Jumat, 24 Juni 2011

Menyongsong Ramalan Tahun 2012 dengan Potensi Diri

Judul : The Joshua Files: Invisible City--Kota yang Hilang
Pengarang : M. G. Harris
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009

Sudah lewat jauh dari masa SD-SMP, di mana saya cukup doyan baca buku macam begini. ketika Mas Ashif merekomendasikan buku ini dan saya jadi tergugah untuk meminjamnya dari perpustakaan kota (lagi!). Katanya, ini adalah cerita fantasi yang ada blognya (?).

Novel ini bukan sekadar cerita fantasi yang ada blognya, bagaimanapun juga. Ketimbang fantasi, saya lebih menganggapnya sebagai cerita petualangan ala Spy Kids atau FTV-FTV Disney. Tapi ternyata tidak juga...

Bermula dari berita meninggalnya sang ayah, Josh Garcia mulai menyelidiki misteri di balik peristiwa tersebut. Dia melacak email-email sang ayah, mendapat mimpi aneh, melakukan penelusuran di perpustakaan, mengalami perampokan, dan lain-lainnya... Namun berkat melaporkan pemikiran dan hasil penyelidikannya itu di bloglah sebuah petualangan seru akhirnya melanda. Wow. Makanya ngeblog! Coba kalau dia hanya menuliskannya di atas kertas dan menyimpannya untuk dirinya sendiri, dia mungkin enggak bakal ketemu sama orang-orang yang bakal membantunya kelak. Meski akibat dari publikasi melalui blog itu pulalah, dirinya jadi incaran.

Bersama teman capoeiranya, Tyler, dan seorang cewek kece yang baru dikenal, Ollie, ia pergi ke Meksiko--lokasi di mana ayahnya ditemukan tewas. Sampai bertemu dengan Camilla, saya masih merasa ini sebuah cerita petualangan biasa. Sampai adegan menyentuh antara kakak-adik-ketemu-gede, ketertarikan saya kian terpancing. Sampai sang kakak malah tewas juga padahal mereka belum banyak menciptakan momen bersama, wow, sepertinya ini enggak main-main.

Hati-hati, spoiler.

Pengarang--yang ternyata seorang perempuan--terus menggiring Josh ke dalam situasi-situasi berbahaya yang bikin saya berpikir, "Aduh... Setelah ini apa?" Jika saya yang berada dalam situasi demikian, mungkin saya akan lekas mencari penyelesaian yang paling aman meski sepertinya kepanikan besar bakal lebih menelan saya. Josh juga mengalami kepanikan, namun dia terus jalan. Dan secara tidak dinyana, ada saja yang akhirnya menyelamatkannya--dan membawanya ke situasi yang lebih rawan lagi!

Bayangkanlah rimba kala gulita di mana berbagai jenis satwa liar mematikan mungkin sedang mengintipmu di balik pepohonan. Bajumu basah kuyup, kotor, dan jiwamu masih shock akibat peristiwa sebelumnya yang memacu adrenalin. Belum beban mental karena kamu belum lama ditinggal orang-orang yang kamu sayang. Maka tanpa sadar matamu mengucurkan air meskipun kamu tidak ingin. Lalu pergelangan kakimu dipatuk ular berbisa atau kamu sudah terlalu lelah untuk bertahan di tengah gelombang sementara kemungkinan ada hiu sedang berputar-putar di bawah tubuhmu. Rasanya begitu dekat dengan kematian.

Enggak nanggung-nanggung.

Semula saya berprasangka kalau sang ayah dan Camilla mungkin sebenarnya masih hidup--ada saja yang menyelamatkan mereka sebagaimana ada saja yang menyelamatkan Josh. Namun sampai akhir novel, hm, sepertinya saya harus baca sekuelnya. Kehadiran Ollie juga sebenarnya masih merupakan misteri...

Seperti pakem cerita fantasi pada umumnya, sebut saja Star Wars, Harry Potter, Hunter X Hunter, sampai Naruto, ayah tokoh utama memegang peran penting yang kemudian menentukan nasib tokoh utama. Kalau dalam novel ini, sang ayah ternyata keturunan Bakab, semacam orang penting dalam kebudayaan Maya begitu, yang tidak berhasil menuntaskan misi sehingga misi itu diwariskan pada anaknya.

Dan sang anak tentu saja mewarisi potensi besar yang memungkinkannya untuk dapat mengatasi segala bahaya yang menghadang. Keberanian adalah prasyarat mutlak. Selebihnya adalah "sesuatu" yang membawa tokoh utama meniti jalan yang benar hingga menemukan apa yang ia cari. Meski pada akhirnya apa yang ia cari itu harus ia lepaskan lagi, namun suatu perubahan telah terjadi dalam dirinya. Ia menjadi seseorang yang lebih kuat, tentu saja.

Saya pernah terpikir untuk menganalogikan alur cerita semacam ini dengan sesuatu yang lebih realistis: pengembangan potensi diri. Setiap tokoh utama dalam cerita semacam ini dibekali oleh potensi khas yang membawanya pada nasib tertentu. Potensi yang seringkali tidak disadari pada mulanya atau malah diingkari dan butuh proses untuk dapat menerimanya. Berbagai rintangan menghadang dan seringkali justru dengan potensinya itulah ia bisa menghadapi bahaya terbesar dalam hidupnya. Alur cerita semacam ini adalah perjalanan menemukan jati diri dalam kemasan kreatif. Mungkin saja kita di dunia nyata ini sebetulnya mengalami alur semacam itu juga dalam pencarian jati diri kita?

Seperti kata Vigores dalam halaman 267, "Ingatlah apa yang dikatakan para penyair: setiap kehidupan dibentuk dari satu momen: momen ketika seseorang mengetahui, sekali dan untuk selamanya, siapa dirinya sesungguhnya. Kau beruntung sekali karena bisa mengetahui hal itu sejak dini."

Lanjutnya lagi yang mungkin bisa jadi motivasi, "Percayalah pada dirimu seperti kami percaya padamu, Josh. Rangkullah petualanganmu. Karena yang akan terjadi nanti, di atas segalanya, memang akan menjadi petualangan."

Saya kira setiap orang memiliki alur "cerita fantasi"nya masing-masing. Ular berbisa yang menjerat bisa diibaratkan tugas-tugas akademis yang mengikat. Kamu bisa berharap tahu-tahu ada pawang datang membawa penawar bisa atau kemurahan hati dosen untuk enggak membantaimu saat melakukan kesalahan.

Ayahmu mungkin bukan seorang hokage, hunter, penyihir yang bermasalah dengan tokoh antagonis dalam hidupmu kelak, maupun Darth Vader. Tapi tanpa dia, kamu pun enggak bakal ada di dunia. Dan ya, kamu enggak bisa memungkiri kalau kamu juga mewarisi sifat-sifatnya. Mungkin kamu dan ayahmu sama humoris, cerdas, tapi perhitungan dan tidak bisa lihat makanan mubazir.

Terlepas dari berbagai unsur cerita yang bisa saja dianalisis kelemahan-kelemahannya maupun maksud tersembunyi di baliknya namun saya enggak ingin memusingkannya, pengarang berhasil menyuguhkan suspensi dengan gaya bahasa yang lugas. Josh menceritakan apa yang ia alami dengan bahasa yang lempeng saja padahal kalau diresapi apalagi dialami betulan mungkin bakal bikin jantung enggak bisa berhenti deg-degan. Membuat saya terinspirasi bahwa sebetulnya saya bisa membikin cerita semacam berdasarkan latar belakang saya di kehutanan--misteri perburuan harta karun di Taman Nasional Ujung Kulon, mungkin?

Juga menyuntikkan ketakutan dalam benak saya akan bahaya badai matahari 2012 yang berpotensi menuai perang dunia ketiga di muka bumi... Naudzubillah. Ya, plot novel ini berangkat dari ramalan bangsa Maya akan berakhirnya kehidupan pada tahun 2012. Kiamat yang terjadi mungkin bukan semacam semua gunung mendadak meletus, semua samudra tahu-tahu mengamuk, hingga semua manusia bagai anai-anai yang bertebaran. Tidak. Bencana tersebut hanya akan menyebabkan matinya sistem komputerisasi yang telah sedemikian membangun peradaban kita. Dikatakan bahwa peradaban kita akan mundur dua abad dengan populasi tetap seperti sekarang, membeludak. Apa yang akan terjadi? Survival of the fittest mungkin ya. Oh, semoga ini semua hanya hoax belaka. Amin.

Kalau dalam cerita ini sih, Josh akhirnya berhasil mendapatkan codex yang konon berisi rahasia bagaimana menyelamatkan ingatan dunia saat bencana itu terjadi. Tentu saja kisah ini fiksi. Untuk solusi nyata, kita tetap harus memikirkannya sendiri. Novel ini menyampaikan pesan tersirat pada kita semua agar memikirkan apa yang bisa kita persiapkan dalam menyongsong ancaman badai matahari.

Apa yang akan terjadi setelah 20 Desember 2012 masih jadi misteri. Saya harap enggak bakal separah yang diungkapkan dalam novel ini dampak dari peristiwa itu bakal terjadi--suatu peristiwa yang di luar kekuasaan kita. Bagaimanapun juga, seburuk apapun jadinya nanti, hanya kepada Allah SWT-lah kita kembali.

Semoga cukup kuat jadi pengingat saya untuk enggak lagi terus-terusan subuh kesiangan, enggak memikirkan macam-macam pas solat, dan enggak melalaikan solat malam kalau kebetulan terbangun di dini hari... Hehe... :p

sumber gambar

Senin, 20 Juni 2011

Mengapa Perempuan dan Laki-laki Dibedakan

Judul : Apresiasi Cerpen Indonesia Mutakhir
Penyusun : Korrie Layun Rampan
Penerbit : Bukupop, Jakarta, 2009

Setelah dua mingguan terdampar ke dunia lain (Ujung Kulon), tengah minggu kemarin saya merengkuh lagi dunia saya semula dengan meminjam buku ini dari perpustakaan kota. Ada 36 cerpen dalam buku ini yang terbagi jadi dua. Bagian pertama untuk cerpenis laki-laki (17 cerpen) sedang bagian kedua untuk cerpenis perempuan (19 cerpen). Sebenarnya saya agak kurang sreg dengan pembagian berdasar gender ini. Namun secara keseluruhan, memang ada perbedaan di antara keduanya.

Pada bagian cerpenis laki-laki, kebanyakan cerpen pernah dimuat di KOMPAS. Dibandingkan dengan cerpen-cerpen para cerpenis perempuan, eksplorasi tema para cerpenis laki-laki lebih luas. Tidak semata soal keluarga, tapi ada juga yang menyentuh etnis tertentu, banyak yang berupa kritik sosial, mengangkat kaum marginal (saya jadi kenal istilah baru terkait ini: cerpen naturalis!), fiksi ilmiah, mistik, pewayangan, sampai kaum berorientasi seksual menyimpang.

Lingkup tema cerpen para cerpenis perempuan yang ditampilkan dalam buku ini lebih sempit. Kebanyakan cerpen (yang kebanyakannya pula dimuat di majalah Sarinah) bertemakan keluarga. Meski demikian, sebagai seorang perempuan ini tidak menjadi masalah bagi saya. Justru beberapa cerpen saya rasakan amat menyentuh sisi keibuan yang mulai muncul dalam diri saya, ho ho ho...

Sebut saja "While There's Still Time", karya A. Rahartati Bambang. Tokoh utama dalam cerpen ini mengartikan judul tersebut dengan "senyampang ada waktu" sedang cerpen ini sendiri menceritakan tentang kasih seorang ibu pada anaknya.
Senyampang ada waktu akan kubuka lebar mataku untuk melihat pertumbuhannya... Senyampang ada waktu akan kudengarkan dan kunikmati "gangguan" pertanyaannya... Senyampang ada waktu akan kuhayati setiap detik masa kanak-kanaknya... Senyampang ada waktu akan kuresapi setiap detik keibuanku... (hal. 204)

Aduh... Rasanya sudah tidak sabar jadi seorang ibu... :')

Cerpen bertema serupa yang cukup menyentuh adalah "Anak" karya Nina Pane dan "Setelah Kelahiran" karya Ryke L. Cerpen pertama adalah tentang seorang perempuan yang menyesal telah menggugurkan kandungannya di masa lalu namun bakal anaknya itu ternyata tetap hidup dan terus tumbuh dalam jiwanya (weitz... spoiler!). Cerpen kedua menceritakan konflik batin yang dialami seorang perempuan pasca melahirkan anak untuk pertama kalinya.

Selain cerpen-cerpen bertema semacam ini, saya rasakan pada umumnya cerpen karya cerpenis perempuan memang lebih menyentuh perasaan ketimbang cerpen karya cerpenis laki-laki. Mungkin karena perempuan yang menjadi tokoh utamanya sedang saya sendiri seorang perempuan.

Beberapa cerpen meski disajikan dengan biasa saja, seperti "Thea Giman" oleh Rani Rachmani Moediarta, namun entah mengapa tetap menghadirkan kekuatannya sendiri yang dapat menyentuh. Cerpen ini menceritakan tentang seorang putri pengusaha yang menyelundup ke perusahaan ayahnya untuk meneliti konsumerisme di negara berkembang. Objek pengamatannya adalah kaum perempuan yang notabene para anak buah ayahnya sendiri. Sementara para perempuan tersebut saling pamer belanjaan impor, ia sendiri berani tampil apa adanya dengan blus katun dan rok batik atau sebaliknya, blus batik dan rok katun.

Perkataannya, yang tercantum dalam halaman 292 buku ini, "Aku ingin mengetahui, pada dasarnya, secara psikologis, apa sih yang mendorong orang-orang kita bangga pada merek dan produksi luar negeri. Setelah tiga bulan di sini, aku dapat masukan bahwa semua itu ada kaitannya dengan rendahnya apresiasi kita terhadap apa-apa yang sudah ada pada diri kita." (hal. 292)

Satu lagi yang inspiratif, beberapa di antara 19 cerpenis perempuan yang karyanya dimasukkan dalam buku ini adalah wartawati seperti Anna M. Massie, Apri Swan Awanti, Dorothea Rosa Herliany, Martha Hadimulyanto, Nani Mulyani, dan Yatie Asfan Lubis. Sebagian sisanya ada yang bekerja di majalah atau semacamnya tapi tidak disebutkan sebagai wartawati. Latar belakang cerpenis yang juga wartawati ini rupanya mempengaruhi karya yang dihasilkan. Sebut saja "Suatu Malam" karya Anna M. Massie dan "Kenangan Pesta" karya Martha Hadimulyanto yang menurut penyusun buku ini merupakan laporan pandangan mata alias fiksi jurnalistik.

Cerpen yang relatif unik dari deretan cerpen para cerpenis perempuan dalam buku ini adalah "Nasib Sanggul Bu Colon" karya Etik Minarti. Tidak seperti cerpen-cerpen lainnya yang relatif menyentuh perasaan keperempuanan, nuansa cerpen satu ini malah menjurus pada kekocakkan. Bayangkanlah orang-orang suatu perumahan mengejar sebuah sanggul besar yang bisa loncat-loncat sendiri. Agak absurd. Mengetahui cerpenisnya pernah juga membuat cerpen parodi berjudul "Aku, Olenka, Rafilus, dan Pengarangnya", ketertarikan saya jadi timbul.

Lho, kok saya malah menyoroti cerpen-cerpen para cerpenis perempuan saja? Bukannya tidak ada cerpen menarik dari bagian cerpenis laki-laki. Namun tidak seperti cerpen-cerpen dari bagian satunya, hanya satu cerpen dalam bagian ini yang menarik minat saya untuk memfotokopinya demi koleksi pribadi (hak cipta? hm...). Sebuah cerpen eksperimental karya Sony Karsono, "Insomnia". Ceritanya sendiri tidak jelas, namun saya suka pada gaya bahasanya yang sejak awal sudah begitu memikat.
Empat puluh tahun lalu dalam etalase butik kulihat boneka cantik dari plastik. Ia mengenakan gaun putih pengantin salju. Ia berseru, "Hei! Menikahlah denganku!" Kala itu aku sudah punya ijazah, kerja dan rumah. "Mungkin," pikirku, "aku perlu istri". Maka boneka itu kubeli dan kubawa pulang naik taksi. Kami menikah dan punya tiga anak. Karena istriku bijaksana, aku lupa bahwa ia hanya boneka dan bahwa anak-anak kami adalah makhluk separuh boneka separuh manusia. (hal. 143)

Namun sebenarnya, dengan pembagian berdasar gender yang awalnya saya pikir tidak penting ini, saya justru jadi merasakan kalau perempuan dan laki-laki memang tidak bisa begitu saja disamakan. Perempuan memiliki sensitivitasnya sendiri dan karena itulah potensi ini perlu juga diwadahi, diwakili, dalam sebentuk, katakanlah, cerpen. "Karena wanita hanya ingin dimengerti", waha.

Maka tidak menjadi masalah jika keluarga menjadi tema yang paling banyak dieksplorasi cerpenis perempuan. Ini tidak berarti kreativitas perempuan terbatas, saya kira. Justru perempuan harus kreatif dalam menyikapi ragam permasalahan keluarga. Sebagaimana saya kutip dari penghujung analisis penyusun terhadap cerpen "While There's Still Time" di halaman 206, "Bukankah kuatnya keluarga berarti kuatnya masyarakat? Dan, kuatnya masyarakat berarti kuatnya negara?!" Tapi mengapa hanya perempuan?

Sewaktu menarik buku ini dari rak, sebenarnya ada harapan untuk mendapatkan pengetahuan semacam yang saya dapatkan dari buku-bukunya Maman S. Mahayana, atau malah Budi Darma (ingat "Harmonium"). Setiap bagian dalam buku ini diberi pengantar. Setiap cerpen yang disajikan disertai analisis sesudahnya. Analisis cerpen dalam buku ini rupanya lebih pada pemaknaan akan cerpen bersangkutan, yang kerap bikin saya berpikir, "Eh, emang ini gitu yang tadi diomongin cerpennya?" Tidak ada kalimat-kalimat yang memancing minat saya untuk mengutip--kalimat-kalimat yang memberitahu saya bagaimana caranya menghasilkan suatu karya yang seperti apa.

Hitung-hitung membaca kompilasi cerpen lah ya... Haha...

Selain itu, kendati diterbitkan tahun 2009 dan ditambahi "mutakhir" pada judulnya, cerpen-cerpen yang ditampilkan dalam buku ini malah memberi pembaca wawasan kehidupan tahun 90-an. Betul, hampir semua cerpen yang ada dalam buku ini telah dimuat sebelumnya di media massa mulai awal hingga pertengahan tahun 90-an. Kedaluwarsa memang. Seharusnya buku ini dijuduli "Apresiasi Cerpen Indonesia Tahun 90-an". Namun jika mengingat bahwa masih ada nilai-nilai dari dalam cerpen-cerpen tersebut yang relevan dengan masa kini, ini menjadi masalah yang tidak lagi begitu berarti.

Sabtu, 18 Juni 2011

BERBEDA

Sudah berapa menit yang aku lewatkan di depan cermin? Biusnya sudah habis. Kepalaku tegak lagi. Sesaat. Aku kembali termangu akan pemandangan sama yang kulihat setiap hari.

Warna bajuku selalu membuat matahari merasa tiada berguna. Paduannya itu-itu saja. Sepatuku tidak pernah ganti.

Tidak bisakah aku tampil berbeda?

Beranikah aku tampil berbeda?

Ini adalah keputusan yang harus kuambil dalam waktu singkat—setengah jam lagi kuliah dimulai dan aku masih berada di kamar yang jaraknya dua puluh menit jalan kaki dari kampus!      

Baiklah. Aku menghembuskan nafas. Berpikir bahwa menjadi “berbeda” adalah sesuatu yang positif. Setidaknya itu akan menggusah kebosanan dalam hidupku.

Beranikah aku…?

Tidak ada yang bisa kuharapkan dari lemari bajuku. Aku melaju ke kamar terdekat. Ku buka pintunya. Sang pemilik tercengang mendengar pintaku.

Sepuluh menit kemudian, aku telah menjadi seseorang dengan penampilan baru. Hari ini aku akan tahu bagaimana rasanya menjadi berbeda dari biasanya, akhirnya… ha ha ha…

Lihatlah, teman-temanku terpana melihat aku. Selepas kuliah dua sks yang memuakkan, aku berpuas diri melenggang di lobi gedung kampus.

“Wah… Kamu keliatan beda deh..”

“Tumben…”

Berpasang mata tertuju padaku. Jelas saja aku jadi pusat perhatian, aku berbeda!

Aku tersenyum menikmati keterpukauan mereka. Beginikah rasanya menjadi berbeda?

“Weh, penampilanmu…”

Pandang sobatku menyapu penampilanku dari atas sampai bawah.

“Sekali-kali boleh dong aku keliatan beda,” ujarku percaya diri.

“Iya sih…” Matanya masih saja memerhatikanku. “Kamu beda dari biasanya.” Ia menggeleng-geleng, seakan tak habis pikir, “Tapi kamu jadi keliatan sama kayak orang lain.”

Aku terdiam.

Rautku menunjukkan ekspresi terganggu. Aku coba nafikan decakan yang disusul komentar yang belum juga habis.

“Ke mana sepatu pantofelmu? Rok megarmu yang warnanya selalu gelap itu? Atasan suram yang nggak pernah rapih? Tasmu yang kayak mau naik gunung itu?”

Di bangku terdekat aku duduk. Ganti mataku yang menyapu sekujur penampilan baruku. Kardigan, kaos, kalung gede, tas cangklong, jins ketat… Bukankah ini paduan yang biasa para perempuan seumuranku pakai?

Kamu tahu bagaimana rasanya menjadi berbeda setiap hari? Sekali-kali aku ingin tahu bagaimana rasanya menjadi serupa dengan orang lain.

Jumat, 17 Juni 2011

Belimbing Lumur Cokelat

Kamu ingin menghemat uang makan malam, anakkuuuuu? Itu mudah saja! Salah satu caranya adalah dengan menghampiri tetangga yang memiliki pohon belimbing di halaman depan rumahnya... Iya, lo, Sayang, karena dia sudah bosan dengan belimbing, makanya dia kasih nyonya teladan sekantong keresek belimbing dengan cuma-cuma dan senang hati! 

Namun sayang, anakku, nyonya teladan tidak punya gula apalagi garam untuk menjadikan belimbing hibah ini sebagai kudapan semacam rujak... Tapi... Kita tidak boleh hilang akal, Sayang, karena kalau begitu artinya kita sudah tidak waras dong ah... Maka, nyonya teladan keluarkan se-sachet susu kental manis rasa cokelat!

Untuk mewujudkan resep spesial nyonya teladan kali ini pun caranya mudah saja...
  1. Cuci mangkok, pisau, dan garpu yang akan digunakan
  2. Cuci belimbing yang akan dimakan
  3. Bersihkan tepi ujung-ujung si buah bintang ini...
  4. Buang yang bagian menghitam. Kalau kata tetangga nyonya teladan sih, itu bukan karena terlalu matang, melainkan karena ulat! Tapi tetangga nyonya teladan yang lain bilang kalau buah ada ulatnya berarti buah itu bebas pestisida yang berarti aman dimakan! Ah, ulatnya kemakan pun jadi protein kan ya... Hohohoho...
  5. Iris si buah bintang meski bentuknya sudah tidak terlalu mirip bintang lagi saking banyaknya bagian yang kebuang...
  6. Hasil irisan belimbing dimasukkan ke dalam mangkok. Menurut pengalaman nyonya teladan, sebuah mangkok dapat menampung sampai tiga buah belimbing.
  7. Gunting ujung sachet susu kental manis rasa cokelat dan biarkan aliran lavanya melumuri sekujur bintang-bintang kehijauan nan matang ini...

    Selamat menikmati, Sayang... Kalau susu kental manis rasa cokelatnya masih sisa, bisa kamu guling-gulingkan kukis D'asse kesukaan Nona Dayeuh di sana. Cara lain makan D'asse yang lebih nikmat loh, ternyata...

    Salam bintang!
    ***********

    Kamis, 16 Juni 2011

    Tak Ada Tempat Lain

    Sudah lama aku tak melihatnya menyambangi angkasa, latar biru di mana ia dapat meluncur anggun. Angin berusaha mendekapnya. Terlalu lincah, ia selalu luput. Lenggak-lenggoknya memesona. Sayang ia terkurung dalam kotak. Dikendalikan oleh simbol-simbol yang dipencet jemari cekatan, bukan lagi ketangguhan genggaman. Telapak tangan tak lagi berbekas tarikan kenur, diganti ujung jari kapalan.

    Aku ingin memainkannya. Aku belum pernah tahu ada game ini sebelumnya, The Kite Runner—sepertinya memang dicatut dari judul film yang satu itu.

    Namun sepertinya tak ada celah bagiku untuk mengambil alih kibor. Sang kakak saja sudah habis sabar menunggu gilirannya bermain. Sang adik keasikan. Ketika ia memencet tuts “O”, layang-layang dalam layar tipis itu berputar melingkar. Layang-layang lain mendekat tangkas, lekas ia menarik mundur jagoannya dengan tuts “V”. Kekuatan ekstra, tekan “Ctrl + P + /”, tash! Angka-angka dalam kotak pojok kiri bawah berkelebat cepat hingga paduan bilangan yang lebih besar tertera di sana.

    Sang kakak nyengir, menyangka sang adik akan sadar diri untuk menyerahkan kendali kibor padanya. Namun tidak. Sungutan. Dengusku tertahan. Cetusku pada sang kakak, setengah berbisik, “Entar gua minta yah, itu, game-nya...” Ia menoleh. “Eh, udah mau balik?” Aku mengacungkan sebundel tipis fotokopian di tangan kananku—bahan untuk tugas yang harus dikumpulkan esok pagi. “Udah, ini aja. Makasih ya…”

    Setidaknya kekesalan sang kakak teralih. Ia mengikutiku berjalan ke pintu depan. Masih terang di luar. Sepuluh tahun yang lampau, pada jam segini, aku akan tergoda untuk bolos TPA. Ketimbang mengambil Iqra, aku lebih memilih untuk menarik-ulur kenur di lapangan terdekat. Girang dengan angin yang bertiup kencang. Kutahankan leherku untuk menengadah sekian lama. Juga tak hirau akan perih di tangan. Yang penting layang-layangku terbang! Dan menang! Aku ingat ketika aku dan sang kakak bekerja sama melawan si Hitam milik anak RW sebelah. Pulang ke rumah, sebelah tangan menenteng pahlawan. Hati puas kendati selanjutnya muka pias dimarah ibunda, plus telinga merah karena dijewer sepanjang ruang depan. “Main layang-layang terus, ngajinya kapan?!” Sungguh kenangan manis.

    Aku tak main layang-layang lagi sekarang. Mungkin karena aku sudah besar, tapi mungkin juga karena lain alasan. Beberapa tahun lalu adikku membawa ke luar layang-layang. Baru beberapa meter dari pintu rumah, sahutan ibu kami menahan langkahnya, “Mau main di mana? Jangan di jalan, entar ketabrak!”

    “…ganggu orang lewat juga,” timpal ayah kami yang sedang membaca koran di teras.

    “…nanti kalau nyangkut di tiang listrik gimana? Bisa kesetrum kamu, Dek!”

    Adikku menggaruk kepala dengan raut muka bingung yang sesaat dihiasi binar. Ia menunjuk ke atas. “Di atap boleh, Ma?”

    “Nggak boleh! Nanti kalau jatuh dari atap gimana? Udah, sini, bantu Mama beresin rumah!”

    Pada saat itu, lapangan kompleks kami sedang dibongkar. Rencananya akan dibangun menjadi arena futsal.

    Sekarang arena futsal itu sudah jadi, dilengkapi kafe dan fasilitas hiburan lain—maklum, kompleks kami dekat jalan raya. Aku menyisihkan uang sakuku setiap hari agar bisa ikut patungan bayar sewa main di sana. Padahal sebelum seseorang dengan insting bisnisnya yang mengagumkan datang dan menemukan peluang, kami bisa main bola gratis di sana. Kalau tidak sedang dipakai untuk main bola, ya menerbangkan layang-layang.

    Selepas magrib, aku akan mengayuh sepedaku ke sana. Aku akan bertemu dengan para tetanggaku. Mereka rata-rata sudah kuliah di jurusan berbeda. Ada Planologi, Teknik Lingkungan, Kehutanan—para calon pengelola lingkungan hidup, serta jurusan-jurusan lainnya. Kami biasa menghabiskan akhir minggu kami di atas hamparan rumput sintetis tersebut dengan sukacita. Entah pernah terbersit dalam pikiran mereka juga apa tidak, seharusnya kami bisa mendapatkan kesukacitaan ini dengan gratis. Tak hanya itu, adik-adik kami pun akan tahu rasanya memegang benang layang-layang, merasakannya menjadi tegang, setegang perasaan mereka kala mendapati layang-layang mereka sedang jadi incaran.

    Alur-alur jingga mulai merona di atas kepala. Tak kulihat selembarpun kertas minyak sempoyongan di sana. Layang-layang kesayanganku dulu berwarna hijau. Sehijau rumput arena futsal, tanpa tanah yang akan menghisap cucuran keringatmu, tanpa tanah yang akan menggesek kulit dan membuat ibumu mengeluarkan Betadine ketika kamu pulang ke rumah. Kusadari bahwa semakin hari aku semakin jarang menginjak tanah.***

    TIDAK BERGUNA/ MENJADI SEDERHANA/ SEUTUHNYA

    menjadi apa
    tidak biasa
    tidak berguna
    untuk siapa-siapa
    mendamba hampa
    menunggu sampai enyah
    dengan sendirinya
    begitu tiada
    kita hanya menjadi sementara
    tak berbuat
    jadi semakin fana
    bila hilang
    takkan ada yang ingat
    kita ada untuk apa

    tertidur terjebak di kasur
    tak bergerak seperti jamur

    selalu melindur
    berharap bisa kabur
    dari tuntutan umur
    dan kita pun jadi makin ngawur

    (ditemukan dalam buku ajar Karakteristik Hasil Hutan Non Kayu, sepertinya ditulis pada tahun 2008)

    Rabu, 15 Juni 2011

    Catatan Perjalanan Pulang

    Catatan ini ditulis dalam bis jurusan Labuan-Kalideres, 9 Juni 2011
      
    [setengah duaan siang] 

    Yah, enggak kesampaian, ngirim postingan terakhir dari kantor BTNUK.

    [Jalan tol Serang timur, macet, 16.43]

    Enggak terasa dua minggu hampir telah berlalu.

    Petang ini, lewat sms, saya dan Rifda berkhayal merencanakan piknik di dermaga. Mulanya Rifda mengabarkan Bunda sedang masak ikan pindang. Wah, ngabibita wae ti isuk. Ya udah, saya ajak saja dia untuk bawa itu masakan pakai rantang, jangan lupa tikar juga, terus kita makan-makan di dermaga deh. Sambil nunggu sunset. Tapi Kang Ican (Cah) masih di kamar mandi, Bos Koki (Rijal) masih ganti baju karena mau ketemu pahe—perawan herang—(Teh Desi), another sunset  in his heart, halah, dan pisgor yang Teh Rifda masak tadi pagi dibawa juga saja. Enggak apa-apa dingin juga, seadanya aja, Bos Koki udah enggak sabaran pingin ketemu nih… Hehehe.

    [17.14]

    Sejak meninggalkan Tamjay kemarin pagi, dalam smsan saya dengan Bunda dan Rifda terdapat poin-poin yang akan menjadi daftar hal-hal yang bakal saya coba, saya lakukan, kalau kembali lagi ke sana.

    Masih terbayang-bayang halaman rumah Bunda dengan pagar dua rangkap, dinding kuning, kusen putih, dan deretan panjang sofanya. Lukisan Abah dan almarhumah Umi juga terpajang di sana. Kesan homy teruar selalu setiap kali saya melihatnya meski hanya dalam kepala.

    Seminggu memang bukan waktu yang cukup, baik bagi kami sebagai regu Tamjay maupun Bunda sekeluarga, untuk mengenal satu sama lain secara mendalam. Namun apa yang tampak selama seminggu itu saja sudah bisa menjadi suatu pelajaran berharga bagi saya. Kekeluargaan dan cara bermasyarakat.

    Bagaimana Abah ikut mengasuh orang-orang yang padahal bukan anak-anak kandungnya sendiri. Bagaimana Bunda menerima kami dengan antusias dan bagaimana caranya mendidik anak-anaknya agar mengerti susahnya mencari duit. Bagaimana Bapak enggak tegaan sama orang yang jualan cumi. Bagaimana Bang Haris memerhatikan kami. Bagaimana relanya Teh Rifda mengantar kami ke mana pun kami ingin… Dan seterusnya.

    Tidak cukup hanya dengan membuat kami merasa bagai di rumah selama pengambilan data di daerah Tamjay ini, pada malam terakhir kami disuguhi perpisahan dan kenang-kenangan yang membikin kami merasa berarti. Tidak ada yang bisa kami berikan saat itu untuk membalas mereka selain meninggalkan bahan makanan yang kami bawa dari Jogja dan Labuan serta momen-momen bersama yang kami harap akan selalu ada dalam memori mereka.

    Saya sedikit belajar bagaimana bersikap seperti mereka dari keluarga saya sendiri. Maka mereka adalah sosok-sosok yang menginspirasi saya untuk dapat menerapkan kebaikan serupa dengan cara saya sendiri. Bagaimanapun juga, prinsip saya adalah jika saya senang dengan cara seseorang memperlakukan saya, maka saya ingin bisa memperlakukan orang lain dengan cara seperti itu juga. Mungkin tidak bisa sama persis jadinya, tapi saya harap saya bisa melipatgandakan kebaikan yang telah saya peroleh dari mereka.

    Seminggu yang berarti itu telah berlalu. Melihat Bapak duduk di kusen jendela, senyum Abah, kecantikan Teh Rifda, mendengar ocehan Bunda dan celetukan Bang Haris yang kadang mengundang senyum, mengingat setiap sudut rumah mulai dari bagian belakang yang dulunya bagian depan rumah, kamar Teh Rifda yang saya dan Desta tiduri setiap malam dan di waktu-waktu lelah, ruang berkarpet abu-abu di mana kami menonton TV, makan, dan mengobrol bersama, area cuci piring cuci baju, sepasang kamar mandi yang diwarnai insiden-insiden kecil, dapur, hingga teras tempat kami pertama bersua Bapak dan Abah… Ah, jangan lupa juga dengan kenesnya duo racun, Fitri dan Atia, yang kadang menemani saya cuci piring, menagih hutang pada Rijal, sigap bergerak kala kami membutuhkan…

    Selasa, 14 Juni 2011

    Reuni dengan D'asse

    D'asse adalah sebuah kukis persegi panjang berwarna kuning gading dengan garis zig zag cokelat membelah bagian tengahnya. Bila digigit, ia amat renyah. Nikmatnya perpaduan tepung terigu, lemak nabati dengan antioksidan BHA, gula, telur, kakao bubuk, susu bubuk, garam, pengembang natrium bikarbonat, hingga perisa cokelat kala lumer di lidah sanggup membikin mata terpejam...

    Mula perkenalan saya dengan kukis ini adalah ketika saya menemukannya dalam sebuah toples di ruang tamu rumah sepupu saya, Devi (kini kuliah di Teknik Industri ITB, angkatan 2008, hayo, mau info apa lagi?). Saat itu saya masih SD. Pada masa itu tiap liburan saya selalu menginap di rumah Devi.

    Kukis ini terbungkus plastik putih dengan garis cokelat. Sekali mencoba, saya ketagihan. Saya akan terus melahapnya hingga berbungkus-bungkus. Hingga saya membelinya sendiri tiap orangtua saya berbelanja di supermarket. Kukis ini biasanya dikemas dalam kardus persegi panjang yang saya sudah lupa rupa persisnya seperti apa--seukuran kraker Jacob-lah.

    Hingga saya tidak pernah menemukannya lagi di supermarket. Ia lenyap begitu saja dari peredaran. Tidak hanya kukis ini saja yang bernasib demikian sebetulnya. Saya pernah sampai ingin membuat daftar kudapan-kudapan kesukaan saya yang mendadak tidak dijual lagi. Ada sebuah biskuit lingkaran dengan krim cokelat di bawahnya yang biasanya suka saya ambil dua lalu saya tangkup jadi satu dan saya anggap itu dorayaki kering--saya lupa namanya apa. Ada pula satu nama yang paling sering saya beli saat jam istirahat di kelas 4 SD, Crispy--kemasannya berwarna cokelat kecil, sebuah cokelat batang dengan gerinjil krispi yang kriuk-kriuk kalau dikunyah, harganya empat ratus rupiah. Ada Tik-Tok Cigaro yang ketenarannya sudah padam digantikan Gery Chocolatos--namun sensasi cokelatnya tak akan pernah tergantikan! Ada lagi... apa ya? Alhamdulillah, Oreo enggak hilang dari peredaran yah...

    Sejak itu, tiap kali saya melintasi rak biskuit, kukis, kraker, dan semacamnya di supermarket, dalam sanubari saya terpendam harapan akan menemukan kardus D'asse atau dorayaki-dorayakian atau Crispy atau Tik-Tok Cigaro apalah tersempil di antara deretan kemasan biskuit, kukis, kraker, dan semacamnya... Yang paling saya harapkan ya si D'asse itu.

    Tak terasa, tahun demi tahun berlalu. Saya sudah tidak lagi menginap di rumah Devi tiap liburan. Kami sama-sama sudah melewati SD, SMP, SMA, dan kini berada di tingkat akhir perkuliahan. Berapa tahun lamanya itu? Mungkin ada belasan sejak terakhir kali saya menggigit kukis ramping tersebut. Manis-gurihnya masih suka terngiang-ngiang. Namun tak pernah ia terpandang di rak itu...

    Pernah saya menemukan gambarnya di antara deretan kue kering lain yang dikompilasikan dalam suatu kaleng besar. Namun saat itu uang yang saya bawa tidak cukup untuk membelinya. Bolehkah saya membeli D'assenya saja? Sepertinya pernah pula saya merasa akhirnya bisa mendapatkan kaleng yang ada gambar D'assenya. Namun ternyata itu hanya tipu-tipu. Tidak ada D'asse di dalamnya. Oh, D'asse... Aku merindukanmu...

    Masih saya suka meniti deretan kemasan biskuit, kukis, kraker, dan semacamnya yang terpajang di salah satu rak supermarket hingga kini. Hingga 12 Juni 2011 di Super Indo Jalan Kaliurang Yogyakarta. Saya menemukannya.

    Seperti ada cahaya bersinar di atas sana. Di tempat di mana kaleng-kaleng putih itu tertata. Ya, D'asse kini sudah berganti kemasan! Ia tidak lagi berada dalam kardus, melainkan kaleng ukuran relatif kecil. Hoooooooo... Seperti ada choir mengawang-ngawang di udara. Saya bersyukur uang dalam kantong rok cukup untuk menebusnya di meja kasir. Tanpa pikir panjang, segera saya timang salah satunya. Ah...

    Akibatnya saya harus merelakan si sabun cair karena uang yang saya bawa saat itu ternyata tidak cukup untuk membayar semua barang yang saya bawa...

    kukis idaman...
    O, D'asse... Suatu kenikmatan, kelangkaan, kemewahan... Harganya Rp 28.490,- untuk 30 bungkus yang setiap bungkus hanya menampung satu keping kukis di dalamnya. Jadi kalau dihitung-hitung... harga satu bungkus (atau satu keping) D'asse nyaris mencapai seribu rupiah... Begitulah. Sebuah reuni yang mahal harganya. Saya berencana menggunakan kalengnya untuk menyimpan pernak-pernik kenangan saya di masa kuliah.

    Baiklah, sudah dulu ya, saya mau bernostalgia dengan si D'asse lagi... ;9

    Minggu, 05 Juni 2011

    H6-9JUK: Ini Praktek Jurusan Apa KKN?

    Pada hari Kamis kami pulang siang dan kami nyaris tidak melakukan kegiatan terkait praktek lagi sampai Jumatan esok harinya. Dalam waktu itu, dan mungkin sempat pada sebelumnya, saya beberapa kali merasa ragu apakah yang sedang kami jalani ini praktek jurusan atau... "Kayak lagi survei KKN," kata Cah.

    Sehabis tepar pada Kamis itu, saya mandi. Sehabis mandi, sementara yang lain ganti bertepar ria, saya malah ngeberesin becek di depan kamar mandi, nimba air untuk bak kamar mandi, menyapu juga mungkin, mencuci baju, sampai akhirnya diajakin makan sawo berlanjut makan siang bareng Fitri dan Atia (bagaimana cara menuliskan namanya yang benar ya?).

    Fitri dan Atia adalah dua gadis cilik Taman Jaya yang diperbantukan di rumah Bunda. Rumah Fitri dekat pantai sementara rumah Atia dekat bangunan untuk burung walet dekat rumah. Fitri kelas 1 SMP sementara Atia kelas 5 SD. Mereka berdua adalah murid mengaji Abah--bapaknya Bunda. Mereka selalu berdua ke mana-mana. Bunda menjuluki mereka duo racun.

    Sempat ada rencana, agenda setelah survei adalah evaluasi hasil survei lalu ke rumah kepala desa malamnya. Namun sore itu hujan lebat sehingga pemandangan bocah-bocah Taman Jaya bermain bola di bawahnya di area kosong depan rumah Bunda jadi kenikmatan tersendiri. Tidak jadi lihat matahari terbenam di dermaga deh. Petang, kami malah beli dagangannya Vicky. Bocah ini tiap sore terdengar suaranya menjajakan donat dan gorengan keliling kampung. Kelas 1 SMP juga. Saya bayangkan ia sebagai pengusaha sukses di kemudian hari.

    Akhirnya juga kami tidak jadi ke rumah kepala desa meski malam sebelumnya kami sudah diperkenalkan oleh Bapak pada keluarga kepala desa (orangnya sendiri sedang tidak ada). Rijal dan Cah tampaknya memanfaatkan waktu untuk merumuskan kembali metode penelitian mereka tapi yang lainnya GJ.

    Pada petang itu pula kami untuk pertama kalinya bertemu Bunda secara langsung. Beliau tiba ketika saya sedang menemani Rifda--putri sulung Bunda--masak telor di dapur. Rifda sudah tiba duluan dari Labuan saat hari masih agak terang dengan elf yang memuat barang-barang titipan warga sini. Selama beberapa hari sebelumnya Rifda mengikuti SNMPTN sehingga Bunda menemaninya.

    Malam itu pada jam sembilanan malam saja saya sudah lelap. Jam satu dini hari terbangun dan mendapati insiden setelahnya. Lalu saya bangun lagi pukul empat untuk memulai aktivitas. Tapi yang lain baru bangun jam setengah enaman... Malu juga sama yang punya rumah. Saya hanya bisa bantu menyapu sementara itu.

    Setelah Rijal dan Desta bangun, akhirnya ada juga yang membantu Bunda masak. Sementara mereka mengurus cumi dan ikan, saya mengurus blog saya, haha, sampai muncul keinginan Cah untuk jalan-jalan pagi. Bapak malah meminjamkan kami kunci motor. Namun akhirnya saya, Cah, dan Soni jalan kaki sampai dermaga. Tujuan kami adalah, selain mengecek dan mengambil ikat pinggang Ucok yang mungkin tertinggal di sana, juga mencari informasi tentang cara berkunjung ke kantor seksi III Sumur. Syukur-syukur kami bisa diantar mobil patroli, he.

    Kami melewati penginapan Sunda Jaya saat menuju dermaga dan melihat bule serta mungkin rombongan wisatawan lain di sana. Selama saya menelusur informasi di Google terkait Taman Nasional Ujung Kulon pra perjalanan, saya kira penginapan satu ini cukup terkenal--bahkan mungkin satu-satunya yang ada di Taman Jaya.

    Di dekat dermaga, di tepi pantai yang rupanya sedang pasang, sementara saya dan Cah berdiskusi soal misteri penciptaan, rombongan wisatawan di penginapan tadi lewat di belakang kami. Saat kami menemui Pak Otong yang sedang mencabuti rumput halaman kantor seksi, rombongan wisatawan itu tengah menunggu kapal di ujung dermaga. Mungkin mereka mau ke Pulau Peucang.

    Ternyata benar ikat pinggang Ucok ada di kantor seksi. Alhamdulillah Pak Otong menyimpankannya. Kami mengobrol ala kadarnya sebagai pengantar untuk membicarakan tujuan kami. Pak Otong harus bersiap karena sebentar lagi ia bakal pergi.

    Sebelum minggat, ada seseorang menghampiri Pak Otong. Rambutnya dicukur sedemikian rupa sehingga yang panjang hanya di bagian belakang kepala saja. Pakaiannya agak compang-camping tapi masih agak menutup aurat. orang tersebut melapor pada Pak Otong kalau ada orang tertembak kakinya dan bla bla bla. Widih. Cah menyodorkan ponselnya pada saya. Di sana ia mengetikkan kata "gila". O. Ujung-ujungnya, orang tersebut minta rokok sama Pak Otong dan seterusnya. Selepas kepergiannya, Pak Otong cerita kalau orang tersebut sebetulnya punya perusahaan di Serang. Orang berpunya. Lalu mengapa ia bisa sampai berkeliaran di sini? "Stres," kata Pak Otong. Padahal istri-anaknya sudah menjemput, tapi ia tidak mau. Orang itu kemudian nongkrong di dermaga. Ke sana jualah kami menuju.

    Di dermaga, kami melihat ada dua orang ABG memancing hanya dengan kail. Salah seorang anak mendapat seekor ikan bertubuh panjang dengan moncong panjang pula--serta bergigi tajam. Sementara saya memerhatikan rombongan yang sepertinya terdiri dari sebuah keluarga besar dan sepasang bule bulan madu, mereka mendapatkan seekor ikan yang sama lagi. Ikan kacangan, kata Cah.

    Sms Rijal datang. Kami disuruh cepat kembali untuk ikut beres-beres rumah, haha. Jadi Jumat itu agenda kami yang terkait praktek baru dimulai sehabis Jumatan. Kami kembali ke sumber air panas Cibiuk dan di sana kami membuat plot untuk Cah sekaligus untuk saya dan Soni. Setelahnya, kami berjalan sejauh kira-kira 200 meteran ke atas untuk membikin plot untuk saya dan Soni. Hari semakin senja. Sms Bunda mengingatkan kami untuk tidak pulang kesorean. Kami sampai kembali di persawahan menjelang magrib. Kami berhenti dulu di sana, di pinggir kali kecil, untuk mencuci bot dan celana sembari menikmati keindahan senja di angkasa. Hari makin gelap tapi kami masih berfoto sementara Kang Pudin tidak terlihat. Rupanya ia menunggu kami di pinggir jalan menuju pemukiman. Ia selalu berjalan lebih cepat, jauh di depan, tapi kami selalu ditungguinya.

    Di rumah Bunda, kalau tidak salah saat makan malam, Abah menasihati kami agar tidak pulang kemalaman dari hutan. Beliau cerita kalau dulu pernah ada petugas kehutanan tersesat berhari-hari di sana. Ada semacam tumbuhan hutan yang kalau dilangkahi bakal membikin kita hanya berputar-putar tanpa bisa menemukan jalan ke luar. Petugas kehutanan tersebut bisa melihat tim pencari tapi tim pencari tidak bisa melihatnya. Lo, kok akhirnya bisa ditemukan? "Ya mungkin udah capek juga kali yang nahan," kata Abah. Abah melanjutkan dengan cerita asal-usul kata "pamali". Muasal kata tersebut adalah dari bahasa Arab yang menyatakan kegiatan yang sudah lampau. Saya lupa apa istilahnya. Suatu pamali muncul sebagai pelajaran dari akibat buruk yang didapat karena telah melakukan sesuatu. Sembari cerita begitu, Bapak menyetel serangkaian video karya tugas akhir seorang mahasiswa DKV ITB tentang pamali. Video berbahasa Sunda semacam iklan layanan masyarakat ini membikin kami terpingkal-pingkal sampai Abah sendiri tersenyum dibuatnya. Pesan utamanya adalah: "makanya, nurut ka kolot!"

    Setelah itu, kalau enggak salah kami berkunjung ke rumah kepala desa. Bunda, Bapak, dan Rifda menemani kami. Di sana, topik utama perbincangan kami adalah tentang keterlibatan masyarakat Desa Taman Jaya dengan Taman Nasional Ujung Kulon. Kata Bapak, "Pihak taman nasional biasanya sekadar ngasih materi atau ceramah... Bla bla bla bla, kasih duit, bla."

    Esoknya, kami kembali mengambil data di hutan dari pagi hingga siang. Pulangnya, kami sempat mampir di suatu warung untuk beli pop ice dan camilan. Saya tidur bersandar pada tiang sambil menunggu pop ice jadi. Sesampainya di rumah, saya sempat mengaso di teras sebelum kemudian mandi, dan seterusnya, sampai tahu-tahu ikut mengudap rujak bersama ibu-ibu di dapur hingga mendengarkan Bunda yang kuat bicara dari ashar sampai menjelang magrib.

    Kami menjelajahi hutan Resort Taman Jaya hingga cukup jauh (masuk Cimenteng... Cilimus juga enggak ya?) dengan medan yang relatif wow hari itu sehingga pada sisa hari itu saya merasa amat mengantuk. Hujan turun dengan lebat namun pada malamnya kami ikut Bunda dan Bapak ke Penginapan Sunda Jaya untuk bertemu Pak Komar selaku pengurus koperasi KAGUM. Koperasi ini dirintis oleh Pak Oyok dan Pak Komar sebagai bentuk kerja sama antara masyarakat desa Taman Jaya, WWF, dan Taman Nasional Ujung Kulon. Potongan kecil sampeu nan keemasan menemani malam kami nan rintik itu...

    Minggu, kami berangkat lebih siang, menjelang jam sembilan pagi, untuk kembali mengambil data di hutan. Kami ditemani oleh Rifda dan saudara kecilnya, Mutia. Sementara kami plus Kang Pudin memakai bot seperti biasa, dua gadis ini hanya pakai sandal vinil. Cah jadi merasa ada yang salah. Hari ini kami sempat melewati rute berbeda lagi, yaitu ke bawah pohon di mana kami melihat primata bergelantungan pada hari pertama kami singgah ke shelter. Di perjalanan pulang, Cah mengajari saya memakai ikat pinggang Ucok padahal saya akhirnya sudah menemukan ikat pinggang di Desa Taman Jaya dan membelinya... Agak alay tapi saya ingin berbesar hati menganggapnya sebagai oleh-oleh. Cah sendiri mengidam sirsak Taman Jaya sejak kemarin.

    Sesampainya di rumah, lagi-lagi saya merasa amat lelah sehingga menjelang sore saya tidur dalam kepanasan. Namun saya betah tidur cukup lama karena dalam beberapa kali kesempatan terbangun saya mendengar suara hujan. Momen yang sangat mendukung untuk melanjutkan tidur. Menjelang magrib, setelah mandi, kami plus Rifda main ke dermaga. Beni, Haris, dan sepupunya sempat menyusul kami tapi mereka tahu-tahu hilang. Lagi-lagi kesempatan sunset Taman Jaya hilang karena mendung menggantung. Awan, menyingkir dong...

    Dibandingkan kelompok Legon Pakis yang mendapat tempat menginap di kantor resort ditemani para petugas, harus menginap di saung untuk dapat mengamati owa jawa di pagi dan sore hari sekali karena letak hutan yang jauh dari kantor resort, dan jauh-jauh ke Taman Jaya hanya untuk fotokopi... kami di Taman Jaya ini merasa amat beruntung. Tanpa menafikan plus-minus dari masing-masing keadaan, kami hampir selalu makan cumi di rumah Bunda. Kami dibelikan kangkung, dibikinkan rujak, diberdayakan untuk mengurus foto ijazah para murid Bapak (hanya Soni, Rijal, dan Cah sih), ditemani ke rumah kepala desa dan pengurus koperasi KAGUM, diperkenalkan dengan para tetangga, makan bersama hampir setiap malam dengan wadah-wadah makanan plus piring-sendok-dan sebagainya dibawakan ke ruang kami berkumpul dan seringnya Bunda yang memasakkan kami makanan dengan bumbu cinta (kayaknya karena tahu kami hanya bawa makanan instan), dan masih banyak lagi... pokoknya kami difasilitasi sedemikian rupa sehingga kami merasa banyak makan dan banyak tidur dan sedang di rumah. Wah. Beberapa kali pula kami kecolongan cucian perabot makan. Sebagai balas budi, seharusnya kami yang membersihkan seabrek perabot tersebut--toh kami juga yang bikin kotor. Tapi tahu-tahu saja tumpukannya sudah tidak ada.

    Keraguan apakah saya lagi praktek jurusan apa KKN ini sampai bikin saya menelpon Nur di Bandung hingga pulsa telepon tinggal tiga ribu rupiah (enggak tahu juga sih sebelumnya berapa). Yang saya khawatirkan adalah jika keadaan ini sampai bikin kami terlena, jadi tamu yang tidak tahu diri, dan dibantai dosen-dosen di kampus saat presentasi hasil karena kami lebih banyak sosialisasi dengan masyarakat ketimbang praktek--meski yang pertama itu bagus juga kan... Mau dibilang praktek jurusan, kok bercampur dengan masyarakat sampai sebegininya, tapi dibilang KKN juga kita enggak bikin program dan koordinasi dengan LPPM. Sebenarnya ada sebab kegalauan lain sih, tapi demi kemaslahatan diri saya insya Allah tidak akan mengungkapkannya secara gamblang di sini, waha.

    Beberapa kali Fitri dan Atia mengajak saya "maraton" (= habis subuh jalan-jalan ke Pantai Paniis atau manalah pokoknya jalan-jalan pagi!) tapi sampai saat saya menulis ini hal itu belum terjadi. Katanya mereka susah bangun subuh. Mereka cerita kalau ada kolam renang bagus di dekat Paniis, namanya Argasari. Namun petang ini Rifda bilang kalau masyarakat sini menyebut "irigasi" dengan "argasi". Jadi? Rifda juga cerita tentang fenomena pinguin bersarung di pinggir pantai Taman Jaya. "Maklumlah, belum semua penduduk di sini punya kamar mandi," katanya.

    Begitulah hari-hari kami di Taman Jaya. Begitu bisanya mereka membuat kami merasakan suasana kekeluargaan di rumah yang serasa sudah rumah sendiri padahal baru beberapa hari kami di sini. Semoga kami bisa membalas segala budi mereka. Sebetulnya cerita tentang keluarga ini bisa dijadikan satu tulisan sendiri. Saya membayangkan sosok Pak Oyok atau Bunda atau Abah masuk dalam rubrik SOSOK di koran cetak KOMPAS. Namun kiranya pikiran ini sedang begitu rumit sementara waktu juga sempit untuk merangkaikan kata-kata yang oke.

    Sabtu, 04 Juni 2011

    Cerita dari Kamar Mandi Rumah Bunda

    Kamar mandi di rumah Bunda ada dua. Luas dan layout-nya sama, yaitu sebuah jamban jongkok yang tertutup bak persegi panjang di sampingnya, serta sebuah jendela menghadap kebun. Kedua kamar mandi ini berdempetan kiri dan kanan. Sudah ada beberapa kisah lucu terkait kami dan sepasang kamar mandi ini, terutama kamar mandi sebelah kiri.


    Saya dan Cah

    Saya perhatikan, saya dan Cah sama-sama suka menggunakan kamar mandi sebelah kiri. Padahal kamar mandi sebelah kiri ini dibandingkan kamar mandi sebelahnya:
    • jendelanya hanya berupa kawat kotak-kotak sehingga tidak tertutup benar dan sangat memungkinkan bagi seseorang untuk mengintip dari kebun
    • airnya terlihat lebih jernih
    • ada bangkai cicak tergantung di atas pintu--kiranya sudah jadi tengkorak
    • lebih tidak banyak barang
    • pintunya tidak bisa dikunci
    Yeah, kamar mandi yang amat rawan insiden penglihatan tak senonoh. Namun kalau kedua kamar mandi sedang kosong, saya lebih suka memilih kamar mandi sebelah kiri. Salah satunya juga mungkin karena saya bisa mandi sambil menikmati sekelumit pemandangan di kebun... :p

    Dan insiden memang terjadi.

    Kamis sehabis survei, saya hendak memasuki kamar mandi tersebut. Saya lihat pintunya terbuka sedikit. Saya kira tidak ada orang. Begitu saya buka, saya dengar suara Cah dan saya lihat kepala hingga punggungnya--berpakaian lengkap sih, tapi dia ternyata lagi... kencing.

    Untung posisinya membelakangi saya.

    Buru-buru saya tutup pintu sambil istigfar. Salah dia juga sih, pintunya enggak ditutup rapat...


    Saya dan Desta

    Jumat petang sehabis dari mengambil data dari hutan, saya dan Desta hendak mandi. Desta mempersilahkan saya mandi duluan. Saat itu kamar mandi yang kosong hanya yang sebelah kiri.

    Tidak lama, kamar mandi sebelah kanan kosong juga. Desta pun masuk ke dalamnya. Tidak lama pula, terdengar suara Abah, "Yang sebelah kanan kosong enggak?"

    Wah. Refleks saya menjawab, "ada," pada pria yang saya segani itu.

    Abah pun menjawab lagi, "Itu mah yang sebelah kiri."

    Desta buru-buru bersuara untuk menandakan kehadirannya dalam kamar mandi sebelah kanan.


    Rijal

    Pada suatu pagi yang harinya Rijal ingin melupakannya, Rijal lagi b*k*r di kamar mandi sebelah kiri. Lalu terdengar suara Bapak (pakai ngetok-ngetok enggak ya?), "Di dalam ada orang enggak?"

    Rijal menjawab, "Tidak."

    Karena dijawab begitu, Bapak membuka pintu kamar mandi dan menemukan kepala Rijal di balik bak.

    Kalau enggak salah, Rihal lalu minta maaf tapi Bapak bilang, "O ya, enggak apa-apa," sambil menutup pintu.


    Sekian dulu. Haha...

    Jumat, 03 Juni 2011

    H7JUK: Kejadian di Dini Hari

    Saya terbangun pukul satu dini hari. Kemudian saya terpikir untuk melanjutkan ketikan catatan harian saya. Maka saya ke luar kamar untuk mengambil laptop. Di luar kamar hanya ada Cah. Posisinya tidur menyamping menghadap jendela. Sebelah tangannya menyentuh kibor laptopnya, seakan tahu-tahu tertidur saat sedang mengetik. Saya matikan TV, mengambil laptop, dan kembali ke kamar.

    Keinginan untuk mengetik pudar. Saya jadi ingin lanjut tidur saja. Sayup-sayup, saya mendengar suara-suara yang membuat saya mengira Cah sudah terbangun. Terdengar dehamannnya. Belum lama saya terlelap, ada yang mengetuk pintu. Siapa? Buka tidak ya? Saya akhirnya bangkit, memakai baju lengan panjang dan kerudung, dan ketika membuka pintu saya dapati Cah.

    Dia tanya apakah saya sudah mengambil laptop saya. Saya iyakan. Lalu saya lupa dia tanya apa lagi. Lalu dia menyuruh saya duduk di hadapannya, beberapa kali, sampai saya menurut. Dia tanya apa saya sudah cukup sadar dan bisa berpikir. "Ya, ada apa?" kata saya akhirnya. Dia menunjuk jendela di seberang kami. "Kamu tahu kenapa itu gordennya kayak gitu?" Gorden di seberang kami agak masuk ke dalam kusen, memperlihatkan sebagian pemandangan kolam eceng gondok di luar. Lalu dia menunjuk jendela satunya. Gordennya tertutup saja. Saya lupa dia ngomong apa. Tapi kemudian perut saya jadi mulas sementara dada berdebar. Saya pindah duduk ke dekatnya.

    Lalu dia bercerita. "Tadi ada yang nyemplung kolam." Orang. Lalu dia berdeham. Orang itu kabur. "Tadinya mau kukejar. Tapi enggak enak sama yang punya rumah." Saya hanya bisa tertegun. Perasaan takut bercokol. Ketidaknyamanan kian mencengkeram. Saya sarankan Cah untuk bilang sama pemilik rumah. "Ya, nanti pagi," jawabnya.

    Kembali saya ke tempat tidur. Sembari terbaring, saya merindukan saat di mana saya membuka lembaran novel dan menyantap dunia fiksi di dalamnya. Lalu mengguratkan fiksi saya sendiri setelahnya. Dunia saya sebenarnya. Saya kangen rumah. TV kabel yang menayangkan serial 30 Rock di mana saya bisa belajar membuat komedi. Adik-adik saya. Semuanya.

    Imaji beralih ke sekarang. Tidak lama lagi saya harus menyeruak kerimbunan rimba Ujung Kulon di mana kemarin saya temukan ulat-ulat bertebaran. Aduh. Dan segala kerepotan lain yang melingkupinya. Tapi semuanya harus saya tempuh atau saya tidak akan mendapatkan apa-apa padahal sudah jauh-jauh ke mari...

    Padahal alhamdulillah kami telah mendapatkan tumpangan yang amat homy. Pemilik rumah dan orang-orang di sekitarnya begitu baik pada kami. Meski hawa yang selalu bikin badan lengket tak bisa dipungkiri. Meski pikiran bagaimana meninggalkan kesan baik bagi orang-orang baik ini harus terus digeluti. Dan sebagainya.

    Petualangan di alam. Padahal ini dulu yang amat saya idam-idamkan. Setelah berkecimpung di dalamnya, kok? Apa kondisi saya saja yang sedang tidak baik sehingga saya enggan menghadapinya? Ah. Semoga saja lekas lalu dan saya bisa bekerja profesional serta berbaik laku pada orang-orang sini dengan teman-teman saya ini

    Pagi, Cah bilang sama Bapak soal kejadian pada dini hari ini. Kata Bapak, itu Agus yang suka bongkar rumah. Nyuri maksudnya. Kok dibiarkan saja? Kata Cah, "Enggak tau. Udah bosen ngasih taunya kali." Ha.

    Saya juga mendapat versi lengkap dari cerita ulang Cah pada orang-orang lain. Rupanya bagian bawah gorden bisa berbentuk seperti itu karena tangan si oknum memang sempat masuk berkat jendela yang tidak terkunci. "Mau ngajak salaman kali," ada yang nyeletuk.

    Kamis, 02 Juni 2011

    H5-6JUK: Selamat Datang di Taman Jaya!

    pantainya pas di pinggir jalan
    Kegundahan tertepis begitu memasuki Taman Jaya. Seperti memandangi desktop komputer. Segala mual lenyap seiring dengan bergantinya kegersangan dengan hamparan pantai tepat di pinggir jalan. Gerinjil bebatuan dan seliweran debu menggantikan aspal nan mulus namun berkelok-kelok. Mengingatkan pada jalanan di Getas namun yang ini tidak lebih parah. Ah. Jadi ingin menceritakan hebohnya kami saat menjajaki jalanan tersebut dengan truk tapi kapan ya? Oase yang sesungguhnya terhampar di depan kantor seksi II Handeuleum.

    Sebelumnya, kami berangkat dari kantor Balai Taman Nasional Ujung Kulon pukul tujuh pagi ++ dengan elf Pak Muhammad. Ia ditemani oleh seorang kenek. Diiringi lagu-lagu lawas (Panbers, "Kemesraan", lagu-lagu dari bikinan orang sekampung Ucoklah!), kami melewati SPBN (terletak di pinggir perairan dan fungsinya untuk mengisi solar pada perahu), spanduk penawaran kerja jadi PRT dan baby sitter di Jakarta, Pasar Panimbang, dan seterusnya...

    Saya sempat ingin beli ikat pinggang di pasar. Pak Muhammad mengizinkan. Tapi teman-teman ingin cepat sampai. Ucok menawarkan ikat pinggang miliknya yang kemudian ia berikan dan saya tinggalkan di kantor seksi. Heu. Ucok, maaf.

    Di kantor seksi, kami disambut oleh Pak Otong. Wajahnya mengingatkan saya pada seorang teman sekelas saya waktu SMP, Luthfi. Saya kira bapaknya tapi mestinya bukan karena keterangan Pak Otong tentang keluarganya tidak mengindikasikan demikian. Karena Pak Otong ada tamu, maka kami dilepas ke dermaga (sebenarnya ia hanya menyuruh kami istirahat dulu sih).

    salah satu sisi halaman depan kantor seksi



    Yeah. Tepat di depan kantor seksi adalah dermaga. Yang memisahkan adalah hamparan rumput serata padang golf dengan kambing-kambing berkejaran. Sebelah kiri adalah pemukiman penduduk yang dirimbuni vegetasi, sebelah kanan adalah bangunan lain kantor seksi dan mungkin hutan pantai (saya tak memerhatikan), dan di tepi bentang daratan nan menenteramkan hati ini adalah sebuah dermaga. Lokasi kantor seksi II Handeuleum Taman Nasional Ujung Kulon adalah lokasi yang bakal diinginkan siapa pun untuk jadi tempat tinggalnya!

    Jangan bayangkan dermaga kumuh dengan kapal-kapal besar karatan berjejer di tepinya. Tidak ada pula riuh calon maupun mantan penumpang berwajah lusuh. Hanya ada satu dermaga berkayu yang dibangun di atas hamparan separuh pasir putih dengan karang dan koral mati berserakan serta air bening yang menampakkan ikan-ikan kecil berkeliaran...

    ternyata suka ada buayanya lo...
    Jalan berkayu ini bercabang. Kedua cabang menghadapkan kami pada jalur hijau berkelok yang membentang di sepanjang pantai hingga menjelma siluet. Seketika hati menjadi lapang. Awan begitu baik menghalangi mentari menyampaikan teriknya. Di ujung cabang kanan, saya merebahkan diri. Memejamkan mata. Membukanya lagi. Mereka-reka seperti inikah rasanya surga. Udara sedang tak begitu panas pula. What a... Subhanallah. Alhamdulillah.

    Lalu teman-teman semakin banyak yang berdatangan. Dan foto-foto. Dan ada kapal kecil menepi lalu menurunkan para penumpang yang pada kelihatan seperti kiai (mungkin mereka peziarah Sang Hyang Sirah). Saya biarkan insting kewartawanan saya tumpul dengan tidak menanya-nanyai siapapun dari kapal itu. Lalu kami kembali ke kantor seksi. Bikin minum. Bercengkerama dengan Pak Otong nan gokil di teras kantor sembari minum-minum dan satu per satu kami bergiliran solat zuhur.

    Singkat cerita, kelompok Resort Legon Pakis dibawa mobil patroli ke Legon Pakis sementara beberapa orang dari kelompok satunya disuruh Pak Otong sowan ke rumah penduduk tempat kami akan menumpang selama kurang lebih seminggu. Jadilah saya dan Rijal yang menunaikannya. Pak Otong menyuruh Teh Desi dan Teh Lilis mendampingi kami. Mereka berdua adalah penduduk Taman Jaya yang dipekerjakan pihak taman nasional untuk urusan penerimaan pengunjung.


    Rumah Bunda

    Tahun lalu, sekelompok mahasiswa UGM KKN di kawasan Ujung Kulon. Kalau tidak salah, masing-masing sub unit ditempatkan di Cigorondong, Legon Pakis, dan Taman Jaya. Kiranya sebelumnya sudah ada yang KKN di desa ini dari perguruan tinggi-perguruan tinggi lain, namun menurut Bapak--suami Bunda, pemilik rumah--yang dari UGM-lah yang paling berkesan. Saya mengenal sebagian dari para anggota sub unit Taman Jaya tersebut. Salah satunya adalah kakak angkatan sejurusan saya, Mas Yunan.

    Baru beberapa hari lalu Mas Yunan dan teman-teman KKN-nya itu main ke desa ini. Bersama beberapa warga, mereka tamasya ke Pulau Peucang. Sebelum kembali ke Jogja, Mas Yunan menitipkan kami pada Bu Euis dan Pak Oyok. Bu Euis inilah yang disebut Bunda oleh sekian banyak orang yang dikenalnya.

    Mulanya, Mas Yunan mengirim sms pada kami bahwa kami--kelompok yang kebagian Resort Taman Jaya--sudah ia titipkan pada Bu Euis dan Pak Oyok. Saya kaget saat Senin pagi sebuah nomor tak dikenal menelepon saya. Malah saya reject. Panggilan kedua baru saya angkat. Ternyata Bunda langsung menghubungi saya.

    Setelah ditelepon, saya jadi amat terkesan dengan sikapnya itu. Kami yang butuh, kok malah beliau yang menghampiri dulu. Setelah itu, sesekali saya dan beliau smsan. Katanya, "orang sana" itu sukanya menelepon. Sementara ponsel suka saya silent. Jadilah beberapa kali panggilan Bunda saya lewatkan.

    Saya baru bertemu Bunda langsung pada petang ini. Sebelumnya, beliau mengantar putri sulungnya SNMPTN dan mengurus berbagai hal di Labuan. Biar berperawakan kecil, Bunda enerjik dan dikenal orang-orang di sekitarnya sebagai wanita yang periang dan kocak. Saya kagum bagaimana seseorang bisa dikenal begitu menyenangkan.

    Pertama kali melintas di depan rumah Bunda dengan elf yang membawa kami ke kantor seksi, saya sudah merasakan kesan homy. Bagian depannya penuh dengan berbagai tanaman meski kebunnya sendiri terletak di samping. Dinding bagian depan rumahnya dicat kuning. Pagar kayu bagian depan dicat putih.

    Pertama kali kami menginjakkan kaki ke terasnya, kami disambut oleh Bapak. Perkenalan. Mengobrol ke sana ke mari. Lalu kami kembali ke kantor seksi untuk mengambil barang-barang sekaligus para anggota lain kelompok kami. Ganti Abah--bapaknya Bunda--yang menyambut kami. Hari pertama di Taman Jaya kemudian kami habiskan dengan istirahat di rumah ini sedang malamnya sowan ke rumah kepala desa. Sehabis sowan, saya tepar.


    Hutan Ujung Kulon

    Rijal sudah menghubungi Pak Edi, kepala resort Taman Jaya. Yang ditelepon menitipkan kami pada Pak Heri atau Pak Pudin.

    Sekitar pukul sembilan pagi, kami ke kantor Resort Taman Jaya yang lokasinya ternyata tidak jauh dari rumah Bunda. Kami langsung bertemu Pak Pudin yang sedang menyapu kebun.

    Kami kemudian mengobrol di teras kantor resort yang tampaknya berupa bangunan semi permanen--sebagian kayu sebagian dinding. Di samping kantor resort yang kiranya hanya terdiri dari 3-4 ruangan kecil ini, terdapat bangunan serupa. Di samping lainnya, ada bangunan krem yang di pinggirnya terdapat mesin pembuat biodiesel dari nyamplung. Beberapa lama, datanglah Pak Heri dengan motornya yang weow. Di luar singletnya, Pak Heri memakai jaket cukup tebal yang bikin saya heran karena udara yang panas.

    Dari Pak Heri, kami mendapat keterangan lebih banyak tentang Resort Taman Jaya karena Pak Pudin cukup pendiam. Kami juga mendapat laporan bulan Februari dan Mei tahun ini yang sepertinya bakal sangat berguna. Dalam laporan tersebut, ada data perjumpaan dengan owa jawa yang memang jadi target penelitian kami. Beberapa tempat seperti Cilimus, cimenteng, atau Ciburuluk terlalu jauh untuk ditempuh sehingga hari itu kami minta diantar Pak Pudin ke Cibiuk saja.

    Untuk menuju ke sana, kami melewati permukiman penduduk lalu persawahan yang jadi kenikmatan sendiri saat melihatnya. Umumnya rumah penduduk terbuat dari kayu atau bambu. Sebagian rumah memiliki kolong di bawahnya tapi ada juga yang tidak. Pada beberapa rumah yang kami lewati biasanya sedang ada ibu-ibu menyusui, anak-anak kecil, dan atau nenek-nenek di "teras" rumah. Teras yang saya maksud di sini umumnya semacam bale-bale atau panggung dan terbuat dari bambu. Setiap melihatnya membuat saya jadi ingin merebahkan diri. Iri sekali setiap melihat ada kucing mengaso di sana. Setiap melewati warga juga kami berusaha bersikap seramah mungkin. Mereka juga ramah dan sering kami ditanyai mau ke mana. Ada juga sih rumah tembok dengan teras terbuat dari keramik.

    Di sini kami lebih banyak menemui kambing daripada anjing. Kucing yang saya temui umumnya bermotif hitam-putih seperti sapi atau hitam saja. Tapi ternyata ada juga yang bercampur oranye atau bermotif lurik-lurik.

    Lepas dari pemukiman, kami menyusuri kali dengan lebih banyak batu ketimbang air di sisi kanan sedang di sisi kiri seingat saya ada kali juga sih dan bambu. Ada ibu-ibu mencuci di kali sebelah kiri. Lalu sampailah kami ke persawahan. Tepat di persimpangan, kami menemukan pal batas kawasan. O o, kiranya persawahan ini juga masuk ke dalam kawasan...

    Sebelumnya, sewaktu masih di kantor resort, Pak Heri sudah bercerita mengenai kegiatan pemasangan pal batas yang baru-baru ini dilakukan. Bukannya belum ada pal batas sebelumnya. Pal batas yang lama banyak digeser, dirobohkan, atau hilang dan ditengarai pelakunya adalah masyarakat. Pemasangan pal batas pun kembali dilakukan dengan pal batas baru berukuran lebih besar dan terbuat dari beton. Perbandingannya lumayan juga.

    bercermin di air sawah
    Pemandangan di persawahan luar biasa cantiknya. Bagai lukisan. Bayangkan, sebuah saung di tengah hamparan sawah hijau. Latarnya adalah rimbun hutan dengan siluet perbukitan di atasnya. Rumpun bambu menjadi bingkai yang menambah tentram suasana hati kala melihatnya. Rasanya saya belum pernah melihat sawah dengan air sebening itu. Kalau biasanya jalanan sawah hanya berupa gundukan tanah sehingga mempertaruhkan keseimbangan kala menapakinya, jalanan kali ini cukup lebar sehingga kalau mau berlari pun aman saja. Tapi sesekali kami harus menginjak pipa karena jalanan tahu-tahu putus oleh aliran air yang bermuara pada bening yang menggoda diri untuk mencebur.

    Sampailah kami ke perbatasan antara persawahan dengan hutan. Biar ada jalan setapak, namun hutan yang kami masuki begitu rimba. Beberapa hari sebelum perjalanan ini, di kos, saya sempat ada perasaan gentar kalau harus memasuki hutan. Entah mengapa. Padahal harusnya sudah biasa ya. Kegentaran ini menyesap lagi. Tapi saya harus terus berjalan. Belum berapa lama berjalan, rombongan yang dituntun oleh Pak Pudin ini berhenti di dekat sebuah shelter kayu bercat hijau. Tercium bau solokan dan memang ada semacam solokan tepat di depan shelter. Seseorang menyadarkan saya bahwa yang kami hirup adalah bau belerang dan "solokan" di depan kami adalah SUMBER AIR PANAS CIBIUK. Wew.

    yak, beginilah kondisi sumber air panasnya...
    Sejak sebelum perjalanan, dalam bayangan kami sumber air panas Cibiuk adalah sebuah kolam yang cukup besar bagi para pengunjung untuk mandi di dalamnya dengan diamati owa jawa-owa jawa dari balik pepohonan. Ternyata. Kendati airnya bening, namun dasarnya tampak buluk seperti limbah solokan. Ya mungkin itu belerangnya. Heran juga, katanya "Pegunungan" (sebetulnya lebih tepat disebut perbukitan) Honje tidak aktif. Lalu mengapa tahu-tahu ada belerang? Sumber air panas? Bagaimanapun juga, tangan tercelup untuk merasakan nikmatnya air panas. Biarpun udara begitu membikin tubuh lengket, namun hasrat untuk mandi air panas muncul jua. Sepertinya bakal segar sekali... Tapi kalau sumber air panasnya hanya sebesar ini... Hm.

    ngaso dulu di shelter
    Owa jawa diketahui ramai beraktivitas saat pagi dan sore. Saat kami ke sana, hari sudah menjelang siang. Meski demikian, dari shelter kami ternyata masih bisa melihat primata beraktivitas di kejauhan--pada tajuk sebuah pohon yang tampaknya berbunga-bunga pink. So langsung jongkok menghadap sana sambil pegang binokuler. Rijal mereka-reka potensi wisata apa yang ada di sekitar sini. Desta... istirahat. Pak Pudin menunggui kami tidak jauh dari shelter. Saya enggak jelas. Hanya Cah yang sampai agak jauh mengamati jenis-jenis pohon yang ada. Sesekali ia bertanya pada Pak Pudin mengenai nama-nama pohon yang ditemukannya. Yang dicarinya adalah pohon yang menghasilkan buah untuk pakan owa.

    perkenalkan, si kodok mancung!
    Lama-lama menghirup bau belerang tidak baik. Untung ransel saya dibawa dan ada masker bekas erupsi Merapi November lalu di dalamnya. Desta ternyata membawa lebih banyak masker--bersih pula. Saya, Desta, dan Rijal malah foto-foto enggak jelas kemudian. So entah ngapain. Cah, si pawang herpetofauna, menemukan seekor kodok mancung yang kemudian kami jadikan objek foto kami.

    Setelah Cah mendapatkan beberapa jenis untuk dilacak lagi status perlindungannya, kami turun. Sempat ada rencana ke Pantai Paniis, tapi katanya jauh. Saat sudah memasuki permukiman penduduk lagi, rombongan kami sempat terpisah. Saya tertarik memotret sebuah tempat penyimpanan kayu bakar tapi tidak tahu bagaimana mengembalikan mode kamera saku Desta dari video ke kamera--tadi Cah sempat bikin video-videoan. Rijal menunggui saya dan Desta. Lalu kami bertiga kembali ke kantor resort yang tertutup. Lama menunggu, kami bertiga memutuskan kembali ke rumah Bunda duluan. Tepar.

    Rabu, 01 Juni 2011

    H4JUK: Ketika Gairah Mulai Menurun

    Ikat pinggang saya putus kemarin, saya tidak kunjung menemukan gantinya. Sudah ke Indomaret terdekat, toko-toko antaranya dengan kantor balai, sampai koperasi balai.. Jadilah saya berasa remaja gaul tahun 2000-an--dengan celana korduroi cokelat bladus kedodoran yang tertahan di panggul: hipster. Namun tidak hanya celana saya yang kedodoran, tapi juga jam bangun saya (sekitar setengah jam lebih "siang" dari kemarin) dan semangat kami...

    Ini hari keempat kami tinggal di kompleks kantor BTNUK--hari kedua "ngantor". Pukul delapan pagi ke sana, saya sudah mengantuk lagi. Ingin rasanya kembali ke rumah Pak Arif dan rebah lagi. Namun saya tetap bertahan dalam sejuknya perpustakaan. Saya berusaha lakukan sesuatu terkait praktek jurusan ini meski kurang produktif. Namun kembali saya bergelut dengan masalah yang sama. Begitu banyak informasi dan saya merasa kepala ini begitu keruh untuk mengorganisasinya.

    rada ngegeje di perpustakaan
    Saya kira teman-teman pun terus berusaha untuk berusaha. Putro dan Desta berburu responden. Vina menghubungi seseorang di Kebun Raya Bogor. Cah mencari spesies langka selain burahol yang bisa diteliti di Resort Taman Jaya. Fajar ingin ganti judul (/metode?) dan curhat terus sama Pak Mukhlison. Lina di balik laptop selalu. Dan lain-lainnya, selain Ucok yang jadi gusar karena aktivitas fesbukannya terhenti berkat colokan enggak beres.

    Keputusan akhirnya datang. Saat itu masih sekitar jam sepuluh. Di awal "ngantor", kami sudah bertemu Bu Mila untuk menyerahkan proposal kami dan membicarakan kemungkinan untuk mempresentasikannya. Namun, sebagian petugas sedang ada kerjaan di Pulau Peucang, pak kepala balai ada urusan dengan gubernur, dan akhirnya kami tidak jadi presentasi proposal.

    Ooo... proposal yang telah memeras pikiran, uang, waktu, dan tenaga kami selama berminggu-minggu... yang sempat bikin Pak Beno marah karena kesalahpahaman akan jadwal mempresentasikannya saat di kampus... juga bikin Gilang dan Fajar malah melaju ke Godean dua jam kurang sebelum keberangkatan demi berburu tanda tangan Pak Kahar... Oh oh oh.

    Dan kami pun masih mengambang dalam kegamangan.

    Sebetulnya enggak juga sih. Saat overview dari pihak balai kemarin, sedikit banyak kami sudah dapat masukan mengenai apa yang bisa kami lakukan untuk TNUK. TNUK masih fokus pada perlindungan satwa langka. Lain-lainnya, seperti flora dan wisata misal, masih kurang tereksplorasi. Padahal keanekaragaman hayati di TNUK konon termasuk tertua dan terlengkap di Indonesia. Saat koordinasi dengan Bu Mila pun kami juga mendapat tambahan masukan, terutama untuk wisata. Yang paling gamang mungkin Cah dan Vina dari aspek flora. Cah masih belum yakin dengan burahol (karena sudah dilakukan oleh kakak angkatan yang magang di sini tahun lalu) sementara Vina harus ke Kebun Raya Bogor untuk mendapat informasi lebih untuk lame putih--yang enggak mungkin.

    Kata Putro yang kata teman-teman praktek jurusan gelombang sebelumnya, jangan terlalu lama di kantor balai. Cah mengiyakan. "Nanti gabut," katanya. Apa itu gabut? Kiranya sama dengan muspro. Baiknya langsung ke lapangan saja. Lina juga sudah tidak sabar ingin segera ke lapangan. Kelompoknya memiliki waktu yang tidak banyak untuk mengambil data karena lokasi resort yang lebih jauh ketimbang resort kami dari Labuan. Begitulah. Saya pikir sih, ya mana tahu kejadiannya bakal begini. Sisa waktu yang ada lebih baik digunakan untuk mengoptimalkan pencarian data. Terbukti dengan diketemukannya laporan tahunan dan LAKIP dan Renstra 2005-2009 dan alhamdulillah kami bisa dapat semua softcopy-nya sehingga enggak usah berat-berat bawa versi cetaknya. Lega deh.

    Namun di samping berita baik untuk aspek manajemen kawasan, sehabis makan siang hanya saya dan Lina yang masih tinggal di perpustakaan sementara yang lain--semuanya--serempak meng-off-kan mata (istilah Cah) di rumah Pak Arif. Padahal K2 (semacam kartu kontrol) Desta belum tertumpuk, Rijal titip urusan pengembalian dokumen yang tidak jelas keberadaannya di mana... Jadi saya telepon mereka. Tidak satu pun ada yang menjawab. Saya telepon Cah dan mendapatkan kebenaran bahwa satu rumah lagi pada tidur semua. Cah juga sebenarnya, tapi kebetulan sedang bangun saat saya telepon. Lina bilang, "Temen-temen lagi pada down."

    Kecewa karena proposal yang telah digarap sebegitunya tidak jadi dipresentasikan? Kegamangan akan topik penelitian yang padahal butuh banyak masukan? Kegiatan di kantor balai hari itu diakhiri dengan Putro dan Lina mewawancarai pak kepala balai sedang saya dan Cah berburu foto Mang Koko.

    Sehabis itu kami belanja: beras di teteh-teteh yang bikin kami dapat gambaran lebih jelas mengenai karakteristik penduduk sekitar kawasan taman nasional yang akan kami temui esok-esok hari, ragam kebutuhan pangan dan lainnya di Alfa midi, gorengan di depan Indomaret, serta makan malam di "nasi uduk" tempat beberapa hari ini kami beli sarapan murah tapi tidak pernah kebagian nasi untuk makan siang (dan akibatnya harga makan siang kami selalu mahal!). Pulangnya kami menumpang angkot yang sopirnya polos dan kocak bet, heboh, sampai bikin saya akhirnya bisa ketawa juga.

    Selama itu hingga ketika saya mengetik ini, mendadak hati diliputi kerawanan. Mana para cewek tidak bisa mandi karena di luar kamar kiranya bertahan orang(-orang) yang bukan teman-teman kami sesama mahasiswa pula. Jadi sungkan kan kalau mau lewat... Jadi saya menghabiskan semalaman dengan tidur di lantai dalam waktu yang kiranya lebih panjang dari waktu tidur dua malam sebelumnya...

    "Sleep may be the enemy, but so another line, it's a remedy," begitu penggalan lirik dari Placebo dalam lagu "Commercial for Levi".

    Keesokan hari, saya bangun sekitar dua seperempat dini hari dan dalam solat malam doa saya hanya, "Ya Allah, lindungilah kami di sisa hari-hari kami di sini..."

    Empat hari yang telah berlalu terasa sudah lama sementara hari-hari yang harus kami jajaki di sini ternyata masih lebih lama lagi. Dan kemandirian dituntut penuh selama itu. Petualangan yang sebenarnya baru akan dimulai...

    Saya bertanya-tanya bagaimana perasaan saya pada hari keempat saat saya di Getas (yang waktu pelaksanaannya sekitar 1-2 minggu lebih lama dari ini). Padahal saya juga sudah pernah diuji mental selama seminggu di kawasan Situ Lembang. Kata Lina, "Nikmatin aja."

    Apa daya punya sisi sensitivitas macam begini, hu.

    Saya sudah beritahu diri saya untuk berhenti mengeluh, seperti Putro yang rasanya tidak pernah begitu.

    4.16
     (rumah Pak Arif dan sudah ketemu sama Pak Arifnya dari kemarin subuh)

    Banyak Dibuka

    Pembaruan Blog Lain