepi bagi Ipong un­tuk bilang.

“Gue enggak tahu waktu elo bilang ‘gue suka sa­ma Deraz’ itu maksud elo sebenernya apa,” ka­ta­nya. “Ngomong-ngomong, gue straight, makanya itu gue enggak bisa enggak merhatiin elo. Ka.”

Oh. Ipong. Rieka tahu. Rieka selalu tahu. Kan cuman Deraz cowok yang pernah bilang tidak su­ka sama Rieka.

“Lagian logika elo aneh. Kalau gue emang su­ka sama Deraznya… suka yang kayak gitu… nga­pain gue deket-deketin elo sama dia? Kan mending gue embat sendiri…”

Rieka meletakkan pensil.

“Gue enggak pernah cerita soal cewek ke elo… apa gue harus cerita tentang seseorang ke orang itu sendiri… hmh… enggak lucu, Ka.”

Tangan Rieka mengusap kedua mata ber­gan­ti­an. Terisak. Mencebik.

Rieka tahu. Rieka selalu tahu.

Kedua lengan Rieka meraih leher Ipong. Ba­sah sedikit di pundak Ipong, di pelipisnya. Rieka men­jauh.

“Jaka, elo harus ngedapetin cewek yang lebih ba­ik dari gue… lebih cantik, lebih pinter…” Rieka ber­usaha tersenyum sementara merah membayang di wajah.

“Kok Jaka…” kernyit Ipong.

“Mama elo pasti sayang banget sama elo, Ja, gue pingin ikutan manggil elo Jaka…”

“Jangan ah,” sergah Ipong malu. Ia me­ma­ling­kan wajah. Tangis Rieka sudah pernah meng­ham­pirinya berkali-kali, tapi baru kali ini tangis ka­re­nanya.

“Lain kali kalo gue reuni elo harus ikut, Ja… Gue kenalin elo sama temen-temen gue yang single. Te­men gue cantik-cantik juga, Ja, elo mesti suka…”

“Ah…!” Ipong tambah jengah.

.

Rieka telah menyimpan gelang berhiaskan men­tari mini-mini ke dalam kotak, lalu me­nyu­ruk­kan­nya ke sudut laci paling dalam. Rieka meng­ung­si­kan Winnie ke kamar Kak Mita, biar memori itu ber­ada di tempat sepantasnya—lubang neraka. Ga­yung cinta dihibahkan untuk kamar mandi pem­bantu walah mereka tidak butuh gayung lebih.

Rieka memulai rutinitas baru. Tanpa mem­ba­ngunkan seseorang di pagi hari. Tanpa belaian di jam istirahat. Tanpa diantar dentang-denting piano se­belum tidur. Tanpa berbagai kehangatan lain yang berangsur-angsur panas... Semudah hidup tan­pa Deraz.

Cowok itu pun tidak mengontak Rieka lagi. Co­wok yang penurut. Jasadnya masih berkelebatan di sekolah, namun ia melenyapkan eksistensinya da­ri kehidupan Rieka. Walau Rieka tidak benar-be­nar bisa meluputkannya. Sesekali tertangkap oleh ma­ta Rieka cowok itu di Kabita, di lorong, di ma­na­pun di SMANSON. Cahayanya yang redup. Po­tong­an rambut yang masih sama, namun raut yang ku­yu. Se­se­ka­li Rieka ingin menggapai, ingat betapa du­lu ia ingin membuat wajah itu berisi lagi berseri-se­ri. Tapi anak bandel harus dihukum. Biarkan ia men­curi pandang, lalu melengos tanpa asa. Biarkan ia tidak memboncengkan seorangpun sepulang se­ko­lah. Biarkan entah sampai kapan, se­la­ma Rieka ma­sih memendam geram.

Kehidupan ternyata begitu luas, bukan ha­nya tentang satu manusia. Banyak yang ingin meng­isi hatinya, yang tidak lagi didominasi oleh sa­tu manusia.

Tapi agaknya aturan yang berlaku dalam hi­dup Rieka adalah ia tidak bisa hidup tanpa satu ma­nu­sia terlalu lama.

Saat reuni kliknya semasa SD di Cihampelas Walk atau mal manapun di Kota Bandung asal bisa ma­kan, minum, karaoke, nonton, ngeceng, dan me­jeng. Selagi jalan seraya obral-obrol, sekonyong-ko­nyong cowok itu di samping Rieka. Tanpa pretensi. Ram­butnya yang lurus kini panjang sebahu. Putih ku­litnya tidak membuat Rieka merasa tersaingi—se­bagaimana diam-diam Rieka pada cowok yang du­lu. Beberapa titik bekas jerawat di wajah, namun se­cara keseluruhan ia tetap enak dilihat. Tubuhnya ram­ping dalam oblong dan celana blue jeans pudar. Tas selempang rumbai-rumbai dari bahan jeans ber­warna senada menggantung panjang di bahu.

“Rieka ya?” …oh… pangeran!?

“…Kang Reyhan?”

Cowok itu tidak sejangkung cowok yang du­lu—yang dulu memang terlampau jangkung omong-omong—tapi memenuhi standar Rieka. Ma­ka­nya cowok itu pernah menyandang status sebagai pa­car Rieka.

“Sekarang di mana?”

“SMANSON, Kang. Akang… kuliah?”

“Iya, alhamdulillah keterima di FSRD.”

Oh… “ITB?”

“Iya.”

“Seniman geuning, Akang,” seperti cowok yang dulu… Tolong menyingkir dari benak, Dean.

“Hehe… Iya… Sebenernya udah dari SMP sih su­ka ngelukis mah.”

“Ih… Aku enggak tahu…”

“…kita kan enggak lama…” pelan ucapan akang tersebut lagi malu-malu.

Rieka tersipu. Teman-teman Rieka melontar pan­dang. Rieka tersadar. “Eh duluan ya, Kang…” Ri­eka hendak melambai.

Tapi cowok itu cepat berucap, “Boleh minta no­mor kamu, Ri?”

Mereka bertukar nomor serta akun Facebook dan Twitter, yang segera Rieka lupakan, sedang akang tersebut manfaatkan beberapa hari ke­mu­di­an. “Ri, aku pernah bikin lukisan kamu, udah lama, mau liat?” Boleh, balas Rieka, tanpa memikirkan ba­gaimana cara yang akan ditempuh akang ter­se­but untuk memperlihatkan, yang jelas mata Rieka si­ap melihat kapanpun via apapun. “Aku sekalian mau ngasiin itu ke kamu.” Hyaa… Setelah pianis, ki­ni pelukis. Apa-apaan ini… apa Rieka telah men­ja­di penjerat seniman? Setelah bertukar sms be­be­ra­pa kali lagi Kang Reyhan bersedia untuk meng­an­tar­kan lukisan tersebut ke sekolah Rieka.

Suatu siang sepulang sekolah Rieka men­da­pat sms dari Kang Reyhan, yang mengabarkan ka­lau cowok itu sudah di depan SMANSON. Senyum co­wok itu manis ketika melihat Rieka. Tubuhnya yang duduk di atas vespa rada bungkuk. Lurus ram­but­nya menjuntai dari bawah helmnya yang kulit, ja­ketnya juga kulit. Kotak pipih besar berbungkus ko­ran terikat di balik punggungnya.

“Ini bener buat aku?” tanya Rieka begitu ta­ngan­nya memegang pemberian sang akang.

“Bener. Tapi maaf ya kalau enggak mirip.”

“Kok enggak mirip? Jangan-jangan bukan aku…”

“Liat aja…”

Akang tersebut tidak lama.

Rieka pun segera memasukkan pemberian sang akang ke dalam mobil. Ia tidak sabar merobek ko­ran yang menyelubungi lukisan tersebut.

Di kamar akhirnya momen itu tiba. Rieka ter­perangah. Ia tidak mengerti lukisan, tapi apapun yang katanya tercipta karena dirinya akan ia ka­ta­kan bagus. Ia menyukainya. Wajah dalam bingkai ter­sebut ia rasa memang menyerupai dirinya, walau pe­cah-pecah. Kang Reyhan bilang ia menggunakan tek­nik kolase. Kang Reyhan membukakan Rieka du­nia yang baru, juga kebiasaan yang baru. 

.

“Jadi gitu ceritanya, Pong…” tutup Rieka yang menurut Ipong untuk tidak memanggil cowok itu dengan panggilan kesayangan sang mama.

“…Reyhan?” Mata Ipong menyipit. “Mana sih?”

“Kabid gue… pas OSIS SMP…”

“Iya, tahu, cuman seinget gue kan yang per­nah jadi pacar elo tuh namanya selalu berakhiran de­ngan huruf ‘i’.” Ipong pun mengabsen dengan ban­tuan jari. “Aldi, Toni, Sandy, Syamsi, Rezki, Ha­qi…”

“…Andika,” Rieka membantu.

“Elo kan manggilnya Andi.” Rieka meng­ang­kat bahu. “Sekarang Reyhan… Dean, Reyhan… Be­sok lagi paling Burhan, Marwan, Aan…”

Rieka menepuk bahu Ipong pelan.

“Elo tahu enggak,” lanjut Rieka. “Dia tuh abis sama gue enggak pernah pacaran lagi. Dia bi­lang dia trauma!” Rieka tertawa kecil, “…gara-gara ma­salah sama ceweknya itu…! Ya iyalah… Dia eng­gak berani putusin ceweknya sih, udah mau pa­car­an aja sama gue…”

“…terus dia pingin ngelanjutin lagi sama elo?”

Rieka termenung. Kepalan tangannya me­no­pang dagu, sementara sebelah tangan lagi ber­pang­ku pada pundak Ipong. “Dia liat di Facebook gue. Sta­tus gue sama Dean kan masih married…”

Ipong tidak merespons.

Lanjut Rieka dengan wajah berseri, “…me­nu­rut elo gimana, Pong, kalau pacar gue anak ITB, se­niman…”

“Si Dean juga bukannya…” Ipong rada ku­rang ikhlas mengatakannya, “…seniman…? Dia kan ma­in musik juga…”

“Seniman tapi ngandang doang…” Rieka cem­berut. Tangan tidak lagi bertengger di pundak Ipong. Pandangan menerawang ke tepian atap Ka­bi­ta. “…dia juga enggak ngerokok, Pong… si Kang Rey itu.”

“Inget, Ri.” Rieka menoleh pada Ipong yang ra­da memunggunginya. “Dulu elo bilang kalaupun elo putus sama Dean elo bakal putus baik-baik.” Ipong diam sejenak, sebelum berpaling pada Rieka. “Ma­sak kejadiannya yang si akang itu mau terulang sih. Ya emang Dean enggak mungkin ngelabrak Kang Reyhan, tapi seenggaknya elo hargain lah dia… si Dean itu.”

Bagian belakang kepala Ipong dalam mata Ri­eka. Andai cowok itu tahu bagaimana Dean meng­usik harga seorang Rieka.

Akhirnya saat itu sampai. Ada masa yang ha­rus diakhiri.

.

Malam Rieka mengiris sms pada Dean. “Saya pi­ngin ngomong sama kamu.” Tempat yang kon­du­sif, di mana… Setelah bertukar sms beberapa kali me­reka sepakat bahwa tempatnya bisa di manapun se­lama mereka dapat duduk berhadapan, dalam si­tu­asi tenang di mana orang-orang duduk pada ra­di­us minimal dua meter dari mereka. Rieka me­mu­tus­kan lokasi adalah kafe yang mengepung pe­ngun­jung dengan lemari buku di sana-sini.

Keesokan harinya Dean membawa dua helm, ta­pi Rieka ingin mengemudikan March. Toh setelah ini kita akan resmi jalan masing-masing. Begitu ren­cana Rieka.

Di dalam kafe mereka telah dapat duduk lagi ber­hadapan. Tanpa kata. Sepasang gelas isi kopi-ta­pi-es hanya pajangan. Dua tiga orang di sekitar na­mun tidak akan acuh kecuali yang sejoli berseteru da­lam desibel tinggi. Rieka mengamat-amati la­wan­nya sambil bersedekap. Dean yang tampan na­mun tidak lagi memesona, yang matanya terpicing ke lain arah. Ini bukan Dean. Rieka tidak ber­ha­dap­an dengan Dean. Mata Rieka memanas. Padahal ma­salah ini harus diselesaikan dengan Dean. Atau ja­ngan-jangan yang kemarin pun bukan Dean. Ke ma­na Dean… Ah! Tidak penting memikirkan Dean! La­gipula Deraz pun sudah pergi, dari Indonesia dan da­ri mimpi Rieka. Siapa butuh Dean lagi…?

“…kita pisah baik-baik ya.”

“…ya.” Dean menatap Rieka se­ki­las.

Rieka gamang.

“Ada yang mau elo omongin, Yan? Dari elo sen­diri gimana…”

Dean masih menunduk meski tatapannya la­ri pada Rieka sekali-sekali. “Jujur, Neng, udah pas­ti… kalau saya mah pinginnya… Neng kasih ke­sem­pat­an lagi. Enggak sekarang. Mungkin kalau wak­tu­nya udah tepat…”

Mulut Rieka membuka.

Sepintas Dean menggaruk tepian hidung, lan­tas menatap Rieka dengan sorot yang lebih ri­ngan. “…tapi enggak apa-apa, Neng, kalau kamu emang enggak nyaman lagi sama saya. Saya bakal ngi­lang,” manggut-manggut, “saya bakal meng­hin­dar dari kamu.”

Mulut Rieka membuka makin lebar.

“Kenapa? Emangnya aku penyakit ber­ba­ha­ya?”

Dean tercenung.

“Elo tuh ya…” kepalan Rieka naik ke meja, “elo tuh cowok tapi penurut banget. Pengecut tahu eng­gak,” mendadak Haqi tampak baik dalam pers­pek­tif Rieka, contohlah Haqi, “rada agresif dikit, gi­tu—tapi bukan agresif yang kayak waktu itu juga!” Ingat­an Rieka seketika beralih pada insiden di ru­ang tamu.

Dean memandang Rieka dengan salah ting­kah. Sesekali matanya jatuh ke meja. Melayang lagi pa­da Rieka. Mulutnya terbuka sedikit tapi tidak kun­jung melebar dan bersuara. Jeda. Jeda yang ter­la­lu lama.

“Kenapa? Kamu udah enggak sayang aku la­gi?” Punggung Rieka tegak lagi menjauh dari san­dar­an. “Apa karena aku enggak mau kamu gituin ka­mu mau ngelepasin aku gitu aja?” Beberapa orang menoleh namun Rieka membelakangi. Di ha­dap­an Rieka hanya Dean dilatari tembok. Dean pun ti­dak melepaskan mata dari Rieka. Kepalanya mi­ring. “Jadi hubungan kita sedangkal itu ya?” Rieka meng­angguk-angguk. “Sebenarnya kamu maunya apa sih dari aku?” Sura Rieka mulai bergetar. “Maaf aja deh kalau aku enggak sesuai yang kamu pingin­in.” Mata menjadi susah untuk dikerjapkan karena cairan mulai menggenang. “Bolehlah kamu nyentuh aku, tapi aku masih punya batasan, Yan…” Rieka me­nunjuk dirinya sendiri. Area yang pernah te­ram­bah. Mulut mengatup.

“…bu—bukan kayak gitu, Neng…” Punggung De­an pun menjadi tegak.

“Jadi gitu ya, dengan gampangnya kamu nge­lepasin aku?” Rieka tidak mau dengar. “Jadi aku udah enggak ada artinya lagi bagi kamu?” Kepala orang-orang semakin terangkat.

“Enggak gitu…” jawab Dean yang bingung. “Aku sayang kamu. Neng. Yayan sayang sama Neng. Sayang banget. Cinta.” Tangan Dean terulur pa­da Rieka, tapi.

“Jangan pegang-pegang!” hardik Rieka. “Inget enggak, terakhir kali pegang-pegang kamu nga­pain?!”

“Iya, aku enggak bakal pegang kamu lagi.” De­an yang panik sontak mengangkat tangan.

“Kamu enggak sayang aku! Aku udah enggak ada lagi artinya bagi kamu…”

Dean yang terkejut. Matanya melebar, se­ba­gai­mana mulut. “Enggaaak…! Enggak gitu…!”

Rieka tersedu-sedu. Punggung Dean se­ma­kin condong namun meja membatasi. Dean pun tu­run dari kursi. Dean berlutut di samping Rieka. Ba­gai­manapun dari sisi Dean semula tertangkap orang-orang memandangi mereka, kini terhalang Ri­eka. Satu per satu mereka menunduk kembali se­men­tara Rieka menangkupkan kedua belah tangan ke muka. Kenapa Dean tidak merengkuh kepalanya, me­rangkul punggungnya, mendekapnya ke dada. Le­ngan Rieka menggusah basah dari muka. Cowok itu termangu saja. Tatapnya lekat pada Rieka, je­ma­ri­nya menempel di tepian meja. Parasnya berkata, te­nang Rieka, tenang. Rieka tenang. Dean mungkin me­nyadari yang keluar dari hidung Rieka, namun ra­utnya konsisten.

“Kamu tuh besar banget artinya buat aku,” ucap Dean pelan. “Aku pingin sama kamu se­la­ma­nya.”

“Kamu tuh mikirnya kejauhan…!” Rieka me­nun­juk-nunjuk dengan nada tersendat. “Makanya ja­dinya kayak gitu…”

“Iya, aku enggak bakal mikir kayak gitu lagi,” tu­kas Dean yang sabar.

“Kamu tuh, iya iya terus. Jadi bener aku udah enggak ada artinya lagi buat kamu?!” suara Ri­eka semakin naik.

“Enggak… enggak gitu…” Dean yang habis usa­ha.

Apa artinya Dean jika Deraz pun sudah tidak la­gi berarti. “Bukan gitu, Yaan… caranya, bukan gi­tu…” yang sebetulnya Rieka tujukan pada diri sen­di­ri.

“Iya, maaf Rieka, maaf. Aku nyesel, senyesel-nye­selnya…” Dean menanggapi. “Kasih tahu aku ada yang lebih mujarab dari maaf enggak.”

Lengan Rieka menyapu muka. Ke kanan dan ke kiri. Ia tunduk. Napas terhembus. Sesekali seng­guk­nya muncul namun desakan di dada mulai me­re­da. Lembap dan lengket di wajah. Apa barusan tadi.

Mata yang besar itu masih padanya.

Menunggu.

Kosong mengisi Rieka.

“Jadi gimana?” suara Dean, “Kalau kayak gi­ni bukan pisah baik-baik namanya…” ganti ter­ce­kat, “Katanya mau pisah baik-baik…”

Cairan butek dalam gelas masih penuh.Rieka bang­kit. Ia hapal harga di daftar menu. Tanpa me­li­hat kasir ia membayar di kassa. Dean entah ba­gai­ma­na. Rieka tidak akan mampir ke tempat itu lagi.

Rieka biarkan autopilot dalam dirinya yang be­kerja. Buka kunci mobil. Buka pintu mobil. Tutup pin­tu mobil. Masukkan kunci. Putar. Gas. Dan se­te­rus­nya. Tertangkap Dean mengenakan helm sem­ba­ri mengawasinya. Motor itu Rieka ingat bernama Hat­tori memantau dari belakang. Terlirik di spion. Di lampu merah Hattori henti tepat di sisi kiri March. Leher Rieka nol derajat, tapi tertangkap jua. Co­wok itu terselubung helm full face dan jaket, ke­pa­la menghadap ke kanan hingga klakson di be­la­kang menjerit. Pada jalan demi jalan membentuk iring­an pendek. Di sebuah pangkalan ojek motor itu be­lok.

.

Seperti biasa Kang Reyhan mengirim sms sa­at sore, ketika Rieka sedang mengudap roti tawar dan segelas air mineral di meja makan. Di kulkas ada kiriman berliter-liter susu murni dari kerabat Bik Mirah di Lembang. “Mau dibikinin susu eng­gak, Neng? Rasa apa?” Tidak ada rasa apa-apa, Bik. Ti­dak tahu bagaimana membalas sms cowok itu, yang tidak akan membangkitkan percik-percik ha­rap.

Mendadak ia ingat pada cowok yang telah mem­bangkitkan gelora di dalam tubuhnya.

…mungkin kalau waktunya udah tepat…

…aku pingin sama kamu selamanya…

Pacaran tidak mesti seperti itu, Dean. Pa­car­an tidak mesti seperti apa, Rieka pun tidak tahu, se­ka­dar senang dikenal orang lain karena dimiliki atau memiliki seseorang, karena ada yang bisa me­nya­yangi dan disayangi, seakan tidak cukup kasih da­ri orang tua, teman, dan siapapun di sekitar. Ka­mu memang tidak ingin pacaran, Dean, Rieka pun ti­dak memahami apa embel-embel itu penting, pa­car Kang Reyhan, pacar Dean, pacar Deraz… Bu­kan­kah Rieka sekadar mengikuti aturan yang ber­laku. Cewek populer pacaran dengan cowok keren. Ka­mu bahkan sama sekali tidak keren, Dean, kamu ke­rempeng! Tapi melihatmu sebagai kuncup yang mu­lai mekar, lantas layu sebelum berkembang, uh, se­perti lagu wajib nasional yang suka dinyanyikan Pa­pa, apa hanya aku yang punya pupuk, Dean, ha­nya aku? Ini salah! Rieka ingin melihat mahkota yang indah, sungguh, mahkota yang indah, dengan be­nang sari segar menjulang.

Maaf Kang, saya  tidak tahu apa artinya men­jadi pacar Akang, seharusnya bukan sekadar un­tuk menjadi pacar seorang mahasiswa ITB, bu­kan sekadar karena wajah yang kasep dan gaya yang asyik, bukan sekadar kita bakal terlihat se­ba­gai pasangan yang menarik, bukan karena apa-apa.

Saya ingin melihat sebuah transformasi, dan itu­lah yang membuat eksistensi saya sebagai ma­nu­sia menjadi penting. Eksis, Kang, saya cuman ingin ek­sis, dengan upaya saya, bukan upaya Akang. Ke­ti­ka saya terima saja dari Akang, sesuatu dalam diri sa­ya terusik. Nah saya sudah kasih tahu dengan amat sangat gamblang. Tidak usah tanya lagi ke­na­pa. Saya tidak bisa melepaskan apa yang telah saya mu­lai, saya harus menyelesaikannya.

Kosong mengisi Rieka. Segala ocehan yang sem­pat berkecamuk sekonyong-konyong ke­hi­lang­an makna. Tapi ia tahu bahwa ia tidak ingin di­mi­liki siapapun, ia ingin menjadi milik dirinya sendiri, ja­waban untuk diberikan apabila Kang Reyhan me­na­nyakannya lagi sudah siap.

Menjelang malam Rieka kehabisan daya un­tuk melakukan apapun. Barangkali alam yang satu la­gi sudah tidak bisa menunggu lebih lama, Rieka akan segera pergi ke sana, tetapi seseorang menarik ta­ngannya. Panggilan dari Dean. Rieka menekan war­na hijau. “…ya, Dean?”

“…udah tidur ya?”

 “…sekarang udah enggak lagi…” Rieka me­nya­dari suaranya telah parau.

“…ya udah tidur lagi aja…” Rieka bergeming. “…aku pingin nganterin kamu sama Baby.” Sukma Ri­eka pun dipenuhi simfoni lagi, dari sebuah ins­tru­men, dilengkapi suara lain di latarnya, “…Yan, nga­pain elo jrang-jreng malem-malem…” Rieka ter­se­nyum.

“Enggak usah dianterin juga enggak apa-apa,” ucap Rieka.

“Bener?”

“Bener.”

“Entar nyasar.”

“Enggak bakal. Udah hapal jalan.”

“Entar kalo kesasar telepon balik aja.”

“Hmhmhm…”

Rieka tidak ragu untuk memutus panggilan. Ia harus segera tidur. Ia ingin bangun lebih pagi, la­gi, besok, sudah lama ia tidak memasak sepagi itu.

.

Dean sudah tidak di XII IPS 2 saat Rieka mam­pir pada jam istirahat. Semestinya di Kabita, atau Rieka akan memakan isi dalam wadah dalam tas jinjing mungil ini sendiri. Benar. Cengirannya yang ceria. Matahari itu telah kembali bersinar wa­lau belum menghangatkan. Rieka sodorkan ba­wa­an.

“…gaul nya pamajikan ayeuna mah, nganter ma­kanan make wadah nu kitu. Lamun jaman urang baheula mah make rantang keneh da…” pe­ra­mai-penggembira kembali bekerja setelah cuti la­ma. Ketawa, bray.

“Ayo makan bareng,” kata cowok itu, walau mang­kuk soto sudah ditangkup kedua belah ta­ngan. Melanjutkan yang semalam. Tertawa lagi. Ke­ha­ngatan dalam diam, yang biasa.

“Ditambahin lauknya…” Rieka menaruh se­su­atu dari wadah bekal ke mangkuk Dean.

“Eh…”

“Biar gendut.”

“Neng juga ah, biar sama-sama gendut…” De­an pun memindahkan sesuatu.

“Aku enggak mau gendut…” Rieka me­min­dah­kannya lagi.

Sendok Dean menyerok. Dari mangkuk ke mu­lut. Dean yang penurut.

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain