Sabtu, 10 Juli 2010

10

Terkenang Zahra, akan peristiwa yang baru lewat tidak sampai dua jam lalu. Saat pelajaran Bahasa Indonesia tiba, Zahra terus menggali ingatan akan pertemuannya dengan Kang Hilman dan Kang Ajat pada silam hari. Kala itu, mereka tidak membuatnya harus mendemonstrasikan ketidaklihaiannya dalam berpidato. Mereka hanya hendak berbagi. Entah mengapa ia merasa itu menenangkannya hingga Pak Catur memanggilnya untuk maju.

Mungkin karena ia tahu bahwa ia tidak sendiri. Konon, Kang Ajat pada awal masuk SMA juga sama pemalu seperti dirinya. Namun pada MOS kemarin, Kang Ajat terlihat percaya diri dalam mendemonstrasikan ekskulnya. Dengan hati mendesir, Zahra membayangkan dirinya pun akan bisa seperti itu. Sebagaimana Kang Ajat, saat kelas XII Zahra akan sudah tergabung dalam ekskul atau komunitas tertentu. Dan ialah yang akan tampil di depan kelas, mengenalkan ekskul atau komunitasnya tersebut pada para siswa baru. Oh, apakah ini yang dinamakan optimis?

“Bicara di depan umum itu nggak harus punya bakat atau keterampilan khusus, Zahra,” masih ingat pula Zahra akan perkataan Kang Hilman—yang kendati kiranya tak punya pengalaman berarti yang terkait, namun tetap dapat menyuntikkan energi positif untuk Zahra. “Kalau kata Dale Carnegie, siapapun yang minat, pasti bisa ngembangin dan nguasain.”

Belum lagi Mas Imin, yang selain membenarkan perkataan Kang Hilman tersebut, juga menghimbau agar menghindari menghapal teks. Tanpa Zahra harus menanyakan sebabnya dengan suara, Mas Imin sadar untuk segera menjelaskan. “Ceritain aja apa yang ada di pikiran kamu, mengenai topik yang bakal kamu angkat. Apapun yang udah kamu jalani, yang jadi pelajaran berguna buat kamu, terkait dengan itu, mungkin. Perkataan yang ke luar dari hati bakal lebih bisa meyakinkan pendengar kan? Kayak ngobrol biasa sama orang aja.” Meski mendengarkannya dengan setengah hati, namun Zahra merasa kegugupannya akan berkurang jika ia menerapkan metode tersebut. Seperti mengobrol biasa saja kan? Ah, (semoga) gampang… Seakan dalam kehidupan sehari-hari Zahra memang lihai mengobrol saja.

Tak lupa, Zahra coba-coba berlatih pula dengan gambar buatan Mas Imin. Sejelek-jeleknya gambar tersebut, masih kentara bahwa yang digambar adalah orang. Gambar itu membantunya dalam mengembangkan bayangan akan situasi yang mungkin terjadi. Sesekali ia tersengal saat menyadari bahwa terhadap orang-orang bohongan saja ia tak dapat berpikir jernih. Namun lama-lama Zahra merasa optimis ia bisa tampil dengan cukup baik. Sekali, ia bisa lancar berkata-kata tanpa harus melirik teks—mulai dari pembuka hingga penutup. Ia coba selipkan juga cerita tentang dirinya sendiri terkait dengan topik yang dibawakannya, yang tidak ia masukkan dalam teks. Dengan begitu ia merasa lebih rileks.

Kenyataan yang terjadi adalah, saat tadi berdiri di atas panggung kelas, Zahra tak bisa mengingat apapun pengalaman pribadinya. Padahal banyak yang bisa ia curahkan, yang memang mendasari pemilihan topik pidatonya itu, namun semuanya kocar-kacir begitu hendak dikeluarkan. Keberhasilan semalam gagal diwujudkan kembali saat eksekusi. Untung saja ia sudah menghapal teks berkali-kali. Dengan tersendat-sendat, ia tuangkan saja hapalannya itu. Pak Catur tampak tidak puas dengan penampilan Zahra, namun Zahra merasa puas sekali karena gilirannya akhirnya lewat.

Masih terasa sisa-sisa kelembapan nan dingin di leher dan gemetaran di tangan Zahra meskipun jam sekolah sudah usai. Namun Zahra masih tersenyum. Kini karena kenangan konyol semalam.

Setelah berpuas-puas latihan dengan volume suara seminimal mungkin, Zahra berlatih melafalkan dialog dramanya sebentar. Merasa sudah cukup latihannya malam itu, Zahra pun hendak beristirahat agar esok siap menyambut hari baru. Ia menatap gambar Mas Imin dengan rasa terima kasih karena sudah jadi kawan berlatih. Ah, seharusnya Mas Imin yang mendapatkannya, karena ialah yang mencipta gambar tersebut. Tapi Zahra tak tahu bagaimana cara yang takkan membuatnya terlihat canggung saat menyampaikannya. Ia belum pernah melakukan hal tersebut sebelumnya.

Seperti biasa, ia matikan lampu kamar sebelum membaringkan diri di kasur. Berbaring ke arah kanan, sesuai sunnah Rasulullah, menghadap kiblat—dinding kamar yang kini tidak polos lagi. Gambar Mas Imin di sana, yang lagi-lagi ditatapnya. Hendak merasakan terima kasih untuk yang ke sekian kali, namun urung. Dalam kegelapan, orang-orang tersebut tampak mengerikannya. Imajinasinya membuat si cewek berambut panjang tampak seperti kuntilanak, cewek berjilbab serupa pocong, sedang cowok brewokan di sebelahnya bagai genderuwo, dan cowok botak di bawahnya adalah tuyul. Cepat-cepat Zahra bangkit dan menyalakan lampu kamar. Dicopotnya gambar tersebut, digulungnya, dan ditaruhnya di tempat yang takkan terlihat dari jangkauan matanya dalam posisi tidurnya yang biasa. Dipeluknya Quran dan malam itu ia tidur dengan lampu menyala. Membuatnya pusing di pagi hari, namun masih dengan sisa-sisa kepercayaan diri semalam. Meski ia tidak yakin nanti malam akan berani tidur dengan lampu dimatikan lagi. Bagaimanapun gambar Mas Imin telah terbukti berguna. Zahra akan memasangnya lagi kalau ia sudah lupa pada ketakutannya semalam.

“Zahra.”

Zahra menoleh. Lamunannya pecah.

“Giliran kamu, Zah.”

Kendari kemunculannya pada adegan awal, namun para lawan mainnya sepertinya lebih memilih untuk melatih adegan-adegan yang tidak melibatkan dirinya. Sampai ada yang sadar bahwa Zahra sedari tadi duduk saja sambil senyum-senyum sendiri. Majulah Zahra ke tengah kelas. Bangku-bangku sudah disingkirkan sedemikian rupa sehingga bagian tengah kelas cukup luas untuk dijadikan arena berlatih. Begitu menghadapi sosok Rifan, Zahra seketika merasa terancam. Tampang Rifan mengingatkan Zahra akan tampang anak-anak yang suka mendiskriminasikannya tempo SD.

“Yuk, mulai!” Seseorang memberi aba-aba. Zahra memperbaiki posisi berdirinya dengan gestur kikuk. Menghindari tatap para teman sekelompok. Zahra berharap mereka sibuk melatih peran masing-masing saja, tak usah pakai menyempatkan diri menyaksikannya berakting segala. Grogi ia jadinya. Rifan berkacak pinggang. Mengawasinya pula, seakan-akan ia tak becus—padahal akting saja belum. Zahra menguatkan diri untuk mengangkat naskah. Sebetulnya ia sudah hapal kalimat apa saja yang harus ia ucapkan. Sebab yang lain masih pegang naskah, maka ia pun turut. Ayo, semalam kan sudah latihan dengan gambar keluarga dedemit…

Mengingat-ingat latihan semalam cukup membantu Zahra dalam beraksi. Namun ia merasa gerak dan ucapannya tak bisa seluwes semalam. Kaku.

“Wahai, anakku…” Zahra melafal kalimatnya yang nomor sekian.

“ALAH, NYOKAP BAWEL!”

Zahra tersentak.

“Heh, lo belum sampai ke situ!” Iin memperingatkan.

“Habis udah nggak sabaran sih.” Rifan cekikikan, geli dengan polahnya sendiri. Atau menertawakan ketidakluwesan Zahra, menurut persangkaan Zahra.

Sadar bahwa yang barusan hanya candaan, dan ia tak bisa turut menikmatinya karena selalu terlanjur merasuk kalbu, maka diteruskannya berkalimat. Dan bergestur. Dengan beban pikiran yang mempertanyakan apakah ia memang bawel dalam kehidupan nyata.

“KATRO!”

“NGGAK USAH BANYAK BACOT DEH!”

“DASAR NGGAK GUNA LO!”

“ORANGTUA BAU!”

“PERGI JAUH-JAUH!”

Zahra menghempaskan tubuh ke salah satu bangku. Mendengarkan cekikikan khas Rifan—yang langsung beralih ke adegan lain selepas beradegan dengan Zahra—dengan rasa terintimidasi habis-habisan. Semua adegan yang memunculkan dirinya telah ia lalui dengan hati nestapa. Rifan memainkan lakonnya dengan begitu meyakinkan hingga Zahra merasa bahwa segala cerca merca itu memang ditujukan pada dirinya. Mana sebagian besar tidak ada di naskah pula—jadi hanya improvisasi Rifan belaka. Yang berpotensi sebagai ejekan murni. Tapi tahu apa Rifan tentang Zahra sampai bisa semena-mena mengejek Zahra? Bertukar cakap saja sebelumnya tidak pernah. Jadi itu adalah murni improvisasi. Waw, Rifan adalah aktor yang hebat! Namun Zahra tak mampu mengapresiasi. Pengalaman buruknya semasa SD seakan terulang dan itu sangat kuat menghantuinya. Teman-teman sekelompoknya pasti kecewa padanya karena ia tidak bisa memainkan perannya dengan baik.

“Eh, kita latihan adegan yang ke pelabuhan itu lagi yuk.” Zahra menoleh pada orang yang menegurnya. Unan. Unan mau tidak ya tukar peran dengannya? Biarpun nanti diprotes teman-teman…

“Nggak mau,” tegas Unan. Lalu tersenyum. “Aku jadi tetangga yang baik hati aja…” Serius lagi raut mukanya. “Ayo latihan. Aku tadi ngerasa belum pol nih.”

Duduklah mereka berdua, berhadapan. Membaca dialog masing-masing. Dalam adegan tersebut, Unan mengantar Zahra yang menanti-nanti kepulangan Rifan di pelabuhan. Sebetulnya begitu saja peran Unan dalam setiap adegan yang melibatkannya.

“Kamu bisa nggak lebih sedih lagi pas yang ini?” Unan menunjuk satu kalimat pada naskahnya.

Dengan mata sayu Zahra menggeleng. “Aku mah nggak bisa akting,” akunya.

“Aku juga. Sama dong kita.”

Kata Unan lagi, “Seharusnya juga kamu bisa lebih keras lagi pas adegan terakhir itu. Si Rifan udah nyela-nyela kamu kayak gitu.”

“Ya udah, kamu aja atuh yang jadi Bundonya.”

“Nggak mau ah. Biarpun aku beneran nggak suka Rifan juga.”

Tercenung Zahra, sebelum mendorong diri untuk merespon dengan berkata, “Aku juga.”

“…tipe-tipe anak kayak BASTARD gitu deh… Hiiih… Samsul, Dean, Nanang…”

Zahra tidak tahu seberapa buruk reputasi BASTARD sebenarnya. Ia hanya tahu bahwa itu adalah semacam komunitas berandalan SMANSON yang suka nongkrong di depan Tenis Net sambil merokok, makan kacang, main kartu, dan entah apa lagi, Zahra membayangkan yang buruk-buruk. Memang Zahra tidak pernah berurusan langsung dengan mereka, namun karena Unan menyebut nama Dean—tahulah Zahra bahwa Dean termasuk BASTARD dan makin tidak sukalah ia pada cowok tersebut—maka Zahra mengiyakan saja. “Aku juga.”

Unan terus menyebutkan kejelekan demi kejelekan anak-anak setipe BASTARD. Betapa ia cemas akan kualitas generasi penerus bangsa kalau anak-anak macam itu dibiarkan terus berbuat semaunya. Zahra menanggapinya dengan hal sama, kendati anak BASTARD yang ia tahu hanya Dean. Karena kejelekan Dean ada banyak, jadi Zahra tak kekurangan bahan. Oh, jadi begini rasanya ngomongin orang, batin Zahra, nikmatnya…

Perbincangan di antara mereka akhirnya berkembang ke mana-mana. Zahra berusaha mengurangi kekalemannya, kendati tetap ia yang lebih sedikit bicara. Saat mereka dipanggil untuk berlatih adegan lagi di tengah kelas, telah terjalin sesuatu di antara mereka. “Eh, ternyata kita punya banyak kesamaan ya,” senyum Unan. Zahra terpana, namun tak kentara. Ia merasa akhirnya ia akan punya teman dekat juga, setelah berbulan-bulan lamanya penantian.

Secercah cerah optimistis dijelangnya. Zahra merasa kehidupannya akan mulai membaik, dalam hal kecakapan maupun pertemanan. Zahra menyadari, ini adalah saatnya untuk berubah. Ia bisa menjadi senormal teman-temannya. 

Terkuak kenyataan kalau selama ini Mas Imin rajin mangkir bimbel. Pada suatu sore Mama menggertak Mas Imin karena Mas Imin tidak menghargai pengorbanan orangtua sehingga bisa membimbelkannya. Ah, Mama memang pandai merangkai kata sedemikian rupa hingga Zahra saja sampai tidak enak hati mendengarnya, padahal ia biasanya senang-senang saja kalau Mas Imin dimarahi. Lalu Mama memperingatkan pula bahwa sebentar lagi rentetan ujian besar akan melanda Mas Imin. Jadi Mas Imin harus mulai serius memikirkan masa depannya dan makin intens belajar. Akibatnya Zahra jadi makin jarang melihat Mas Imin di rumah.

Zahra tak ingat kapan persisnya keberadaan Mas Imin mulai mempengaruhinya. Melihat sosok Mas Imin, membuat Zahra teringat bahwa ia harus berlatih bicara, kendati sosok itu tengah mengupil di pojok dapur. Bukannya Zahra tidak ingat untuk terus berlatih saat tidak melihat Mas Imin, apalagi waktu pementasan drama kelas kian dekat. Mana Pak Catur bilang bahwa nilai drama ini akan cukup besar perannya dalam penentuan nilai di rapot (mengingatkan Zahra bahwa UAS juga menjelang dan itu selalu meresahkannya). Entah mengapa keberadaan Mas Imin seolah menyuntikkan energi lebih baginya untuk berlatih. Gambar buatan Mas Imin tidak cukup untuk itu. Zahra merasa konyol pula apabila mendapati dirinya tengah memandangi gambar itu lama-lama.

Berlatih sendiri maupun berlatih bersama sama-sama menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi Zahra. Pementasan drama jelas membutuhkan kerja sama yang kompak antar pemain. Kendati karenanya berlatih bersama menjadi lebih penting daripada berlatih sendiri, namun Zahra lebih merasa tertekan saat harus berlatih bersama. Berlatih bersama Rifan. Ia sadar bahwa semua ini hanya sandiwara, namun setiap cercaan Rifan untuknya—yang memang tuntutan peran—secara nyata menyinggung perasaan Zahra. Apalagi setiap kali latihan, Rifan selalu menambahkan frasa baru sebagai bahan cercaan. Improvisasi yang berlebihan dan tak perlu, Rifan memang hanya ingin mengejeknya, yakin Zahra. 

“MUKA BEBEK!”

“ASAM JAWA!”

“TONGKOL BUSUK!”

Unan sampai membuat daftar cercaan Rifan untuk Zahra. “Si Rifan pasti sering disuruh ibunya belanja ke pasar.” Unan menoleh pada Zahra sembari melengkapi daftarnya seusai latihan yang ke sekian kalinya antara Zahra dengan Rifan. Zahra berusaha untuk terlihat tersenyum karena kelucuan Unan, tapi sepertinya yang teruar malah rasa kecut.

Zahra masih memendam rasa tersinggung sampai latihan terakhir. Malah kian menjadi. Pulang latihan, ia terbenam dalam kasur. Menangisi dirinya. Ia merasa amat buruk. Kalau ia tidak seburuk itu, tentu daftar yang Unan buat tidak akan sampai sepanjang itu kan—kertas A5 bolak-balik? Zahra khawatir saja anak-anak sekelompok bakal terpengaruh Rifan untuk berbuat hal sama.

Sejak SD, anak-anak di sekolah selalu menghujaninya dengan ledekan meskipun mereka tidak benar-benar kenal dengan Zahra. Dan Zahra selalu menanggapinya dengan serius. Zahra sedih mengapa nasibnya tidak berubah meskipun ia sudah SMA. Setidaknya selama itu seharusnya ia belajar bagaimana menyikapi ledekan dengan arif, namun Zahra merasa dirinya gagal. Ia malah kian sensitif.

Tiba harinya eksekusi, Zahra tidak hanya marah pada dirinya sendiri, tapi juga pada orang-orang di sekitarnya, anak-anak sekelompoknya. Pada nasib yang mereka giringkan untuknya. Jangan-jangan peran itu sengaja dibebankan padanya. Diam-diam dan tanpa alasan mereka tak menyukainya lantas ingin melampiaskannya lewat Rifan. Jadi ini adalah suatu konspirasi. Sungguh geram Zahra pada mereka.

Mereka tidak tahu itu, kendati mungkin dapat merasakan. Zahra duduk menyendiri saja saat kelompoknya duduk berdekatan di salah satu sisi kelas. Menentukan kode-kode yang bakal dipakai untuk melancarkan penampilan mereka. Sesekali ada yang bertanya, “Zahra kenapa?” Unan yang setiap latihan berdekatan dengan Zahra, karena memang tuntutan peran, menjawab, “Sst, dia lagi mendalami perannya.” Setidaknya jawaban itu membuat orang-orang yang penasaran tidak menengok-nengok ke arah Zahra lagi.

Zahra juga menyimpan kekhawatiran lain. Setelah menonton penampilan kelompoknya, menyaksikan Rifan mencerca merca dirinya, anak-anak sekelas bakal terinspirasi pula untuk berbuat hal sama. Zahra akan kembali menjadi bulan-bulanan kelas, tanpa ia tahu apa salah dan dosanya. Apa hanya karena kepribadiannya terlihat lemah? Selalu begitu sejak dulu. Zahra ingin menangis karena kenangan-kenangan itu. Ia berharap dapat kuat menahannya sampai rumah.

Bahkan hingga sampai gilirannya untuk maju ke depan. Ia maju dengan lesu. Terkuras energinya karena perasaan-perasaan negatif yang bergumul dalam dadanya. Kedua tangannya yang terasa dingin saling meremas. Sudah datang ia, demam panggung. Zahra menunduk saja terus. Sebisa mungkin selalu memalingkan wajah dari penonton. Juga dari wajah Rifan yang menghiba-hiba. “Oh, Bundo, perkenankanlah ambo ke nagari sabrango…”

“Pergilah…” ucap Zahra lirih. Terdiam lama. Berusaha mengingat kata-kata apa lagi yang harus ia ucapkan. Sesak mendesak bagian dalam dadanya. Heran mengisi kepalanya. Sikap Rifan beda dengan saat latihan. Tidak tersirat cemooh dalam wajahnya. Rifan mendalami lakonnya dengan baik. Namun Zahra masih merasa itu adalah sosok durjana yang sama dengan sebelum-sebelumnya. Ia menguatkan diri agar sudi menampilkan tampang sedih saat harus berkata-kata lagi pada sosok tersebut. “Sampai jumpo, kito kan bersuo juo…”

Selepas dari panggung, Zahra merasa beruntung langsung menemukan sebuah kursi kosong di dekat pintu. Di sana ia bisa duduk membungkuk dan mendinginkan wajahnya yang terasa panas dengan kedua belah tangan. Badannya juga terasa panas dingin, ditemani beragam rasa lain. Ia berusaha menenangkan dirinya. Menahan isak yang hendak meletup. Juga debar jantungnya. Seseorang menepuk punggungnya. Wajah Unan di atasnya.

“Heh, ayo, bentar lagi kita tampil!”

Kedua belah tangan Zahra melorot. Menyembulkan sepasang mata yang memerah. Unan tercekat. “Wah, penjiwaan kamu hebat sekali!”

Zahra meringis. Unan membantunya bangkit dengan memapah punggungnya. Di atas panggung kembali, Zahra tak ingin melepaskan tangan dari wajahnya. Ia malu karena kemungkinan besar wajahnya kini sudah terlihat sembap. Tapi itu malah membuat pelafalan dialognya tak terdengar jelas sehingga Unan terus menanggapi dengan “hah?” dan “hah?”. Itu sangat mengganggu Zahra, membuat penampilan drama kelompok mereka jadi kian tak sempurna, kendati terdengar beberapa cekikikan karena tampang dongo Unan.

Mau tak mau Zahra menyingkirkan tangannya sesekali, tapi tak terlampau jauh sehingga begitu selesai bicara ia bisa langsung menutup wajahnya kembali. Dalam kesempatan begitu, ia melihat Unan berusaha terlihat semenyedihkan dirinya. Membuat Zahra jadi sebal. Apa yang harus cewek itu sedihkan sih? Memangnya ia tahu betapa nyata kenestapaan Zahra kala itu? Dasar munafik. Semua yang memainkan drama adalah munafik, maki Zahra dalam hati.

“Tenanglah, Zahro. Si Malin pasti kembali… Ya? Ya?”

Dan cewek itu keceplosan menyebut namanya pula. Seharusnya dalam drama ini Zahra menjadi Aisyah.

Sempat diliriknya juga Pak Catur yang tengah mengamati mereka dengan serius. Beberapa jarinya menutup mulut. Semakin menambah tekanan bagi Zahra. Ia sudah pasrah tidak akan mendapat nilai bagus untuk praktek. Ia harus mengompensasinya dengan mendapatkan nilai yang setinggi mungkin untuk UAS nanti kalau begitu. Meskipun dasarnya Zahra memang orang yang rajin belajar, dorongan untuk belajar lebih keras lagi tetap menekannya.

Zahra tak tahan. Begitu adegan tersebut selesai, ia langsung melesat ke luar kelas. Mata seluruh orang di kelas pasti tertuju padanya. Zahra tak mau peduli. Tadinya ia ingin terus ke toilet, namun seseorang menahan lengannya.

“Eh, kamu kenapa sih?”

Suara Unan. Zahra terus melangkah ke toilet. Unan mengejarnya. Menungguinya pula sampai ia ke luar dari salah satu bilik dengan wajah bekas terbasuh air bak. Wajah bengong Unan menyambutnya. “Kamu kenapa sih?”

“Ng… Eh, aku…” Zahra tak tahu harus menjawab apa. Ia malu sekali. Kenestapaan yang tadi sempat sirna diusir segarnya air perlahan merambat kembali. Sekarang malah ia jadi ingin tersedu sedan. Susah sekali emosinya ini dikendalikan. Ia hanya ingin pulang segera.  

“Yuk balik yuk.” Unan meraih tangannya.

Sementara Unan menyeretnya, ia menunduk terus sepanjang jalan, menghindari tatap orang-orang yang berpapasan.

“Eh, kalian ke mana aja sih?” Iin menyongsong dari dalam pintu kelas dengan gelisah. “Si Rifan ama Melly udah mau naik tuh!”

Iin mendorong punggung Zahra, melepaskan isak yang sedari tadi kuat ditahan-tahan. Lepaslah ia sudah. Sebetulnya ia tidak ingin meratap, “Anakku oh, anakku…” tapi hanya itu yang pantas ia lontarkan untuk mengklamufase tangisnya yang sudah tak dapat dibendung. Lagipula memang itu dialognya.

“Huh, siapa kamu?!” Rifan, dengan wajah mencemoohnya yang khas. Yang sudah kenyang Zahra santap selama latihan-latihan mereka. Akhirnya keluar juga wujud asli Rifan.

“Ini ibumu! Ini ibumu, Nak!” jerit Zahra yang dikuatkan oleh deru emosi yang menjejal tangisnya. Kalimat-kalimat yang ia hapalkan selama berhari-hari ini sudah buyar sedari tadi. Maka hanya itu saja yang ke luar dari mulutnya karena kalimat yang seharusnya lebih kaya kosa kata. Ingin sebetulnya ia melampiaskan gelegak emosinya dengan kata-kata lain lagi, ciptaannya sendiri. Pikirannya bekerja cepat untuk itu namun Rifan keburu memangkasnya.

“Hah, orang jelek macam kamu?”

Rifan mengucapkan dialognya dengan tepat, dan Zahra sudah bisa mendengar itu dalam latihan, namun masih hatinya terasa bagai disayat sembilu. Ya, aku emang jelek, terus kenapa?  tangis Zahra dalam hati. Dengan cepat kenangan-kenangan buruk itu bergerak, mengiang-ngiang dalam kepala.

Mulai. Unan cepat-cepat merogoh gulungan kertas dalam saku pakaiannya. Mengecek ketepatan antara serentetan celaan Rifan yang tengah ia dengar dengan apa yang tercatat dalam daftarnya. Ia mengangkat kepalanya. Baru kali itu suara Zahra terdengar jauh lebih keras dari suara Rifan.

“DASAR ANAK DURHAKA! KUKUTUK KAMU JADI PENGANGGURAN!”

“TIDAAAAAAAAAAAK…”

Di sudut kelas, salah seorang anggota kelompok menggoyang-goyangkan seng yang mengeluarkan bunyi serupa halilintar cempreng.

Beberapa menit setelahnya, Rifan sudah duduk lagi di sudut panggung sambil menadahkan sebuah piring rombeng. Beberapa anggota kelompok yang kebagian peran ganda sebagai figuran lalu lalang di depannya. Ada yang melempar receh, ada yang tidak. Seseorang melempar kaos kaki. Rifan melemparnya balik.

Intonasi datar narator, “…dan sejak itu Malin Kundang tidak pernah lagi bisa mendapat pekerjaan. Bahkan untuk menjadi banci Taman Lalu Lintas pun ia ditolak. Akhirnya ia menjadi pengangguran sepanjang hidupnya… (“audzubillahimindzalik!” Rifan berteriak lalu bersujud, “ampun, Bundoooo…”) TAMAT.”

Tepuk tangan dan bahak tawa mengiringi bungkuknya punggung para anggota kelompok hingga mereka turun panggung. Baru gemuruh itu berhenti saat tiba giliran Pak Catur memberi penilaian.

“…nah, untuk Zahra. Zahra, saya lihat kamu sangat gugup sewaktu penampilan pidato yang lalu. Tapi sekarang saya merasa tersihir dengan penampilan kamu. Apakah kamu sesungguhnya memang bercita-cita menjadi aktris, Zahra?”

Zahra balas menatap Pak Catur dengan nanar. Oh, apa lagi ini? Sengsara membawa nikmat? Ia bahkan tidak bermaksud sungguh-sungguh berakting tadi. Hanya usaha keras untuk menutupi luapan mood buruknya yang fluktuatif.

Anak-anak sekelompoknya menggoncang pundaknya dari samping dan belakang. Yang duduk di depannya balik badan sambil tersenyum-senyum padanya. Yang duduk jauh darinya ramai menggumam. Zahra terlalu bingung untuk menjawab. Selain karena ia masih tegang karena penampilannya tadi, ia juga belum menentukan secara pasti cita-citanya. Dan menjadi aktris sama sekali tak pernah mengisi angannya. Kedua belah pipinya terasa panas. Panas dingin tubuhnya tak jadi reda. Debar jantungnya makin menjadi saja.

Untung Pak Catur tak berlama-lama menanti jawaban. Mungkin ia menyadari bahwa Zahra masih kaget. Segera dipersilahkannya kelompok lain untuk tampil.

“Wow, Zahra jadi aktris, wow,” Unan menggoda sambil mengerjap-ngerjapkan matanya. Zahra tersenyum geli melihatnya. Tak lama-lama, sebab ramai gelak tawa memancing mereka untuk tak ketinggalan menyaksikan penampilan kelompok selanjutnya. Tak lama-lama pula, sebab biarpun ranah penglihatannya tengah diisi oleh wajah memelas Dean sebagai anjing Pak Tani yang diliciki si Kancil, Zahra masih dikuasai oleh perasaan positif yang membuncah dalam dirinya. Ia merasa hangat. Dan Unan berkata lagi padanya, “Eh, entar pulang sekolah mau ikut ke BIP nggak?”

“Hah?”

“Ada Tria, Sani, Ninda, rame-rame gitu deh. Ikut yuk!”

Baru kali ini di SMA ada yang mengajaknya jalan bersama, ia tak akan melewatkannya. Oh, apakah ini akhir dari kehidupan suramnya? Zahra merasa pertanyaan retoris itu tak perlu dijawab. Ia telah condong pada energi positif kehidupan.

Zahra, TK – SD

Di teras rumah, Zahra menata pakaian-pakaian kertas milik boneka kertasnya. Ada pakaian main, pakaian tidur, pakaian sekolah, pakaian pesta, pakaian arisan, dan lain-lain. Belum selesai menata, beberapa orang anak seumurannya berdiri di depan pagar rumah yang setengah terbuka.

“Zahra… Main, yuk!” sahut mereka.

“Eh, masuk, masuk…” sambut Zahra senang.

Anak-anak itu melepaskan sandal di muka teras lalu satu per satu menapaki ubin. Bersimpuh dekat Zahra. Salah seorang melongok untuk melihat apa yang tengah jadi kesibukan Zahra. Yang lainnya mengeluarkan seluruh isi kaleng biskuit tempat Zahra menyimpan mainan kertasnya. Mereka mulai memilah-milah. Ada yang baru ingat untuk meminta izin. Zahra tentu saja memperbolehkan. Lalu teman-temannya itu mulai berceloteh mengenai mainan kertas milik mereka sendiri, macam, “Aku kemarin beli di Toko Ayu, bagus-bagus loh, ada yang baru…”

Mereka semua jadi tertarik pergi ke Toko Ayu juga untuk menambah koleksi mainan kertas mereka. Tapi mereka hendak memainkan milik Zahra dulu. Mereka telah memilih orang-orangan dan pakaian-pakaian untuk dikenakan. Mereka membuat sebuah kehidupan rekaan, dilengkapi dengan cerita rekaan mereka sendiri kemudian mengenai orang-orangan mereka. Zahra tak pandai membuat cerita. Jadi ia hanya mendengarkan celotehan teman-temannya sembari memainkan miliknya sendiri.

Lalu datang seorang anak perempuan lagi. Ia hanya berdiri di depan pagar dengan gulungan untaian karet di tangannya. “Main sapintrong yuk!” katanya.

“Hayuk! Hayuk!” Anak-anak yang lain lekas menaruh mainan kertas tanpa ingat untuk membereskannya kembali. Tiba-tiba seorang anak berhenti dan menoleh ke belakang. Zahra masih duduk di sana. “Zahra mau ikut nggak?”

“Ah, Zahra mah nggak bisaeun main,” kata anak yang membawa karet.

“Ya nggak apa-apa atuh. Entar dia mah megang karetnya aja,” bela anak yang tadi mengajak sementara anak-anak lainnya tidak ada yang peduli. Mereka berebut berunding hendak main di mana.

“Aku emang nggak mau main kok,” tukas Zahra dengan menjunjung harga dirinya setinggi mungkin. Dengan cepat ia membereskan semua mainan kertasnya, memasukkannya ke dalam kaleng biskuit lagi. Ia masuk ke dalam rumah dengan membanting pintu. Seiring dengan menjauhnya ia dari pintu, masih terdengar sayup-sayup suara anak yang tadi membelanya. “Tuh kan kamu mah, sok gitu sama Zahra teh…”

Zahra tidak mau mendengarkan suara mereka lagi. Ia tidak ingin melihat muka mereka lagi. Ia menghempaskan diri ke atas sofa dan mencari-cari benda yang dapat ia gunakan untuk menghalangi suara-suara itu sampai ke telinganya. Beberapa saat kemudian terdengar anak-anak itu memanggilinya. Mungkin mereka telah mencapai kesepakatan untuk menerima Zahra dalam permainan, meskipun entah apa peranannya nanti. Zahra lebih mahir memecahkan persoalan matematika ketimbang bermain lompat tali. Lebih betah membaca buku pelajaran IPA ketimbang mengarang cerita untuk para boneka kertasnya. Tidak ada gunanya mereka pura-pura tertarik mengajak Zahra turut serta dalam permainan mereka. Zahra yang sudah terlanjur antipati terus mendekam di sudut sofa sampai suara mereka tak terdengar lagi.

Ini bukan yang sekalinya terjadi.

Sekali-sekali mereka datang untuk mengajaknya bermain. Namun sesudahnya, intensitas interaksinya dengan mereka tergantung usahanya sendiri dalam menarik perhatian mereka. Dan ia kerap tak tahu bagaimana caranya. Semakinlah ia merasa tersisihkan. Maka ia lebih suka menghabiskan waktu sendirian di rumah. Kadang menampik ajakan main mereka—sebagaimana ia kerap ditampik pula kalau mengajak main adiknya—yang lama kelamaan datang dengan setengah hati. Toh, ada atau tiadanya Zahra sama saja bagi mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain