...bagian satu di posting sebelumnya
Deutsche
Welle Warum Nicht
sumber |
“Warum Nicht” rupanya program belajar bahasa Jerman yang merupakan
kerja sama antara radio Suara Jerman alias Deutsche Welle dengan Goethe-Institut. Program ini terdiri dari 4 series
yang masing-masing berisi 26 chapter
(plus Appendix 1-6). Masing-masing chapter
berupa audio (mp3) dan teks (pdf) yang bisa dimanfaatkan secara online maupun diunduh secara
cuma-cuma(!). (Berbahagialah yang tidak punya dana untuk kursus di tempat-tempat
tertentu.)
Materi dalam program ini sesuai bagi yang baru mempelajari
bahasa Jerman alias level A1 sampai level B1. Buat yang belum tahu (sebagaimana
saya sebelum membaca brosur dari Goethe-Institut), kompetensi berbahasa Jerman
di Goethe-Institut dinilai melalui beberapa jenjang ujian. Jenjang terbawah
adalah A1, lalu A1, B1, B2, C1, hingga C2. Untuk jenjang A1 (tos dulu),
kemampuan yang dilihat adalah: mengenali, memahami, dan menggunakan
kalimat-kalimat sederhana untuk menjelaskan hal-hal konkret dalam kehidupan
sehari-hari, serta; dapat berkomunikasi dengan bahasa yang sederhana jika lawan
bicara berbicara lambat, jelas, dan bersedia membantu jika timbul kesulitan
berkomunikasi.
Sajian utama “Warum Nicht” adalah audio. Mendengarkannya
seperti mendengarkan radio. Seandainya internet belum tren, mungkin pada jam
tertentu kita akan duduk di samping radio, lalu mencari frekuensi Deutsche
Welle. Begitu program dimulai, telinga pun terpancang, mata menerawang, kaki
digoyang-goyangkan, sedang jemari tangan ditautkan di atas lutut. Mungkin
sesekali kita mengambil pulpen dan notes yang telah disiapkan di dekat radio,
lalu mencatat poin-poin yang dianggap penting.
Yang membuat “Warum Nicht” makin menarik menurut saya adalah
karena yang disajikan bukan sekadar materi (tata bahasa dsb.). Melainkan
karena materi itu diangkat dari percakapan-percakapan yang membentuk alur
cerita yang dapat membangun keingintahuan kita. Dalam durasi tidak lebih dari seperempat jam, tiap chapter mengisahkan (melalui percakapan) kejadian-kejadian tertentu
dalam kehidupan seorang pemuda bernama Andreas. Ia mahasiswa Jurnalistik yang
juga bekerja sebagai resepsionis di Hotel Europa. Usianya sekitar 25 tahun.
Mungkin Ex seperti ini
sumber |
Selain Andreas, tokoh-tokoh lain yang muncul secara kontinyu
adalah Frau Berger (manager hotel yang hobi bernyanyi), Hanna (petugas
kebersihan hotel), Dr. Thürmann (dokter asal Berlin kelahiran Leipzig yang merupakan
tamu langganan hotel), dan… yang bikin cerita ini ajaib adalah kehadiran
sesosok makhluk gaib (de: Kobold, en:
elf, id: dedemit) bernama… Ex. Ex
mendadak muncul saat Andreas membaca buku tentang Heinzelmännchen (sosok serupa elf yang suka membantu pekerjaan manusia di malam hari). Secara
tidak sengaja Andreas mengucapkan kata ajaib yang mengeluarkan Ex dari buku.
Sejak itu Ex selalu mengikuti Andreas ke mana-mana. Namun karena wujud Ex
tidak kasatmata (de: unsichtbar)
sementara suaranya dapat terdengar dengan jelas, keceriwisannya kerap
menimbulkan kebingungan bagi orang-orang di sekitar Andreas.
Ada saja masalah bahkan kekonyolan yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari Andreas, apalagi interaksi dengan atau antar tamu-tamu hotel. Tapi
tidak hanya itu, kita juga kemudian dikenalkan dengan berbagai aspek dalam kehidupan
orang Jerman secara umum. Profesi Andreas sebagai jurnalis radio yang
melakukan reportase ke mana-mana membuatnya dapat berbagi banyak wawasan kepada
para pendengar.
Loreley |
Di series 2 saja
misal, kita diajak menelusuri asal-usul nama Aachen (kota di mana Andreas
sekolah dan bekerja) serta mengetahui legenda seputar Loreley (batu besar
yang bersempadan dengan Sungai Rhein—de: Rhine).
Di series 3, kita
diajak menjelajahi Berlin dan diceritakan mengenai tembok yang pernah
memisahkan Jerman menjadi dua bagian. Runtuhnya tembok Berlin menjadi momentum
yang agaknya berdampak cukup signifikan bagi warga Jerman, khususnya di
daerah-daerah sebelah timur.
Di series 4—ketika
Andreas sudah menyelesaikan sekolahnya di Aachen dan berhenti bekerja di
Hotel Europa, kita lebih sering lagi diajak jalan-jalan ke wilayah timur dan
mengenal sejarah, sumber daya alam, hingga kebudayaan yang berarti bagi
warga Jerman. Sebut saja kehidupan agraris di Bradenburg dan puisi tentang
kakek-kakek yang menawarkan pir dari dalam kubur, nasib industri kapal di
Rostock, bagaimana penambangan batu bara mematikan desa demi desa, sampai keindahan
alam di Thüringen yang menjadi inspirasi bagi salah satu karya Goethe.
Sejauh ini, “Warum Nicht” adalah pembelajaran bahasa Jerman
paling “menyenangkan” yang bisa saya temukan. Dengan audio saja, materi dituturkan sedemikian santai, bahkan
diselingi oleh penggalan musik klasik pada salah satu pergantian sesi,
sehingga tanpa menengok teks pun rasa-rasanya kita sudah bisa mengerti—asal
kita betul-betul mendengarkan. (Program ini mungkin sekaligus bisa menjadi
sarana berlatih mendengarkan yang baik.) Dalam chapter 1 pun kita tidak dituntut untuk segera mengerti kata per
kata dalam bahasa Jerman yang diperdengarkan. Malah kita diminta untuk
terbiasa dulu mendengar (bukan mendengarkan) bagaimana orang-orang Jerman
berbicara. Dari suasana yang ditimbulkan suara-suara itu, barulah kita
menangkap konteksnya.
Tapi pemahaman kita tentu akan lebih jelas jika dibarengi dengan
pembacaan teks. Supaya kita tidak hanya mengetahui bagaimana suatu kata
diucapkan, tapi juga dituliskan. Teks terdiri dari ringkasan tata bahasa
yang dipelajari, dialog (maupun materi siaran Andreas) yang diperdengarkan,
kosakata, dan tentu saja latihan(!). (Tapi sejak series 4, kosakata tidak lagi disertakan.) Kompilasi ringkasan
tata bahasa dan kosakata, dialog yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
pengantar, dan kunci jawaban tersedia dalam Appendix.
Program
lainnya
Program belajar bahasa Jerman dari Deutsche Welle bukan
cuman “Warum Nicht”. Ada banyak program lain yang disesuaikan dengan jenjang
kompetensi. Untuk level A1 saja, ada lima program yang bisa dicoba. Selain “Warum
Nicht”, yaitu “Deutsch Interaktiv” (A1-B1 dalam 30 lessons dan sepertinya paling komprehensif dengan adanya video dan
tes), “Mission Berlin” (A1-B1 dalam 26 episode yang dirancang penuh aksi),
“Radio D Part 1 (A1-A2 dalam 26 episode dan sepertinya paling “mudah” di antara
program-program lain), serta Audiotrainer (A1-A2 dalam 100 lessons yang untuk mp3-nya mending unduh dari www.book2.de sekalian berkunjung—pokoknya surga
bagi peminat kursus bahasa gratisan!).
Dan yang amat sangat perlu diperhatikan adalah program-program
di Deutsche Welle terdiri dari 30 bahasa—salah satunya adalah bahasa
Indonesia. Hal ini baru saya sadari setelah mengikuti separuh kursus “Warum
Nicht”—tepatnya chapter 12 series 3—dalam bahasa Inggris.
Sampai-sampai saya pikir kegunaan saya belajar bahasa Inggris selama ini ternyata
untuk menjembatani saya belajar bahasa lain (ya benar juga sih). Mengingat pilihan
bahasa Tagalog, Melayu, bahkan Jepang saja tidak tersedia, entah kenapa saya
merasa bangga. Dari artikel yang ditulis Dr. Heinrich Soemann (duta besar Jerman
di Indonesia), kemudian saya tahu kalau negeri ini rupanya telah menjalin
persahabatan erat dengan Jerman sejak proklamasi kemerdekaannya dan mungkin
satu-satunya negara di Asia(?). Banyak sekali orang penting di Indonesia yang
pernah mengenyam pendidikan di Jerman—termasuk yang tersangkut kasus apa-itu
baru-baru ini.
Jadi, dengan sarana yang melimpah lagi cuma-cuma ini, mengapa tidak belajar Jerman?[]
Jadi, dengan sarana yang melimpah lagi cuma-cuma ini, mengapa tidak belajar Jerman?[]