Kamis, 29 Maret 2012

Setelah Pesta..

abacus sipoa, sempoa * abalone sejenis kerang yang dapat dimakan * abandon dengan leluasa, bebas tak terkendalikan * abase menghinakan, merendahkan derajat * abashed bingung, tak tahu apa yang mesti dilakukan—malu dan rikuh * abate mengurangi, meredakan * abbreviate memendekkan * abdicate mengundurkan diri, melepaskan dengan resmi *

 

 

 

Turun dari angkot, sejenak kami mendongak sebelum menyeberang jalan. Sudut antara bagian bawah dagu dengan garis pangkal leher mungkin mencapai 45o. Bangunan itu terang benderang dilatari kelamnya cakrawala selepas senja. Lebarnya mungkin dua—atau tiga?—kali rumahku. Jelas itu rumah yang kami tuju. Gerbangnya terbuka hingga menampakkan beberapa kendaraan di baliknya—kebanyakan adalah motor. Sebetulnya rumah itu tidak jauh beda dari rumah-rumah lainnya di kawasan utara kota ini.

Di rumah itulah, teman sekelas kami yang bernama Rio akan merayakan “tujuh belas manis”nya—istilah Zia. Seluruh warga kelas diundang untuk meriuhkan (“pesta kecil-kecilan di rumah yang besar, huh,” dengus Zia). Rio bahkan mengajak para undangannya untuk menginap sekalian di rumahnya, ramai-ramai. Seru memang. Namun aku memilih untuk pulang saja kalau waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Zia pun urung. Atas tawaranku pula, ia akan ikut pulang lalu menginap di rumahku.

Rio warga baru di sekolah kami sebetulnya. Ia pindah dari sekolah lain di kota yang sama. Anak bandel, dengar-dengar.

Saat melewati gerbang, Zia berkata, “Kayak masuk ke lokasi syuting sinetron ya Tat?”

“Bukan ‘kayak’ lagi,” komentarku ketika menyadari bahwa pelataran rumah itu saja lebih luas dari rumahku.

Pintu depan rumah itu terbuka lebar. Kami tidak usah melepas alas kaki untuk memasukinya. Ruang yang kami temui di balik pintu luar biasa lega. Di sisi ruangan, meja-meja bertaplak putih dan lipit-lipit. Berbagai kudapan dan minuman tersaji di sana. Langit-langit rumah ini jauh dari jangkauan tangga biasa. Entah bagaimana lampu bertingkat-tingkat yang seolah terbuat dari kristal tergantung di sana. Speaker bertengger hampir di setiap pojok ruangan. Musik yang dikumandangkannya berdentum-dentum di dada. Ruangan ini berbahaya bagi pengidap gangguan jantung.

Tampak muka-muka yang kami kenali: Yusuf, Idham, Susan, Fea, Paula, Sasa, Nani, Krisan… dan masih banyak lagi. Sepertinya mereka sudah cukup lama berada di sini sedang aku dan Zia termasuk kloter yang datang agak akhir. Sudah begitu aku belum salat maghrib pula… waduh… waktunya tinggal sepuluh menit lagi. Aku mengajak Zia untuk mencari Rio dulu, mengucapkan selamat dan menyerahkan kado padanya, menanyakan di mana aku bisa salat, lalu langsung ngacir ke sana. Tapi setelah berputar ruangan itu sekali, kami tidak melihat Rio. Setidaknya aku sudah tanya di mana tempat untuk salat pada beberapa teman yang kami datangi. Aku pun menitipkan kadoku pada Zia. Ia sendiri sedang berhalangan untuk salat.

Ketika aku kembali, Zia sedang mengobrol dengan Kamal. Kurangkul Zia lalu ku­si­mak obrolan mereka. Kusangka Kamal sedang coba mengajak Zia mengobrol lalu Zia menanggapinya dengan dingin, seperti biasa.

Selama ini Zia selalu menjauhi Kamal. Kamal memang belum putus usaha mendekati Zia padahal Zia sudah terang-terangan menunjukan sikap tidak suka. Sebetulnya aku prihatin pada Kamal, apalagi ia sohib baik Ardi—cowokku—yang berarti ia sohib baikku juga. Aku sempat was-was ketika di tahun ketiga SMA ini akhirnya Kamal sekelas dengan Zia—denganku juga. Semakin Zia merasa terganggu, semakin ia akan bikin penyok hati Kamal. Kamal tahu diam-diam Zia juga suka menggunjingkannya.

Sebetulnya aku bisa paham mengapa Zia kurang senang dengan Kamal. Penampilan fisik Kamal memang kurang menarik, namun Kamal tidak pernah kehabisan bahan untuk membuat dirinya tampak membanggakan. Ayahnya tinggal di luar negeri lah. Ia sering dikirimi barang-barang yang sukar ditemui di Indonesia lah. Koleksi anime, manga, action figure, dan semacamnya yang berbau Jepang, berjubel di kamarnya lah. Apapun lah.

“…terus gimana rasanya si balon-balon itu…” respons Zia dengan nada kurang berminat yang lantas berganti warna jadi cemooh, “kerang dari Laut Selatan?”

“…abalone,” koreksi Kamal. Di balik nada tegasnya itu, aku bisa merasakan bahwa ia gugup sekaligus tertantang untuk bertahan. Bertahan saja, tanpa daya untuk balik menyerang.

“…kita juga enggak harus jauh-jauh ke Jepang buat liat orang ngitung pakai sempoa…” ucap Zia lagi. Ia seakan guru yang sedang memberi pengertian pada siswanya yang sok tahu.

Untuk situasi semacam inilah aku berada di sini. “Hei, kalian lagi pada ngomongin apa sih?” semburku ceria. Saking ceria, tubuh Zia bergoncang. Air dalam gelas di tangannya hampir tumpah. Ia melotot padaku. Namun aku bisa melihat kilasan di mata Kamal bahwa ia merasa telah diselamatkan. Setidaknya sedikit kelegaan terpancar dari wajahnya.

Sembari menjerat leher Zia dalam rangkulanku, aku coba cairkan lagi kekakuan Kamal. Gerakan Zia jadi gelisah. Jelas ia tak nyaman. Tapi ia tidak berusaha melarikan diri. Mungkin karena ia tahu Rio sedang berjalan menuju kami.

Cowok bermata sipit itu tidak sendiri. Santo, Kurnia, Septa, dan Yusuf mengapitnya. Mereka sudah aktif dalam Komite Kajian Kembang Sekolah (K3S) sebelum mereka disatukan di kelas XII IPA 1. Sepengetahuanku, anggota komite tersebut hanya cowok kelas XII dan kelas XI saja. Radar gosipku sering bergetar kalau aku berada di dekat mereka, meski bukan aku yang mengendalikan pergosipan di kelas, melainkan mereka. Ardi yang tidak sekelas dengan kami saja sering mereka bawa-bawa ke dalam kelas, secara fisik maupun tidak. Sengaja untuk menggodaku.

“Eh, Tata, Ardinya enggak dibawa?” Tuh kan. Senyum licik sudah terulas di bibir Kurnia.

“Kan yang diundang cuman temen sekelas aja,” kataku sopan. “Iya kan, Rio?”

“Enggak kok. Di sini banyak anak dari kelas lain juga kan?” Pandangan Rio beredar ke sekeliling, tubuhnya agak ke belakang, dengan sebelah lengannya agak membentang.

Benar juga sih.

“Huu.. Tahu gitu aku bawa si Ardi,” ujarku sok menyesal. Aku dan Zia, yang sepupu Ardi, sama tahu kalau cowokku itu lebih suka ngansos di rumah ketimbang menghadiri hingar-bingar pesta. Kamal cenderung lebih suka unjuk diri ketimbang Ardi, namun ia tampak tertekan juga ketika berada di dekat sekawanan cowok dominan. Tubuhnya pun tidak setinggi mereka—padahal tinggi para cowok tersebut juga rerata tinggi laki-laki Indonesia. Setidaknya keramaslah lagi dan sisir rambut kamu, Kamal, diam-diam aku meliriknya dengan miris. Sikapnya terlihat makin canggung. Tubuhnya beringsut hingga menyenggol Soni yang sedang mengambil kudapan di belakangnya. Segera kuambil alih suasana. Kutanya Zia, “Eh kado buat Rio udah dikasih belum?”

Aku melepas rangkulan sementara Zia berpaling pada dua kado yang bertumpuk di meja di dekat kami. Sebetulnya isi keduanya sama. Warna, corak kertas kado, dan cara membungkusnya saja yang dibuat beda. Hihihi…

“Makasih ya teman-teman,” Rio tersenyum seraya menerima kado-kado tersebut dalam dekapannya.

“Eh Zia, kamu jadi kan mau ikut Ajojajojing?” celetuk Septa.

Zia mengerutkan dahi. Tampangnya sok ragu. “Ikut enggak ya?”

“Alah… Ikutan aja, Zia. Enggak rame kalau enggak ada kamu mah!” Tangan Septa seolah hendak menepuk lengan Zia, tapi tak kena.

Dalam rangkulan Santo, Kurnia menambahkan, “Buruan daftar gih. Bentar lagi loh. Jam setengah delapan mulainya. Tuh, berapa menit lagi itu…”

“Sekarang udah jam setengah delapan lebih.” Aku mengecek jam sekaligus sms dari Ardi di ponselku.

“Eh Kamal, ikutan juga yuk.” Zia menoleh pada Kamal. Kepala Kamal nyaris tunduk terus sejak tadi. Cowok kucel itu pun terperangah. “Katanya kamu pernah belajar tango waktu pelesir sama ayah kamu ke Argentina…” lanjut Zia.

Kelima cowok memandang Kamal dengan tertarik.

“Oh ya? Ayo, Kam, Mal, biar tambah rame!” kata Rio. Sebelah alisnya terangkat. Yang lain juga menyemangati.

“Yuk, kita daftar bareng, Kamal!” Baru kali ini aku lihat senyum Zia sesumringah itu pada Kamal. Sementara wajah Kamal malah diliputi keraguan. Kawanan Rio mulai menggapai-gapai tangannya, namun Kamal makin beringsut.

Jantungku serasa mencelus. Entah mengapa. Aku bahkan tidak tahu apa itu Ajojajojing. Acara menari tanpa henti selama setengah jam nonstop dengan lagu yang berubah-ubah? Kita kan harus sudah sampai di rumahku sebelum jam sembilan, Zia! Namun kemauan cewek satu ini jarang bisa kucegah. Ya ya, habis itu kita langsung pulang, Tat! Zia meyakinkan. Tapi yang lebih bikin aku gamang adalah ajakan Zia pada Kamal barusan. Apakah Zia sudah sebegitu gemasnya pada Kamal? Mestinya Zia mengerti kalau segala cerita Kamal itu tidak bisa betul-betul dipercaya! Aku tidak ingin bilang sohib baikku itu ingin menjebak sohib baikku yang lain. Aku kira sudah cukup sikap angin-anginan Zia pada Kamal selama ini, tidak perlu sampai memberinya pelajaran seperti ini.

Mendadak nyala ruangan redup. Teriakan demi teriakan bernada gurauan bermunculan, tidak usah dihiraukan. Lalu titik-titik cahaya dari lantai dua yang terbuka mewarnai ruangan dengan nuansa remang-remang. Seseorang bicara melalui pengeras suara, asalnya dari pojok di mana sound system mendekam,  “Yok temen-temen, kita mulai aja Ajojajojingnya ya! Yang mau ikutan masih boleh daftar. Dikasih waktu satu menit lagi! Buruan!”

Keraguan sudah tidak tampak di wajah Kamal lagi—karena gelap. Namun aku masih bisa dengar dengan jelas suaranya yang memelas, “Enggak ah, enggak ah…” Namun Zia dan kelima cowok terus memprovokasi dengan sikap terbuka. “Ayo, ayo, ayo, ayo…” sampai Kamal akhirnya berkata, “Iya deh, iya deh…”

Aku berusaha ikut larut dalam kesenangan Zia dan kelima cowok itu. Tapi tetap saja aku tidak tega melihat pertunjukan Kamal setelah ini. Membayangkan ia menari saja aku tidak bisa. Memang ia mau menari apa? Tarian minta hujan yang pernah diajarkan tamu di ekskul Jejepangan yang sama-sama kami ikuti? Mending kalau begitu, tapi kalau dangdut? Zia mungkin jago, tapi Kamal bakal mati gaya, bahkan mati gantung diri kalau ia sampai terlalu malu. 

Bersama banyak orang lain, aku ikut menyingkir, membuat lingkaran yang mengelilingi sebuah ruang yang cukup lega bagi delapan orang untuk beraksi.

Serta-merta pencahayaan berubah nuansa. Gemerlap warni-warni lampu yang meminjam komposisi pelangi menyapu setiap orang, dinding, dan benda apapun yang dilaluinya. Irama dengan hentakan-hentakan ala synthesizer tenggelam dalam pendengaran kami. Zia terlihat seperti memekik. Sepertinya ia senang sekali dengan musik ini. Kakinya mulai bergerak-gerak dalam ritmis. Sesaat aku tercenung menyaksikan ia melepas ekspresi tubuhnya dengan begitu leluasa. Seakan ada yang perlu dibebaskan dari tubuhnya, hingga menjadi tak terkendalikan sama sekali.

Sementara Kamal, sebelah tanganku bertahan di muka, tunduk rikuh di tengah tarik ulur lengan para peserta lain. Sementara mereka menikmati dinamika nada dengan rileks, Kamal celingukan saja. Aku berharap celingukannya sempat mengarah padaku, jadi ia bisa menerima dukungan semangat yang dipancarkan wajahku.

Aku mendesah lega ketika ia sepertinya sudah mulai bisa mengikuti irama. Tubuhnya bergoyang pelan ke kiri dan kanan. Tidak seaktif gerakan yang lain, namun setidaknya kini ia tidak lagi beda sendiri. Ketika ia diam saja di tengah goyangan orang-orang, justru itu malah lebih menjadikannya sebagai pusat perhatian. Dan aku yakin ia tidak menikmati itu dalam situasi seperti ini.

Sayangnya, musik keburu berganti. Penonton berteriak “wow!” dan “waw!” demi lagu beraliran dangdut yang lagi populer-populernya itu. Peserta tidak kalah riuh. Mereka membangkitkan histeria penonton dengan mengadaptasi berbagai peranti bangunan ke dalam goyangan mereka. Dari yang lazim dipakai macam bor dan gergaji, sampai yang jarang terekspos seperti palu dan backhoe. Sebagian orang terperangah saja sedangkan sebagian lagi tak tahan untuk tak terbahak. Aku sendiri diam saja. Entah mengapa aku kurang senang menonton acara yang seperti ini. Belum lagi karena Kamal lagi-lagi mematung. Malah sepasang mata kecilnya yang bergerak-gerak gelisah. Aku juga tidak kuat melihat penampilan Zia yang tidak kalah menghebohkan dari upaya para peserta cowok mencari sensasi. Ia memang bukan satu-satunya peserta cewek. Terserah peserta cewek lain mau berusaha sebagaimanapun. Mereka kan bukan sohib baikku, tapi Zia iya!

Belum reda tawa penonton, warna musik sudah beralih lagi. Kali ini para cewek yang menjerit-jerit. Tengok saja ponsel dan komputer mereka, lagu-lagu produksi negeri ginseng ini pasti ada! Kali ini bukan peserta saja yang unjuk kebisaan, tapi juga penonton. Atmosfir memanas kendati mereka tertib—tidak mengacaukan lingkaran arena pertandingan. Aku kira Kamal familier juga dengan lagu-lagu semacam ini. Tapi ia malah bergeming. Aku lagi-lagi tepok dahi. Lebih terperangah lagi aku ketika ia mendadak angkat kaki, bukan pertanda tarian, melainkan pelarian!

Kontan aku mengikutinya mengeloyor. Aku panggil namanya berkali-kali. Ia tidak menggubris. Baru di atas rerumputan halaman ia berhenti. Aku harap itu bukan karena asmanya kumat. Ia membungkuk. Punggungnya naik turun. Sengalan nafasnya terdengar keras. Sontak aku mengelus-elus punggungnya dan bertanya, “Kamu bawa inhaler enggak?”

Ia masih betah menatap rumput sementara aku mengedarkan pandang ke sekeliling. Satpam rumah ini tengah mengamati kami.

Mendadak Kamal misuh-misuh. “Zia itu… Zia itu… Dia cuman mau manfaatin aku aja!”

Aku tertegun. “Maksud kamu apa, Mal—“

“Dia tuh ngedeketin aku cuman supaya dia bisa ngedapetin koleksiku aja!” Dia menunjuk-nunjuk gedung yang menyala di seberang halaman—tempat di mana sebelumnya kami berada tadi. “Sekarang dia mau mempermalukan aku! Aku enggak bisa terima!” Tapi ia sungkan tengadah selama mencak-mencak.

Aku memandangnya dengan prihatin sekaligus agak sulit memercayai kata-katanya.

“Maksud Zia bukan kayak gitu kali…” ujarku dengan nada yang aku harap bisa meredakan kekalutannya. “Udah yuk, jangan di sini.” Aku hendak menggiringnya dari jangkauan pengawasan satpam. Memang kami bukan orang yang patut dicurigainya, tapi siapa sih yang tidak tertarik sama adegan tegang urat seperti ini? Kamal menampikku.

Aku berasa melintasi gurun selama Kamal terus meracau. Aku harap ada yang bisa memendekkan omelannya. Lama-lama kupingku panas juga. Bukan masalah ia menjelek-jelekkan Zia. Dalam beberapa hal sikap Zia memang kurang pantas. Aku lebih capek karena kekesalanku pada cowok yang entah kapan bakal dewasa ini.

Kamal baru berhenti ketika sosok Zia muncul dari pintu depan rumah yang terbuka lebar. “Tataa… Dicariin ih!” Ia berlari-lari kecil ke arahku. Menoleh sejenak pada Zia, Kamal lekas balik arah. Langkahnya terseok-seok cepat di atas rumput. Ketika Zia sudah sampai di dekatku, Kamal sudah cukup jauh. “Sama siapa, Tat?”

“Si Kamal…” jawabku. “Udah jojingnya?”

Ia membuat huruf V dengan jemarinya. “Aku ngundurin diri…” katanya seraya menjulurkan lidah.

“Eh, kenapa?”

Ia tersenyum saja.

“Kalau mau sampai selesai juga enggak apa-apa, Zia, nanggung.” Aku jadi merasa tidak enak. Semula aku memang ingin minggat dari sini sebelum jam delapan malam, tapi biarlah ia menyelesaikan kesenangannya dulu.

“Enggak ah. Yuk kita pulang sekarang aja!” Ia mendorong pundakku pelan.

Kami bahkan tidak pamit dulu sama pemilik acara. Zia bilang toh di dalam juga masih heboh.

Di jalan, aku ceritakan tentang Kamal. Tiba-tiba aku ingin Zia menyadari kalau ia seharusnya tidak mengajak Kamal ikut menari tadi. Aku juga ingin mengkonfirmasi ucapan Kamal tentang Zia. Bibir Zia kontan tertarik ke bawah. “Dia sendiri yang nawarin koleksinya kok. Ya udah, aku terima aja. Toh kalau udah selesai perlunya aku balikin lagi kok.”

“Omong-omong kenapa kamu enggak sampai selesai tadi, Zia?” tanyaku.

“Udah enggak pingin aja.”

“Bukannya tadi kamu semangat banget?”

“Iya… Terus pas lagu keenam tahu-tahu aku bilang ke Rizal kalau aku enggak nerusin lagi.” Rizal adalah MC acara Ajojajojing tadi. Hilangnya dua peserta tidak serta-merta bikin acara tersebut henti. Baik animo penonton maupun animo peserta tidak begitu terpengaruh karenanya, karena aksi peserta yang tersisa begitu memikat mata.

“Kenapa kamu tahu-tahu ngundurin diri, Zia?”

“Pingin aja. Si Kamal juga tahu-tahu udah enggak ada kan…”

Ah. Zia. Cewek satu ini memang suka jauh dari tebakan, meskipun aku bukannya sering main tebak-tebakan. Hal mana yang melayangkan ingatanku pada pelajaran merajut yang ia belum lanjutkan lagi, atau nasib novelnya yang entah sudah tuntas apa belum, atau ikatannya dengan ekskul jurnalistik yang sudah lama terbengkalai.

“Kayaknya kamu mesti ngomong baik-baik sama Kamal deh, Zia. Sekalian minta maaf…” Wajah terhina Kamal membayang lagi dalam benakku.

“Kenapa?” Ia cemberut.

“Ya biar di antara kalian bisa ada saling pengertian yang baik aja… Soalnya kayaknya dia ada masalah juga sama kamu.”

Zia tampak sebal mendengar kata-kataku.

Tapi ia selalu apa adanya. Ia tidak bisa memendam galau lama-lama. Kalau sudah meletup, akan sekalian ia beberkan semua.

“…enggak enak aja tadi, pas liat si Kamal tahu-tahu lari… Iya sih, aku emang rada-rada gimana gitu sama dia, tapi dianya juga yang kayak gitu kan… Jadi serba salah deh ah…” ucapnya lirih ketika kami sudah sama terbaring di kasur.

Mata sudah berat, kesadaran hampir lenyap, tapi aku masih cukup pikiran untuk mencerna sandi-sandi yang ia kirimkan. Setidaknya sebelum kesadaranku betulan lenyap aku masih bisa menyimpulkan bahwa sohib baikku ini memang baik. Ia menyesali perbuatannya yang bikin Kamal punya pengalaman tidak enak. Aku akan memberitahukannya pada Kamal begitu bertemu dengannya di sekolah…

…lusa. Saat itu sedang jam istirahat. Aku belum sempat mendekati Kamal, atau setidaknya mendapat situasi yang pas untuk membicarakan Zia dengannya. Ia juga sudah menghilang dari kelas tidak lama setelah bel istirahat bunyi. Aku sudah dua kali bolak-balik kelas-kantin dan tidak berpapasan dengan bocah itu sama sekali. Mungkin ia sedang membaca di gudang sekolah bareng Ardi atau sekadar nongkrong di sekre ekskul Jejepangan.

Di mana ada dia, biasanya ada Ardi juga. Secara aku belum bertemu Ardi sama sekali hari itu, aku bermaksud untuk menyusul ke sekre saja. Namun langkahku melambat begitu aku melewati ruangan di samping ruang BP. Ruangan kecil dengan meja panjang dan deretan kursi di setiap sisinya itu biasa digunakan guru atau aktivis OSIS untuk rapat. Berkat koneksi seorang aktivis OSIS yang rada playboy, ruangan itu juga bisa dimanfaatkan para anggota K3S untuk diskusi mingguan mereka. Apa lagi topiknya, kalau bukan cewek-cewek layak keceng di sekolah?

Kadang aku memang sengaja melambat di situ supaya bisa menangkap perkembangan gosip terbaru, meski sekilas. Pada kesempatan ini aku lebih tertarik untuk segera berjumpa dengan Ardi, namun urung karena aku mendengar nama Zia disebut.

Pintu ruangan terbuka sedikit karena tadi ada anggota yang baru keluar. Keriuhan yang semula terdengar hingga ke koridor kini tervisualisasikan. Seseorang duduk di meja, dua orang berdiri sembari bersandar pada dinding, sedang sisanya mungkin duduk di kursi—aku tidak bisa memastikan ada berapa banyak cowok dalam ruangan itu. Dari penggalan dialog mereka, aku bisa menangkap bahwa mereka tengah membicarakan cewek yang kemarin ikut Ajojajojing di pesta Rio. Mereka juga sepertinya sedang menyaksikan hasil jepretan selama acara tersebut. Aku tidak tahu bagaimana mereka mengomentari peserta cewek lainnya, tapi komentar mereka tentang Zia bikin aku tersengat.

Aku tidak mengerti bagian mana dari bahenol dan overacting yang bisa bikin mereka sampai ngakak habis-habisan itu. Sial, mereka benar-benar merendahkan derajat cewek—apalagi cewek yang aku kenal baik! Aku tahu Zia tidak selebay yang mereka pergunjingkan. Itu hanya upaya mereka saja, berimajinasi yang bukan-bukan, untuk kesenangan mereka sendiri. Payah!

Ketika anggota mereka yang tadi keluar hendak masuk lagi, aku manfaatkan kesempatan itu agar bisa masuk ke dalam ruangan. Aku cukup terpana mendapati banyaknya cowok di sana, lebih lagi ketika Kamal terselip di antara mereka.***

                         

25-290312

Minggu, 25 Maret 2012

Ternyata Menulis Novel Itu Tidak Sekadar Mengkhayal



Judul : Galaksi Kinanthi
Pengarang : Tasaro GK
Penerbit : Salamadani, Bandung, 2009

Kinanthi adalah seorang anak dari Gunung Kidul. Di dusunnya, ia kerap mengalami penolakan dari masyarakat karena bapaknya yang penjudi serta ibunya dianggap baulawean[1]. Dalam kondisi seperti itu, hanya Ajuj yang mau menemaninya. Dan hanya Mbah Gogoh pula yang mendukung hubungan mereka.

Selepas SD, Kinanthi ditukar orangtuanya dengan 50 kg beras. Ia sempat mengenyam pendidikan SMP sekaligus jadi pembantu di rumah Pak Edi dan Bu Eli di Bandung. Namun nasib Kinanthi tetap tragis, bahkan kian menjadi-jadi. Sahabat satu-satunya, Euis, menjadi korban kriminalitas. Kematian cowok yang menyukainya, Gesit, membuat Kinanthi dikeluarkan dari sekolah. Setelah beberapa lama dikurung dalam rumah, Kinanthi dikirim ke Arab Saudi sebagai TKW.

Di jazirah para nabi, Kinanthi mengalami penyiksaan bertubi-tubi. Ia harus bekerja keras, mendapat perlakuan tak menyenangkan, hingga nyaris diperkosa. Ia pindah dari satu majikan ke majikan lain. Namun Kinanthi masih punya keberanian. Ia menyimpan pisau buah dalam gamisnya untuk mengancam orang yang hendak berlaku tak senonoh padanya. Ia meninju dahi wanita yang berbuat kasar padanya. Entah berapa kali ia melarikan diri. Sesekali ia bertemu orang baik seperti Pak Doelahadi dan Borte, namun nasibnya baru berubah ketika ia ikut hijrah ke Amerika bersama sebuah keluarga dari Kuwait.

Di Amerika, penyiksaan belum berhenti, bahkan semakin parah. Kinanthi menjadi bulan-bulanan beberapa keluarga Arab sekaligus. Puncaknya, ia berhasil diperkosa dan hamil. Ia pun melarikan diri ke sebuah masjid. Ia ditolong Arsy, seorang wanita dari Mesir, lalu Miranda, interpreter dari Indonesia. Ia dibawa ke pengadilan imigrasi yang kemudian membebaskannya dari lingkaran setan tersebut. Kinanthi menjadi warga Amerika.

Dalam belasan tahun, Kinanthi bermetamorfosis menjadi Prof. Kinanthi Hope, Ph. D. Usianya belum mencapai kepala tiga, namun ia sudah menjadi guru besar di suatu universitas. Ia juga menulis buku-buku best seller yang membuatnya dijuluki Queen of New York. Rumahnya saja seperti rumah Keanu Reeves dalam film Lake House.

Dalam kegemilangan tersebut, hati Kinanthi tak tenang. Ada kenangan masa kecil yang selalu mengganjal di sana. Kenangannya bersama Ajuj. Ajujlah yang selalu ia ingat kapan pun di mana pun. Sejak meninggalkan Gunung Kidul hingga bersekolah di Amerika, Kinanthi telah mengirim 113 surat pada Ajuj. Tak satupun terbalas.

Demi menjawab gejolak hatinya tersebut, Kinanthi kembali ke Indonesia. Dulu Kinanthi adalah gadis desa nan pemalu, tapi kini ia wanita modern yang sangat bergaya dari Amerika. Apakah Kinanthi berhasil menemukan Ajuj? Bagaimana keadaan Ajuj kini? Akankah kegamangan hati mereka selama ini mencapai muaranya? Bagaimana dengan Zhaxi—editor yang telah membesarkan nama Kinanthi—yang diam-diam mendamba Kinanthi?

***

Kinanthi adalah pusat dari cerita ini. Ia mengalami pengembangan karakter yang baik. Ia tidak melulu digambarkan positif dengan kegigihan dan keberaniannya. Kita juga bisa merasakan kesombongannya ketika ia kembali ke dusun. Karakternya mengingatkan saya pada karakter Nyai Ontosoroh yang dikarang Pramoedya Ananta Toer. Keduanya berhasil mengangkat diri dari keadaan yang hina menjadi wanita modern nan berkuasa. Kendati demikian, itu tidak lantas membuat mereka jadi manusia yang begitu sempurna. Nyai Ontosoroh tidak berhasil mendidik anak-anaknya. Kinanthi angkuh dan hampir-hampir tak beragama. Dan kekuatan karakter Kinanthi ini setidaknya mengimbangi karakter-karakter lainnya yang relatif kurang atau bahkan tak bergejolak.

Apalagi ketika dalam tiga halaman terakhir, plus bagian dalam sampul belakang, pengarang novel ini mengungkapkan sejumput proses kreatifnya.

Rasanya seperti habis mengakhiri perjalanan jauh. Menuliskan kepadamu apa yang diceritakan Kinanthi sungguh menguras energi. Aku tidak terlalu mengenalnya, kecuali setelah hari-hari kami menjelajahi berbagai tempat di Gunung Kidul sambil kudengarkan setiap kerat cerita hidupnya.
…jika pada suatu pagi gerimis, bau tanah basah mengurai penciumanmu dengan romantisme dan engkau bertemu dengan keduanya di suatu tempat… tolong kabari aku segera. Aku sungguh ingin tahu…

Saya suka ketika seorang pengarang menganggap karakternya begitu nyata. Seakan jejak kakinya juga tampak di tanah. Atau setidaknya, ia terasa sungguhan hidup dalam benak sebagaimana yang dialami Budi Darma.

Jika kelakuan karakter bikin Budi Darma mengarang novel yang alurnya rada ganjil, penataan adegan dalam Galaksi Kinanthi justru terkesan dirancang rapi. Ada suspense terasa di beberapa bagian.

Misal, saat Borte nan baik hati sempat bersinggungan dengan Kinanthi di suatu pasar di Kuwait. Sebagai pembaca yang bersimpati, kita berharap pertemuan itu akan berlanjut dengan Borte menolong Kinanthi yang tengah melarikan diri dari majikan yang ke sekian. Namun setelah persinggungan itu mereka malah tidak melanjutkan interaksi. Borte menyetop taksi sedang Kinanthi entah ke mana. Sesaat kita kecewa (lalu si Borte ini fungsinya apa sih?). Ternyata di bagian berikutnya, Kinanthi memaksa masuk ke dalam taksi yang di dalamnya ada Borte. Hore.

Ketidakpastian juga melanda ketika Kinanthi dan Ajuj sudah bersua namun ternyata Ajuj hendak dinikahkan dengan Sumarsih. Permasalahan tidak lantas selesai. Kejadian demi kejadian mampir bertubi-tubi hingga menggantungnya adegan terakhir.

Pengarang berhasil membenamkan emosi para karakter ke dalam sanubari kita. Sesekali selera humor pengarang menyembul dan bikin kita mendengus. Beberapa adegan terlampau dramatis, tapi biarlah. Maka kita berangan-angan novel ini difilmkan. Endorsement-nya berasal dari nama-nama yang wow pula, sebut saja Dewi “Dee” Lestari, Ahmad Tohari, Ahmadun Yosi Herfanda, dan sebagainya.

Membaca novel ini ibarat mengendarai mobil di sepanjang pantai pasir putih, sebut saja salah satu pantai indah di Gunung Kidul yang fotonya ditampilkan di halaman belakang. Panoramanya bisa kita nikmati, namun sayang jalannya tidak rata. Ada saja hal-hal mengganjal terasa di sepanjang perjalanan. Hal-hal yang bikin saya menyimpulkan bahwa novel ini merupakan contoh bagaimana ide yang wah digarap dengan kurang halus. 

Natural, please!

Bayangkanlah dirimu menjadi anak SMP lagi—kelas 1 SMP tepatnya. Kamu akan ulangan PPKn. Gurumu sudah menulis soal esai di papan tulis. Kamu dan teman-teman sekelasmu tengah menyalinnya ketika guru lain tiba-tiba masuk ke kelas. Apa yang kamu pikirkan ketika guru tersebut mengabarkan pada kamu dan teman-temanmu sekalian dalam bahasa seperti ini, “Euis menjadi korban kriminalitas di atas angkot sepulang dari Pasar Ujung Berung.”

Kiranya ia lebih tepat berprofesi sebagai penyiar berita di TV ketimbang guru bukan?

Dan kebijakan mana yang mengizinkan ia menyela KBM, bahkan membuat ulangan ditunda (ayo teriak “hore” lagi), hanya untuk memberitakan peristiwa tragis iniapakah Euis kepala sekolah? Kenapa ia tidak menunggu sampai jam istirahat lalu mengumumkannya ke seantero sekolah lewat mikrofon di ruang TU? Atau mungkin ia juga bisa memberitakannya lewat kertas di papan pengumuman? Tapi begitulah kejadian dalam Galaksi Kinanthi halaman 102.

Agak janggal juga bagi saya menyimak percakapan antara Ajuj dengan Kinanthi maupun Kinanthi dengan Euis. Mereka bicara soal cinta, penyalur pembantu rumah tangga, hak untuk digaji, apalah. Usia mereka masih awal belasan tahun. Hal mana bikin saya bertanya-tanya, waktu saya masih umur segitu emang saya sama teman-teman saya udah bisa ngebicarain yang begituan ya? Ngerti apa? Atau mungkin juga intelektualitas saya serta kalangan sebaya saya tidak setinggi para anak-anak dalam novel ini, pengalaman pun tak seluar biasa itu.

Dialog yang bermunculan setelah Kinanthi jadi profesor terasa lebih lucu lagi. Tapi biarlah kamu membacanya sendiri supaya kamu terhibur secara langsung.

Anak SMP ngekos?

Gesit Setiawan adalah siswa yang bunuh diri setelah cintanya ditolak Kinanthi. Ia kakak kelas Kinanthi. Saat itu mereka masih SMP, kalau tidak salah tahun 1992. Gesit berasal dari Garut. Ia ngekos di Bandung. Ia juga dibekali motor Tiger dan kunci vila di daerah Tangkuban Perahu.

Sewaktu saya masih SMP, ada teman sekelas saya—dari Garut juga—yang ngekos. Tapi ia ngekos bersama kakaknya. Selain dia, saya tidak tahu soal anak SMP ngekos. Kalau teman SMA sih banyak.

Makanya ini menakjubkan bagi saya. Bagaimanapun Gesit hebat. Orangtuanya sudah berani ngekosin dia kendati usianya masih sebelia itu.

Satire itu kata sifat?

Saya baru tahu kalau kata “satire” itu bisa digunakan sebagai kata sifat, atau setidaknya menggambarkan suatu ekspresi. Ini tidak lazim sehingga saya merasa janggal ketika mendapatkannya dipergunakan demikian dalam Galaksi Kinanthi.

Coba tengok beberapa.

Kinanthi tertawa kecil, satire. “Aku lupa. Mungkin kelas empat atau lima SD.” (hal. 307)
Ajuj tersenyum satire. (hal. 336)
“…Tentu Engkau tidak mudah percaya kata-kataku,” ada tawa satire, “tetapi aku sungguh-sungguh kali ini.” (hal. 399)
Zhaxi tersenyum. Satire kelihatannya. (hal. 416)
Tawa satire, “Tapi saya kira Anda tidak akan pernah sampai di sana meski saya menunggu sampai hari terakhir napas saya terembus.” (hal. 430)

Dalam KBBI elektronik yang saya miliki, satire adalah kata benda. Dalam kesusastraan, satire adalah gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sindiran terhadap suatu keadaan atau seseorang. Satire juga bisa berarti sindiran atau ejekan saja.

Memang kewenangan pengarang untuk bermain-main dengan kata, meski saya rasa akan lebih baik jika pengarang dapat menempatkan kata sesuai proporsinya.

Kinanthi oh Kinanthi

Di halaman 7, Kinanthi disebut sebagai profesor muda berlatar pendidikan kedokteran, tapi menguasai hampir segala bidang perbincangan—apapun yang engkau obrolkan di ruang seminar sampai ke coffee shop, demikian kata narator. Menyoroti latar pendidikan kedokteran Kinanthi, hal ini ditunjukan pengarang melalui adegan Kinanthi memberi kuliah di Universitas Washington dan Kinanthi memeriksa akibat dari kecelakaan yang menimpa Ajuj di gunung gamping.

Apakah “berlatar pendidikan kedokteran dan menguasai hampir segala bidang perbincangan” membuat uraian narator berikut ini bisa diterima?

…”Masih akan ada gempa susulan, tapi tidak akan sebesar yang pertama,” begitu kata Kinanthi memberi pengertian. Menurut pengalamannya. Menurut keilmuannya. (hal. 388)

Memangnya kedokteran mempelajari kegempaan juga ya?

Pada intinya, pengarang ingin menampilkan sebuah karakter yang mampu bangkit dari keterpurukan dan menjadi hebat—sehebat menampilkan wilayah di berbagai bagian bumi sebagai latar novel.

Saya kira sebetulnya Kinanthi tetap bisa dianggap hebat meski ia hanya seorang doktor dan beberapa bukunya best seller—belum lagi pembawaannya—sebagaimana Dr. Temperance Brennan dalam serial AS, “Bones”, tanpa harus digambarkan sampai sebegitunya, sampai bisa menjadi guru besar dalam belasan tahun saja, sampai dijuluki Queen of New York, sampai menguasai hampir segala bidang perbincangan, sampai novel percintaannya terancam diganjar Pulitzer…

Penampilan Kinanthi dalam novel ini bisa lebih baik tanpa pengarang harus memaksakannya untuk memahami berbagai bidang. Pengarang cukup memahami betul satu saja, kalau bukan beberapa, bidang yang menjadi fokus Kinanthi. Bagaimana Kinanthi mampu mengaitkan bidang yang benar-benar dikuasainya itu dengan berbagai hal yang umum justru menjadi daya tarik sendiri. Penampilannya pun bisa jadi bakal terasa lebih natural.

Atau jangan-jangan memang karakter Kinanthi sehebat itu sehingga pengarang dituntutnya untuk mengimbangi? Wahai Kinanthi, kasihanilah pengarangmu, ia kewalahan. Beberapa pembaca bisa merasakan betapa serangkaian narasi dan dialog ini sekadar tempelan, yang akan terbang begitu angin berhembus.

Dan sebagai orang yang besar di Bandung, lebaran di Jogja, lalu kuliah di Jogja, tapi KTP-nya Bandung, saya amat terkejut dengan pernyataan ini.

…Dia baru sadar, sejak kemarin malam, dia telah terpisah jarak hampir seribu kilometer dari dusun kelahirannya.
Ini Bandung. (hal. 92)

Jarak Stasiun Bandung – Stasiun Tugu saja tidak sampai 500 km kaleeee… Memang jarak dari Stasiun Tugu sampai Gunung Kidul bisa sampai 500 km ya? Atau dari Gunung Kidul Kinanthi dibawa ke Surabaya dulu baru ke Bandung?

Mungkin kita harus mengeluarkan Zhaxi, sang editor "bertangan ajaib", dari dalam novel ini untuk membenahi kerapuhan dunia yang membungkusnya. Namun terlepas dari segala kejanggalan yang ada, rentetan informasi dan pemikiran yang juga menyerta dalam novel ini merupakan bagian dari upaya pengarang yang harus kita hargai. Permasalahan utama terletak pada bagaimana mengungkapkan detail-detail yang telah dihimpun dari riset ke dalam bentuk yang senatural mungkin. Sebanyak apapun pohon eboni yang kita miliki, kita tidak akan bisa bikin mebel yang ergonomis tanpa kemampuan bertukang yang mumpuni.***


[1] Setiap laki-laki yang menikahinya akan mati

Selasa, 20 Maret 2012

“Episodes”: Secuil Pelajaran dari Industri Serial AS


Sumber:  http://www.seriemaniacos.com.br/blog/conheca-episodes/   

Saya suka menonton serial komedi. Lebih spesifik lagi: produksi AS yang terakses oleh operator TV kabel langganan keluarga saya, sebut saja “Community”, “30 Rock”, “The Big Bang Theory”, “Monk”, dan sebagainya. Kadang saya berangan-angan membuat serial komedi saya sendiri. Sebuah refleksi kehidupan sehari-hari dalam suatu lingkungan dengan para karakter yang kuat, dengan nilai-nilai yang sesuai kebudayaan saya sendiri. Di samping kepiawaian dalam membikin saya tersentil lantas tertawa, serial komedi AS kadang mempertunjukkan hal-hal yang bagi saya tidak patut. Dengan demikian angan-angan saya yaitu terjun dalam dunia pertelevisian sebagai penulis skrip serial komedi ala Indonesia.

Serial “Episodes” yang tengah tayang di FX mempertunjukkan saya bagaimana realitasnya apabila angan-angan saya itu terwujud. Situasi industri pertelevisian di AS dengan di Indonesia mungkin tak persis sama, namun kegoncangan budaya itu niscaya. Banyak hal dalam budaya pertelevisian AS yang menjadi masalah bagi tokoh utama serial tersebut yang orang Inggris, begitupun saya kelak (ingat: ini cuman angan-angan!) dengan dunia pertelevisian yang saya awam sekali. Ketika menulis ini, saya baru menonton episode 2 dan episode 3 dari serial tersebut dan saya menyukainya. Serial yang diproduksi tahun 2011 ini mendapat rating 7,6 dari 10 di situs Internet Movie Database dan baru saja diganjar Golden Globe berkat Matt LeBlanc sebagai aktor berpenampilan terbaik.

Alkisah, sepasang suami-istri penulis skrip, Sean dan Beverly Lincoln hijrah dari Inggris ke AS—tepatnya Los Angeles. Sebelumnya mereka telah membuat sebuah serial yang tenar di Inggris. Seorang produser dari AS meminta mereka untuk mengadaptasi serial tersebut untuk pemirsa AS. Konflik pun mulai bertaburan. Skandal demi skandal di antara orang-orang yang bekerja dengan mereka terungkap. Matt LeBlanc, aktor yang tenar berkat serial “Friends”, digadang-gadang sebagai bintang serial. Ulah sang aktor yang banyak maunya malah membuat hubungan Sean dan Beverly bergejolak. Sementara Beverly yang keras kerap tidak dapat menahan diri ketika konsepnya diacak-acak, Sean cenderung permisif, menjaga hubungan dengan orang-orang, dan fleksibel.

Animasi yang menjadi pembuka serial menggambarkan bagaimana sebundel naskah terbang melintasi Big Ben, menembus awan, mengarungi Samudra Atlantik, menyusuri lorong di antara bebatuan besar, hingga tercerai-berai setibanya ia di Hollywood. Sebuah idealisme dalam benak penulis bisa jadi kacau balau begitu bersentuhan dengan pihak-pihak yang memiliki beragam kepentingan.

Pelajaran yang paling saya ingat dari episode 3 serial ini adalah ketika Matt ingin mengubah salah satu karakter dalam konsep serial pasangan Lincoln. Di Inggris, serial dibuat dalam format series sedangkan AS menggunakan format season. Jika 4 series berarti 24 episode, maka di AS 24 episode baru terhitung sebagai 1 season. Dan AS bisa membuat sebuah serial hingga ber-season-season. Serial “Friends” saja mencapai 236 episode. Dalam konsep serial pasangan Lincoln, sebuah karakter lesbian memang cukup untuk dieksplorasi dalam 4 series saja. Namun dalam industri pertelevisian AS yang membuka kemungkinan untuk jumlah episode yang lebih banyak, karakter tersebut sebaiknya tidak lesbian karena akan membatasi pengembangan karakternya. Dengan demikian kita harus membuat karakter yang bisa selalu berkembang. Begitulah menurut Matt, terlepas dari apapun kepentingannya di balik penjelasan ini.

Dalam teori mengenai fiksi, karakter bisa dikategorikan menjadi karakter datar (flat character) dan karakter bulat (round character). Jika suatu karakter digambarkan sebagai orang yang baik sejak awal hingga akhir cerita, maka ia adalah karakter datar. Jika ia mengalami perubahan karakter dalam perjalanan hidupnya itu, maka ia adalah karakter bulat. Tertanam dalam otak saya, karakter yang ideal adalah karakter bulat—bulat seperti bola. Ia bisa menggelinding, memantul-mantul, bahkan penyok.  Maka itu saya menyukai karakter utama yang antihero. Karakter antihero terasa sangat manusiawi dan realistis, meski saya tidak bisa memungkiri bahwa sosok hero juga bertebaran dalam realitas.

Ketika sebuah karakter muncul dalam kepala saya, saya langsung bisa membayangkannya sebagai sosok yang sungguh ada. Namun itu hanya seperti ketika saya melihat seseorang. Saya masih perlu untuk mengamatinya, mendekatinya, berkenalan lebih jauh dengannya, dan bagian yang paling penting adalah mendengarkannya bercerita. Dan ia tidak menceritakan kehidupannya seketika. Setelah menceritakan sesuatu, ia akan meninggalkan saya dengan catatan mengenai kehidupannya yang belum tentu utuh, belum tentu layak disajikan dalam sebuah cerpen atau novel. Sewaktu-waktu, ia datang kembali untuk memperbarui catatan saya tentangnya. Jika ia tidak kunjung datang sementara saya tengah merindukannya, membutuhkannya, saya akan berusaha agar ia muncul. Entah itu dengan membaca, mengobrol dengan orang lain, atau sekadar jalan-jalan sambil mengamati interaksi orang-orang di sekitar.

Maka menggarap karakter adalah sebuah proses panjang. Saya bersyukur ketika teman saya bilang kalau karakter-karakter dalam novel pertama saya—yang digarap sendiri—bisa dipercaya. Saya butuh lima tahun untuk memahami mereka sebelum mampu untuk menuliskannya dalam lima hari saja. Maka bagi saya, proses pembuatan cerpen tidak semengesankan proses pembuatan novel. Proses pembuatan cerpen layaknya sebuah pertemuan singkat dengan seseorang atau orang-orang, sementara proses pembuatan novel seperti tinggal bersama dengan seseorang, atau orang-orang, atau sebuah keluarga, atau dari keluarga satu ke keluarga lainnya, dalam suatu lingkungan atau berbagai lingkungan selama periode waktu tertentu.

Rumit. Maka itu menarik. Ketika saya menonton serial AS—tidak mesti komedi karena saya juga menggemari serial nonkomedi macam “Bones”—saya terpukau dengan bagaimana para karakter tampil sewajar mungkin. Sekilas mereka tampak seperti orang-orang biasa, tidak kentara perbedaan karakter di antara mereka. Namun ketika kita mengikuti cerita lebih lanjut, mereka terasa makin seperti orang-orang biasa, ya, dengan beragam sifat yang manusiawi bercampur aduk dalam diri mereka hingga membentuk sebuah kepribadian. Sesuatu yang membedakan mereka antar satu sama lain—tidak melalui penampilan fisik dan gestur saja. Mereka bisa begitu mengagumkan di satu waktu sekaligus menyebalkan di waktu lain.

Kembali pada serial “Episodes”. Selain suka pada aksen khas pasangan Lincoln, kecanggungan mereka dalam menghadapi orang-orang AS yang mereka temui merupakan kelucuan bagi saya. Mereka juga cenderung sopan dan memiliki norma. Saat menontonnya, di kepala saya melaju sebuah pikiran. Di luar sana orang-orang bekerja dalam ritme yang cepat. Begitu sibuknya mereka, tanpa mereka sadari sebagian orang mengambil keping-keping kehidupan mereka untuk disajikan kembali dengan rekayasa sedemikian rupa hingga menjadi hiburan bermakna. Ketika orang-orang sibuk tersebut rehat sejenak dengan menyetel serial, mereka menertawakan kehidupan yang sebetulnya refleksi dari kehidupan mereka sendiri. Tapi ketika mereka menjalaninya, mereka tak menyadari bahwa itu serangkaian lelucon. Mereka tak menertawakannya, mereka mengeluhkannya.***

Senin, 19 Maret 2012

Upil Bandung



Kemarin kutanya kawan,
"Apa langit Bandung pernah biru?"
Pagi ini kusaksikan
jawabannya di muka rumahku.


yah lumayanlah rada biru. ternyata sampai siang juga masih biru. lalu ketika dilihat lagi, kelabu seperti biasa.

Sebelumnya, kusangkakan kelabu berkepanjangan
hingga aku mengarang puisi macam demikian.


Upil Bandung


Sumber: http://citizenimages.kompas.com/blog/view/10369-Polusi-di-Bandung 

Tiap hari warga Kota Bandung harus mengupil.
Nafas pendek-pendek, tak kuasa cegah debu hilir mudik sepanjang rongga hidung.
Aliran udara terasa kasar, tanda tak murni.
Apa guna pepohonan, langit selalu tampak kelabu.
Disinyalir itu bukan mendung, kita menghirupnya setiap waktu.
Kita terbunuh pelan-pelan karenanya.
Dengan lapisan polutan menaungi sebagaimana lapisan roti pada zuppa-zuppa, Bandung adalah kota yang tak sehat, kota yang berbahaya.
Tanyakan saja pada koloni jerawat yang tumbuh dari paparan kotoran di wajahmu.


Di tengah kencang deru angin, yang menuai sendawa dan kentut menggelegar, masih bisa kudengar kicauan ramai geng burung gereja. Hanya satu jenis ini yang tahan merajai kota berpolutan. Besok, aku akan meninggalkan kota ini untuk yang ke sekian kali. Aku tidak tahan berlama di sini, di kota yang telah merasuki jiwaku.

Minggu, 18 Maret 2012

Bibliomania


Ia lebih tidak tahan untuk tidak membeli buku ketimbang baju dan sepatu. Sebetulnya ia juga menghabiskan uang papanya untuk keperluan lain. Camilan, barang khas wanita, apapun yang seperlunya—maka itu dinamakan keperluan. Tapi khusus untuk tiga bulan ini, ia sudah mengumpulkan tumpukan struk tersendiri dari dua toko buku yang paling sering ia kunjungi—di samping tiket masuk kolam renang karena ia ternyata menyukai renang.

Mari kita cek bacaan apa saja yang ia beli sejak awal tahun 2012 hingga tiga bulan berselang.

Janna edisi Januari 2012 (7,5K)
Metodologi Penelitian Kualitatif (38K)
Psikologi Sastra (55K)
The Journalist (32,2K)
Pokoknya Kualitatif (56K)
Horison edisi Februari 2012 (20K)
Manifesto Khalifatullah (18,4K)
Kritikus Adinan (15K)
Catatan Mahasiswa Gila (26,6K)
Even Angels Ask (48,9K)
Sahara (27,3K)
Al-Quran (51,8K)

Dari judul-judul di atas tentu kau sudah dapat menerka-nerka bagaimana kiranya wanita tersebut. Namun tidak sampai setengah dari daftar di atas yang sudah ia baca hingga tamat. Kiranya pula ada buku-buku lain yang ia beli dalam rentang waktu yang sama, namun ia tidak menyimpan bukti pembeliannya.

Ia membeli buku untuk disimpan dalam rak dan baru dibaca ketika orang lain sudah membacanya, atau setelah bertahun-tahun kemudian, atau ada suatu hal yang bikin ia meneguhkan niat untuk menamatkannya. Ketika ia memiliki kesempatan untuk meminjam buku dari perpustakaan atau orang lain, ia akan memprioritaskan buku pinjaman tersebut ketimbang buku miliknya sendiri.

Ia bahkan membeli Al-Quran, seolah belum cukup banyak buku serupa di rumahnya.

Saat seorang teman memperlihatkan Al-Quran dengan terjemah per kata dan asbabun nuzul, seketika itu ia menginginkannya. Asbabun nuzul—ia memiliki keinginan terpendam untuk dapat memahami Al-Quran secara kontekstual. Menurutnya, adalah hal penting untuk bisa mengetahui latar belakang sesuatu. Ini merupakan sebuah tahap dalam upaya pemahaman.

Temannya membeli Al-Quran tersebut di seberang masjid. Ketika mereka menghampiri tempat penjualannya, ternyata Al-Quran macam demikian dengan ukuran yang diinginkan sudah tidak tersedia. Ia tidak menghendaki ukuran yang besar dengan alasan kepraktisan. Ia hendak membawanya keluar kota, ke mana-mana.

Sore. Ia mengikuti sebuah forum di selasar masjid yang lain. Ia duduk dekat dinding kaca yang menyekat selasar tersebut dengan bagian dalam masjid. Ia mendengar ada ketukan pada kaca tersebut. Ketika ia menoleh, ia melihat sampul sebuah Al-Quran yang tidak hanya dilengkapi terjemah per kata dan asbabun nuzul, melainkan juga terjemah Kementerian Agama RI, ayat doa, ayat tasbih, intisari ayat, dan indeks tematik.

Sebagian orang bisa jadi berpikir ini adalah pertanda. Kendati ia menampik pikiran demikian, ia tahu ia harus mengalami kemajuan dalam proses pembacaan Al-Quran. Sekadar tulisan arab dan terjemah tidak lagi cukup. Niat untuk membeli Al-Quran tersebut mendekam dalam benaknya.

Ia menyadari bahwa Al-Quran adalah buku yang paling sering ia baca—secara sistematis. Ketika ia sudah menamatkannya, ia akan membacanya ulang dari awal. Semula ia membaca satu halaman sehari, setiap habis solat mahgrib atau solat isya, lalu menjadi satu lembar sehari, masih pada waktu yang sama, lalu menjadi satu lembar setiap habis solat wajib. Namun ia tidak biasa bepergian dengan membawa Al-Quran. Sehingga ketika ia menunaikan solat wajib di luar rumah, niat itu tidak terpenuhi. Namun setidaknya ia membaca lebih dari satu lembar sehari.

Dan baginya, tidak afdol kalau membaca tulisan arab Al-Quran tanpa sekalian mengetahui terjemahnya. Sekadar tulisan arab tidak akan mengubah dirimu jika kamu tidak tahu apa artinya. Dan kendati Al-Quran adalah buku yang selalu ia baca, ia tidak pernah benar-benar memahami isinya. Ia tidak pernah benar-benar memikirkan bagaimana Al-Quran memengaruhi kehidupannya. Ia sekadar membacanya, sebagaimana ia terhadap buku-buku lain. Bahkan buku-buku lain lebih mudah dipahami hanya dengan sekali baca.

Memang sesekali, dengan spidol kuning ia tandai ayat tertentu yang ia rasa menyentuhnya. Ia juga sedang mengumpulkan ayat yang memuat hujan.

Sepanjang ia mencari Al-Quran idamannya di toko buku, ia menelusuri judul demi judul buku yang berkaitan dengan Islam. Ada kesenangan tebersit sembari pertanyaan itu lagi-lagi berhembus di dalam benaknya, kapan kamu bakal baca buku-buku kayak gitu?

Pemahamannya terhadap Al-Quran mungkin akan bertambah dengan membaca buku-buku itu.

Kadang ia terpikir bahwa agama adalah suatu hal yang rumit. Ketika pekan lalu adik kelasnya saat SMA membicarakan tentang agama, ia ingin menghindarinya. Meski ia senang dengan bagaimana A. A. Navis dan Jeffrey Lang mengkritisi Islam sebagai cara untuk menguatkan keimanan—ia bahkan membayangkan pasangan hidup yang memiliki ketertarikan serupa—ia sekaligus sadar bahwa perkara ini sebetulnya memusingkan. Namun pandangannya tetap. Agama bukan sesuatu yang hanya bisa digapai dengan hati, karena banyak sekali Allah melontarkan pertanyaan pada pembaca firman-Nya, “Maka apakah kamu tidak berpikir?”

Agaknya hanya satu ayat itu, yang sebetulnya berjumlah banyak karena diulang-ulang, yang tercantol dalam kepalanya.

Bagaimanapun, ia senang melihat buku-buku meski ia tidak tahu apakah ia akan dapat melahap mereka. Ia dibesarkan dengan banyak buku. Dan entah bagaimana buku-buku meresapkan energi menulis yang tak habis-habis ke dalam dirinya. Menulis, aktivitas yang membuatnya harus berpikir.

Ia mungkin akan kembali untuk buku-buku itu, buku-buku di bagian agama, entah kapan, untuk melepaskan dahaga dan kebodohan yang ditahan-tahan. Keingintahuan ini harus dijaganya agar selalu menyala. Islam saja tak habis-habis, pikirnya. Maka ia bersyukur atas minat baca yang ia miliki, yang membuatnya ingat pada firman pertama Allah—“bacalah”, meski yang dimaksud barangkali tak mesti teks—lalu menyangkut pada ayat lain dalam Quran, “Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?”

Meski ia tidak memahami mengapa ia harus bersyukur atas keingintahuan terpendamnya untuk mempelajari Islam secara lebih mendalam. Ia tahu, ya, Allah telah menyuruhnya berpikir, namun terlebih dulu ia merasakan bahwa ini mungkin akibat iman. Sesuatu yang menggerakkannya untuk terus mencari tahu, mendorongnya untuk mendekatkan diri pada ilmu, hingga menjadi pemburu bacaan, agaknya itu iman.

"...Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan, dan menjadikan (iman) itu indah dalam hatimu. ..." (Q.S. Al-Hujurat 7)

***

Sabtu, 17 Maret 2012

Kebebasan?


The Hours, saya sudah menonton versi filmnya yang dibintangi Meryl Streep, Julianne Moore, Claire Danes, dan Nicole Kidman. Ternyata dalam versi novelnya, nama Meryl Streep sudah disebut-sebut. Justru dia memerankan tokoh yang mana merasa telah bersua Meryl Streep di jalan pada suatu kesempatan—atau mungkin aktris terkenal lainnya.

Mungkin saya masih SMA ketika saya menonton film The Hours. Dan mungkin juga saya sempat tertidur di tengah-tengah, sebab ada beberapa adegan dalam novel karya Michael Cunningham ini yang baru saya ketahui—selebihnya dapat disesuaikan dengan yang divisualisasikan dalam film. Tapi apa yang tertera di novel tak mesti persis dengan yang di film kan? Film yang diganjar Oscar dan Golden Globe tersebut, sebagaimana dalam versi novelnya, merupakan rangkaian adegan-adegan yang begitu wajar, begitu “biasa” dalam kehidupan sehari-hari, namun disajikan secara mendalam, bagaimana detail-detail kecil dalam kehidupan dapat mengungkit kerumitan pikiran.

Cerita ini adalah tentang sepenggal dalam kehidupan tiga orang wanita pada zaman dan lokasi yang berbeda: Virginia Woolf, 1923, Richmond; Laura Brown, 1949, Los Angeles; dan Clarissa Vaughn, akhir abad kedua puluh, New York City. Virginia sedang berusaha menulis novelnya yang kelak termasyhur, Mrs. Dalloway. Laura sedang berusaha mencuri kesempatan untuk membaca novel Mrs. Dalloway. Sedang Clarissa kerap dipanggil “Mrs. Dalloway” oleh sahabatnya, Richard. Ada sesuatu yang menghubungkan mereka. Mereka juga sama-sama berhasrat terhadap sesama wanita. Namun tidak hanya itu.

Kehidupan mereka tampak baik-baik saja. Mereka seharusnya bahagia.

Virginia memiliki suami yang mencintainya. Mereka tinggal di Richmond sebagai bagian dari upaya penyembuhan Virginia, meski wanita tersebut merindukan hiruk-pikuk London. Virginia seharusnya dapat menciptakan novelnya dengan tenang di pinggiran kota, namun ada saja keresahan dipendamnya.

Laura menjalani kehidupan seorang istri konvensional yang ideal. Ia memiliki suami yang perhatian, anak balita yang menyayanginya, serta jabang bayi dalam kandungan. Yang harus ia pikirkan semata bagaimana menjalankan rumah tangga dengan baik. Namun ada saja hal-hal kecil yang mengusik pikirannya.

Clarissa hidup dalam masyarakat yang sudah lebih kompleks. Lingkungannya berisi orang-orang yang menyukai sesama jenis, pun dirinya—juga dua wanita sebelumnya. Dan ia memang bahagia. Kerisauannya tidak sebesar kepeduliannya akan Richard yang mengidap AIDS. Dan apa hubungan antara Richard dengan Laura?

Versi Indonesia novel ini diterbitkan Jalasutra (Yogyakarta: 2008) dan saya tidak bisa mengatakan hasil terjemahannya buruk, melainkan konsentrasi sayalah yang demikian. Agaknya butuh otak cemerlang untuk dapat mengetahui mengapa novel ini begitu berarti, hingga Pulitzer Prize untuk Fiksi (1999) dan PEN/Faulkner Award (1999) dianugerahkan padanya. Apakah karena isu mengenai kebebasan orientasi seksual yang dimuatnya?

Bagaimanapun, dari novel ini kita dapat mempelajari bagaimana keseharian yang tampak sepele dapat digali sedemikian rupa hingga mencuatkan pikiran-pikiran yang memicu tindakan. Hidup kita adalah rentetan daripadanya, namun kita harus bergerak cepat, sebagaimana zaman seolah tak pernah henti melesat, hingga kita tak lagi sempat untuk menangkap remeh-temeh tahu-tahu berimbas vital itu.

 Air tenang menghanyutkan, karena yang tak dalam itu air beriak, begitu kata peribahasa. Saya paham bagaimana kehidupan yang tenang dapat menyuntikkan kerawanan tersendiri, lantas membuncah jadi kegalauan hebat pada waktu-waktu tertentu, sebagaimana Virginia dan Laura alami—dengan kemasan berbeda tentu saja. Kehidupan yang dijalani tampak oke, namun ada sesuatu di dalam diri yang mencari-cari, yang mengatakan bahwa hidup tak bisa selamanya begini. Sungguhkah kita mau terjebak dalam kebahagiaan? Yakinkah bahwa kita hanya ingin menjalani apa yang kita inginkan? Yang saya pahami kini, kelabilan dalam kehidupan adalah keniscayaan.

Pada akhirnya, Virginia bunuh diri sedang Laura meninggalkan keluarganya. Entah pula apa yang para tokoh lainnya dalam novel ini cari. Mungkin memang saya kurang berminat untuk menyelam, atau karena di kedangkalan saja saya telah meragukan kebahagiaan dalam persepsi mereka, jenis kebahagiaan berdasar ideologi negeri yang mereka tinggali. Mungkin juga berkat beberapa kalimat dalam esai Wildan Nugraha, “Menulis Bebas dan Bagus”[1], yang saya tandai sebelum saya menamatkan novel ini.

…mereka justru harus berhadapan dengan liberalisme di banyak ranah kehidupan… oleh karena tidak memiliki daya yang cukup dalam mengantisipasi laju dan semangat zaman tersebut, mereka pun lebih banyak terpinggirkan, lalu pada gilirannya tidak sedikit yang mengidap skeptisisme kalau bukan putus asa, kehilangan semangat hidup. 

Manusia dikutuk bebas karena dia tidak menciptakan dirinya sendiri… Begitu dilemparkan ke dunia, dia bertanggung jawab atas segala yang dilakukannya. (mengutip Sartre—dyh) 

…kebebasan sering kali berakhir dengan kebingungan… Setelah tuntutannya tentang kebebasan terpenuhi, ia tidak tahu akan mengisi dengan apa.


[1] Dibagikan dalam forum Kamisan FLP Bandung, selasar Salman ITB, 15 Maret 2012

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain