Jumat, 30 Mei 2014

Apresiasi

“Udah baca koran Minggu kemarin?”

Mata perempuan itu menyorotnya. Binar yang pada lain waktu begitu memesona, namun kali ini menyodorkan tanda tanya.

“Halaman dua puluh tujuh.”

Bibir perempuan itu separuh terbuka, barangkali menyatakan hal yang sama.

“Cerpen?”

Bubuhkan titik di ujung lekuk alis perempuan itu agar makin menyerupai tanda tanya.

“Aku nulis cerpen untuk kamu.”

“Oh.”

“Tentang kamu.”

“OH.”

Setelah saling tatap untuk beberapa lama, perempuan itu yang bertanya, “Koran minggu yang mana?”

Kepala lelaki itu terdorong sedikit, seakan ada yang menyodok tengkuknya. “K—“ Bahkan suaranya turut tercekat.

Kemerdekaan Rakyat?”

Tentunya bukan. Koran yang persebarannya terbatas di satu provinsi itu? Itupun yang membaca hanya para pengayuh becak, kalau bukan kaum bermuka-minyak yang seharian duduk-duduk di depan kios pinggir jalan, merokok, mengopi, dan mengisi TTS. Memang ada masa ia pernah mengirimkan satu-dua karya—atau satu-dua bundel karya?—ke koran itu, tapi kapan itu? Sudah lama sekali berlalu, bertahun-tahun lalu… Terasa seperti berabad-abad lalu.

KAMPAK,” lelaki itu berdeham.

Bibir perempuan itu terbuka makin lebar, merekahkan senyuman. Segala tanda tanya sirna, tersingkirkan oleh kekaguman. “Kalau bisa masukin cerpen ke situ, yang nulisnya udah bisa dianggap sastrawan…”

“Gitu ya…?”

Sebenarnya bukan sekali ini cerpen lelaki itu dimuat di koran nasional lagi prestisius tersebut. Setiap tahun, koran itu memilih beberapa cerpen terbaik untuk dibukukan. Judul cerpen-yang-paling-baik di antara yang paling baik itu akan dijadikan judul buku. Beberapa tahun ini ada saja cerpennya yang terpilih untuk disertakan ke dalam buku. Dan untuk tahun ini judul yang dijadikan judul buku berasal dari cerpennya. Malam ini ia akan terbang ke ibukota untuk menghadiri acara peluncuran buku tersebut sekaligus penyerahan anugerah bagi para pengarang cerpen yang terpilih. 

“…iya enggak sih?”

Terlepas dari apa saja yang menentukan seorang pengarang disebut “sastrawan”, atau apa bedanya “pengarang” dengan “sastrawan”, lelaki itu pernah menerima Zamrud Literary Award untuk kategori pengarang muda berbakat, diundang ke festival penulis internasional di pulau dewata, dan memenangkan sayembara novel Komite Kesenian Nasional. Selain itu, salah satu novel dan sejumlah cerpennya telah diterbitkan dalam bahasa Jepang, Jerman, dan Inggris, dan bisa ditemukan di perpustakaan maupun toko buku di beberapa negara. Para kritikus yang sempat putus asa karena terpuruknya mutu kesusastraan bangsa kini kembali bergairah untuk mengangkat pena, demi memberitahu publik—dan khususnya penulis pemula—bahwa karya lelaki itu adalah contoh fiksi kontemporer yang baik.

Perempuan itu mestinya sudah pernah melihat namanya tercantum di sampul beberapa buku. Perempuan itu bekerja di toko buku. Tapi lelaki itu tidak tahu apakah perempuan itu tahu—memerhatikan. Perempuan yang beberapa lama hanya menatapnya dengan sorot hangat, bibir melengkung ke atas.

“Cerpen untuk kamu, tentang kamu—kamu dengar?”

“Iya.” Senyum perempuan itu tidak berubah. “Makasih. Nanti saya cari korannya. Mudah-mudahan masih ada yang jual.”

Lelaki itu bergumam panjang sebelum bisa meluncurkan kata-kata yang jelas. “Ada blog yang ngliping cerpen-cerpen koran Minggu, tahu kan?”

“Enggak tahu.”

Tatapan mereka kembali bergeming pada satu sama lain.

“Aku bisa kirim kopinya—“

“Enggak usah… Biar saya cari sendiri.”

Lelaki itu hendak membuka mulut lagi namun perempuan itu keburu menambahkan, “Saya janji.”

Setelah pertemuan itu, lelaki itu menyambangi lagi toko buku tempat perempuan itu bekerja hingga beberapa kali dalam seminggu. Minggu ini dan minggu berikutnya, jawabannya: “Belum”, “Belum”, dan “Belum”. Pada hari lelaki itu datang dengan membawa koran yang memuat cerpennya, perempuan itu menyambut dengan pinta agar lelaki itu mau menunggu hingga sifnya selesai. Kurang dari tiga jam lagi. Tapi seperti tiga abad. Pukul sembilan malam, lebih, barulah ada kesempatan bagi mereka berdua duduk berhadapan di kafe terdekat.

Perempuan itu baru bisa membaca cerpennya beberapa hari lalu, setelah blog yang dikatakan mengliping cerpen-cerpen koran Minggu itu, akhirnya, memajangnya. Dan selama beberapa hari itu ia terus terpikir akan cerpen itu, termenung-menung. Hingga lelaki itu datang lagi untuk menagih janji, dan yang perempuan itu bisa sampaikan hanya, “Kayaknya itu bukan cerpen buat saya.”

“Itu buat kamu. Aku menulisnya buat kamu.”

“Saya enggak ngerti.”

“Enggak ngerti? Yang mana yang enggak ngerti?”

Perempuan itu termangu. Disadarinya bahwa ia sendiri tidak mengerti apa yang tidak dimengertinya.

Lelaki itu membiarkan perempuan itu termenung-menung lagi, merangkai interpretasi apapun terhadap karyanya. Ia bersikap seolah sudah mati di hadapan pembacanya itu. 

Setelah diam agak lama, perempuan itu melipat kedua lengannya di atas meja, menutupi dadanya, dan berkata, “Cerpen itu bukan untuk pembaca kayak saya. Itu aja…” Karena lelaki itu hanya membisu dengan tatapan terpaku, ia buru-buru melanjutkan, “Tapi bagus. Banyak kata-kata yang kerasa indah yang saya enggak tahu maksudnya.”

“…enggak tahu maksudnya…” lelaki itu seolah bicara pada dirinya sendiri.

“…tapi saya sambil buka kamus kok, jadi…” Perempuan itu menggerak-gerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, tersenyum. “…bagus.”

Dalam KAMPAK Minggu dua edisi setelah pemuatan cerpennya itu, ada esai enam-kolom—tanpa ilustrasi—yang membahas karyanya tersebut. Secara mimetik dan ekspresif, ada kebaruan, begitu pendapat kritikus.

Lelaki itu tahu perempuan itu suka membaca. Perempuan itu punya blog dan di profilnya tertera kalau hobinya adalah membaca. Tapi bukan hanya karena itu. Lelaki itu selagi mengunjungi toko buku mengamati diam-diam perempuan itu sering mencuri kesempatan untuk membaca buku-buku di displai, buku-buku yang telah dibukai sampul plastiknya sehingga pembeli bisa mengintip isinya dan menimbang-nimbang sebelum memtuskan untuk membeli. Ia tahu perempuan itu juga menulis—memperbarui blognya setidaknya… enam bulan sekali. Dalam sekali posting, perempuan itu menulis tentang buku-buku yang telah dibacanya. Banyak buku. Tapi hanya novel roman, chiclit, dan cerita anak.

Benar, pikir lelaki itu, aku menulis hanya untuk menyenangkan para kritikus.

Maka mulailah ia menulis benar-benar untuk perempuan itu. Ia menulis cerita sederhana dalam bahasa sederhana. Tentang pria menawan yang mendekati wanita kesepian. Tentang anak-anak lucu dan menggemaskan. Produktivitasnya terus meningkat. Mungkin inilah yang dinamakan kekuatan cinta.

Redaktur cerpen KAMPAK meneleponnya. “Cerpen macam apa ini yang kau kirimkan?”

Ia terkesima, menyadari kekhilafannya. Ia menarik kembali cerpen-cerpen itu dan mengirimnya ke media lain. Ia tetap memakai namanya yang biasa dengan harapan perempuan itu tahu kalau ia yang menulisnya—apabila membacanya. Ia bahkan tidak tahu apakah perempuan itu suka membaca tabloid dan majalah wanita yang kini menjadi sasarannya dalam mengirim karya.

Perempuan itu tidak lagi bekerja di toko buku. Untung sebelumnya lelaki itu sempat mengajak bertukar nomor ponsel. Jadi ia dapat mengabarkan apabila cerpennya telah dimuat. Namanya yang cukup kesohor membuat cerpennya mudah diterima oleh media-media yang dikiriminya. Selain itu, ia sudah menandatangani kontrak dengan penerbit yang hendak mempublikasikan beberapa judul roman populer karangannya. Semua karya ditulisnya untuk perempuan itu.

“Sekarang kau mulai komersil juga rupanya,” begitu kata teman-temannya sesama perakit kata. Mereka maklum, sebetulnya. Hidup sepenuhnya dari penghasilan sebagai pengarang itu tidak mudah di negeri ini. Hanya segelintir pengarang yang memperoleh kemujuran. Lainnya harus mendaki jalan Sysiphus. Polahnya itu dibicarakan pula oleh kritikus di media massa dengan nada yang menyiratkan kekecewaan, kendati namanya tidak disebut secara langsung. Bagaimanapun juga ia menyadari kalau dirinya telah disinggung oleh orang-orang di dunia sastra. “Tidak ada yang bisa menghalangiku untuk menulis apapun,” begitu tanggapannya. Sungguhpun begitu seorang temannya yang notabene kritikus berkata, “Tapi kau mesti ingat. Karya-karyamu pernah memberi secercah harapan bagi para kritikus, akan masa depan yang cerah dalam kesusastraan di negeri kita ini. Kau memang berhak untuk menulis apapun, tapi… Kau mengerti, kan? Tunjukkan pula kontinyuitas dalam kekhasanmu. Kualitas yang membedakan karya-karyamu dari karya kebanyakan.”

Lelaki itu termenung-menung. Bukan penghasilan benar yang ditujunya sebagaimana perkiraan teman-teman-temannya itu. Ia memikirkan perempuan itu. Bagaimana karya-karya yang ditulisnya belakangan menjadi pemantik obrolan dalam setiap pertemuan mereka, modal untuk hubungan yang menjanjikan. Ia tunjukkan pemahamannya akan perempuan itu melalui karya-karyanya.

Memang akibat sibuk menyalurkan hasratnya akan hal itu, ia tidak meluangkan waktu untuk merenungkan persoalan lainnya secara mendalam dan menuliskannya sebagaimana tampak pada karya-karyanya yang sebelumnya. Maka ia mencoba untuk kembali pada gaya menulisnya yang semula, pada tema-tema yang tidak pada tempatnya untuk dieksplorasi dalam novel roman, chiclit, apalagi cerita anak. Setelah beberapa lama bergelut dengan isme-isme, lahirlah karya-karya yang dikirimkannya ke koran-koran Minggu, majalah sastra, dan semacam itu. Hasilnya mungkin belum begitu bagus. Perlu waktu untuk memulihkan kecemerlangan yang telah dikesampingkan sekian lama, seperti pemanasan sebelum berlari. Akhirnya ada satu yang dimuat di majalah sastra, dan mendapat sambutan cukup baik dari kritikus.

Ia ingin tahu bagaimana tanggapan perempuan itu terhadap karya tersebut. Setelah sekian lama hubungan di antara mereka berjalan dan tidak kunjung dipastikan, ia ingin tahu adakah perubahan. Mereka bertemu di suatu tempat makan. Ia membawa majalah yang memuat karyanya itu bersamanya, ingin perempuan itu membacanya saat itu juga.

Perempuan itu membalik halaman demi halaman cerpennya yang cukup panjang itu. Setelah sampai di halaman akhir, perempuan itu kembali ke halaman awal. Menekuri lagi dan lagi. Hampir satu jam berlalu.

“Gimana?” ujar lelaki itu.

Perempuan itu berhenti di tengah-tengah pembacaan yang kesekian. “Saya mesti komentar apa?”

“Gimana?”

Perempuan itu menunduk. Jemarinya menyeruak rambutnya yang lebat menggelora, maju-mundur, sementara matanya kembali melekat pada bacaan. Lalu kepalanya terangkat. “Ingin bilang bagus, tapi kata kamu itu bukan jawaban.” Lelaki itu tidak ingat pernah mengatakannya. Tapi memang ia tidak terbiasa dengan jawaban “bagus” atas karya-karyanya—tidak berarti lagi baginya. Ia terbiasa dengan jawaban yang lebih dari sekadar “bagus”, yang panjangnya bisa mencapai satu halaman bahkan lebih dan suatu saat mungkin dibukukan.

Menit demi menit berlalu. Semakin ia menunggu mulut itu menyuarakan lebih banyak kata, semakin ia menyadari kalau ia hanya memenjarakan mereka dalam kecanggungan.

“Kamu tahu gimana… aku sama kamu,” lelaki itu berbicara lambat-lambat. Ia bisa mengungkapkan dirinya dengan lebih baik melalui tulisan. Tapi apa yang ditulisnya tidak dipahami oleh perempuan itu. “Bagaimana kita bisa bersama kalau kamu tidak bisa memahamiku?” suara lelaki itu memelan hingga nyaris tidak terdengar. Lalu ia pergi.

Mereka bertemu di pameran seorang seniman batu. Seniman yang membuat karya-karyanya dengan mengkreasikan batu-batu. Menyusunnya bak puzzle, atau memadukannya dengan benda-benda lain bak kolase. Mereka terpikat dengan satu karya; yang menjadi titik mula bagi interaksi-interaksi mereka selanjutnya. Perempuan itu sebetulnya terpikat dengan batu obsidian yang digunakan dalam karya tersebut, mengingatkannya akan masa kecil yaitu saat menemukan batu tersebut secara tidak sengaja dalam tumpukan pasir untuk bahan bangunan rumah tetangga.

Demikianlah perempuan itu menceritakan awal pertemuannya dengan lelaki itu kepada temannya, sampai kejadian yang disangkanya merupakan akhir.

“Ngerti kan, seniman itu biasanya enggak stabil dan sensitif,” ujar temannya, mengutip dialog dari sebuah film.

“Ya. Emang aku ngerasa dia orangnya rada aneh…” Pada mulanya ia merinding tiap kali menyadari kehadiran lelaki itu toko buku tempatnya dulu bekerja, namun seiring dengan perkenalan mereka ia menerima lelaki itu memang begitu adanya—tipe penguntit sejati. Perempuan itu menerawang, mengingat-ingat apa kelebihan lelaki itu. Ia tidak mengerti apa yang disukai lelaki itu darinya. Agaknya keanehan lelaki itu tidak hanya tampak dalam pembawaannya, tapi juga dalam aspek lainnya. Dalam selera terhadap perempuan, misalnya.

Sebelumnya, oleh temannya itu, ia pernah ditawari untuk berkenalan dengan seorang lelaki yang tapinya pernah melakukan operasi untuk mengubah fisik. Ia teringat para personil boyband Korea. Barangkali lelaki yang dimaksud oleh temannya itu seganteng mereka. Operasi plastik sedikit tidak apalah, pikirnya. Temannya itu melanjutkan kalau operasi yang dilakukan oleh lelaki itu adalah operasi ganti kelamin.

Perempuan itu mendesah. Tidak mudah baginya untuk mendapatkan lelaki lain, kendati ia tidak tahu apa lelaki yang baru saja meninggalkannya itu jangan-jangan juga pernah melakukan operasi ganti kelamin. Tapi itu soal lain, sungguh. Pada intinya, ia belajar kalau tidak ada lelaki yang sempurna. Tiap lelaki memiliki keunikan yang mesti dihadapi dengan cara yang khas pula. Pikirnya, “Kalau aja aku ngerti karya sastra, kemungkinan aku enggak bakalan single melulu.”[]

 

300514

Minggu, 25 Mei 2014

...mendapatkan identitas yang sama dengan kelompok penguasa.

... Sejumlah besar penduduk Suriah, Mesopotamia dan Persia baru masuk Islam pada abad kedua dan ketiga Hijriah. Terdapat jeda waktu yang lama antara penaklukan militer di negara itu dengan konversi agama penduduknya. Motif konversi mereka pun terutama didasari oleh kepentingan pribadi, yaitu untuk menghindari pajak dan mendapatkan identitas yang sama dengan kelompok penguasa. ...

Dari halaman 182 History of Arabs karya Philip K. Hitti (Penerjemah: R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi; Penerbit: PT Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, cetakan I, Juli 2013). Merasa mulai paham kenapa ada kekhawatiran apabila calon pemimpin berasal dari kalangan tertentu. Pemimpin itu sosok untuk diteladani, ditiru. Tapi orang bisa saja meniru lebih dari sekadar kualitas dalam kepribadian.

Sabtu, 24 Mei 2014

Kritis Selagi Membaca

Aku jarang menonton TV. Tahun-tahun belakangan ini satu-satunya acara TV nasional yang kutunggu hanya Sketsa di salah satu TV Trans, itupun kini tidak lagi. Aku juga jarang membaca koran. Lieur. Kebanyakan judul, topik. Mending baca buku; terfokus pada satu topik saja. Aku mengetahui isu-isu terkini hanya dari pembicaraan orang-orang, atau pengamatan di jalanan pada saat menaiki angkot. Seperti yang kulakukan baru-baru ini. Tadinya aku duduk di pojok angkot Margahayu-Ledeng, namun ketika mendengar wanita di samping sopir mengeluhkan kinerja walikota, hubungan rakyat dengan pemimpin yang bagai anak-anak mencontoh orangtuanya, aku menggeser posisiku hingga agak ke depan, berusaha menguping. Gara-gara ibu itu, aku yang tadinya hendak turun di Jalan Supratman mengurungkan niat dan malah berhenti di ujung jembatan layang Kiaracondong (sementara ibu itu sudah turun di ujung sebelumnya). Anyway, mungkin seperti katak dalam tempurung ya. Tapi aku tidak hendak mempersoalkan keuntungan/kerugian dari tidak mengikuti berita. Bagaimanapun entah kenapa aku berminat ketika ada kesempatan untuk menonton film Di Balik Frekuensi, yang menceritakan politik di balik TV berita. Lalu aku merasa tepat untuk mengiringi pengalaman menonton film tersebut dengan pembacaan buku Analisis Wacana dari Eriyanto (LKiS, Yogyakarta, cetakan IX, Juni 2011). Kupikir berhubungan. Kendati yang satu cenderung pada media cetak, sedang yang lain pada TV berita, namun keduanya sama-sama mempersoalkan apa yang ada di balik pemberitaan di media massa. Entahkah ideologi, kognisi wartawannya, dominansi pihak tertentu, atau kepentingan partai politik. Namun pembahasan yang memang nyaris di luar lingkup minatku membuatku tidak bisa menceritakan isi buku ini tanpa melakukan pembacaan ulang dengan cermat—yang belum terasa pentingnya untuk kulakukan. Bahkan catatan kakinya yang amat banyak dan panjang itu tidak kubaca, kendati aku berhasil menuntaskan pembahasan utamanya. Adapun buku ini kumiliki berkat rekomendasi dari kawanku yang berkuliah di jurusan Komunikasi. Baca bukunya Eriyanto, katanya, sebagai pengantar aja sih. Mungkin sekitar tahun 2012, aku membelinya berbarengan dengan buku Analisis Framing dari penulis yang sama di pameran buku di Landmark, Bandung. Pada waktu itu aku sedang mengerjakan skrispi yang membuatku berhubungan dengan banyak artikel baik dari koran maupun blog. Tentu saja kajiannya tidak sejauh itu, tidak sampai seperti yang dicontohkan dalam buku ini yaitu dengan menganalisis pilihan kata, susunan kalimat, dan sebagainya. Adapun Analisis Framing sudah kuselesaikan lebih dulu. Aku ingat membaca buku tersebut sembari menunggu giliran pembuatan e-KTP di pelataran kantor kecamatan di dekat rumah, namun catatan pembacaannya belum dapat kutemukan—kalau memang tidak ada. Bagaimanapun pembacaan buku semacam ini sedikitnya mewanti-wantiku agar tidak percaya begitu saja pada apa yang kubaca, melainkan sembari mengkritisi apapun yang mungkin ada di baliknya. Toh analisis wacana sebetulnya tidak hanya berlaku untuk berita di media cetak, melainkan pada semua teks termasuk sastra.

Jumat, 23 Mei 2014

Cerita yang Tak Kunjung Ditulis

Dari kapan aku ingin menulis novel—novel-novelan sih karena tidak akan diterbitkan—tentang seorang anak SMA ganteng yang stres kalau naik angkot. Dia lalu minta dibelikan sepeda oleh ibunya. Hobinya adalah bikin roti. Sebetulnya dia dulu ikut klub tinju, tapi sejak suatu insiden yang membikin wajahnya babak-belur dan giginya rompal, ibunya melarangnya untuk melanjutkan. Mungkin takut anaknya tidak ganteng lagi. Dia membawa ransel besar ke sekolah tapi tidak sebesar carrier yang biasa digendong para penjelajah alam. Selain buku-buku pelajaran dan buku tulis untuk setiap buku pelajaran dan alat tulis lengkap dan PDA (karena waktu itu masih tahun 2006) untuk mengatur agenda yang padat, dia mengisi ransel tersebut dengan bekal roti lapis buatannya sendiri dan botol minum 1L karena dia banyak beraktivitas dan dengan demikian banyak berkeringat. Kadang dia membawa tas sepatu kalau harinya ekskul sepak bola. Dia terlalu ganteng untuk membiarkan cinta-cintaan melemahkannya sehingga banyak cewek yang menangis putus asa karenanya. Singkat cerita: Dia baru naik ke kelas dua—atau sebelas. Karena posisi menentukan prestasi, dia memilih untuk duduk di samping seorang anak perempuan pemalu, tepat di depan meja guru. Mereka menjadi kawan baik dalam konteks tidak saling mengganggu selama jam pelajaran. Sesekali mereka mengobrol sewaktu jam istirahat. Dipikirnya teman sebangkunya itu sangat rajin, tekun, dan berkomitmen terhadap tugas-tugas sekolah. Dia senang sekali dengan orang yang seperti itu. Karena dia KM, dia punya wewenang untuk memercayakan jabatan penting di kelas pada anak perempuan itu. Karena sebagai siswa berprestasi dia juga sibuk di luar kelas maupun di luar sekolah, dia melimpahkan tugas yang cukup banyak. Namun ada hal yang tidak diketahui atau mungkin tidak disadari olehnya  mengenai anak perempuan itu. Anak perempuan yang pada mulanya menyanggupi tawarannya, namun kemudian melalaikan kepercayaan yang diberikan olehnya. Anak SMA ganteng yang berhati keras itu lalu menuntut pertanggungjawaban. Akan dikejarnya anak perempuan itu sampai dia mendapat penjelasan, akan ada yang marah-marah dan akan ada yang menangis, akan ada yang memaksa dan akan ada yang defensif, tapi tidak akan ada romansa sama sekali di antara mereka. Kalaupun ada romansa, kejadiannya bukan di antara mereka. Apa cerita tentang remaja mesti ada cinta-cintaannya? Bosen, keles. Mungkin karena konsepnya begini makanya tidak jadi-jadi ya. Hahaha. Kangen ih menulis novel sekadar untuk bersenang-senang. Novel nu kumaha aing we lah!

Selasa, 20 Mei 2014

Napak-tilas Basa Bandung Halimunan: Baca, Jalan, bari Diajar Nyunda!

Ide menarik kadang tercetus dari obrolan pada waktu senggang. Begitulah antara Kang Adew dan Nurul hingga muncul ide untuk menapaktilasi panineungan (:kenangan) H. Us Tiarsa R. dalam buku Basa Bandung Halimunan. Jadi membaca bukan sekadar membaca melainkan sembari mengalami langsung apa yang disuguhkan dalam bacaan. Datangi tempat-tempat yang dirujuk di dalam buku. Bandingkan apa yang tertulis di dalam buku dengan kenyataan yang kita lihat. Metode ini hampir serupa dengan yang dilakukan oleh Komunitas Aleut. Namun komunitas tersebut tidak secara spesifik menyebutnya sebagai “pembacaan”—atau istilah yang lazim kami pakai: “tadarusan”. Buku dipegang sebagai pendukung keterangan dari koordinator atau narasumber, dan jumlahnya bisa lebih dari satu. Adapun Kang Adew mengacu pada hanya satu buku yaitu Basa Bandung Halimunan. Buku ini merupakan kumpulan tulisan H. Us Tiarsa R. mengenai keadaan Bandung sebagaimana diamatinya pada tahun ’50-’60-an. Tulisan-tulisan tersebut pendek saja, sekitar dua-tiga halaman, dan sebelumnya dimuat di sebuah media berbahasa sunda. Adapun “basa Bandung halimunan” sendiri berarti “sewaktu Bandung berkabut”. Sekarang pun Bandung masih berkabut—oleh polusi.

Kang Adew ini pegiat di Asia-Africa Reading Club (AARC), Museum Konperensi Asia Afrika, yang punya program tadarusan buku tokoh-tokoh Asia-Afrika setiap Rabu, pukul 16.30 – 20.00 WIB. Saya pertama kali mengikuti acara ini sewaktu buku yang ditadaruskan adalah Di Bawah Bendera Revolusi karya bapak proklamator kita, Soekarno. Setelah buku tersebut tamat, tadarusan dilanjutkan dengan buku Nelson Mandela, dan kini, Mochammad Hatta. Saya bukan pengikut setia AARC kendati setiap pulang dari acaranya saya merasa mendapat semacam semangat untuk mulai berpikir besar, berpikir global. Biasanya tadarusan dilakukan di salah satu ruangan di Museum. Mereka melakukan napak tilas juga, sesekali. Nah, konsep itu pula yang hendak diterapkan pada Basa Bandung Halimunan, namun kali ini napak tilas sudah pasti dilakukan karena isi buku tersebut memang menyerupai panduan perjalanan (ke masa lalu) dengan deskripsi tempat dan sebagainya—alih-alih pemikiran sebagaimana dalam tadarusan rutin AARC—dan tentunya semangat yang diusung berbeda yakni semangat untuk lebih mengenal kota yang kami tinggali sekalian belajar bahasa sunda—karena dalam bahasa tersebut buku itu ditulis. Konsep “tadarusan” berarti teks dalam buku itu dibacakan keras-keras oleh seseorang atau bergantian, lalu yang mengerti bahasa sunda akan mengartikan kata-kata tertentu sehingga yang tidak begitu mengerti bahasa tersebut (seperti saya) dapat memahami apa yang diceritakan. Harapannya, pembacaan napak-tilas ini dapat memantik teman-teman yang mengikutinya untuk menuangkan warna-warni kehidupan kota, realitasnya, menjadi sebentuk karya—karya apapun—seperti yang dicontohkan oleh para penyair, sastrawan

Potret iseng sewaktu Ukeba (pojok kiri)
tampil di IFI dalam rangka Record Shop
Festival (atau semacam itu), Sabtu, 19/4/14

Ide ini tadinya hendak mulai dilaksanakan pada 19/4/14, di sekitar Jalan Wastukencana—sebagaimana yang dirujuk dalam tulisan pertama buku tersebut. Namun karena pada waktu itu Kang Adew ternyata ada jadwal manggung di Institut Français Indonesia aka IFI bersama Komunitas Ukulele Bandung alias Ukeba, maka alih-alih melakukan pembacaan sambil jalan-jalan, kami malah menjadi groupies-nya Kang Adew, eh, Ukeba. Namun sebelum penampilan grupnya, Kang Adew menyempatkan diri untuk memberikan pengantar dan, sesudahnya, melakukan pembacaan bersama tulisan yang tadinya hendak dinapaktilasi itu. Ganjil memang rasanya, mengulas bacaan berbahasa sunda di teritorial Prancis....

Dua minggu kemudian pembacaan napak-tilas benar-benar dilaksanakan sebagaimana diinginkan. Mereka mulai dari tulisan berjudul “Setatsion”—Stasiun. Kumpul pada pukul 13, blusukan, sampai kira-kira pukul 16. Mereka sempat mampir ke UNISBA untuk mencari jejak kuburan Belanda alias kerkop—sundana mah. Sayang pada waktu itu saya tidak bisa ikut.

Dua minggu berikutnya, Sabtu, 18/5/14, akhirnya kesempatan itu datang pada saya. Kami berkumpul di Stasiun Bandung sebelah utara pada pukul 13 Waktu Indonesia Karet. Tulisan yang hendak dinapaktilasi berjudul “Numpak Kapal”, bisa diartikan menjadi “Menaiki Pesawat” karena “Kapal” yang dimaksud adalah “kapal terbang”—sebab keberadaan “kapal laut” di daerah yang tidak punya pantai seperti Bandung itu tidak lazim. Kami pun mencari tempat-tempat yang dirujuk dalam tulisan tersebut, di antaranya Jalan H. Iskat dan susukan Ciguriang.

Kami menduga Jalan H. Iskat terletak di seberang stasiun, namun karena ada banyak jalan di sana dan kami tidak pasti yang mana, kami asal saja memasuki salah satunya, lalu menanyakan pada orang yang lewat di mana lokasi itu persisnya. Seorang ibu-ibu berbaik hati menuntun kami menemukan jalan tersebut, sekalian beliau sendiri menuju rumahnya yang terletak di jalan lain. Kang Adew mengaku kami mencari jalan tersebut untuk menemui saudaranya.

Jalan H. Iskat kini telah menjadi pemukiman. Ada satu hotel yang terselip di antara rumah-rumah. Kami duduk di depan pagar salah satu rumah yang tampak asri. Pembacaan pun dimulai. Sembari mengartikan teks tersebut, Kang Adew menambahkan situasi yang melatarinya.

Pada tahun 1946, masa agresi pertama Belanda, warga Bandung memilih untuk membakar kotanya, tidak seperti warga Surabaya yang melawan agar tidak dijajah kembali. Pemuda Bandung pun dikatai pemuda peuyeum oleh pemuda Surabaya. Peuyeum kan lembek. Bagaimanapun,  strategi itu dipilih karena warga Bandung kekurangan senjata. Nah, kawasan stasiun alias Kebonkawung itu termasuk yang dibakar. Pada tahun 1949, penulis Basa Bandung Halimunan menengok kawasan tersebut dan mendapati bahwa Jalan H. Iskat yang dulunya bernama Gang Litsonlan itu masih berupa kebun yang luas. Bangkai kapal (ingat, yang terbang) dan mobil patihsolengkrah—berserakan, tertutup oleh alimusa, lameta, eurih—semak belukar. Pada permukaan tubuh kendaraan tersebut terdapat lubang-lubang bekas peluru. Agaknya kapal merupakan sisa perang, namun mobil yang ditemukan umumnya mobil sedan seperti Fiat, Buick, dan sebagainya. Anak-anak setempat menjadikannya mainan. Mereka mengaku-ngaku kendaraan-kendaraan itu seolah milik mereka. Yang mobil diakui sebagai milik perorangan, sedangkan yang kapal dipakai ramai-ramai. Ada yang berpura-pura menjadi pilot. Ada yang berpura-pura menjatuhkan bom. Ada yang berpura-pura menembakkan senjata. Bermain serdadu-serdaduan. Masing-masing menirukan bunyi entahkah pesawat, bom, atau senjata, sampai tutup telinga segala seolah kebisingan itu sungguh-sungguh terjadi. Boleh jadi imajinasi mereka memang tinggi. Bisa pula karena mereka mengalami sendiri bagaimana huru-hara perang. Kadang mereka bertemu sinyo yang bisa berbahasa sunda dan mengajak bermain, namun mereka malah malu-malu. Lagipula orangtua mereka menakut-nakuti kalau Belanda itu jahat, suka membunuh, dan sebagainya. Serakan bangkai tersebut kini jelaslah sudah dibersihkan, entah dibawa ke mana…

Jalan H. Iskat sekarang, tampak dari sebelah utara.
Dulunya kebun penuh bangkai kendaraan.

Kalapa cina, salah satu tumbuhan yang
menaungi balong
Nah, masih dalam kawasan tersebut terdapat susukan Ciguriang. Kang Adew menanyakan tempat tersebut kepada warga setempat yang lewat, mengaku sedang mengadakan penelitian. Dalam buku disebutkan bahwa dahulu para warga sok ngajengjehe alias jongkok sorrow di sekitar situ, tahulah sedang apa… Atap bangunan yang diduga berada dalam kompleks GOR Pajajaran sudah terlihat. Kami memasuki jalan kecil beberapa jauh di belakangnya, dan menemukan tempat yang secara menakjubkan kok masih ada di tengah perkotaan macam Bandung ini: balong!—yang diteduhi oleh pepohonan rindang di sekelilingnya, dan di seberangnya terdapat tanah kosong. Menurut buku, tempat semacam itu dihuni banyak ular. Jadi, hati-hati kalau bermain di sana!

Omong-omong soal ngajengjehe, kata ini hanya satu dari berbagai varian “jongkok” dalam bahasa sunda. Istilah lain yang dikenalkan dalam obrolan adalah cineten dan cingogo, dan mungkin ada lagi. Sayang, masing-masing tidak diperagakan dengan jelas. Selama ini saya hanya tahu cingogo, dan posisi jongkok—bagaimanapun variasinya—biasanya diasosiasikan dengan buang air. Selain “jongkok”, terdapat pula variasi untuk “jatuh”, seperti tikusruk, tisoledad, dan sebagainya, yang dalam bahasa Indonesia pun variasinya sebenarnya cukup banyak: “terjungkal”, “terjengkang”, “tersungkur”, “terjerembap”, dan lain-lain. Sungguhpun begitu agaknya bahasa daerah masih jauh lebih kaya, seperti dalam bahasa sunda. Variasi lain dalam bahasa sunda yang saya ketahui adalah untuk kata “liur”, bisa disebut dahdir, jigong, acay, hokcay. Saya pernah punya teman mengumpulkan kata-kata “jorok” dalam bahasa sunda, sebagaimana yang saya sudah sebut tadi, ditambah dengan kata-kata lain seperti leho (ingus), cileuh (belek), dan saya lupa apa lagi, dan mendengar kata-kata tersebut diucapkan saja sudah membuatnya tertawa-tawa seperti kuntilanak karena terasa lucu di telinganya.

Balong yang diduga sisa susukan Ciguriang

Mencegat warga setempat untuk mendapatkan keterangan

Ayam-ayam mengaso di sofa rongsok

Memeragakan posisi ngajengheng

Anyway, pembacaan dilanjutkan di tribune GOR Pajajaran. Kebetulan tulisan berikutnya, yang berjudul “Mandor Atma”, secara khusus bercerita mengenai tempat tersebut. Entahkah para pengunjung lainnya yang membersamai kami pada hari yang mulai redup itu tahu kalau mereka tengah menduduki bekas kerkop alias pekuburan… Biarpun begitu, pada masa lalu kerkop telah menjadi ruang publik tempat warga menghabiskan waktu senggang. Anak-anak bermain, mengambili pecahan marmer untuk dijadikan kelereng atau apa. Ada yang piknik. Ada yang pacaran, mungkin seperti dalam lagu lawas yang dinyanyikan oleh Rien Djamain, “Menanti di Bawah Pohon Kemboja”. Ada juga yang membaca, mungkin patut dicoba oleh pencinta buku. Pada tahun ’60-an, pekuburan itu dijadikan GOR. Sebagian penghuni dibawa pulang kampung oleh keturunannya, sebagian lagi dipindahkan ke Makam Pandu. Adapun Mandor Atma adalah nama kuncen penghuni bedeng di pekuburan tersebut. Pekerjaannya mengusiri orang-orang jahil.

Salah satu sisi GOR Pajajaran. Dulunya pekuburan.
Gedung di seberang adalah gedung KONI Jabar.

Kini kami termasuk orang-orang yang menghabiskan waktu senggang di pekuburan, walau bentuknya sudah berupa GOR. Mereka yang memiliki banyak waktu senggang terkesan menganggur, dan sedihnya itu menjadi stigma. Padahal, Kang Adew bilang, ide-ide besar ada kalanya lahir dari sekumpulan orang yang gemar duduk santai di warung kopi alih-alih dalam situasi formal. Nangkring produktif, istilahnya mungkin begitu. Salah satu upayanya adalah dengan melakukan pembacaan napak-tilas ini, mudah-mudahan. Nah, siapa mau ikut dalam kesempatan selanjutnya? Cung!

Senin, 19 Mei 2014

Katarsis dalam Sebungkus Seblak Pedas

Keluar dari parkiran ITB, aku melihat sepasang pria dan wanita bergandengan tangan. Lalu entah kenapa aku merasa perlu untuk membeli sebungkus seblak pedas di Toko Istek Salman. Sebetulnya aku sudah mengidamkannya sejak Kamis lalu, namun aku menahannya dan kali ini perasaan itu muncul lagi dengan kuatnya. Jika suatu saat aku punya pabrik seblak, akan kunamai merek dagangnya dengan: SeblaKatarsis. Pada kawan yang kutemui kemudian kuungkapkan bagaimana aku menemukan katarsis dalam sebungkus seblak pedas, bagaimana emosi di dalam diri dapat terbakar oleh panas di mulut dan pada akhirnya tersalurkan dalam suatu bentuk. (Dan dia sepakat! Makanya dia suka makan yang pedas.) Bukan berupa karya sastra sih, maupun bentuk karya seni lainnya. Tapi yang penting keluar kan walau bentuknya cair dan setelahnya kau harus minum Diapet untuk memadatkannya kembali.


Karena seblak itu baik digunakan hanya sampai sebelum September 2014, maka kuajak kawanku itu untuk sama-sama bersegera menghabiskannya. Bisi keburu September 2014!

Minggu, 18 Mei 2014

Apapun yang Kau Lakukan, yang Penting di Baliknya Ada Keyakinan yang Kau Perjuangkan

Jumat, 16/5/14, aku diajak ke Kebun Seni, tepatnya Warung Narasi, yang letaknya di pelataran parkir Kebun Binatang, Bandung. Di daerah berbahasa sunda, penjaja tahu keliling menyebut dagangannya “tarahuuu…”, kalau nasi berarti “narasiii…” Tapi Warung Narasi tidak menyajikan nasi, melainkan “ide”.

Ruangannya kira-kira seluas kamar tidur. Dindingnya dicat pink. Karpet tebal mengalasi. Meja besar berdiri di tengah. Permukaan kayu meja senada dengan rak buku yang lebar dan tinggi menutupi salah satu sisi dinding. Pada sisi lainnya melekat whiteboard yang lebar, yang juga berfungsi sebagai layar untuk memantulkan sinar dari proyektor. Lebar di sini berarti panjangnya mulai dari ujung satu ke ujung lain dinding. Pada sisi lainnya lagi terdapat akuarium yang dihuni oleh banyak siput kecil. Di atasnya terdapat bingkai-bingkai berisi potongan artikel dan kover buku. Dispenser di pojok ruangan.

Aku bertanya pada kawan-kawan jalanku mengenai Warung Narasi namun rupanya mereka pun tidak banyak mengetahui selain bahwa komunitas tersebut diasuh oleh Acep Iwan Saidi—selanjutnya akan kusebut Pak Acep—dan mengadakan pelatihan menulis dengan kuota terbatas. Pada kesempatan tersebut mereka bermaksud memulai diskusi dwimingguan.

Acara yang katanya dimulai pada pukul 15 itu hampir dibatalkan, ketika kami datang. Lalu datang beberapa anak muda lainnya. Kiranya sekitar pukul 16.30 diskusi pun dilangsungkan. Sebetulnya lebih tepat disebut kuliah sih. Pak Acep yang dosen itu mengenali salah satu kawan jalanku sebagai mahasiswinya di Jatinangor.

Topik yang disampaikan adalah Ideologi Puisi. Namun agaknya “puisi” di sini bisa digeneralisasi menjadi karya seni apapun, karena sesungguhnya aku tidak berminat dengan perpuisian, lagipun Pak Acep kadang tidak hanya menyebut “penyair” dan Chairil Anwar, tapi juga “seniman”, “pengarang”, Pramoedya Ananta Toer…

Mengikuti kuliah yang mengacak-acak isi kepala ini, aku menyadari kalau pikiranku itu praktis. Sembari mendengarkan aku mencari-cari apa yang bisa kuterapkan. Sedangkan beliau bicara soal “ide”—istilah-istilah yang bagiku abstrak seperti “ideologi”—sesuatu yang diidealkan, “kesadaran palsu”, keyakinan yang bertentangan dengan logika, “hegemoni”—“hegemoni aparatus”, “eksplorasi bentuk”, dan sebagainya. Memang ada sedikit yang agak bisa kumengerti, dan kucatat dengan kata-kataku sendiri.

Ketika seseorang melihat dirinya, dia melihat dunia, dan ketika dia melihat dunia, dia melihat dirinya. Dengan mendefinisikan dirinya, dia membedakan dirinya dari sekitarnya.

Ada perkataan beliau yang sesuai dengan pikiranku belakangan ini, yang sebetulnya sudah pernah kudapati bertahun-tahun lalu dalam buku Harmonium Budi Darma.

Seseorang tidak sekadar menulis, membaca, atau bekerja, melainkan dia memiliki keyakinan tertentu sehingga dia menulis, membaca, atau bekerja. Para pengarang besar memiliki kegelisahan yang terus-menerus digelutinya.

Yang menjadi perenunganku belakangan ini adalah bahwa agaknya aku tidak memiliki “keyakinan” sebagaimana dimaksud, sehingga aku ragu untuk meneruskan mimpi menjadi pengarang, atau menjadi apapun selain pengarang. Menulis yang menulis, bukan menulis yang asal-asalan seperti dalam catatan harian dan blog ini. Barangkali aku sudah lupa kenapa pada satu waktu aku merasa jalanku adalah menjadi pengarang, atau apapun selain pengarang. Tapi pada waktu itu memang ada yang ingin kusampaikan. Protesku sebagai remaja yang baru mengenal individualisme. Paham yang menganggap bahwa kebutuhan setiap anak tidak bisa disamaratakan. Maka lahirlah draf-draf yang butut itu. Tapi kemudian aku menyadari agaknya individualisme baru bisa diterapkan dalam lingkungan yang mapan, adapun lingkunganku masih gelagapan. Dan makin kemari aku makin merasa dituntut untuk conform. Segala yang kupahami itu salah. Kosongkan diri. Keyakinan itu pergi. Tidak ada yang pasti.

Poin penting yang kutangkap adalah bahwa seseorang harus memiliki keyakinan untuk diperjuangkan, serta bagaimana ia memindahkan luka realitas menjadi luka dirinya dan bagaimana agar kegelisahannya menjadi kegelisahan realitas. Bagaimana menghubungkan antara ideologi dalam benaknya dengan realitas di sekitarnya. Kenyataannya, para seniman berjarak dari realitas sosialnya. Tapi “realitas” yang dimaksud di sini apa? Kukira seorang seniman pun hidup dalam realitasnya sendiri, realitas yang menyebabkan dirinya mesti berkompromi. Mesti membuat sajak atau cerpen yang K*MP*S-oriented kalau ingin diakui sebagai pengarang berkualitas, misal. Dan, memangnya kenapa kalau berkompromi?

Selama berhadapan dengan Pak Acep, aku merasa samar dengan apa yang disampaikan. Tapi sesudahnya, dalam perjalanan menuju masjid Salman untuk menumpang salat bersama kengkawan, meletup banyak pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang kalaupun aku berkesempatan untuk bertemu dengan beliau lagi barangkali aku tetap segan mengajukannya. Pertanyaan-pertanyaan yang kupikir sebaiknya kupendam sendiri; sebagai pupuk untuk menumbuhkan kembali keyakinan akan sesuatu yang aku belum tahu...

Keyakinan yang mungkin akan menyebabkan pertentangan terus-menerus dengan orang-orang lainnya.



NB. Salah satu kawan jalan saya agaknya lebih mengerti, silakan baca laporannya di sini.

Sabtu, 17 Mei 2014

Paris Ternyata...

            …
Dan gadis itu tak pernah mengerti daya tarik apa yang menyebabkan orang-orang di dunia toh ingin ke Paris…
            …
Wanita tua pemilik penginapan tampak sedang menggaruki pantatnya seraya meludah ke got di samping. Dua ekor tikus hitam besar berlarian berebutan gumpalan dahak yang mengambang di permukaan air parit.
Keesokan harinya Marc berhasil meyakinkan si “gadis Asia” untuk berdampingan menyusuri sungai Seine yang cokelat dan jorok.
         

Cerpen Leila S. Chudori, “Paris, Juni 1988” (MATRA, Mei 1989)—yang cuplikannya kutaruh di atas itu—menguatkanku untuk segera membaca Paris: Sejarah yang Tersembunyi. Pertama kali dicetak pada Februari 2014 oleh PT Pustaka Alvabet, Jakarta, pertama kali aku melihat buku itu terpajang di salah satu stan dalam pameran buku di Landmark, Bandung, akhir Februari-awal Maret lalu. Penulisnya, Andrew Hussey, muncul di serial Filthy Cities episode 2 yang belum lama ini ditayangkan di BBC Knowledge. Ia mendampingi host serial tersebut, (masganteng) Dan Snow, menyusuri Sungai Seine, dan menceritakan betapa buruknya hawa di sepanjang aliran. Segala limbah dibuang ke sana, termasuk bangkai manusia. Semakin kita berjalan, semakin kita merasakan perubahan pada tubuh kita akibat udara yang beracun. Di dalam bukunya, ia menceritakan jauh lebih banyak mengenai kejorokan yang menyelimuti kota tersebut selama berabad-abad. Orang membuang feses lewat jendela ke jalanan sehingga pepatah “sedia payung sebelum kejatuhan tahi” sangat penting untuk dicamkan pada masa itu. Bahan makanan sulit diperoleh. Produsen roti digantung karena menimbun tepung. Mayat-mayat bergelimpangan dan menjadi sumber pangan alternatif kala wabah kelaparan melanda.

Sejarah yang diceritakan dalam buku ini dimulai dari zaman bangsa Galia, yaitu pemukim asli yang menentang pendudukan Roma dan pemimpinnya, Julius Caesar. Referensiku mengenai ini hanya film Asterix-Obelix (benar enggak ya penulisannya?) live action yang diputar di TV—itupun ada bagian yang disensor. Lalu orang-orang Frank datang. (Kukira orang Frank ini identik dengan orang Franka yang acap disebut dalam buku-buku mengenai Perang Salib.) Terjadi perkawinan antarras.

Singkat cerita: Muncul monarki yang amat berjarak dengan rakyat jelata. Segala barang dan segala usaha masyarakat diberi pajak yang besar. Lalu dengan uang pajak tersebut para penguasa yang tidak tahu malu dan tanpa tenggang-rasa itu bersenang-senang.

Singkat cerita: Abad pertengahan berlalu dan muncul sastrawan bernama Victor Hugo. Maka aku menyela pembacaan dengan menonton film yang diangkat dari karyanya, Les Miserables, yang pemutarannya tersendat-sendat karena kapasitasnya terlalu besar untuk laptopku. Kukira dalam film tersebut aku akan menemukan gambaran yang jauh lebih hidup akan betapa kumuhnya Prancis pada masa itu, ketimbang yang disajikan dalam buku—yang hanya lewat kata-kata dan selebihnya kita harus menghidupkannya sendiri dengan imajinasi yang kadang pas-pasan. Aku kurang sreg dengan bagaimana hampir seluruh dialog dalam film itu disampaikan dengan bernyanyi. Agak mirip Sweeney Todd, kukira; ada Helena Bonham Carter dan Sacha Baron yang memainkan peran sinting—seperti biasa, anak perempuan yang hilang, pemuda yang diam-diam mencari perhatian, dan anak kecil yang tahu segalanya. Karakterisasi dalam cerita ini kubagi menjadi: tokoh protagonis dan para pendukungnya yang secara umum baik, kusebut tokoh putih; tokoh abu-abu, yaitu tokoh yang membuat pemirsa bertanya-tanya sepanjang cerita apakah dia akan mendukung protagonis atau sebaliknya, dalam film ini ialah Javert yang motifnya sebetulnya sekadar melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya dan sebetulnya, lagi, antagonis ya; dan tokoh hitam, yaitu tokoh yang sedari awal hingga akhir usil melulu seperti pasangan suami-istri yang diperankan oleh Sacha Baron dan Helena Bonham Carter itu. Sebelumnya aku mengarang karakterisasi ini ketika pembacaan novel The Columbus Affair dan menyangka ini telah menjadi semacam aturan dalam menulis karya fiksi yang lazim. Tapi harusnya ini tulisan tentang Paris, buku Andrew Hussey, dan hal-hal terkait itu, bukan? #salahfokus

Topik lainnya dalam buku ini yang cukup menarik bagiku adalah mengenai perkembangan kesusasteraan, terutama sejak abad ke-18. Aku tahu sangat sedikit tentang para penulis Prancis: Honore Balzac (penulis yang jam kerjanya sangat intens); Marcel Proust (penulis yang melapisi ruang kerjanya dengan gabus); Albert Camus (pencetus aliran absurdisme yang pernah dibahas di Kamisan FLP Bandung), dan; Colette (kuketahui dari artikel di internet tentang para penulis wanita eksentrik). Aku jadi agak tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang kesusasteraan Prancis, termasuk karya yang aman untuk dikonsumsi anak-anak seperti kisah tentang Pangeran Kecil. Cerita yang sangat indah, menurutku, yang tidak biasanya menyukai cerita sebagai sekadar sebuah cerita. Melankolia dalam cerita itu sangat-sangat-sangat menyentuhku… untuk ikut-ikutan melankolis.

Lainnya ada tentang orang-orang Amerika yang hijrah ke Paris hingga dapat dianggap membentuk koloni sendiri. Di antara mereka adalah penulis dan pemain jaz. Jaz sangat disukai di Paris. Dalam buku ini ada beberapa kali disebutkan nama penulis yang pindah ke Paris untuk, katakanlah, mencari ilham, dan tidak mesti orang Amerika. Paris telah menjadi pusat kebudayaan dan lahirnya beragam aliran seni. Perkembangannya sangat meriah. Bahkan ketika Jerman memasuki kota tersebut dalam rangka Perang Dunia, kegiatan kebudayaan tetap berjalan.

Setelahnya ada revolusi. Warga Paris tampaknya senang dengan revolusi—mengingat apa yang terjadi dengan monarki pada penghujung Abad Pertengahan. Lahir generasi muda yang tidak suka bekerja dan tidak berminat dengan uang, paternalistik. Mereka tampak kurang mandiri dibandingkan anak-anak muda dari kota-kota besar lain di dunia seperti London dan New York. Nah, ketika cerita tentang Paris sudah memasuki masa yang relatif kontemporer, dalam kepalaku mengiang-ngiang film The Dreamers. Film ini memang disebut, akhirnya!, sebagai gambaran mengenai generasi muda dari kalangan menengah borjuis dalam menghadapi revolusi dan kebebasan seksual. Interaksi antara mahasiswa AS dan sepasang kembar cewek-cowok, dan bagaimana mereka mengamati satu sama lain dengan pandangan yang agaknya mencerminkan karakteristik negara masing-masing. Saranku sih, tidak perlu mencari apalagi menonton film itu kalau tidak berkenan dengan adegan telanjang. (Tapi dia ganteng, salah satu di antara si kembar itu, yang cowok.)

Buku ini enak dibaca, mungkin karena hasil terjemahannya memang apik. Memang butuh waktu yang relatif lama untuk dapat menamatkan lima ratusan halaman, tapi hampir-hampir tak terasa. Selain itu tiap bagian dibagi menjadi bab-bab yang dibagi lagi ke dalam subbab-subbab yang relatif pendek, sehingga pembacaan tidak begitu melelahkan karena ada cukup banyak jeda untuk beristirahat sejenak. Namun agaknya tetap dibutuhkan referensi mengenai per-Prancis-an sebelum pembacaan. Entah sejarahnya, budayanya. Setidaknya mengetahui bagaimana cara mengucapkan kata-kata dalam bahasa tersebut, yang banyak sekali bertebaran dalam buku ini. Walau gambarannya akan keadaan kota dari masa ke masa cukup hidup, namun peristiwa-peristiwa tersebut disampaikan sepintas-sepintas saja. Untuk mengetahui lebih banyak tentang Marie Antoinette atau Louis Philippe misalnya, kita perlu mencari referensi lain. Maka setidaknya cukuplah buku ini sebagai pengenalan terhadap sejarah sebuah tempat, Paris sebagai kota—pada khususnya, dan Prancis sebagai negara—pada umumnya.

Membaca Paris: Sejarah yang Tersembunyi agaknya seperti membaca Semerbak Bunga di Bandung Raya—sama-sama sejarah sebuah kota. Hanya sayangnya aku tidak bisa menapaktilasi dan membandingkan keduanya secara langsung. Yang satu baru bisa kususuri lewat bacaan. Memang di dalam bukunya Andrew Hussey juga memberikan panduan singkat bagi yang ingin menelusuri Paris. Yang menarik adalah karena kedua kota ini memiliki kaitan—setidaknya dalam ranah lokal. Bandung acap disebut-sebut sebagai Paris van Java sejak masa kolonial. Kini julukan tersebut terasa makin bikin miris. Agaknya pemirip-miripan tersebut bukan semata dalam hal keindahannya, entahkah sebagai pusat mode, berseminya bunga-bunga (dalam arti harfiah), dan gadis-gadis cantik berkeliaran, tapi juga dalam hal kejorokannya. Setidaknya selama menjadi warga kota ini aku telah terbiasa dengan sampah yang bertebaran di mana-mana… di mana lagi ada kejadian satu kampung tewas karena tertimpa oleh gunung sampah? Mungkin juga dalam hal prostitusi. Kehidupan seks di Paris sebagaimana diceritakan oleh Andrew Hussey dalam bukunya ini barangkali persis dengan apa yang digambarkan oleh Moamar Emka dalam Jakarta Undercover—walau tidak sespesifik yang satunya. Bandung juga dikenal sebagai pusat prostitusi pada masa kolonial. Noni-noni indo hasil hubungan gelap tuan tanah dengan wanita pribumi nyaba ke kota untuk menjajakan kenikmatan badani. Pernah dengar dari omong-omong di Komunitas Aleut, rumah sakit kelamin pertama di Asia—atau Asia Tenggara?—didirikan di Bandung. Maka kita tidak sepatutnya bangga ketika kota kita disama-samakan dengan kota dari negeri lain. Selain karena sikap tersebut mengesankan adanya inferioritas—seperti pengarang yang kurang percaya diri kalau di sampul bukunya tidak tertera endorsement yang membandingkan karyanya itu dengan buku lain yang terkenal dan best seller—atau malah krisis identitas, ternyata Paris tidak seindah itu kok. 

Jumat, 16 Mei 2014

Catatan Kamisan FLP Bandung, 15/5/14

Materi kali ini adalah penjelasan mengenai kritik sastra. Pematerinya sama dengan dua minggu lalu, yaitu Kang Opik. Beliau bisa dibilang dedengkotnya FLP Bandung, paling sering diminta berbicara dalam forum, dan karena beliau juga dosen maka aku serasa mendapat kuliah gratis. Selanjutnya aku akan menyebutnya Kang O saja.

Kang O bilang kritik sastra itu hal yang tidak ada manfaatnya secara ekonomi. Zaman sekarang produk-produk yang dihasilkan semakin bersifat instan, termasuk produk kebudayaan macam karya fiksi. Orang dapat langsung menikmati suatu karya tanpa harus melengkapinya dengan pembacaan kritik. Itulah dampak kapitalisme. Apa-apa dituntut untuk serba cepat, serba ringkas, serba instan… Sepertinya aku perlu menelusuri lebih lanjut mengenai kapitalisme ini. Sedari SMA aku membaca tulisan yang menuding-nuding kapitalisme dan menganggapnya momok, tanpa benar-benar memahaminya. Dan kapitalisme mestinya berhubungan dengan karya seseorang bernama Karl Marx, Das Kapital, karena sama-sama mengandung kata “kapital”. Tapi itu kejauhan. Bukannya tadi aku sedang mencatat apa yang kudapat dari Kamisan minggu ini?

Padahal, lanjut Kang O, produk kebudayaan seperti karya sastra yang berkualitas merupakan nutrisi bagi jiwa. Kerumitan dalam karya sastra apabila digali dapatlah memberikan hal-hal yang bernilai. Karya sastra menyodorkan contoh permasalahan yang mungkin saja kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Adapun peranan kritik sastra adalah: bagi penulis, dapat memberitahu cara menulis karya yang berkualitas, sedangkan; bagi pembaca, dapat membantu menggali nilai-nilai yang ada di dalam suatu karya.

Adalah Aristoteles yang mula-mula mencetuskan kritik terhadap karya seni. Ia juga yang merumuskan alur dalam karya sastra atau bisa disebut juga “struktur dramatik”, yang secara berurutan terdiri dari: perkenalan, konflik, klimaks, resolusi, konklusi… semacam itulah. Kalau boleh kubilang: Pengembangan emosi (dalam cerita) yang menyerupai pegunungan. Aristoteles juga mengkritik Plato yang mengemukakan bahwa karya seni itu hanyalah tiruan dari kenyataan yang adalah tiruan dari ide, oleh karena itu tukang lebih mulia daripada penyair. Bagaimanapun juga, Plato hidup dalam dunia ide tapi itu soal lain.

Kritik sastra secara umum bisa digolongkan menjadi empat: mimetik, karya sebagai tiruan kenyataan; ekspresif, karya dikaitkan dengan kehidupan pengarangnya; objektif, karya dilihat berdasarkan unsur instrinsiknya belaka, dan; pragmatik, bagaimana respons pembaca terhadap karya. Sebetulnya jenis-jenis kritik ini bisa dikembangkan lagi sehingga kita kenal adanya istilah “sosiologi sastra”, “psikologi sastra”, “kritik feminis”, dan sebagainya. Salah satu buku yang berisi penjelasan mengenai jenis-jenis kritik ini adalah karangan Rachmat Djoko Pradopo, seorang dosen UGM. Aku pernah mencatatnya di Word tapi terhapus baru-baru ini bersama seluruh tulisanku sejak SMA. (Tidak usah berbelasungkawa. Terima kasih.)

Ada satu pendapat yang mengatakan bahwa karya yang layak dikritik hanyalah karya adiluhung. Karya adiluhung terus dikritik, terus dibaca. Setiap pembacaan menghasilkan interpretasi baru. Sebutlah karya para pengarang Rusia seperti Dostoyevsky, Tolstoy, dan sebagainya. Dari negeri kita: Chairil Anwar, Siti Nurbaya, dan seterusnya. Karena kupikir karya adiluhung umumnya dibuat pada zaman baheula, (wajar apabila selalu dibaca karena sudah dipakemkan dalam pelajaran bahasa Indonesia,) maka kutanyakan nasib karya kontemporer. Kata Kang O, itu hanya satu pendapat. Yang jelas, ciri khas karya adiluhung adalah bersifat transindividual, maksudnya, ketika membacanya, kita merasa karya tersebut mewakili diri setiap manusia, atau mungkin bisa dibilang juga: universal.

Bagaimanapun juga, kita membutuhkan kengerian—tragedi—sebagaimana disampaikan dalam karya sastra, atau istilahnya, katarsis, untuk menyalurkan insting kebinatangan kita. Jangan-jangan pelaku kriminal adalah orang yang tidak mengapresiasi produk budaya yang berkualitas sehingga insting kebinatangannya tidak tersalurkan. Begitu menurut Kang O.

Kini nilai karya sastra tidaklah ditentukan oleh kritikus melainkan oleh pasar—pembaca awam. Jadinya bagi penerbit mempublikasikan karya sastra itu seperti CSR saja. Adapun keuntungan diperoleh dari penjualan buku jenis-jenis lainnya. Kualitas karya yang tidak banyak dibaca—diterbitkan sendiri malahan—boleh jadi lebih bagus ketimbang yang diterbitkan besar-besaran dan dibaca banyak orang. Dalam situasi yang menjadikan kualitas karya sastra kabur ini, apa yang sebaiknya kita—sebagai individu dan komunitas—lakukan? tanyaku. Terpikir dalam benakku kalau kita perlu mengenalkan karya-karya sastra yang berkualitas pada pembaca awam. Tapi, heh, aku sendiri pembaca awam. Seperti apa karya sastra yang berkualitas masih menjadi pertanyaan buatku. Maka kata Kang O, yang penting adalah komitmen. Terus belajar, lalu membaginya kepada orang lain entahkah melalui diskusi atau kampanye atau apapunlah. Pada dasarnya, kita sendirilah yang membutuhkan bacaan yang berkualitas untuk menjadikan diri kita manusia yang lebih baik.

Saat jeda forum aku membahas beberapa hal dengan kawan di sebelahku, termasuk soal manfaat dari “bacaan yang berkualitas” itu. Tidak praktis, memang, tidak langsung, aku teringat komentar senada dari salah seorang pengarang AS yang diwawancarai untuk buku Novel Voices. Dia bilang kalau saja para politikus membaca karyanya, dia mungkin akan langsung diangkat ke surga begitu meninggal. Teringat juga pada teenlit-teenlit dan buku-buku yang mengecam pendidikan milik Mama (yang padahal guru), yang kubaca semasa SMA, mungkin merekalah yang secara tidak langsung meracuni pikiranku hingga aku membawa diriku pada keadaan ini. Komitmen, kata Kang O. Aku lebih merasa diriku seperti Pangeran Kecil yang merawat setangkai mawar hingga merasakan keterikatan, sulit untuk melepaskan diri dari bunga tersebut, biarpun si mawar begitu angkuhnya.

Hal lain yang terungkit adalah: Jika mengonsumsi produk kebudayaan yang berkualitas itu penting, kenapa forum yang membicarakan tentangnya seperti forum kami ini seringkali sepi dan didatangi oleh orang yang itu-itu saja?

Minggu, 11 Mei 2014

Jadi Lelaki

Semalam Ipong kembali bermimpi jadi pudel.

Pemiliknya mengikali rambutnya hingga makin bergelora, dan menambahkan pita merah muda mengilap. Ia lalu dibawa ke festival anjing. Tangan-tangan lentik bergantian menjamahi badannya yang tidak lebih besar dari buah semangka. Di akhir acara, ia dinobatkan sebagai anjing tercantik. Sepasang tangan memasangkan tiara di atas kepalanya.

Ipong bangun berkeringat. Mimpinya sungguh lain dari yang ia harapkan. Ia naikkan sedikit tepi celananya, mengintip. “Masih ada…” desahnya lega.

Mimpi itu pasti pertanda buruk, sebab siangnya Ipong lagi-lagi ditunjuk mengisi sopran[1] untuk lomba vocal group mendatang. “Kenapa bukan tenor[2], Buuu?” Ia gentayangi Bu Euis selaku pembimbing ekskul dengan suara diberat-beratkan. Sekarang ia dua SMA sementara usianya jelang tujuhbelas tahun, tapi Bu Euis tetap pada keputusannya untuk membuat Ipong merana sepanjang masa—setidaknya sampai ada hal lain yang mengalihkan perhatian.

Semasa SMP pun, hampir Ipong mangkir dari ekskul teater karena lakon yang dihibahkan padanya selama dua tahunan itu tak pernah berubah: eneng-eneng, nyonya-nyonya, atau nenek-nenek—dan semuanya genit kalau bukan cerewet. Tidak pernah jagoan sangar dari kampung seberang, atau minimal pemuda baik-baik dari keluarga terpandang. Memasuki SMA, trauma akibat perlakuan tersebut masih menyisa hingga Ipong menghindari ekskul teater betapapun ia menyukai dunia pentas.

Apalagi karena penampilannya tidak kunjung menampakkan ciri pubertas. Jakun sungkan menonjol. Rambut-rambut segan bertumbuh. Dan yang paling menyesakkan adalah, tinggi enggan bertambah. Mama bilang ia mungkin kekurangan hormon. Bisa saja Ipong maklum kalau menyadari orang-orang dalam keluarganya mulai dari mama, papa, paman, bibi, uwak, nenek, sampai kakek memang rata-rata berukuran agak kurang dari lumayan. Tapi dengan kemungkinan munculnya gen resesif, ia berharap kelak dapat menjadi anomali dalam keluarga.

Karena Rieka tidak pernah memilih cowok yang tingginya setara tinggi cewek rata-rata. Pacar Rieka selalu berukuran 165 cm ke atas—lama-lama 170 ke atas. Mereka juga punya reputasi entahkah sebagai pentolan geng motor, aktivis OSIS, ketua ekskul, atau minimal penyandang “akang terganteng” maupun “ter” lainnya dalam konotasi positif bersadarkan angket yang melibatkan siswa satu angkatan di sekolah negeri favorit. Maka segala daya dan upaya Ipong kerahkan. Mulai dari basket, renang, sampai kini ia kecanduan susu dan minyak ikan. Tentunya ia jajal juga OSIS dan macam-macam ekskul dan menjadi yang paling vokal di antara yang vokal.

Bagaimanapun berteman dengan Rieka tidaklah sepayah upaya menjadi pacarnya. Apalagi bagi cowok sesupel Ipong. Ia sudah akrab dengan cewek itu semenjak MOS SMP. Tentunya pada waktu itu ia belum sadar kalau dalam pandangan pertama saja ia sudah tidak memenuhi kualifikasi sebagai pacar cewek itu. Hubungan mereka kian intens berkat pertemuan-pertemuan OSIS yang memeras mental dan fisik—juga di vocal group. Ia tidak tahu Rieka senang padanya karena ia bisa berbagi sudut pandang cowok dengan suara cewek—dalam wujud menggemaskan.

Karena itulah akhirnya Ipong tahu kalau kriteria “cowok idaman” cewek yang dipujanya sepanjang masa SMP itu selama ini didasarkan pada siapa. Singkat cerita: Rieka menyukai Deraz pada pandangan pertama sejak pindahnya cowok itu ke SD-nya. Tapi yang mendekati Rieka malah saudara kembar Deraz—yang dalam hal ini senormal cowok kebanyakan. Deraz pun menjauhi Rieka yang menjauhi kembarannya. Rieka patah hati. Begitu lulus SD, Rieka memasuki SMP yang berlainan dengan si kembar. Tapi begitu lulus SMP, ia memilih SMA yang sama dengan Deraz. Adapun SMAN Selonongan diambil Deraz karena merupakan SMA terbaik yang kembarannya sanggup masuki.

Situasinya agak rumit ketika semua kembali satu sekolah kendati Ipong hanya orang ketiga—keempat. Ia bisa memahami kegundahan Rieka akan cinta pertama yang sangat-sangat-sangat berkesan sampai-sampai untuk mendekati pun segan. Dadanya lapang: Walau aku tidak bisa menjadi yang terbaik untukmu, tapi aku tetap ingin melakukan yang terbaik untukmu. (Dan mencari cewek cantik lain dengan kriteria kendor dalam memilih cowok untuk dipacari—seseorang yang tidak akan memanggilnya “im”, “iim”, “imut”, mencubiti pipinya, apalagi menepuk-nepuk kepalanya.)

Tidak sulit berteman dengan Deraz karena mereka satu kelas, kadang satu bangku, lalu bertemu di OSIS, dan berjumpa lagi di komunitas band sekolah. Deraz membuatnya melupakan Rolling Stones dan mulai mendengarkan Omar[3] dan KLCBS[4]. Deraz membuatnya melek merek-merek ternama mulai dari arloji, botol minum, gitar, sampai sepeda. Deraz membuatnya agak tekun saat mengerjakan PR. Deraz membuatnya makin vokal dalam tiap perdebatan di sekre OSIS sekaligus mempertimbangkan kesantunan berbicara pada siapapun. Deraz membuatnya menolak rokok tiap ada yang menawari. Deraz membuatnya ingat untuk kembali berusaha meninggikan badan dan membesarkan otot. Deraz membuatnya lebih tertarik pada berita olahraga di koran ketimbang menonton AV beramai-ramai. Deraz membuatnya mengurangi kegalauan soal cewek. Deraz membuatnya diam-diam bergabung dengan Deraz Fans Club yang mayoritas anggotanya adalah cewek. Deraz membuatnya merasa lelaki sejati! Kadang Ipong lupa kalau ia punya misi. Sekarang ia mengerti kalau Deraz melihat cewek seperti melihat kuman. Jijik? Bukan. Kuman kan enggak kelihatan.

Maka ia sampaikan pada Rieka: “Sayang sekali, Ka. Emang elu enggak ada di dunianya dia. Di dunianya dia emang enggak ada ceweknya. Kecuali kalau kembarannya itu cewek, dan bukan saudara kandung, nah, tipe kayak gitu yang bakal dia jadiin cewek.” Mereka sama tahu bagaimana Deraz selalu merangkul kembarannya yang lain kelas itu acapkali bertemu. Namun Ipong lebih tahu bagaimana Deraz ditodong untuk mengerjakan PR kembarannya pada jam istirahat—dan mau-mau saja. Ipong sama sekali tidak menyangka upayanya untuk membuat cewek itu realistis malah berbuah simalakama.

Sebagai kembaran Deraz, dalam pandangan pertama Dean nyaris memenuhi separuh kriteria Rieka. Jangkung iya—tapi dengan potongan seceking dan selunglai itu puting beliung sudah pasti akan menerbangkannya. Selebihnya: terlalu tirus untuk dibilang tampan dan terlalu pucat untuk disandingkan dengan cewek bening berona sehat. Ia cowok yang menikmati sejuknya naungan pohon trembesi sementara teman-teman sekelasnya melanjutkan sembilan putaran lagi di lapangan panas-berdebu. Ia cowok yang hari ini nimbrung latihan ekskul teater, besoknya tertawa-tawa bareng penghuni sekre Apresiasi Budaya Sunda, dan lusanya main bekel[5] dengan anak-anak berandal di seberang sekolah. Ia cowok yang pada jam istirahat bersilaturahmi ke kelas sebelah untuk menadah bocoran soal ulangan. Ia cowok yang kadang lupa menyimpan uang saku lalu mencari kembarannya untuk berbagi jatah. Ia cowok yang pada satu ketika disaksikan Ipong bergelayut manja di pundak Rieka.

Ipong tahu cewek itu sudah begitu putus asa dengan Deraz. Ipong tahu dengan bersama Dean cewek itu akan berada dalam lingkup pandang Deraz—walaupun fokus Deraz pada kembarannya. Ipong tahu suatu saat Dean akan mengajak pacarnya ke rumah—makan bersama keluarga dan Deraz termasuk di antaranya. Ipong tidak tahu simpatinya ini masihkah perlu ia layangkan pada cewek itu atau ia alihkan saja pada cowoknya cewek itu.

Ipong coba mengingatkan cewek itu dengan berbagai cara. Ia suruh Deraz tanya pada cewek itu saja tiap cowok itu mendekatinya untuk keperluan OSIS. Ia nyanyikan lagu-lagu bertemakan cinta segitiga saat gig harian di kantin sekolah—saat melihat cewek itu berada di sana dengan cowoknya. Ia atur agar posisi Deraz dan cewek itu berdekatan tiap rapat kepanitiaan.

Sampai ia rongrong cewek itu terang-terangan. “Iya, elu emang kembang sekolah. Banyak cowok yang ngeceng elu, elu populer. Tapi bukan berarti elu mesti sama Deraz. Nyadarlah. Enggak perlulah elu sampai nyempil-nyempilin diri di dekat Dean biar dia ngeliat elu.”

Mendeliklah Rieka demi perkataan itu lantas balas menuding. “Elu juga diem-diem suka sama dia kan? Elu selalu bangga-banggain dia, ngomongin dia seolah-olah elu yang paling ngerti dia. Elu enggak pernah cerita soal cewek sama gue! Apaan elu, Pong!?”

Ipong tidak berucap lagi selain “masyaallah” dalam hati lalu pergi. Pada tanggal merah ia mengunci diri di kamar. Merenungi segala cobaan yang dianugerahkan Tuhan padanya sambil menyesap batang berasap—yang ia ambil diam-diam dari kantong celana papanya karena kalau ia beli sendiri di warung si penjual bakal menegur, “Buat papanya ya, Dek?” Tapi bukan tabiatnya untuk merenung sampai lama. Dalam kepalanya mengalun jingle iklan minyak ikan pada masa kecil yang ia gubah liriknya: Bajuku dulu tetap begini. Karna ku takkan tumbuh lagi. Lalu supaya pedihnya makin lipur, ia nyanyikan “Empty” dengan menirukan teknik Dolores O’Riordan—vokalis band The Cranberries itu. Samar-samar dari luar terdengar suara tidak familier… mungkin tamu yang habis menumpang kamar mandi… “Putrinya suaranya bagus, Bu…” disambung suara mamanya… “Oh, itu mah putra...” Ipong menonjok-nonjok kasur.

Ia putar kaset Rolling Stones yang terabaikan sejak pergaulannya bersama Deraz—setel ke volume terkencang. Isap. Embus. Ikut meraung segahar-gaharnya. Isap lagi. Embus lagi. Ikut meraung segahar-gaharnya lagi. Terbatuk-batuk. Tenggorokannya nyeri. Tapi ia tidak peduli. Lagi-lagi isap. Lagi-lagi embus. Lagi-lagi… Ketokan yang mengencang di kaca membuatnya buru-buru mengusap mata. Seraut wajah—jendela dibuka—yang tertegun mendapati silinder terapit. Ipong turunkan jarinya. Tangan yang begitu besar dan kokoh—kalau saja itu tangannya!—menyodorkan kaset Simon and Garfunkel. “Makasih.”

Deraz tidak segera pergi. Ditatapnya Ipong agak lama. Mungkin disangkanya anak itu tengah kalut karena cewek. Namun Ipong tidak bersuara. “Enggak pantas,” kata Deraz seraya tersenyum. Lalu menendang standar sepedanya dan berlalu. Memandangi sosok itu menjauh mula-mula Ipong menginsafi adanya orang yang begitu menyukai kesendirian. Tapi adalah satu dari berpuluh alasan hebat untuk menjadi pria yang mengetatkan rahangnya: Ada kalanya para wanita akan memperebutkan diri Anda, dan Anda cukup menonton saja[6]. “Sialan!” umpatnya. Dendamnya pada cewek seolah tersalurkan lewat keapatisan seseorang—yang menganggap jenis yang berlawanan itu hanya kuman.

Malamnya Ipong demam. Rasa tenggorokan tidak keruan. Merokok tidak tahan. Menyanyi tidak kuat. Adik-adiknya bilang suaranya seperti monster. Beberapa hari ia terbenam saja di kasur. Temperaturnya memang turun, tapi temperamennya masih naik. Besok ia sudah diizinkan kembali ke sekolah. Ia harap besok ia terbangun dalam badan yang berbeda.

Kemuakan pada kemandekan itu lagi-lagi membuatnya tantrum di alam mimpi: “Pingin gede! Pingin gede! Pingin gedeee!” Memang ironis ketika ada orang yang mendambakan badannya tumbuh namun jiwanya sendiri menolak untuk tumbuh. Tidak banyak yang tahu kalau Ipong sesungguhnya sudah punya pacar dari lain sekolah—yang badannya bongsor dan sering memarahinya karena sikapnya itu. Untunglah cewek yang muncul dalam mimpinya bukan cewek yang itu, melainkan sosok yang lebih pantas disebut “wanita”. Wanita yang dengan lembut melantunkan kata-kata penghiburan, merengkuhnya, membelai-belainya, lalu…

Ipong bangun berkeringat. Mimpinya sungguh seperti yang ia harapkan. Ia naikkan tepi celananya, mengecek. Jantungnya seakan terlonjak. Ingin ia bersorak. Ia berlari-lari ke kamar mandi. Ia copot celana dalamnya dengan hati-hati dan menaruhnya di tempat terlindung. Lalu ia lontarkan segayung air ke langit-langit sebelum ke ubun-ubunnya sendiri.

Selanjutnya ia cari sendok untuk mengerok tanda kelelakiannya, plastik kecil bersekat untuk menyimpan, dan kertas dengan lem di baliknya yang ia tulisi: “MA—“ tinta pulpennya meluber, ia berdecak, tapi ia teruskan saja, “PERTAMAKU.”[]



[1] Suara tertinggi pada golongan wanita dan anak laki-laki (dalam seni suara)

[2] Suara tertinggi untuk laki-laki

[3] Penyanyi soul dari UK

[4] Karang Layung Citra Budaya Suara—radio jaz di saluran 100.4 FM Bandung

[5] Kadang disebut juga “beklen”—permainan tradisional menggunakan bola karet dan kerang-kerangan

[6] Dari Hell @Work: Mengelola Kawanan Iblis di Kantor (Eng Whyteck, 2003, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta)

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain