Sabtu, 31 Agustus 2013

Belajar Jerman, Mengapa Tidak? (2 dari 2)

...bagian satu di posting sebelumnya

Deutsche Welle Warum Nicht

sumber
“Warum Nicht” rupanya program belajar bahasa Jerman yang merupakan kerja sama antara radio Suara Jerman ali­as Deutsche Welle dengan Goethe-Institut. Program ini terdiri dari 4 series yang masing-masing berisi 26 chap­ter (plus Appendix 1-6). Masing-masing chapter be­ru­pa audio (mp3) dan teks (pdf) yang bisa dimanfaatkan se­cara online maupun diunduh secara cuma-cuma(!). (Ber­bahagialah yang tidak punya dana untuk kursus di tem­pat-tempat tertentu.)

Materi dalam program ini sesuai bagi yang baru mem­pe­la­jari bahasa Jerman alias level A1 sampai level B1. Buat yang belum tahu (sebagaimana saya sebelum membaca brosur dari Goethe-Institut), kompetensi berbahasa Jer­man di Goethe-Institut dinilai melalui beberapa jenjang uji­an. Jenjang terbawah adalah A1, lalu A1, B1, B2, C1, hing­ga C2. Untuk jenjang A1 (tos dulu), kemampuan yang dilihat adalah: mengenali, memahami, dan meng­gu­na­kan kalimat-kalimat sederhana untuk menjelaskan hal-hal konkret dalam kehidupan sehari-hari, serta; dapat ber­komunikasi dengan bahasa yang sederhana jika la­wan bicara berbicara lambat, jelas, dan bersedia mem­ban­tu jika timbul kesulitan berkomunikasi.

Sajian utama “Warum Nicht” adalah audio. Men­de­ngar­kan­nya seperti mendengarkan radio. Seandainya internet be­lum tren, mungkin pada jam tertentu kita akan duduk di sam­ping radio, lalu mencari frekuensi Deutsche Welle. Be­gitu program dimulai, telinga pun terpancang, mata me­nerawang, kaki digoyang-goyangkan, sedang jemari ta­ngan ditautkan di atas lu­tut. Mungkin sesekali kita meng­ambil pulpen dan notes yang telah disiapkan di de­kat radio, lalu mencatat poin-poin yang dianggap penting.

Yang membuat “Warum Nicht” makin menarik menurut sa­ya adalah karena yang disajikan bukan sekadar materi (ta­ta bahasa dsb.). Melainkan karena materi itu diangkat da­ri percakapan-percakapan yang membentuk alur cerita yang dapat membangun keingintahuan kita. Dalam durasi tidak lebih dari seperempat jam, tiap chapter me­ngisahkan (melalui percakapan) kejadian-kejadian ter­ten­tu dalam kehidupan seorang pemuda bernama An­dreas. Ia mahasiswa Jurnalistik yang juga bekerja se­ba­gai resepsionis di Hotel Europa. Usianya sekitar 25 tahun.

Mungkin Ex seperti ini
sumber
Selain Andreas, tokoh-tokoh lain yang muncul secara kon­tinyu adalah Frau Berger (manager hotel yang hobi ber­nyanyi), Hanna (petugas kebersihan hotel), Dr. Thür­mann (dokter asal Berlin kelahiran Leipzig yang me­ru­pa­kan tamu langganan hotel), dan… yang bikin cerita ini aja­ib adalah kehadiran sesosok makhluk gaib (de: Kobold, en: elf, id: dedemit) bernama… Ex. Ex mendadak mun­cul saat Andreas membaca buku tentang Hein­zel­männ­chen (sosok serupa elf yang suka membantu pe­ker­ja­an manusia di malam hari). Secara tidak sengaja An­dre­as mengucapkan kata ajaib yang mengeluarkan Ex da­ri buku. Sejak itu Ex selalu mengikuti Andreas ke ma­na-mana. Namun karena wujud Ex tidak kasatmata (de: un­sichtbar) sementara suaranya dapat terdengar dengan je­las, keceriwisannya kerap menimbulkan kebingungan ba­gi orang-orang di sekitar Andreas.

Ada saja masalah bahkan kekonyolan yang terjadi dalam ke­hidupan sehari-hari Andreas, apalagi interaksi dengan atau antar tamu-tamu hotel. Tapi tidak hanya itu, kita juga ke­mudian dikenalkan dengan berbagai aspek dalam ke­hi­dup­an orang Jerman secara umum. Profesi Andreas se­ba­gai jurnalis radio yang melakukan reportase ke mana-ma­na membuatnya dapat berbagi banyak wawasan ke­pa­da para pendengar.

Loreley
Di series 2 saja misal, kita diajak menelusuri asal-usul na­ma Aachen (kota di mana Andreas sekolah dan be­ker­ja) serta mengetahui legenda seputar Loreley (batu besar yang bersempadan dengan Sungai Rhein—de: Rhine).

Di series 3, kita diajak menjelajahi Berlin dan diceritakan me­­nge­nai tembok yang pernah memisahkan Jerman men­ja­di dua bagian. Runtuhnya tembok Berlin menjadi mo­men­tum yang agaknya berdampak cukup signifikan bagi war­ga Jerman, khususnya di daerah-daerah sebelah timur.

Di series 4—ketika Andreas sudah menyelesaikan se­ko­lah­nya di Aachen dan berhenti bekerja di Hotel Europa, ki­ta lebih sering lagi diajak jalan-jalan ke wilayah timur dan mengenal sejarah, sumber daya alam, hingga ke­bu­da­yaan yang berarti bagi warga Jerman. Sebut saja ke­hi­du­pan agraris di Bradenburg dan puisi tentang kakek-ka­kek yang menawarkan pir dari dalam kubur, nasib industri ka­pal di Rostock, bagaimana penambangan batu bara me­­matikan desa demi desa, sampai ke­in­dah­an alam di Thüringen yang menjadi inspirasi bagi sa­lah satu karya Goethe.

Sejauh ini, “Warum Nicht” adalah pembelajaran bahasa Jer­man paling “menyenangkan” yang bisa saya temukan. De­ngan audio saja, materi dituturkan sedemikian santai, bah­kan diselingi oleh penggalan musik klasik pada salah sa­tu pergantian sesi, sehingga tanpa menengok teks pun ra­sa-rasanya kita sudah bisa mengerti—asal kita betul-be­tul mendengarkan. (Program ini mungkin sekaligus bi­sa menjadi sarana berlatih mendengarkan yang baik.) Da­lam chapter 1 pun kita tidak dituntut untuk segera me­nger­ti kata per kata dalam bahasa Jerman yang di­per­de­ngar­kan. Malah kita diminta untuk terbiasa dulu men­de­ngar (bu­kan mendengarkan) bagaimana orang-orang Jer­man ber­bi­cara. Dari suasana yang ditimbulkan suara-su­a­ra itu, ba­rulah kita menangkap konteksnya.

Tapi pemahaman kita tentu akan lebih jelas jika dibarengi de­ngan pembacaan teks. Supaya kita tidak hanya me­nge­tahui bagaimana suatu kata diucapkan, tapi juga di­tu­lis­­kan. Teks terdiri dari ringkasan tata bahasa yang di­pe­la­jari, dialog (maupun materi siaran Andreas) yang di­per­de­ngarkan, kosakata, dan tentu saja latihan(!). (Tapi se­jak series 4, kosakata tidak lagi disertakan.) Kompilasi ring­kasan tata bahasa dan kosakata, dialog yang sudah di­terjemahkan ke dalam bahasa pengantar, dan kunci ja­wab­an tersedia dalam Appendix.


Program lainnya

Program belajar bahasa Jerman dari Deutsche Welle bu­kan cuman “Warum Nicht”. Ada banyak program lain yang disesuaikan dengan jenjang kompetensi. Untuk le­vel A1 saja, ada lima program yang bisa dicoba. Selain “Wa­rum Nicht”, yaitu “Deutsch Interaktiv” (A1-B1 dalam 30 lessons dan sepertinya paling komprehensif dengan ada­nya video dan tes), “Mission Berlin” (A1-B1 dalam 26 epi­sode yang dirancang penuh aksi), “Radio D Part 1 (A1-A2 dalam 26 episode dan sepertinya paling “mudah” di antara program-program lain), serta Audiotrainer (A1-A2 dalam 100 lessons yang untuk mp3-nya mending un­duh dari www.book2.de sekalian berkunjung—pokoknya sur­ga bagi peminat kursus bahasa gratisan!).

Dan yang amat sangat perlu diperhatikan adalah pro­gram-program di Deutsche Welle terdiri dari 30 bahasa—sa­lah satunya adalah bahasa Indonesia. Hal ini baru sa­ya sadari setelah mengikuti separuh kursus “Warum Nicht”—tepatnya chapter 12 series 3—dalam bahasa Ing­gris. Sampai-sampai saya pikir kegunaan saya belajar ba­hasa Inggris selama ini ternyata untuk menjembatani sa­ya belajar bahasa lain (ya benar juga sih). Mengingat pi­lihan bahasa Tagalog, Melayu, bahkan Jepang saja ti­dak tersedia, entah kenapa saya merasa bangga. Dari ar­ti­kel yang ditulis Dr. Heinrich Soemann (duta besar Jer­man di Indonesia), kemudian saya tahu kalau negeri ini ru­­pa­nya telah menjalin persahabatan erat de­ngan Jer­man sejak proklamasi kemerdekaannya dan mung­kin sa­tu-satunya negara di Asia(?). Banyak sekali orang pen­ting di Indonesia yang pernah mengenyam pen­didikan di Jer­man—termasuk yang tersangkut kasus apa-itu baru-baru ini. 

Jadi, dengan sarana yang melimpah lagi cuma-cu­ma ini, me­ngapa tidak belajar Jerman?[]

Kamis, 29 Agustus 2013

Belajar Jerman, Mengapa Tidak? (1 dari 2)

Bagaimana cara termudah untuk belajar bahasa Jerman?

sumber
Sebagian orang mungkin sudah mengenal bahasa Jer­man sejak di SMA, sebagai mata pelajaran bahasa asing se­lain bahasa Inggris. Tapi program yang saya ikuti di SMA tidak mengganggap bahasa ini—bahkan bahasa asing manapun selain bahasa Inggris!— sebagai mata pe­lajaran yang esensial. (Jangan tanya program apa di SMA mana.)

sumber
Maka saya mulai dengan membeli buku petunjuk belajar ba­hasa Jerman[1] yang saya temukan secara kebetulan di bar­gain book centre Gramedia. Topik demi topik saya ba­ca. Soal di tiap-tiap akhir topik saya kerjakan. Uraian da­lam buku ini cukup mudah. Tapi sampai di topik me­nge­nai perubahan tenses, saya angkat tangan.

Saya juga mengumpulkan berbagai materi peninggalan orang­tua, meliputi kamus, buku bantu bacaan, sampai vo­cabulary cards (tapi saya tidak kenal seorangpun di ke­lu­arga saya yang mengenal bahasa ini, waha). Klasik, ta­pi se­ju­jurnya untuk pembelajaran awal tidak memadai. Ti­dak satupun memuat soal tata bahasa, bahkan cara peng­ucapan.

Adik saya diberikan mata pelajaran bahasa Jerman di SMA, tapi tanpa buku teks. Membaca catatannya yang di­tulis tangan dan entah kini disimpan di mana juga ra­sa­nya tidak menarik.

Walau begitu, ketika ke toko buku (obralan) dan me­ne­mu­kan buku berbahasa Jerman yang murah-meriah, sa­ya ambil juga (tentu dengan meninggalkan uang di kasir) un­tuk dibaca kelak ketika sudah mampu me­mahami.

Kontak pertama saya dengan bahasa Jerman sebetulnya di­mulai sejak kecil—seingat saya. Yaitu lewat la­gu “Du” da­ri Peter Maffay. Lagu ini seakan lagu yang wa­jib ada dalam album-album Evergreen Hits. Dipandu pe­tun­juk da­ri buku yang telah dibeli, melalui lagu ini saya mu­lai be­la­jar cara pengucapan kata-kata dalam bahasa Jer­man.

Penelusuran dengan kata kunci “belajar bahasa jerman” di Google juga sudah saya lakukan. Tapi beberapa hasil yang saya peroleh tidak memuaskan, tidak mudah di­me­ngerti.

sumber
Mentok dengan yang sebelum-sebelumnya, saya mem­be­li buku petunjuk belajar bahasa Jerman yang lain[2], yang lebih tebal. Saya pernah melihat buku itu se­be­lum­nya di rak milik sepupu-jauh saya. Sepertinya bisa di­per­ca­ya. Tapi isi Lektion 1 buku ini ternyata tidak lebih se­der­hana.

Jiwa eksplorasi yang bikin saya berasa Dora kembali mun­cul. Kali ini saya mengandalkan 4shared. Saya juga ingin menemukan lagu(-lagu) berbahasa Jerman selain “Du”, kalau bisa yang tersedia pula liriknya. Sebelumnya sa­ya sudah temukan yang cukup enak didengar seperti “Ich Habe Angst von deine Kussen” dari Clarissa May dan “Keine Angst” dari Gaby Vesper. Namun kedua lagu ter­sebut berasal dari zaman antah-berantah. Pencarian li­rik­nya tidak mudah.

Situs 4shared ternyata ladang materi be­­la­jar bahasa Jer­man yang subur. Panenan saya mencapai 1,5 gigabyte yang tidak hanya mengenai grammar, vo­cabulary, colloquial, bacaan anak-anak, soal-soal uji kom­petensi, dan teks-teks semacam, tapi juga audio. (Dan tentu sa­ja, lagu-lagu berbahasa Jerman dari zaman an­tah-be­ran­tah—pokoknya lawas!—yiiha banget deh!)

Materi yang sangat menarik berasal dari Foreign Service Ins­titute, Departement of State, digunakan untuk me­nyi­ap­kan para calon diplomat AS yang hendak ditempatkan di Jerman. Materi ini terdiri dari buku teks (pdf) (dengan peng­antar berbahasa Inggris) berjumlah dua volume yang masing-masing berisi 12 unit (total 24 unit), dan di­leng­kapi dengan audio yang durasi per unit mencapai sa­tu jam lebih. Materi ini tentu saja meliputi tata bahasa dan ko­sakata, namun yang jauh lebih ditekankan adalah pe­ngu­asaan dalam pelafalan dengan metode drill. Audio me­nuntun kita untuk mengucapkan kata-kata dan ka­li­mat-kalimat dalam bahasa Jerman yang tertera di teks hing­ga berulang-ulang. (Sampai pegal deh mulut sama te­linga, serius, mana kalimat-kalimatnya diucapkan de­ngan sangat cepat.) Konteks kata-kata dan kalimat-ka­li­mat tersebut tentu saja yang berhubungan dengan su­a­sa­na di kedutaan dan peristiwa-peristiwa terkait, se­hing­ga memberi kita gambaran akan bagaimana pengalaman men­jadi diplomat hehe.

sumber
Berkat lagu “Du” dan materi dari FSI, saya menyadari bah­wa pembelajaran bahasa menjadi lebih menarik de­ngan tidak sekadar mengandalkan teks, tapi juga audio. Yang terpenting adalah kita tahu bagaimana cara meng­u­cap­kan kata-kata dalam bahasa Jerman yang berbeda de­ngan cara kita mengucapkannya dalam bahasa In­do­ne­sia. Karena itulah, ada materi lain berformat mp3 yang menarik perhatian saya. Judulnya “Deutsche Welle Wa­rum Nicht”. Ketimbang hasil unduhannya jangan-jangan me­ngecewakan, lebih baik saya cek dulu di Google.


...disambung di posting berikutnya






[1] Siapapun Bisa Bahasa Jerman oleh Darjat, Penerbit ANDI, Yogyakarta, 2008
[2] Bahasa Jerman—Kursus Lengkap bagi Pemula oleh Paul Coggle, Penerbit Kesaint Blanc, Bekasi, 1995.

Selasa, 27 Agustus 2013

Pembacaan Cerpen Koming 2012

Berapa kali aku mengeluh pada orang-orang di satu-dua grup “ap­re­si­asi sastra” yang kutimbrungi, “Cerpen koran susah dimengerti!” Ta­pi mereka membicarakannya seolah nasib sastra Indonesia di­ten­tu­kan oleh selembar halaman dari koran Minggu (selanjutnya: ko­ming). Dari tampang mereka, sepertinya mereka tidak mengalami ke­susahan. Dengan responsif mereka merekomendasikan nama-na­ma cerpenis yang karyanya mudah diikuti. Pada waktu itu aku me­mang jarang membacai cerpen koming. Bahkan sebetulnya aku tidak meng­gemari cerpen. Pembacaan cerpen tidak memberikan peng­a­lam­an seintens pembacaan novel. Cerpen bagaikan pertemuan sing­kat dengan orang(-orang) yang kita jumpai pada saat itu saja, yang ke­sannya segera berlalu seusai pembacaan.

Walau demikian, menurut Joe Bunting dari The Write Practice, ada beberapa alasan kenapa cerpen layak untuk di­pe­la­jari, apalagi oleh penulis pemula. Ernest Hemingway dan Stephen King merintis karier kepenulisan dengan menulis cerpen. Cerpen men­jadi sarana berlatih menulis yang efisien. Cerpen dapat lebih ce­pat diselesaikan ketimbang novel, baik dalam penulisan maupun pem­bacaan. Dengan demikian, kita dapat memperoleh feedback yang lebih cepat pula. Dari feedback, kita tahu bagaimana harus mem­perbaiki penulisan kita. (Lebih cepat dapat honor juga?)

Maka akupun mencanangkan proyek “Pembacaan Cerpen Koming”. Ka­rena proyek ini dimulai pada tahun 2013, maka untuk mengetahui ba­gaimana tren baru-baru ini, aku mengumpulkan cerpen-cerpen ko­ming tahun sebelumnya dari Lakon Hidup. Blog ini memang di­ke­nal sebagai “gudangnya” cerpen koming, menayangkan cerpen-cer­pen koming yang sebelumnya dimuat di beberapa koran besar se­per­ti KOMPAS, Republika, Koran Tempo, Jawa Pos, Suara Merdeka, dan belakangan Media Indonesia. Orang-orang dari satu-dua grup yang kumaksud itupun membacai cerpen-cerpen koming melalui blog tersebut. Di Facebook, blog ini terhubung dengan grup “Cerpen Ko­ran Minggu”. (Tapi belakangan blog ini sepertinya jarang update.)

Total cerpen koming 2012 yang kuunduh dari Lakon Hidup mencapai 238 buah. Kukira tidak ada yang terlewat. Kalau dihitung-hitung an­ta­ra jumlah hari Minggu dalam setahun dengan jumlah media yang men­jadi sumber sepanjang tahun 2012, jumlah ini seharusnya lebih. Ta­pi tidak apa-apa lah, inipun sudah banyak.

Supaya pembacaan yang dilakukan tidak menguap begitu saja, aku mem­bekali diri dengan buku tulis. Setiap habis satu cerpen yang ter­su­sun menurut abjad itu, aku menuliskan pembacaannya dalam de­la­pan baris. Baris pertama diisi dengan judul cerpen setrip nama cer­pen­is, baris kedua dengan nama media dan tanggal pemuatan, baris ke­tiga dengan jumlah kata, dan lima baris berikutnya berupa ko­men­tar.

Dari proyek ini, diharapkan terpilih cerpen-cerpen yang paling di­su­ka untuk disayang-sayang. Jelas sudah, penilaian akan amat sangat sub­jektif sekali. Memang, dari penelusuranku terhadap buku-buku me­ngenai kritik sastra, berhasil ditemukan kriteria-kriteria yang di­pa­kai untuk menilai keberhasilan/kegagalan suatu karya, yaitu ino­va­si/kebaruan, orisinalitas/keaslian, kompleksitas/kerumitan, ke­ma­tang­an, dan kedalaman (maaf, lupa kutip dari mana). Tapi meng­i­ngat cara tersebut bakal jelimet bagiku yang notabene tidak ber­ka­pa­sitas sebagai sarjana sastra ini, maka metode subjektif dengan kri­te­ria sebagai berikut yang kugunakan: 1. Aku suka; 2. Kalau aku tidak su­ka walaupun cerpen tersebut ditulis dengan apik, lihat poin 1. Heh heh heh. Mengingat bacaan yang menumpuk bukan hanya rom­bong­an cerpen ini saja, (dan sepertinya ini masalah yang dialami ku­tu­buku-keblinger di manapun jua), maka komentar diberikan hanya ber­dasarkan sekali pembacaan. Tidak ada pembacaan ulang untuk men­coba menangkap lagi isi cerpen. Dengan demikian, kriteria pa­ling utama adalah: mudah diikuti.

Maka setelah menghabiskan 86 halaman buku tulis, dipilih sepuluh cer­pen sebagai berikut, disertai dengan komentar sebagaimana ter­te­ra di kertas.

Banjir di Cibaresah – Aba Mardjani
KOMPAS, 28 Oktober 2012
1622 kata
Asa lucu. Asa simbolik. Tentang desa yang kena banjir, di­ce­ritakan dari sudut pandang penjaganya yang sekiranya jus­tru berada di tempat paling aman. Dan akibat banjir itu, ber­bagai macam hewan jadi menyerbu desa, dengan in­car­an dan efek berbeda. Di bagian yang asa lucu itu kayak ob­rol­annya Cepot dengan Dawala atau siapa. Dan tempat ber­kum­pulnya hewan-hewan itu justru di rumah kepala desa.

Biografi Kunnaila – Sungging Raga
Jawa Pos, 4 November 2012
1299 kata
Sukaa…! XD Lancar tenan bacanya. Enak. Jenaka. Bahkan sam­pai ‘keluar jalur’, seolah ada kesepakatan antara tokoh de­ngan pengarangnya. Kocak! Menceritakan tentang nasib Kun­naila, menjelang dipersunting masinis hingga peristiwa bu­ruk menimpa. Dan ada pernyataan yang pas banget de­ngan saya. Woah. Akhirnya nemuin favorit. Kya…

Gadis Penjual Bantal – Thohar Budiharto
Suara Merdeka, 9 Desember 2012
1659 kata
Aku suka cerpen ini karena keanehan-keanehan di da­lam­nya yang bikin aku berhah? heh?, walau di akhir hampir se­mua jelas karena si karakter memang gila. Yang ga jelas ada­lah kenapa dia ketika berhasil ngajak keluar gadis yang di­sukainya, kok mendadak urung, setelah ditanya apa pe­ker­ja­annya. Dasar orang gila.

Jack dan Bidadari – Linda Christanty
KOMPAS,10 Juni 2012
1816 kata
Penuturannya seperti yang acak-acakan, tapi aku suka ka­re­na simpel, seolah memberitahuku sebentuk cara pe­nyam­pai­an walau kehidupan yang ditampilkan mungkin rumit. Dan ketika aku tengah termenung mengikuti kehidupan si na­rator sebagaimana yang ia tuturkan, ada unsur pengejut ka­lo yang dimaksud dengan Bidadari itu mungkin bukan ce­wek sebagaimana lazimnya kita bayangkan seperti apa bi­da­dari.

Keluarga “Z” – Mardi Luhung
Jawa Pos, 27 Mei 2012
1620 kata
Kocaak…! :D Lucu! Suka! Makanya itu… dan ada nilai-nilai ke­keluargaan juga yang dikemas dengan… ya kocak itu. Ban­dingkan dengan cerpen-cerpen yang mengangkat ten­tang keluarga di *upssorisensor, kesannya tragis, terlalu se­ri­us, gitulah… Ah senang menemukan cerpen yang seperti ini. Barangkali cerpen semacam inilah yang ingin aku ha­sil­kan?

Lagu Tanglung Ungu – Beni Setia
Jawa Pos, 12 Februari 2012
2311 kata
Kukira ini cerpen memikatku, walau aku pingin mbuleti tiap ‘si’ dalam teksnya, untuk apa sih?, aku suka dengan tu­tur­an­nya yang seolah merepet, padat, nyinyir, seolah menyajikan ke­rumitan pikiran. Walau sempat aku mengira diksinya ter­lam­pau canggih untuk karakter si naratornya, tapi intrik-in­trik dalam ceritanya kupikir juga menarik.

Mengharap Kematian – Dadang Ari Murtono
Republika, 22 April 2012
1334 kata
Aku suka cerpen ini. Temanya menarik. Dan lucu. Tentang se­seorang yang menanti-nanti kematian tapi tidak dengan ke­muraman, melainkan persiapan agar nantinya indah. In­ti­nya, kematian itu bukan hal yang bisa diprediksi (inget lagu Que Sera Sera, the future not us to see atau apa, juga no­ve­let Aki [kalo ga salah] dari Idrus).”

Pahlawan Tersisa di Makam Tua – Danang Probotanoyo
Republika, 11 November 2012
1561 kata
Setuju. Ini cerpen yang bagus, menurutku. Sosok pahlawan yang dilupakan, pahlawan ’45 keknya emang udah cukup se­ring diangkat. Ini juga. Cuman secara khusus agaknya aku ter­sentuh aja dengan gambarannya yang realis. Aku yang ting­gal di ‘rumah bagus’ ini tersindir. Dan ada satu paragraf yang menurutku lucu. Aku juga pingin bisa mengangkat so­sok rakyat kecil.”

Koran Tempo, 18 November 2012
1560 kata
Entah kenapa aku suka cerita ini. Bagian awalnya kek ‘Some­one Like You’-nya Adele. Kisah perempuan patah hati yang lari ke kota kecil itu kayak di On a Journey-nya Mbak De­si. Trus aku pun punya pikiran kalo jangan-jangan dalam mim­pi itu kita ketemu orang-orang beneran yang belum kita ke­nal, lalu bisa saja sebetulnya kita kopi darat. Mungkin ju­ga karena aku suka main ke situs penulisnya? Contoh bahwa cer­pen mungkin berangkat dari satu momen, tapi ga mesti men­ceritakan tentang momen itu sendiri, bisa saja me­rang­kum kisah yang dalam situasi lain orang berpikir untuk men­ja­dikannya novel. Inget pengarang yang belajar untuk meng-compress cerita setelah baca cerpen Anton Chekhov.

Semarang Suatu Hari – Bre Redana
Suara Merdeka, 22 April 2012
1471 kata
Ini cerpen mungkin bisa dibilang slice of life, abis kek cu­man penggalan keseharian aja tapi enak diikuti, nyaman ba­ca­nya, sambil geli-geli dikit. Tentang nganterin Mama ke Se­ma­rang, jalan-jalan. Mama cerewet. Untung ada teman, Mul­yadi, yang bisa meladeni kecerewetan Mama. Yah… su­ka sih… Oya, latarnya lingkungan Tionghoa nih.”

Setelah dua ratusan cerpen kubaca, tepatnya ketika sampai pada cer­pen seorang pengarang yang pernah dipuja-puji karena sangat nyas­tra atau entah apa, namun karyanya itu malah mem­bi­ngung­kan­ku, tidak berkesan buatku, aku menyadari kalau aku tidak me­nger­ti bagaimana menentukan mana yang bagus dan mana yang ti­dak. Dan bahwa, lazimnya cerpen yang kusuka adalah yang me­nu­rut­ku lucu. Aku juga cenderung tertarik dengan gaya.

Sebetulnya ada beberapa cerpen lain yang juga mengena, tapi ku­ba­tasi sampai sepuluh supaya sesuai dengan jumlah malaikat dan jum­lah jari, terutama yang sekaligus bikin aku geli alih-alih sedih. Be­gi­tu­pun dengan film, favoritku adalah yang bisa membuatku terkekeh-ke­keh bahkan terkakak-kakak seperti trilogi Naked Gun (terutama yang 2 ½), Kwalitet II, Setan Kredit, dan semacamnya.

Sebetulnya juga, aku ragu ketika hendak memasukkan “Jack dan Bi­da­dari”. Aku sangat terpikat dengan penuturan dalam cerpen ini. Na­mun keistimewaannya memudar ketika kemudian aku me­ne­mu­kan sekitar lima cerpen lain yang akhirannya mirip. Maka ini menjadi pem­belajaran, simaklah baik-baik, bahwa ketika lain kali kita me­ne­mu­kan cerita yang mengeksplorasi hubungan di antara dua insan yang galau atau semacam itu, bisa jadi kejutannya ada di orientasi seksual mereka.

Demikianpun dengan “Banjir di Cibaresah”, sepertinya aku temukan ju­ga dalam cerpen lain, di mana di akhir sorotan ditujukan pada so­sok pemimpin, entah kepala desa atau ketua RT. Tapi bagaimanapun aku suka Cepot dan Dawala. (!?)

Sebetulnya lagi, masih banyak penemuan yang kudapatkan dari pem­bacaan ini, meliputi jumlah kata, ragam tema, cara pe­nyam­pai­an (teknik), terjemahan, pemuatan dobel, cerpen-cerpen yang di­mak­sudkan untuk menjadi novel, frekuensi kemunculan karya dari ti­ap-tiap cerpenis, sampai muatan-muatan dalam cerpen yang (se­ca­ra pribadi sih) bikin pembacaan jadi enggak enak. Tapi membahas se­mua satu per satu akan lama. Dan lagi, apalah aku yang awam da­lam jagat persastraan ini. Hanya bisa menilai keokean suatu cerpen da­ri kocak atau tidak. Barangkali Pembaca pun tertarik untuk men­co­ba. Jika ingin coba mempelajari sesuatu, mulailah dari apa yang mu­dah bagimu. Demikianlah bagiku.

Ngomong-ngomong, mana cerpen koming 2012 favoritmu?[]

Minggu, 25 Agustus 2013

Jerman di Mata Orang Jerman

Selamat apa saja, Pembaca yang budiman. Kali ini saya hendak mengenalkan Anda dengan lagu dari sebuah grup musik asal Leipzig, Jerman, yaitu Die Prinze (en: The Princes). Grup musik ini terbilang kontemporer karena baru dibentuk pada akhir era '80-an dan masih eksis hingga kini. Para anggota Die Prinzen sebelumnya tergabung dalam grup koor di Thomaskirche (id: Gereja St. Thomas). Di Thomaskirche, Johann Sebastian Bach pernah menjadi penanggung jawab musik selama 27 tahun sejak tahun 1723.

Die Prinzen juga dikenal membawakan lagu-lagu dengan lirik yang kritis dan humoris. Salah satunya berjudul "Deutschland" (2001). Melalui lagu ini, kita bisa memperoleh sedikitnya wawasan mengenai bagaimana orang Jerman memandang negaranya. Tentu saja lagu ini dibawakan dalam bahasa Jerman. Namun saya menemukan videoklipnya di Youtube yang sudah dilengkapi dengan subtitle bahasa Inggris, bahasa yang lebih umum diketahui. Sila disimak.


Satu lagi lagu dari Die Prinze yang layak ditelusuri berjudul "In Der Nach ist Der Mensch nicht gern alleine" (1997) (terjemah ngasal: "Nobody likes to be alone"). Lagu ini sebetulnya remake dari lagu lawas yang mula-mula dibawakan oleh Marika Rökk (1944). Namun kesan yang ditimbulkan masing-masing versi sangat berbeda. Tidak hanya lebih ear-catchy, ngepop, pokoknya bernuansa-masa-kini-lah, versi remake juga terdengar seperti nasyid berbahasa Jerman. Barangkali yang terutama membuatnya terdengar seperti nasyid adalah karena adanya unsur akapela. Banyak toh nasyid yang dibawakan secara akapela. (Coba dengar Raihan atau mungkin Intifada dari Rabbani.) Coba simak musiknya, nadanya, dan bayangkan liriknya diganti dengan bahasa Indonesia bermuatan kalimat tayibah. Cocok kan? Atau mungkin hanya perasaan saya saja.[]

Jumat, 23 Agustus 2013

"Kalau lebah kan An-Nahl. Kalau semut apa?"
"Al-Ant."

#dungdungces

Rabu, 21 Agustus 2013

Reading book is a great escape



And all I can do is read a book to stay awake, and it rips my life away, but it's a great escape... (Blind Melon - "No Rain")

Senin, 19 Agustus 2013

Pertanyaan

Udin,
Yang ganteng,
Yang dahinya lapang,
Yang matanya menyilet,
Yang rambutnya mengombak,
Yang pipinya bertulang bak tebing,
Yang senyumnya suam-suam kuku,
Yang saleh,
Yang tidak mau disentuh cewek,
Yang tidak mau dibonceng cewek,
Apa istrimu harus bercadar?
Apa istrimu boleh setel lagu-lagu barat?
Apa istrimu harus tinggal bareng ibumu?

Sabtu, 17 Agustus 2013

Kemalangan Individu, Kemalangan Negara

Tetapi dirimu itu payah!
Memang, jawabnya memelas, tapi hanya itulah yang kumiliki.
—hal. 187

…Tak punya cewek itu buruk. Tetapi, mati itu sepuluh kali lebih buruk daripada tidak punya cewek.
—hal. 206
  
Rasa takut membunuh pikiran.
—diulang dua kali di halaman-halaman yang tidak aku catat

Bandung Book Center seberang Palasari obral sampai penghujung Juli kemarin. Satu dari buku-buku yang kuborong berjudul The Brief Wondrous Life of Oscar Wao, karangan Junot Díaz[1]. Lihatlah, sampulnya yang memikat. (Apalagi harganya yang barangkali hanya sepertiga harga asli). Seorang bocah gemuk membuka bagian atas bajunya lebar-lebar, memperlihatkan lapisan lain yang melekat baliknya. Dengan latar biru, dan embem serupa celana dalam menempel di dada dengan inisial ala Superman. Tunggu dulu. Ia pasti Oscar Wao yang hendak diceritakan dalam novel ini. Bukan huruf "S" yang tertera di sana, melainkan "OW". Bagaimana dengan sinopsisnya… "...SEORANG KUTU BUKU... KELEBIHAN BERAT BADAN... BERMIMPI MENJADI THE NEXT J. R. R. TOLKIEN... TERUS MENERUS MENDAMBAKAN CINTA (DAN TERUS-MENERUS DITOLAK)... BLA BLA BLA BLA..." Cocok.

source
Rada segan ketika hendak memulai pembacaan novel yang tampak menarik ini. Karena ada "Kata Pengantar Editor Edisi Bahasa Indonesia" segala, yang menceritakan kesukaran penerjamah dalam menghadapi novel ini. Novel ini dijejali dengan banyak istilah berbahasa Spanyol dan semacamnya, juga yang berkenaan dengan dunia fiksi ilmiah. Catatan kaki di mana-mana, membentuk cerita baru, bahkan ada yang panjangnya mencapai hampir satu halaman. Tidak ada tanda kutip yang membedakan dialog dengan narasi. Bahkan para pembaca Oscar Wao sampai membuat situs khusus yang menyediakan penjelasan dalam memahami novel ini, yaitu www.annotated-oscar-wao.com. Memang, pembuka novel ini saja sudah bikin aku puyeng dengan kata-kata yang dimiringkan, dibesarkan, maupun catatan kaki sepanjang lebih dari setengah halaman. Maka aku letakkan novel ini dan membaca setumpuk buku lain. Selama itu novel ini mengiang-ngiang dalam kepala. Hingga aku memutuskan untuk menaruhnya lagi di meja di hadapanku, dengan niat akan membacanya sambil duduk tegak. (Yah sesekali tiduran boleh kan.)

Rupanya novel ini tidak sekadar menceritakan tentang Oscar de León, pemuda kutubuku penggila fiksi ilmiah nan obesitas dan tunacinta, yang ketika bertemu dengan perempuan yang menumbuhkan kembali harapannya, (akhirnya), rela berjuang sampai titik darah penghabisan, maksudnya, benar-benar habis, Oscar meninggal di penghujung novel oleh antek-antek kekasihnya itu (sorry, spoiler). Di lapisan berikutnya, kemalangan Oscar tidak hanya menimpa dirinya, tapi juga kakaknya, ibunya, hingga kakeknya. Seolah menyingkap akar dari kemalangan itu, sekaligus sejarah kelam Republik Dominika.

Kisah sesungguhnya bermula dari kakek Oscar, Abelard Luis Cabral, yang menolak mempertemukan putrinya dengan penguasa Dominika pada masa itu, Rafael Leónidas Trujillo Molina. Trujillo, yang punya julukan Maling Ternak yang Gagal, punya kegemaran berburu gadis-gadis tercantik Dominika untuk digagahinya. Ia juga diktator yang akan menumpas orang-orang yang melawannya dengan keji. Upaya Abelard untuk menjaga kehormatan putrinya pun dibalas tanpa ampun. Kemapanan Abelard berbalik jadi kehancuran. Ia dipenjara selama empat belas tahun. Istrinya menabrakkan diri ke truk yang tengah melaju. Ketiga putrinya kemudian hidup terpencar. Yang sulung bunuh diri. Yang tengah tewas misterius. Yang terakhir menjadi ibu yang otoriter bagi Oscar dan kakaknya.

Trujillo itu nyata, silahkan cek di Wikipedia. Dan kakek Oscar hanyalah satu dari puluhan ribu orang yang menjadi korban rezim Trujillo, yang imbasnya sampai ke anak-cucu. Kenestapaan beruntun ini menimbulkan anggapan bahwa keluarga Oscar dijangkiti fukú. Fukú adalah kepercayaan rakyat Dominika dan sekitarnya yang berarti Kutukan. Antara Trujillo dengan fukú terdapat kaitan yang erat. Siapapun yang melawan Trujillo akan terkena fukú.

Fiksi ilmiah, sejarah, dan budaya lokal. Bayangkan unsur-unsur tersebut menyusun narasi setebal tiga ratusan halaman: novel ini.

Bagaimana kehidupan Oscar dikaitkan dengan sejarah Dominika, mengingatkanku akan karya-karya sastra Indonesia yang mengangkat isu semisal 1965 atau Orba. Barangkali Oscar Wao adalah karya setipe. Tapi Oscar Wao dibawakan dengan gaya yang ringan, bahkan ngepop, mungkin. Tentu saja karena referensi mengenai budaya pop yang bertaburan di mana-mana, yang agaknya membuat novel ini terkesan tidak begitu serius, kendati isu yang diusung menunjukkan sebaliknya. Juga coba simak gambaran mengenai Rafael Leónidas Trujillo Martínez alias Ramfis, putra Trujillo, dalam catatan kaki di halaman 112 ini.

...(Dalam sebuah laporan rahasia yang diserahkan oleh seorang konsul Amerika Serikat—dewasa ini dapat ditemukan di Perpustakaan Kepresidenan JFK—Ramfis digambarkan sebagai pribadi yang terganggu otaknya; seorang anak muda yang semasa kanak-kanak menghibur diri dengan meledakkan kepala ayam dengan revolver kaliber .44.) Ramfis melarikan diri dari negerinya setelah tewasnya Trujillo, hidup mewah dari hasil korupsi ayahnya. Hidupnya berakhir dalam sebuah kecelakaan mobil pada 1969; penumpang yang ditabrak mobilnya adalah Duchess of Albuquerque, Teresa Beltrán de Lis, yang tewas seketika; si Kecil Buruk Rupa terus saja membunuh hingga akhir hayatnya.

Gaya yang satir serta gambaran mengenai negara Dunia Ketiga dalam Oscar Wao mengingatkanku akan hal serupa yang kutemukan dalam The White Tiger. Oscar Wao mengangkat Dominika, sedang The White Tiger mewakili India. Mungkin karena Oscar Wao lebih tebal, aku merasa kalimat-kalimat lucu (menyentil) di dalamnya tidak sebanyak di The White Tiger. Kesamaan lainnya adalah cerita dibawa ke klimaks dengan adegan kekerasan yang menyebabkan pembunuhan. Kalau boleh dibandingkan lebih lanjut, menurutku The White Tiger lebih mencerahkan dan secara moral mendingan. Seksualitas menjadi motivasi Oscar, ia tidak ingin mati perjaka. Sedang dalam The White Tiger kukira seksualitas bukan isu penting bagi si tokoh. Pada akhirnya kedua tokoh mencapai apa yang mereka dambakan, tapi dalam kondisi berbeda.

Dengan tidak terlalu menganggap berbagai istilah asing yang sedikit-sedikit muncul, novel ini ternyata tidak sukar dibaca. Setidaknya menurutku. Malah saat pembacaan novel ini, aku sampai pada kesadaran untuk melihat diri sebagai bagian dari sesuatu yang besar. Seperti Oscar, yang ternyata bukan sekadar kutubuku-penggila-fiksi-ilmiah-obesitas-tunacinta yang hidup di penghujung abad 20. Kehidupannya bukan sekadar mengenai budaya pop, dan mengemis-ngemis asmara. Ia bagian dari Dominika walau lahir dan besar di Amerika Serikat. Nasib dirinya terhubung dengan (kalau bukan "ditentukan", secara tidak langsung oleh) pemimpin terbrutal yang pernah hidup di benua Amerika. Beginilah cara memulai penyusunan novel yang dapat memenangkan Pulitzer!, kukira. Barangkali aku bisa mulai dengan memikirkan, bagaimana kaitan antara keadaanku kini dengan suatu peristiwa yang terjadi 68 tahun lalu, yang menyebabkan hari ini bertanggal merah. Hm…[]



[1] Terjemah oleh A. Rahartati Bambang Haryo, diterbitkan Penerbit Qanita, Bandung, 2011, cetakan pertama. 
NB. Sedikit ulasan yang bisa ditemukan melalui Google mengenai novel ini dalam bahasa Indonesia:

Jumat, 16 Agustus 2013

Resep hari ini: Telur matahari ubur-ubur

I
"Mau dibikinin telur matahari?"
"Telur matasapi!"
"Bukan, matahari. Sapi matanya enggak kuning."

II
"Kok telurnya dikasih bihun?"
"Biar kayak ubur-ubur. Nih, tambah nasi sama kecap, ya."

Telur matahari ubur-ubur. Hidangkan hangat-hangat dengan nasi dan kecap. source

make your own meme here

Kamis, 15 Agustus 2013

Setiap Hari Minggu di Italia

Kadang ada saja lagu Eropa yang aneh-aneh dan lucu. Semisal lagu "L'Agitateur" dari Jean Pascal, yang awalnya saya unduh secara iseng saja waktu SMA. Malah teman saya menyukai lagu itu, dan belajar bahasa Prancis darinya. Dia juga menyukai lagu "Perdono" dari Tiziano Ferro (Italia) yang saya temukan di komputer rumah saya. Jangan lupakan juga Numa Numa Dance, yang sebetulnya berjudul "Dragonstea din tei" dari grup O-Zone asal Moldova (salah satu negara paling tidak bahagia menurut buku The Geography of Bliss). Dan tentu saja, "Aserejé" dari Las Ketchup (Spanyol)...! Lalu sewaktu sudah mahasiswa, teman yang lain mengenalkan saya pada Wieteke van Dort dengan lagunya yang sangat kocak yaitu "Geef mij maar nasi goreng" (Belanda). Setidaknya lagu-lagu tersebutlah yang paling menempel di benak saya, sehingga saya menyarankan pembaca untuk menelusuri mereka di Youtube. Lalu dengarkan saja, dan nikmati. Barangkali pembaca punya selera lain, kita bisa berbagi :)

Baru-baru ini saya menambah koleksi lagi. Di antaranya yang berkesan adalah "Komm geh mit mir nach Kanada" dari Bernd Schütz (Jerman), lagu jadul yang tidak saya temukan official video dari penyanyi aslinya di Youtube. Lagipula saya sudah pernah menampilkan lagu Jerman yang sama-sama jadul sebelumnya di blog ini, yaitu "Du" dari Peter Maffay. Oleh karena itu saya hendak menyuguhkan lagu lain yang menurut saya lebih groovy dan relatif kontemporer, yaitu "Sempre di Domenica" dari Daniele Silvestri (Italia). Lagu ini saya temukan di album Euro Lounge dari Putumayo. (Sejauh ini baru lagu tersebut yang suka dari album ini). Judulnya sendiri berarti "setiap hari Minggu". (Gott sei dank, Google Translate!)

Also, mari kita nikmati lagu ini bersama-sama. Jangan lupa ikut nyanyikan liriknya walaupun tidak ada panduan pelafalannya hihihi. Bergoyanglah kalau ingin. Jangan ditahan, nanti sembelit.



eeeh... sempre di domenica/ 

adesso basta tu/ sei un egoista tu/ un maschilista tu/ dei miei nemici tu sei il primo della lista, tu/ sei un qualunquista tu/ un casinista/ di più... di più/ 

sei pessimista e/ menefreghista e../ ..esibizionista te/ se parli ancora giuro chiamo un esorcista che/ mi suggerisca la/ parola giusta/ chissà se c'è/ 

oppure battiti/ prova a convincermi/ e poi dimostrami/ se veramente mi saprai portare/ in estasi/ allora resta, sì/ resta... qui/ 

mi sono accorto che sto bene/ solo quando sto con te/ ma so che questo non conviene/ non conviene/ 

mi sono accorto che sto bene/ solo quando sto con te/ ma so che questo non va bene/ non va bene/ 

...eeeh... sempre di domenica/ 

e quindi basta tu/ non mi interessa più/ non mi soddisfa più/ che poi ho scoperto che sei pure di sinistra tu/ sei comunista tu/ stakanovista/ di più... di più/ 

e mo' basta/ non è me che volevi/ confessa/ non è a me che pensavi/ e non resta/ che raccogliere i cocci/ e cercarsi una vita più onesta/ 

allora sparami/ feriscimi/ finiscimi/ lasciami.../ 

mi sono accorto che sto bene/ solo quando sto con te/ ma so che questo non conviene/ non conviene/ 

mi sono accorto che sto bene/ solo quando sto con te/ ma so che questo non va bene/ non va bene/ 

mi sono accorto che sto bene/ solo quando sto con te/ ma so che questo non va bene/ non va bene/ non va bene/ non va bene/ 

mò basta/ non è me che volevi/ confessa/ non è a me che pensavi/ e non resta/ che raccogliere i cocci/ e cercarsi una vita più onesta/ 

mi sono accorto che sto bene/ solo quando sto con te/ mi domando come mai succede/ sempre di domenica 

soltanto di domenica/ domenica/ domenica/ domenica/ succede sempre solamente di/ domenica/




lirik diambil dari sini

Rabu, 14 Agustus 2013

Seremoni Kedewasaan

Ini bakal spoiler.              

source

                Baru-baru ini aku menonton sebuah film di saluran FX, Ceremony [2010]. Semula aku hanya tertarik dengan sosok yang diperankan oleh Reece Thompson, dari cuplikan-cuplikan yang ditayangkan sebagai teaser. Karakter yang diperankannya memang menarik. Tapi film ini secara keseluruhan memang menarik bagi orang yang sedang tertarik dengan cerita-cerita coming-of-age sepertiku. Walau ratingnya hanya 5,5/10 di IMDb, dan tidak mendapatkan penghargaan apapun. Banyak unsur dalam film ini yang menyentuhku secara personal. Saat ini, itu satu-satunya alasan bagiku untuk menyukai suatu cerita.
                Perpustakaan melatari awal film ini. Seorang penulis sedang membacakan ceritanya. Tentang seorang penyelam yang menyelamatkan putri duyung dari cengkeraman duyung jantan. Lalu mereka menaiki paus dan berencana untuk hidup bersama, bahagia selama-selamanya, semacam itu. Pembacaan diakhiri dengan tepuk tangan, yang hanya berasal dari satu orang. Ialah Marshall Schmidt, karakter yang diperankan oleh Reece Thompson yang membuatku penasaran untuk menonton film ini. Tapi ia cuman sidekick. Protagonisnya adalah sang penulis. Sam Davis (Michael Angarano). Dengan kumis dan gaya sok iyeh.
                Kedua orang ini kemudian melakukan perjalanan. Marshall yang menyetir, karena ia yang memiliki mobil. Kemudian kita tahu kalau Marshall adalah semacam American hikikomori. Ia pernah didekati orang tidak dikenal, lalu dianiaya sampai berdarah-darah. Sejak itu ia kembali tinggal di apartemen orangtuanya. Tahu-tahu saja delapan bulan berlalu. Ia tidak pernah keluar. Ia bahkan memiliki terapis karena sejumlah masalah yang ia alami. Menurut terapisnya, menulis jurnal bisa membantu. Hingga Sam mengajaknya untuk berlibur. Sam menjebaknya, sebetulnya.
                Setelah menghabiskan waktu sebentar saja di sebuah hotel Indian kecil, Sam menyeret Marshall ke sebuah pesta di tepi pantai. Tidak jauh dari situ. Beruntung bagi Sam. Ia bertemu dengan Teddy (Jake Johnson). Sam berhasil membuat Teddy mengundang dirinya dan Marshall ke pesta tersebut, dan bertemu Zoe (Uma Thurman). Kebetulan Teddy adalah adiknya Zoe.
                Keruan Zoe kalut. Padahal ia sudah memberitahu Sam kalau ia akan menikah, dan tolong jangan datang ke pestanya. Tapi itu malah membuat Sam melakukan yang sebaliknya. Sam pun bertemu dengan Whit (Lee Pace), tunangan Zoe. Pernikahan akan dilakukan beberapa hari lagi(, sedang petang itu baru pesta ulang tahun Whit). Whit pun mengundang Sam dan Marshall untuk ikut menginap di rumah besar, bersama para tamu lain.
                Selanjutnya kita tahu kalau Sam ingin mengajak Zoe kabur dari pernikahan itu. Maka kita menduga-duga, apakah tujuan Sam akan tercapai? Toh Zoe bukannya sudah tidak menyukai Sam sama sekali. Zoe terlihat tidak senang ketika Sam berlagak merayu perempuan lain. Mereka berciuman di dalam lemari pakaian. Zoe bahkan mendatangi kamar Sam malam-malam, sampai Sam pun "mengusir" Marshall. Berhasilkah usaha Sam membujuk Zoe agar membatalkan pernikahan itu? Dan tentunya kita akan bertanya-tanya, sebenarnyanya bagaimana sih hubungan di antara Sam dengan Zoe? Kenapa Zoe sampai memiliki dua orang kekasih? Bukankah Zoe tampak jauh lebih tua dari Sam yang baru berusia 23,5 tahun?
                Walaupun romance bukan genreku, tapi sebagai penonton yang polos aku kadung terjerat dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Lagipula aku suka pada Marshall. Dengan kepolosan, ketidakberdayaan, dan kebaikannya, siapa yang tidak simpati? Alur pun terus bergulir ke arah yang tidak dikira-kira. (Setidaknya olehku). Hubungan yang sebenarnya di antara Sam dengan Zoe pun terkuak. Esensi dari film ini ternyata bukan romance, sebagaimana kesan semula. Finally, I got the jackpot. Alasan dan keputusan Zoe menerima Whit sebagai suaminya adalah proses pendewasaan yang ingin dilalui oleh perempuan itu, sekaligus, proses pendewasaan yang harus diterima oleh Sam. Belum lagi pertengkaran antara Sam dengan Marshall yang menyingkap tabiat satu sama lain. Marshall pun meninggalkan Sam, dengan membawa mobilnya tentu saja.
                Pernikahan akhirnya dilangsungkan. Tiba waktu mengucapkan ikrar. Di hadapan Whit, Zoe membuka lipatan kertas yang berisi tulisan Sam: Alasan-alasan kenapa Zoe sebaiknya menikahi Whit dan bukannya Sam. Sementara itu, Sam meninggalkan lokasi tersebut dengan jalan kaki. Tahu-tahu ia berselisih jalan dengan Marshall dan mobilnya. Marshall tidak berhenti. Rupanya ia punya kepentingan pribadi di sana, yang tidak tercapai. Marshall pun kembali. Menepikan mobilnya di samping Sam. Sam masuk ke dalam. Lalu ia bilang pada Marshall, mungkin ia juga perlu menemui terapis.
                Demikianlah. Peristiwa ini menuntut Sam yang pemimpi dan emosional untuk sadar diri. Menjadi dewasa. Mengakui kelemahan diri. Pendewasaan adalah penerimaan diri. Begitu esensi yang aku tangkap dari film ini. Mengingatkanku akan salah satu kutipan favoritku dari novel Haruki Murakami, Norwegian Wood. Dari percakapan antara Hatsumi-san dengan Toru Watanabe di halaman 318 (terbitan Kepustakaan Populer Gramedia, Mei 2013, cetakan keempat, terjemah Jonjon Johana):
                "Terjun ke masyarakat, diombang-ambing oleh gelombang yang ada di dalamnya, lalu patah semangat, lalu jadi dewasa... begitu?"
                Seolah menjadi dewasa berarti patah semangat. Hm.
                Dan memperoleh semangat yang baru, semoga.

Marshall Schmidt: When did you start smoking?
Sam Davis: Recently.
Marshall Schmidt: You know, you probably shouldn't be doing it at a gas station.
Sam Davis: That's an old wives tale, Marshall. [flicks it away]

source photo/quote

                Trivia.
                Semula aku kira pemeran Marshall adalah orang yang sama dengan pemeran Neville Longbottom di film seri Harry Potter. Ternyata beda. Jauh. Ternyata aku pernah menonton penampilan Reece Thompon sebelumnya justru di film lain, yaitu sebagai tokoh utama di Rocket Science [2010]. Film itu menceritakan tentang anak sekolahan yang gagap, namun mengatasinya dengan mengikuti kompetisi debat. Motivasinya kacau karena hubungannya dengan seorang senior cewekyang mengajarinya debat mula-mula. Ia juga muncul di The Perks of Being Wallflower [2012]. Tapi sepertinya hanya peran kecil. Aku tidak ingat mengenali mukanya saat menonton film itu.
                Kembali ke Ceremony.
                Siapa yang doyan menulis cerita barangkali akan bisa mengidentikkan diri dengan Sam. Ia sempat menjelaskan suatu teknik dalam membuat cerita, yaitu amalgam. Semisal kita menciptakan seorang karakter dalam cerita kita. Karakter tersebut tidak persis seperti seseorang yang kita kenal di dunia nyata. Melainkan sedikit dari si ini, ditambah separuh dari si itu, ditambah lagi sebagian dari si anu, sehingga menghasilkan perpaduan yang menarik—karakter yang menarik. Pembaca tidak akan tertarik dengan yang normal-normal saja.
                Sam menulis cerita anak-anak. Fabel tentang koala yang terbang, juga penyelam yang menyelamatkan putri duyung. Tapi ia penggemar karya F. Scott Fritzgerald. Ia menyerahkan sebuah buku Fritzgerald pada Marshall, dan mengatakan bahwa apa yang ditulis dalam cerita itu seolah mengenai dirinya. Dalam film, kita (atau mungkin aku saja) tidak bisa melihat judul buku itu dengan jelas. The Great Gatsby atau Tender is the Night, aku penasaran. Setelah telusur-telusur, katanya sih The Great Gatsby. Marshall kemudian membaca novel tersebut, dan mengatakan hal yang sama. Ia juga merasa terwakili.
                Aku juga, dengan film ini, sedikitnya.[]

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain