“Udah baca koran Minggu kemarin?”
Mata perempuan itu menyorotnya. Binar yang pada lain waktu
begitu memesona, namun kali ini menyodorkan tanda tanya.
“Halaman dua puluh tujuh.”
Bibir perempuan itu separuh terbuka, barangkali menyatakan
hal yang sama.
“Cerpen?”
Bubuhkan titik di ujung lekuk alis perempuan itu agar makin
menyerupai tanda tanya.
“Aku nulis cerpen untuk kamu.”
“Oh.”
“Tentang kamu.”
“OH.”
Setelah saling tatap untuk beberapa lama, perempuan itu yang
bertanya, “Koran minggu yang mana?”
Kepala lelaki itu terdorong sedikit, seakan ada yang menyodok
tengkuknya. “K—“ Bahkan suaranya turut tercekat.
“Kemerdekaan Rakyat?”
Tentunya bukan. Koran yang persebarannya terbatas di satu
provinsi itu? Itupun yang membaca hanya para pengayuh becak, kalau bukan kaum
bermuka-minyak yang seharian duduk-duduk di depan kios pinggir jalan, merokok,
mengopi, dan mengisi TTS. Memang ada masa ia pernah mengirimkan satu-dua
karya—atau satu-dua bundel karya?—ke
koran itu, tapi kapan itu? Sudah lama
sekali berlalu, bertahun-tahun lalu… Terasa seperti berabad-abad lalu.
“KAMPAK,” lelaki
itu berdeham.
Bibir perempuan itu terbuka makin lebar, merekahkan senyuman.
Segala tanda tanya sirna, tersingkirkan oleh kekaguman. “Kalau bisa masukin
cerpen ke situ, yang nulisnya udah bisa dianggap sastrawan…”
“Gitu ya…?”
Sebenarnya bukan sekali ini cerpen lelaki itu dimuat di koran
nasional lagi prestisius tersebut. Setiap tahun, koran itu memilih beberapa
cerpen terbaik untuk dibukukan. Judul cerpen-yang-paling-baik di antara yang
paling baik itu akan dijadikan judul buku. Beberapa tahun ini ada saja
cerpennya yang terpilih untuk disertakan ke dalam buku. Dan untuk tahun ini
judul yang dijadikan judul buku berasal dari cerpennya. Malam ini ia akan
terbang ke ibukota untuk menghadiri acara peluncuran buku tersebut sekaligus
penyerahan anugerah bagi para pengarang cerpen yang terpilih.
“…iya enggak sih?”
Terlepas dari apa saja yang menentukan seorang pengarang
disebut “sastrawan”, atau apa bedanya “pengarang” dengan “sastrawan”, lelaki
itu pernah menerima Zamrud Literary Award untuk kategori pengarang muda
berbakat, diundang ke festival penulis internasional di pulau dewata, dan
memenangkan sayembara novel Komite Kesenian Nasional. Selain itu, salah satu
novel dan sejumlah cerpennya telah diterbitkan dalam bahasa Jepang, Jerman, dan
Inggris, dan bisa ditemukan di perpustakaan maupun toko buku di beberapa
negara. Para kritikus yang sempat putus asa karena terpuruknya mutu kesusastraan
bangsa kini kembali bergairah untuk mengangkat pena, demi memberitahu
publik—dan khususnya penulis pemula—bahwa karya lelaki itu adalah contoh fiksi
kontemporer yang baik.
Perempuan itu mestinya sudah pernah melihat namanya tercantum
di sampul beberapa buku. Perempuan itu bekerja di toko buku. Tapi lelaki itu
tidak tahu apakah perempuan itu tahu—memerhatikan.
Perempuan yang beberapa lama hanya menatapnya dengan sorot hangat, bibir
melengkung ke atas.
“Cerpen untuk kamu, tentang kamu—kamu dengar?”
“Iya.” Senyum perempuan itu tidak berubah. “Makasih. Nanti
saya cari korannya. Mudah-mudahan masih ada yang jual.”
Lelaki itu bergumam panjang sebelum bisa meluncurkan
kata-kata yang jelas. “Ada blog yang ngliping cerpen-cerpen koran Minggu, tahu
kan?”
“Enggak tahu.”
Tatapan mereka kembali bergeming pada satu sama lain.
“Aku bisa kirim kopinya—“
“Enggak usah… Biar saya cari sendiri.”
Lelaki itu hendak membuka mulut lagi namun perempuan itu
keburu menambahkan, “Saya janji.”
Setelah pertemuan itu, lelaki itu menyambangi lagi toko buku
tempat perempuan itu bekerja hingga beberapa kali dalam seminggu. Minggu ini
dan minggu berikutnya, jawabannya: “Belum”, “Belum”, dan “Belum”. Pada hari
lelaki itu datang dengan membawa koran yang memuat cerpennya, perempuan itu
menyambut dengan pinta agar lelaki itu mau menunggu hingga sifnya selesai.
Kurang dari tiga jam lagi. Tapi seperti tiga abad. Pukul sembilan malam, lebih,
barulah ada kesempatan bagi mereka berdua duduk berhadapan di kafe terdekat.
Perempuan itu baru bisa membaca cerpennya beberapa hari lalu,
setelah blog yang dikatakan mengliping cerpen-cerpen koran Minggu itu, akhirnya, memajangnya. Dan selama
beberapa hari itu ia terus terpikir akan cerpen itu, termenung-menung. Hingga lelaki
itu datang lagi untuk menagih janji, dan yang perempuan itu bisa sampaikan
hanya, “Kayaknya itu bukan cerpen buat saya.”
“Itu buat kamu. Aku menulisnya buat kamu.”
“Saya enggak ngerti.”
“Enggak ngerti? Yang mana yang enggak ngerti?”
Perempuan itu termangu. Disadarinya bahwa ia sendiri tidak
mengerti apa yang tidak dimengertinya.
Lelaki itu membiarkan perempuan itu termenung-menung lagi,
merangkai interpretasi apapun terhadap karyanya. Ia bersikap seolah sudah mati
di hadapan pembacanya itu.
Setelah diam agak lama, perempuan itu melipat kedua lengannya
di atas meja, menutupi dadanya, dan berkata, “Cerpen itu bukan untuk pembaca
kayak saya. Itu aja…” Karena lelaki itu hanya membisu dengan tatapan terpaku,
ia buru-buru melanjutkan, “Tapi bagus. Banyak kata-kata yang kerasa indah yang
saya enggak tahu maksudnya.”
“…enggak tahu maksudnya…” lelaki itu seolah bicara pada
dirinya sendiri.
“…tapi saya sambil buka kamus kok, jadi…” Perempuan itu
menggerak-gerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, tersenyum. “…bagus.”
Dalam KAMPAK Minggu
dua edisi setelah pemuatan cerpennya itu, ada esai enam-kolom—tanpa
ilustrasi—yang membahas karyanya tersebut. Secara mimetik dan ekspresif, ada
kebaruan, begitu pendapat kritikus.
Lelaki itu tahu perempuan itu suka membaca. Perempuan itu
punya blog dan di profilnya tertera kalau hobinya adalah membaca. Tapi bukan
hanya karena itu. Lelaki itu selagi mengunjungi toko buku mengamati diam-diam
perempuan itu sering mencuri kesempatan untuk membaca buku-buku di displai,
buku-buku yang telah dibukai sampul plastiknya sehingga pembeli bisa mengintip
isinya dan menimbang-nimbang sebelum memtuskan untuk membeli. Ia tahu perempuan
itu juga menulis—memperbarui blognya setidaknya… enam bulan sekali. Dalam sekali
posting, perempuan itu menulis tentang buku-buku yang telah dibacanya. Banyak
buku. Tapi hanya novel roman, chiclit,
dan cerita anak.
Benar, pikir
lelaki itu, aku menulis hanya untuk
menyenangkan para kritikus.
Maka mulailah ia menulis benar-benar untuk perempuan itu. Ia
menulis cerita sederhana dalam bahasa sederhana. Tentang pria menawan yang
mendekati wanita kesepian. Tentang anak-anak lucu dan menggemaskan. Produktivitasnya
terus meningkat. Mungkin inilah yang dinamakan kekuatan cinta.
Redaktur cerpen KAMPAK
meneleponnya. “Cerpen macam apa ini yang kau kirimkan?”
Ia terkesima, menyadari kekhilafannya. Ia menarik kembali
cerpen-cerpen itu dan mengirimnya ke media lain. Ia tetap memakai namanya yang
biasa dengan harapan perempuan itu tahu kalau ia yang menulisnya—apabila
membacanya. Ia bahkan tidak tahu apakah perempuan itu suka membaca tabloid dan
majalah wanita yang kini menjadi sasarannya dalam mengirim karya.
Perempuan itu tidak lagi bekerja di toko buku. Untung
sebelumnya lelaki itu sempat mengajak bertukar nomor ponsel. Jadi ia dapat
mengabarkan apabila cerpennya telah dimuat. Namanya yang cukup kesohor membuat cerpennya
mudah diterima oleh media-media yang dikiriminya. Selain itu, ia sudah
menandatangani kontrak dengan penerbit yang hendak mempublikasikan beberapa
judul roman populer karangannya. Semua karya ditulisnya untuk perempuan itu.
“Sekarang kau mulai komersil juga rupanya,” begitu kata
teman-temannya sesama perakit kata. Mereka maklum, sebetulnya. Hidup sepenuhnya
dari penghasilan sebagai pengarang itu tidak mudah di negeri ini. Hanya
segelintir pengarang yang memperoleh kemujuran. Lainnya harus mendaki jalan
Sysiphus. Polahnya itu dibicarakan pula oleh kritikus di media massa dengan
nada yang menyiratkan kekecewaan, kendati namanya tidak disebut secara
langsung. Bagaimanapun juga ia menyadari kalau dirinya telah disinggung oleh
orang-orang di dunia sastra. “Tidak ada yang bisa menghalangiku untuk menulis
apapun,” begitu tanggapannya. Sungguhpun begitu seorang temannya yang notabene
kritikus berkata, “Tapi kau mesti ingat. Karya-karyamu pernah memberi secercah
harapan bagi para kritikus, akan masa depan yang cerah dalam kesusastraan di
negeri kita ini. Kau memang berhak untuk menulis apapun, tapi… Kau mengerti,
kan? Tunjukkan pula kontinyuitas dalam kekhasanmu. Kualitas yang membedakan
karya-karyamu dari karya kebanyakan.”
Lelaki itu termenung-menung. Bukan penghasilan benar yang
ditujunya sebagaimana perkiraan teman-teman-temannya itu. Ia memikirkan
perempuan itu. Bagaimana karya-karya yang ditulisnya belakangan menjadi
pemantik obrolan dalam setiap pertemuan mereka, modal untuk hubungan yang
menjanjikan. Ia tunjukkan pemahamannya akan perempuan itu melalui
karya-karyanya.
Memang akibat sibuk menyalurkan hasratnya akan hal itu, ia
tidak meluangkan waktu untuk merenungkan persoalan lainnya secara mendalam dan
menuliskannya sebagaimana tampak pada karya-karyanya yang sebelumnya. Maka ia
mencoba untuk kembali pada gaya menulisnya yang semula, pada tema-tema yang
tidak pada tempatnya untuk dieksplorasi dalam novel roman, chiclit, apalagi cerita anak. Setelah beberapa lama bergelut dengan
isme-isme, lahirlah karya-karya yang dikirimkannya ke koran-koran Minggu,
majalah sastra, dan semacam itu. Hasilnya mungkin belum begitu bagus. Perlu
waktu untuk memulihkan kecemerlangan yang telah dikesampingkan sekian lama,
seperti pemanasan sebelum berlari. Akhirnya ada satu yang dimuat di majalah
sastra, dan mendapat sambutan cukup baik dari kritikus.
Ia ingin tahu bagaimana tanggapan perempuan itu terhadap karya
tersebut. Setelah sekian lama hubungan di antara mereka berjalan dan tidak
kunjung dipastikan, ia ingin tahu adakah perubahan. Mereka bertemu di suatu
tempat makan. Ia membawa majalah yang memuat karyanya itu bersamanya, ingin
perempuan itu membacanya saat itu juga.
Perempuan itu membalik halaman demi halaman cerpennya yang
cukup panjang itu. Setelah sampai di halaman akhir, perempuan itu kembali ke
halaman awal. Menekuri lagi dan lagi. Hampir satu jam berlalu.
“Gimana?” ujar lelaki itu.
Perempuan itu berhenti di tengah-tengah pembacaan yang
kesekian. “Saya mesti komentar apa?”
“Gimana?”
Perempuan itu menunduk. Jemarinya menyeruak rambutnya yang
lebat menggelora, maju-mundur, sementara matanya kembali melekat pada bacaan.
Lalu kepalanya terangkat. “Ingin bilang bagus, tapi kata kamu itu bukan
jawaban.” Lelaki itu tidak ingat pernah mengatakannya. Tapi memang ia tidak
terbiasa dengan jawaban “bagus” atas karya-karyanya—tidak berarti lagi baginya.
Ia terbiasa dengan jawaban yang lebih dari sekadar “bagus”, yang panjangnya
bisa mencapai satu halaman bahkan lebih dan suatu saat mungkin dibukukan.
Menit demi menit berlalu. Semakin ia menunggu mulut itu
menyuarakan lebih banyak kata, semakin ia menyadari kalau ia hanya memenjarakan
mereka dalam kecanggungan.
“Kamu tahu gimana… aku sama kamu,” lelaki itu berbicara lambat-lambat. Ia bisa mengungkapkan dirinya dengan lebih baik melalui tulisan. Tapi apa yang ditulisnya tidak dipahami oleh perempuan itu. “Bagaimana kita bisa bersama kalau kamu tidak bisa memahamiku?” suara lelaki itu memelan hingga nyaris tidak terdengar. Lalu ia pergi.
.
Mereka bertemu di pameran seorang seniman batu. Seniman yang
membuat karya-karyanya dengan mengkreasikan batu-batu. Menyusunnya bak puzzle, atau memadukannya dengan benda-benda
lain bak kolase. Mereka terpikat dengan satu karya; yang menjadi titik mula
bagi interaksi-interaksi mereka selanjutnya. Perempuan itu sebetulnya terpikat
dengan batu obsidian yang digunakan dalam karya tersebut, mengingatkannya akan
masa kecil yaitu saat menemukan batu tersebut secara tidak sengaja dalam
tumpukan pasir untuk bahan bangunan rumah tetangga.
Demikianlah perempuan itu menceritakan awal pertemuannya
dengan lelaki itu kepada temannya, sampai kejadian yang disangkanya merupakan
akhir.
“Ngerti kan, seniman itu biasanya enggak stabil dan
sensitif,” ujar temannya, mengutip dialog dari sebuah film.
“Ya. Emang aku ngerasa dia orangnya rada aneh…” Pada mulanya
ia merinding tiap kali menyadari kehadiran lelaki itu toko buku tempatnya dulu
bekerja, namun seiring dengan perkenalan mereka ia menerima lelaki itu memang
begitu adanya—tipe penguntit sejati. Perempuan itu menerawang, mengingat-ingat
apa kelebihan lelaki itu. Ia tidak mengerti apa yang disukai lelaki itu
darinya. Agaknya keanehan lelaki itu tidak hanya tampak dalam pembawaannya,
tapi juga dalam aspek lainnya. Dalam selera terhadap perempuan, misalnya.
Sebelumnya, oleh temannya itu, ia pernah ditawari untuk
berkenalan dengan seorang lelaki yang tapinya pernah melakukan operasi untuk mengubah
fisik. Ia teringat para personil boyband
Korea. Barangkali lelaki yang dimaksud oleh temannya itu seganteng mereka.
Operasi plastik sedikit tidak apalah, pikirnya. Temannya itu melanjutkan kalau
operasi yang dilakukan oleh lelaki itu adalah operasi ganti kelamin.
Perempuan itu mendesah. Tidak mudah baginya untuk mendapatkan
lelaki lain, kendati ia tidak tahu apa lelaki yang baru saja meninggalkannya
itu jangan-jangan juga pernah melakukan operasi ganti kelamin. Tapi itu soal
lain, sungguh. Pada intinya, ia belajar kalau tidak ada lelaki yang sempurna.
Tiap lelaki memiliki keunikan yang mesti dihadapi dengan cara yang khas pula. Pikirnya,
“Kalau aja aku ngerti karya sastra, kemungkinan aku enggak bakalan single melulu.”[]
300514