abacus sipoa, sempoa *
abalone sejenis kerang yang dapat dimakan * abandon dengan leluasa, bebas tak terkendalikan * abase menghinakan, merendahkan
derajat * abashed bingung, tak tahu
apa yang mesti dilakukan—malu dan rikuh
* abate mengurangi, meredakan *
abbreviate memendekkan * abdicate mengundurkan
diri, melepaskan dengan resmi *
Turun dari angkot,
sejenak kami mendongak sebelum menyeberang jalan. Sudut antara bagian bawah
dagu dengan garis pangkal leher mungkin mencapai 45o. Bangunan itu
terang benderang dilatari kelamnya cakrawala selepas senja. Lebarnya mungkin
dua—atau tiga?—kali rumahku. Jelas itu rumah yang kami tuju. Gerbangnya terbuka
hingga menampakkan beberapa kendaraan di baliknya—kebanyakan adalah motor.
Sebetulnya rumah itu tidak jauh beda dari rumah-rumah lainnya di kawasan utara
kota ini.
Di rumah itulah, teman
sekelas kami yang bernama Rio akan merayakan “tujuh belas manis”nya—istilah
Zia. Seluruh warga kelas diundang untuk meriuhkan (“pesta kecil-kecilan di
rumah yang besar, huh,” dengus Zia). Rio bahkan mengajak para undangannya untuk
menginap sekalian di rumahnya, ramai-ramai. Seru memang. Namun aku memilih
untuk pulang saja kalau waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Zia pun
urung. Atas tawaranku pula, ia akan ikut pulang lalu menginap di rumahku.
Rio warga baru di
sekolah kami sebetulnya. Ia pindah dari sekolah lain di kota yang sama. Anak
bandel, dengar-dengar.
Saat melewati gerbang,
Zia berkata, “Kayak masuk ke lokasi syuting sinetron ya Tat?”
“Bukan ‘kayak’ lagi,”
komentarku ketika menyadari bahwa pelataran rumah itu saja lebih luas dari
rumahku.
Pintu depan rumah itu
terbuka lebar. Kami tidak usah melepas alas kaki untuk memasukinya. Ruang yang
kami temui di balik pintu luar biasa lega. Di sisi ruangan, meja-meja bertaplak
putih dan lipit-lipit. Berbagai kudapan dan minuman tersaji di sana.
Langit-langit rumah ini jauh dari jangkauan tangga biasa. Entah bagaimana lampu
bertingkat-tingkat yang seolah terbuat dari kristal tergantung di sana. Speaker bertengger hampir di setiap
pojok ruangan. Musik yang dikumandangkannya berdentum-dentum di dada. Ruangan
ini berbahaya bagi pengidap gangguan jantung.
Tampak muka-muka yang
kami kenali: Yusuf, Idham, Susan, Fea, Paula, Sasa, Nani, Krisan… dan masih banyak
lagi. Sepertinya mereka sudah cukup lama berada di sini sedang aku dan Zia
termasuk kloter yang datang agak akhir. Sudah begitu aku belum salat maghrib
pula… waduh… waktunya tinggal sepuluh menit lagi. Aku mengajak Zia untuk
mencari Rio dulu, mengucapkan selamat dan menyerahkan kado padanya, menanyakan
di mana aku bisa salat, lalu langsung ngacir ke sana. Tapi setelah berputar
ruangan itu sekali, kami tidak melihat Rio. Setidaknya aku sudah tanya di mana
tempat untuk salat pada beberapa teman yang kami datangi. Aku pun menitipkan
kadoku pada Zia. Ia sendiri sedang berhalangan untuk salat.
Ketika aku kembali, Zia
sedang mengobrol dengan Kamal. Kurangkul Zia lalu kusimak obrolan mereka.
Kusangka Kamal sedang coba mengajak Zia mengobrol lalu Zia menanggapinya dengan
dingin, seperti biasa.
Selama ini Zia selalu
menjauhi Kamal. Kamal memang belum putus usaha mendekati Zia padahal Zia sudah
terang-terangan menunjukan sikap tidak suka. Sebetulnya aku prihatin pada
Kamal, apalagi ia sohib baik Ardi—cowokku—yang berarti ia sohib baikku juga.
Aku sempat was-was ketika di tahun ketiga SMA ini akhirnya Kamal sekelas dengan
Zia—denganku juga. Semakin Zia merasa terganggu, semakin ia akan bikin penyok
hati Kamal. Kamal tahu diam-diam Zia juga suka menggunjingkannya.
Sebetulnya aku bisa
paham mengapa Zia kurang senang dengan Kamal. Penampilan fisik Kamal memang
kurang menarik, namun Kamal tidak pernah kehabisan bahan untuk membuat dirinya
tampak membanggakan. Ayahnya tinggal di luar negeri lah. Ia sering dikirimi
barang-barang yang sukar ditemui di Indonesia lah. Koleksi anime, manga, action figure, dan semacamnya yang
berbau Jepang, berjubel di kamarnya lah. Apapun lah.
“…terus gimana rasanya
si balon-balon itu…” respons Zia dengan nada kurang berminat yang lantas
berganti warna jadi cemooh, “kerang dari Laut Selatan?”
“…abalone,” koreksi
Kamal. Di balik nada tegasnya itu, aku bisa merasakan bahwa ia gugup sekaligus
tertantang untuk bertahan. Bertahan saja, tanpa daya untuk balik menyerang.
“…kita juga enggak harus
jauh-jauh ke Jepang buat liat orang ngitung pakai sempoa…” ucap Zia lagi. Ia
seakan guru yang sedang memberi pengertian pada siswanya yang sok tahu.
Untuk situasi semacam
inilah aku berada di sini. “Hei, kalian lagi pada ngomongin apa sih?” semburku
ceria. Saking ceria, tubuh Zia bergoncang. Air dalam gelas di tangannya hampir
tumpah. Ia melotot padaku. Namun aku bisa melihat kilasan di mata Kamal bahwa
ia merasa telah diselamatkan. Setidaknya sedikit kelegaan terpancar dari
wajahnya.
Sembari menjerat leher
Zia dalam rangkulanku, aku coba cairkan lagi kekakuan Kamal. Gerakan Zia jadi
gelisah. Jelas ia tak nyaman. Tapi ia tidak berusaha melarikan diri. Mungkin
karena ia tahu Rio sedang berjalan menuju kami.
Cowok bermata sipit itu
tidak sendiri. Santo, Kurnia, Septa, dan Yusuf mengapitnya. Mereka sudah aktif
dalam Komite Kajian Kembang Sekolah (K3S) sebelum mereka disatukan di kelas XII
IPA 1. Sepengetahuanku, anggota komite tersebut hanya cowok kelas XII dan kelas
XI saja. Radar gosipku sering bergetar kalau aku berada di dekat mereka, meski
bukan aku yang mengendalikan pergosipan di kelas, melainkan mereka. Ardi yang
tidak sekelas dengan kami saja sering mereka bawa-bawa ke dalam kelas, secara
fisik maupun tidak. Sengaja untuk menggodaku.
“Eh, Tata, Ardinya
enggak dibawa?” Tuh kan. Senyum licik sudah terulas di bibir Kurnia.
“Kan yang diundang
cuman temen sekelas aja,” kataku sopan. “Iya kan, Rio?”
“Enggak kok. Di sini
banyak anak dari kelas lain juga kan?” Pandangan Rio beredar ke sekeliling, tubuhnya
agak ke belakang, dengan sebelah lengannya agak membentang.
Benar juga sih.
“Huu.. Tahu gitu aku
bawa si Ardi,” ujarku sok menyesal. Aku dan Zia, yang sepupu Ardi, sama tahu
kalau cowokku itu lebih suka ngansos di rumah ketimbang menghadiri hingar-bingar
pesta. Kamal cenderung lebih suka unjuk diri ketimbang Ardi, namun ia tampak
tertekan juga ketika berada di dekat sekawanan cowok dominan. Tubuhnya pun
tidak setinggi mereka—padahal tinggi para cowok tersebut juga rerata tinggi
laki-laki Indonesia. Setidaknya
keramaslah lagi dan sisir rambut kamu, Kamal, diam-diam aku meliriknya
dengan miris. Sikapnya terlihat makin canggung. Tubuhnya beringsut hingga
menyenggol Soni yang sedang mengambil kudapan di belakangnya. Segera kuambil
alih suasana. Kutanya Zia, “Eh kado buat Rio udah dikasih belum?”
Aku melepas rangkulan
sementara Zia berpaling pada dua kado yang bertumpuk di meja di dekat kami.
Sebetulnya isi keduanya sama. Warna, corak kertas kado, dan cara membungkusnya
saja yang dibuat beda. Hihihi…
“Makasih ya
teman-teman,” Rio tersenyum seraya menerima kado-kado tersebut dalam
dekapannya.
“Eh Zia, kamu jadi kan
mau ikut Ajojajojing?” celetuk Septa.
Zia mengerutkan dahi.
Tampangnya sok ragu. “Ikut enggak ya?”
“Alah… Ikutan aja, Zia.
Enggak rame kalau enggak ada kamu mah!” Tangan Septa seolah hendak menepuk
lengan Zia, tapi tak kena.
Dalam rangkulan Santo,
Kurnia menambahkan, “Buruan daftar gih. Bentar lagi loh. Jam setengah delapan
mulainya. Tuh, berapa menit lagi itu…”
“Sekarang udah jam
setengah delapan lebih.” Aku mengecek jam sekaligus sms dari Ardi di ponselku.
“Eh Kamal, ikutan juga
yuk.” Zia menoleh pada Kamal. Kepala Kamal nyaris tunduk terus sejak tadi.
Cowok kucel itu pun terperangah. “Katanya kamu pernah belajar tango waktu
pelesir sama ayah kamu ke Argentina…” lanjut Zia.
Kelima cowok memandang
Kamal dengan tertarik.
“Oh ya? Ayo, Kam, Mal,
biar tambah rame!” kata Rio. Sebelah alisnya terangkat. Yang lain juga
menyemangati.
“Yuk, kita daftar
bareng, Kamal!” Baru kali ini aku lihat senyum Zia sesumringah itu pada Kamal.
Sementara wajah Kamal malah diliputi keraguan. Kawanan Rio mulai
menggapai-gapai tangannya, namun Kamal makin beringsut.
Jantungku serasa
mencelus. Entah mengapa. Aku bahkan tidak tahu apa itu Ajojajojing. Acara menari
tanpa henti selama setengah jam nonstop dengan lagu yang berubah-ubah? Kita kan
harus sudah sampai di rumahku sebelum jam sembilan, Zia! Namun kemauan cewek
satu ini jarang bisa kucegah. Ya ya, habis itu kita langsung pulang, Tat! Zia
meyakinkan. Tapi yang lebih bikin aku gamang adalah ajakan Zia pada Kamal
barusan. Apakah Zia sudah sebegitu gemasnya pada Kamal? Mestinya Zia mengerti
kalau segala cerita Kamal itu tidak bisa betul-betul dipercaya! Aku tidak ingin
bilang sohib baikku itu ingin menjebak sohib baikku yang lain. Aku kira sudah
cukup sikap angin-anginan Zia pada Kamal selama ini, tidak perlu sampai
memberinya pelajaran seperti ini.
Mendadak nyala ruangan
redup. Teriakan demi teriakan bernada gurauan bermunculan, tidak usah
dihiraukan. Lalu titik-titik cahaya dari lantai dua yang terbuka mewarnai
ruangan dengan nuansa remang-remang. Seseorang bicara melalui pengeras suara,
asalnya dari pojok di mana sound system
mendekam, “Yok temen-temen, kita mulai
aja Ajojajojingnya ya! Yang mau ikutan masih boleh daftar. Dikasih waktu satu
menit lagi! Buruan!”
Keraguan sudah tidak
tampak di wajah Kamal lagi—karena gelap. Namun aku masih bisa dengar dengan
jelas suaranya yang memelas, “Enggak ah, enggak ah…” Namun Zia dan kelima cowok
terus memprovokasi dengan sikap terbuka. “Ayo, ayo, ayo, ayo…” sampai Kamal
akhirnya berkata, “Iya deh, iya deh…”
Aku berusaha ikut larut
dalam kesenangan Zia dan kelima cowok itu. Tapi tetap saja aku tidak tega
melihat pertunjukan Kamal setelah ini. Membayangkan ia menari saja aku tidak
bisa. Memang ia mau menari apa? Tarian minta hujan yang pernah diajarkan tamu
di ekskul Jejepangan yang sama-sama kami ikuti? Mending kalau begitu, tapi
kalau dangdut? Zia mungkin jago, tapi Kamal bakal mati gaya, bahkan mati
gantung diri kalau ia sampai terlalu malu.
Bersama banyak orang
lain, aku ikut menyingkir, membuat lingkaran yang mengelilingi sebuah ruang
yang cukup lega bagi delapan orang untuk beraksi.
Serta-merta pencahayaan
berubah nuansa. Gemerlap warni-warni lampu yang meminjam komposisi pelangi
menyapu setiap orang, dinding, dan benda apapun yang dilaluinya. Irama dengan
hentakan-hentakan ala synthesizer
tenggelam dalam pendengaran kami. Zia terlihat seperti memekik. Sepertinya ia
senang sekali dengan musik ini. Kakinya mulai bergerak-gerak dalam ritmis.
Sesaat aku tercenung menyaksikan ia melepas ekspresi tubuhnya dengan begitu
leluasa. Seakan ada yang perlu dibebaskan dari tubuhnya, hingga menjadi tak
terkendalikan sama sekali.
Sementara Kamal,
sebelah tanganku bertahan di muka, tunduk rikuh di tengah tarik ulur lengan
para peserta lain. Sementara mereka menikmati dinamika nada dengan rileks,
Kamal celingukan saja. Aku berharap celingukannya sempat mengarah padaku, jadi
ia bisa menerima dukungan semangat yang dipancarkan wajahku.
Aku mendesah lega
ketika ia sepertinya sudah mulai bisa mengikuti irama. Tubuhnya bergoyang pelan
ke kiri dan kanan. Tidak seaktif gerakan yang lain, namun setidaknya kini ia
tidak lagi beda sendiri. Ketika ia diam saja di tengah goyangan orang-orang, justru
itu malah lebih menjadikannya sebagai pusat perhatian. Dan aku yakin ia tidak
menikmati itu dalam situasi seperti ini.
Sayangnya, musik keburu
berganti. Penonton berteriak “wow!” dan “waw!” demi lagu beraliran dangdut yang
lagi populer-populernya itu. Peserta tidak kalah riuh. Mereka membangkitkan
histeria penonton dengan mengadaptasi berbagai peranti bangunan ke dalam
goyangan mereka. Dari yang lazim dipakai macam bor dan gergaji, sampai yang
jarang terekspos seperti palu dan backhoe.
Sebagian orang terperangah saja sedangkan sebagian lagi tak tahan untuk tak
terbahak. Aku sendiri diam saja. Entah mengapa aku kurang senang menonton acara
yang seperti ini. Belum lagi karena Kamal lagi-lagi mematung. Malah sepasang
mata kecilnya yang bergerak-gerak gelisah. Aku juga tidak kuat melihat
penampilan Zia yang tidak kalah menghebohkan dari upaya para peserta cowok
mencari sensasi. Ia memang bukan satu-satunya peserta cewek. Terserah peserta
cewek lain mau berusaha sebagaimanapun. Mereka kan bukan sohib baikku, tapi Zia
iya!
Belum reda tawa
penonton, warna musik sudah beralih lagi. Kali ini para cewek yang
menjerit-jerit. Tengok saja ponsel dan komputer mereka, lagu-lagu produksi
negeri ginseng ini pasti ada! Kali ini bukan peserta saja yang unjuk kebisaan,
tapi juga penonton. Atmosfir memanas kendati mereka tertib—tidak mengacaukan
lingkaran arena pertandingan. Aku kira Kamal familier juga dengan lagu-lagu
semacam ini. Tapi ia malah bergeming. Aku lagi-lagi tepok dahi. Lebih
terperangah lagi aku ketika ia mendadak angkat kaki, bukan pertanda tarian,
melainkan pelarian!
Kontan aku mengikutinya
mengeloyor. Aku panggil namanya berkali-kali. Ia tidak menggubris. Baru di atas
rerumputan halaman ia berhenti. Aku harap itu bukan karena asmanya kumat. Ia
membungkuk. Punggungnya naik turun. Sengalan nafasnya terdengar keras. Sontak
aku mengelus-elus punggungnya dan bertanya, “Kamu bawa inhaler enggak?”
Ia masih betah menatap
rumput sementara aku mengedarkan pandang ke sekeliling. Satpam rumah ini tengah
mengamati kami.
Mendadak Kamal
misuh-misuh. “Zia itu… Zia itu… Dia cuman mau manfaatin aku aja!”
Aku tertegun. “Maksud
kamu apa, Mal—“
“Dia tuh ngedeketin aku
cuman supaya dia bisa ngedapetin koleksiku aja!” Dia menunjuk-nunjuk gedung
yang menyala di seberang halaman—tempat di mana sebelumnya kami berada tadi.
“Sekarang dia mau mempermalukan aku! Aku enggak bisa terima!” Tapi ia sungkan
tengadah selama mencak-mencak.
Aku memandangnya dengan
prihatin sekaligus agak sulit memercayai kata-katanya.
“Maksud Zia bukan kayak
gitu kali…” ujarku dengan nada yang aku harap bisa meredakan kekalutannya.
“Udah yuk, jangan di sini.” Aku hendak menggiringnya dari jangkauan pengawasan
satpam. Memang kami bukan orang yang patut dicurigainya, tapi siapa sih yang
tidak tertarik sama adegan tegang urat seperti ini? Kamal menampikku.
Aku berasa melintasi
gurun selama Kamal terus meracau. Aku harap ada yang bisa memendekkan
omelannya. Lama-lama kupingku panas juga. Bukan masalah ia menjelek-jelekkan
Zia. Dalam beberapa hal sikap Zia memang kurang pantas. Aku lebih capek karena
kekesalanku pada cowok yang entah kapan bakal dewasa ini.
Kamal baru berhenti
ketika sosok Zia muncul dari pintu depan rumah yang terbuka lebar. “Tataa…
Dicariin ih!” Ia berlari-lari kecil ke arahku. Menoleh sejenak pada Zia, Kamal
lekas balik arah. Langkahnya terseok-seok cepat di atas rumput. Ketika Zia
sudah sampai di dekatku, Kamal sudah cukup jauh. “Sama siapa, Tat?”
“Si Kamal…” jawabku.
“Udah jojingnya?”
Ia membuat huruf V
dengan jemarinya. “Aku ngundurin diri…” katanya seraya menjulurkan lidah.
“Eh, kenapa?”
Ia tersenyum saja.
“Kalau mau sampai
selesai juga enggak apa-apa, Zia, nanggung.” Aku jadi merasa tidak enak. Semula
aku memang ingin minggat dari sini sebelum jam delapan malam, tapi biarlah ia
menyelesaikan kesenangannya dulu.
“Enggak ah. Yuk kita
pulang sekarang aja!” Ia mendorong pundakku pelan.
Kami bahkan tidak pamit
dulu sama pemilik acara. Zia bilang toh di dalam juga masih heboh.
Di jalan, aku ceritakan
tentang Kamal. Tiba-tiba aku ingin Zia menyadari kalau ia seharusnya tidak
mengajak Kamal ikut menari tadi. Aku juga ingin mengkonfirmasi ucapan Kamal
tentang Zia. Bibir Zia kontan tertarik ke bawah. “Dia sendiri yang nawarin
koleksinya kok. Ya udah, aku terima aja. Toh kalau udah selesai perlunya aku
balikin lagi kok.”
“Omong-omong kenapa
kamu enggak sampai selesai tadi, Zia?” tanyaku.
“Udah enggak pingin
aja.”
“Bukannya tadi kamu
semangat banget?”
“Iya… Terus pas lagu
keenam tahu-tahu aku bilang ke Rizal kalau aku enggak nerusin lagi.” Rizal
adalah MC acara Ajojajojing tadi. Hilangnya dua peserta tidak serta-merta bikin
acara tersebut henti. Baik animo penonton maupun animo peserta tidak begitu
terpengaruh karenanya, karena aksi peserta yang tersisa begitu memikat mata.
“Kenapa kamu tahu-tahu
ngundurin diri, Zia?”
“Pingin aja. Si Kamal
juga tahu-tahu udah enggak ada kan…”
Ah. Zia. Cewek satu ini
memang suka jauh dari tebakan, meskipun aku bukannya sering main tebak-tebakan.
Hal mana yang melayangkan ingatanku pada pelajaran merajut yang ia belum
lanjutkan lagi, atau nasib novelnya yang entah sudah tuntas apa belum, atau
ikatannya dengan ekskul jurnalistik yang sudah lama terbengkalai.
“Kayaknya kamu mesti
ngomong baik-baik sama Kamal deh, Zia. Sekalian minta maaf…” Wajah terhina
Kamal membayang lagi dalam benakku.
“Kenapa?” Ia cemberut.
“Ya biar di antara
kalian bisa ada saling pengertian yang baik aja… Soalnya kayaknya dia ada
masalah juga sama kamu.”
Zia tampak sebal
mendengar kata-kataku.
Tapi ia selalu apa
adanya. Ia tidak bisa memendam galau lama-lama. Kalau sudah meletup, akan
sekalian ia beberkan semua.
“…enggak enak aja tadi,
pas liat si Kamal tahu-tahu lari… Iya sih, aku emang rada-rada gimana gitu sama
dia, tapi dianya juga yang kayak gitu kan… Jadi serba salah deh ah…” ucapnya
lirih ketika kami sudah sama terbaring di kasur.
Mata sudah berat,
kesadaran hampir lenyap, tapi aku masih cukup pikiran untuk mencerna
sandi-sandi yang ia kirimkan. Setidaknya sebelum kesadaranku betulan lenyap aku
masih bisa menyimpulkan bahwa sohib baikku ini memang baik. Ia menyesali
perbuatannya yang bikin Kamal punya pengalaman tidak enak. Aku akan
memberitahukannya pada Kamal begitu bertemu dengannya di sekolah…
…lusa. Saat itu sedang jam
istirahat. Aku belum sempat mendekati Kamal, atau setidaknya mendapat situasi
yang pas untuk membicarakan Zia dengannya. Ia juga sudah menghilang dari kelas
tidak lama setelah bel istirahat bunyi. Aku sudah dua kali bolak-balik
kelas-kantin dan tidak berpapasan dengan bocah itu sama sekali. Mungkin ia
sedang membaca di gudang sekolah bareng Ardi atau sekadar nongkrong di sekre
ekskul Jejepangan.
Di mana ada dia,
biasanya ada Ardi juga. Secara aku belum bertemu Ardi sama sekali hari itu, aku
bermaksud untuk menyusul ke sekre saja. Namun langkahku melambat begitu aku
melewati ruangan di samping ruang BP. Ruangan kecil dengan meja panjang dan
deretan kursi di setiap sisinya itu biasa digunakan guru atau aktivis OSIS
untuk rapat. Berkat koneksi seorang aktivis OSIS yang rada playboy, ruangan itu juga bisa dimanfaatkan para anggota K3S untuk
diskusi mingguan mereka. Apa lagi topiknya, kalau bukan cewek-cewek layak
keceng di sekolah?
Kadang aku memang
sengaja melambat di situ supaya bisa menangkap perkembangan gosip terbaru,
meski sekilas. Pada kesempatan ini aku lebih tertarik untuk segera berjumpa
dengan Ardi, namun urung karena aku mendengar nama Zia disebut.
Pintu ruangan terbuka
sedikit karena tadi ada anggota yang baru keluar. Keriuhan yang semula terdengar
hingga ke koridor kini tervisualisasikan. Seseorang duduk di meja, dua orang
berdiri sembari bersandar pada dinding, sedang sisanya mungkin duduk di
kursi—aku tidak bisa memastikan ada berapa banyak cowok dalam ruangan itu. Dari
penggalan dialog mereka, aku bisa menangkap bahwa mereka tengah membicarakan
cewek yang kemarin ikut Ajojajojing di pesta Rio. Mereka juga sepertinya sedang
menyaksikan hasil jepretan selama acara tersebut. Aku tidak tahu bagaimana
mereka mengomentari peserta cewek lainnya, tapi komentar mereka tentang Zia
bikin aku tersengat.
Aku tidak mengerti
bagian mana dari bahenol dan overacting yang bisa bikin mereka sampai
ngakak habis-habisan itu. Sial, mereka benar-benar merendahkan derajat
cewek—apalagi cewek yang aku kenal baik! Aku tahu Zia tidak selebay yang mereka
pergunjingkan. Itu hanya upaya mereka saja, berimajinasi yang bukan-bukan,
untuk kesenangan mereka sendiri. Payah!
Ketika anggota mereka
yang tadi keluar hendak masuk lagi, aku manfaatkan kesempatan itu agar bisa
masuk ke dalam ruangan. Aku cukup terpana mendapati banyaknya cowok di sana,
lebih lagi ketika Kamal terselip di antara mereka.***
25-290312