Selasa, 20 Juli 2010

20

Hari pelaksanaan USM ITB Terpusat, Papa, Mama, Kakek, dan Mayong me­lepas kepergian Mas Imin bagai Mas Imin hendak pergi ke medan perang. Se­o­lah bukan pensil 2B yang ia bawa, tapi bambu runcing. Bukan papan jalan yang a­da dalam ranselnya, melainkan granat tangan. Namun bukan semangat MER­DE­KA ATAU MATI yang dipancarkan orang-orang itu, melainkan MASUK ITB A­TAU TIDAK SAMA SEKALI. Zahra melepas kepergian Mas Imin dari rumah de­ngan pedih. Ia tidak mau ikut mengantar.

Atas desak angin-anginan Zahra, dan terutama karena pertimbangan logis pa­ra anggota keluarga lainnya, Mas Imin juga mendaftar SNMPTN. Sudah redup se­mangat Zahra untuk memaksa Mas Imin mencantumkan Psi­ko­logi sebagai salah sa­tu pilihan. Apalagi Mama memberitahu Zahra agar Zah­ra berhenti menentang Mas Imin masuk ITB. Jadi Zahra tidak peduli apa saja pi­lihan Mas Imin untuk SNMPTN. Mau Mas Imin pillih Peternakan pun, Zahra tak ingin peduli.

Zahra juga sudah tidak ingin peduli pada semangat pemberdayaan diri lagi. Ia biarkan kehidupannya berjalan apa adanya. Mengalir bagai air keran. Kalau ma­­u senyum, ia akan senyum. Kalau mau cemberut, ia tak akan menahan. Pi­kir­nya, untuk apa berpura-pura. Terserah ia mau bersikap bagaimana pun, orang la­in­lah yang harus memahaminya.

Pasca USM ITB Terpusat, Mas Imin coba mendekatinya lagi. Kali ini, Zah­ra tidak mau terjerat. Ia ingin memberi Mas Imin pelajaran, entah sampai ka­pan. Tidak adil, pikirnya Kenapa Mas Imin masih ingin aku buat ngembangin po­ten­si, tapi dia sendiri menafikan potensinya?

Tak putus asa, Mas Imin bertanya apakah Zahra jadi meneruskan ke ju­rus­an IPS atau tidak. Mas Imin menawarkan materi-materi IPS yang ia miliki. Mem­bu­at Zahra jadi menduga bahwa memang betul Mas Imin ada kecenderungan un­tuk ikut jalur IPC. Karena sebetulnya dia emang pingin ke Psikologi, batinnya. Zah­ra menampik tawaran tersebut. Dipikirnya, kecenderungannya untuk masuk IPS akan membuat Mas Imin senang.

Selain itu, Papa-Mama ternyata tidak melarang jika ia berkehendak masuk IPS. Meski Papa bilang bahwa sebaiknya Zahra mempertimbangkan masuk IPA sa­ja. Peluang untuk memilih jurusan di perguruan tinggi nanti lebih besar. Se­men­ta­ra itu, Mama menyarankannya untuk kelak memilih Akuntansi atau jurusan yang menjamin kemapanan lainnya. Pertimbangan lainnya adalah, kalau Zahra ma­suk IPA lantas memilih Kedokteran, dengan kondisi Papa yang di ambang pa­i­lit begitu, bisa jadi Papa belum tentu sanggup membiayai. Zahra jadi merasa Pa­pa-Mama tidak memedulikannya sebagaimana mereka memedulikan Mas Imin hing­ga memaksanya masuk ITB, padahal biaya kuliah di ITB juga mahal. Kem­ba­li ia merasa iri pada Mas Imin. Tambah surut niatnya untuk meneruskan ke IPS.

Namun Zahra tak bisa membohongi diri. Berubah itu memang perlu, pi­kir­nya. Meski itu dapat menyenangkan orang yang dibenci? Ini tidak ada hu­bung­an­nya dengan Mas Imin, ia meyakinkan diri. Terlepas dari itu bisa membuat Mas I­min senang atau tidak, ia memang membutuhkan perubahan dalam dirinya.

Itu membuatnya tergugah untuk ke luar dari zona aman lagi. Ia harus ma­suk IPS agar lebih siap menghadapi pilihannya untuk bangku kuliah nanti. Ko­mu­ni­kasi? Atau Psikologi? Ah, seolah-olah ia sudah mantap akan keduanya saja.

Kekosongan bangku di sebelahnya kini terisi oleh Dean secara penuh wak­tu. Sejak Zahra memaksa Dean untuk meninggalkan kejahatan akademisnya dan mu­lai hidup bersih, mau tak mau Dean harus duduk dekat Zahra agar Zahra bisa meng­awasinya. Apalagi UAS makin dekat saja. Dan bangku kosong yang tersisa di sekitar bangku Zahra hanyalah bangku di sebelah Zahra. Zahra sendiri bu­kan­nya senang mendapat kawan sebangku lagi. Kehadiran Dean di sebelahnya malah me­nambah derita baru. Sesekali Dean masih berusaha mengintip kertas jawaban u­langannya, atau merengek meminta PR-nya. Tapi yang paling Zahra tidak suka a­dalah, Dean kerap mengajaknya mengobrol di tengah pelajaran. Zahra berusaha ti­dak mengacuhkan. Ia ingin konsentrasi pada penjelasan guru. Sesekali ia men­de­sis, menyuruh Dean bungkam. Mungkin siksaan juga bagi Dean, harus diam terus se­panjang pelajaran, namun Zahra menikmati.

Zahra tidak merasa tersinggung sama sekali, saat jam istirahat datang lalu se­ketika Dean melesat ke kantin atau mendekati kawanan gaulnya. Zahra malah se­bal kalau Dean diam saja di bangkunya dan berinisiatif mengajaknya ngobrol. A­palagi kalau topik obrolannya menyangkut apa yang jadi pikiran Zahra juga.

“Si Kang Lutung jadi masuk ITB nggak? Pengumumannya udah?” tanya De­an suatu hari.

“Nggak tahu,” jawab Zahra acuh tak acuh.

“Kirain teh si Kang Lutung mau masuk Psikologi…”

“Nggak kok. Dia nggak mau.”

“Kenapa gitu?”

“Kamu kok bisa sih, sampe mikir kalo dia mau masuk Psikologi?” semprot Zah­ra dengan jemu. Pertanyaan tersebut ia tujukan juga pada dirinya.

“Ya nggak apa-apa… Emang kamu nggak deket ya sama kakak kamu?”

Bukan urusan kamu, Zahra ingin menjawab. Ia coba mengalihkan topik pem­bicaraan. “Eh, persamaan reaksi yang kemarin aku ajarin ke kamu, udah nger­ti belum? Entar siang kamu masih ada remedial Kimia kan?”

Dean mengerang. “Aduh, gua mah nggak yakin euy bisa masuk IPA … Se­cara nilai-nilai gua di mafiki cuman bisa dihitung pake sebelah tangan gitu. Yah, moga-moga aja IPS masih mau nerima gua, hehe…”

Satu lagi yang membuat Zahra ragu masuk IPS. Peluang Dean untuk di­to­lak IPA dan diterima IPS lebih besar daripada peluang untuk sebaliknya. Mana ke­las IPS di SMANSON jumlahnya hanya dua pula. Makin besar saja peluang Dean untuk kembali sekelas dengan Zahra.

Kata Dean lagi, “Udah, lo masuk IPS aja, Zah. Jadi kan kita entar masih bi­sa nyambung kalo belajar bareng lagi…” Dean tersenyum lebar. Zahra ngeri me­lihatnya. Jadi semakin bimbang saja ia hendak memilih IPA atau IPS.

Hingga penghujung Juni, masih ada pendar kebahagiaan para anggota ke­lu­ar­ga yang mendukung Mas Imin masuk ITB. Sudah dua minggu lebih berlalu se­j­ak pengumuman padahal. Pengumuman yang memastikan Mas Imin sebagai ca­lon mahasiswa ITB. Zahra takjub dengan kedigdayaan Mas Imin, sekaligus lesu ka­rena Mas Imin batal mengikuti SNMPTN.

“Buat apa?” kata Mama waktu itu. “Imin kan udah resmi jadi anak ITB.”

“Tapi kan sayang duit buat daftar SNMPTN-nya kemarin…”

“Emangnya Imin masih mau ikutan tes lagi?”

Zahra enggan hendak menengok reaksi Mas Imin. Ia sudah putus harap.

Pembagian rapot semester genap. Kenaikan kelas. Penjurusan. Zahra tahu se­mua nilainya akan baik-baik saja, ia yakin itu. Tidak ada kendala untuk meng­ha­langinya lanjut ke IPA, pun IPS. Tiba hari di mana ia harus menetapkan ke­pu­tus­an. Ia ikut Mama mengambil rapot ke sekolah.

Wali kelas di hadapannya, merangkum hasil belajarnya selama setahun ini. Ma­ma di sampingnya, tersenyum karena sudah sepatutnya. Wali kelas bilang bah­wa nilai Zahra baik untuk semua mata pelajaran, terutama mata pelajaran yang ti­dak banyak menuntut keaktifan dalam hal afektif dan psikomotorik, khususnya ek­sak. Lalu berdasarkan hasil psikotesnya kemarin juga… blablabla… Zahra co­cok­nya masuk IPA. Zahra meringis.

“Gimana, Zahra?” Mama menoleh pada Zahra, lalu kembali pada wali ke­las. “Kemarin sempet kepikiran masuk IPS.”

“Ooh… Ya nggak apa-apa. Bisa… Cuma ya, mau ke IPA atau IPS, mung­kin Zahra harus lebih aktif di kelas aja, ya, Bu…”

Zahra menunduk. Semalam ia telah memikirkannya, masa depan macam ma­na yang terbaik untuknya.

Pertama, ia membayangkan dirinya sebagai peneliti yang mengeram diri di laboratorium. Ia hanya harus fokus mengerjakan risetnya saja, dengan tabung-ta­bung percobaan yang berisi cairan menggelegak, para mencit yang tersudut ke­ta­kut­an dalam kotak kaca, denting pipet pada cawan petri, tetes cairan yang sedang di­titrasi, dan nyala api yang berkobar dari birunya spirtus. Sesekali mungkin ia ha­rus bertemu dengan orang baru dan menunjukkan ini itu, tapi itu tidak sering kan?

Kedua, ia membayangkan dirinya harus berpenampilan pantas sepanjang wak­tu (sementara sampai saat ini ia belum menemukan gaya berpakaian yang be­nar-benar cocok untuknya selain seragam sekolah). Profesinya mengharuskannya ber­interaksi dengan macam-macam orang beserta tabiatnya masing-masing setiap ha­ri, setiap saat. Terbiasa dengan tuntutan tersebut, ia dapat menempatkan rasa per­caya dirinya agar selalu berada di permukaan. Segala kecemasan, kegagapan, dan gemetaran tak perlu telah berhasil dientaskannya. Ia mampu menebar senyum tan­pa canggung, aktif berkata tanpa banyak jeda…

IPA atau IPS, sebenarnya sama saja, pikirnya. Dengan usaha keras, ia tetap bi­sa masuk Kedokteran atau Biologi atau Teknik meskipun ia anak IPS—pernah a­da cerita seperti itu. Dan masuk Komunikasi atau Hukum atau HI meskipun ia a­nak IPA. Apapun profesinya nanti, semuanya membutuhkan keterampilan sosial yang memadai. Yang akan selalu menjadi PR baginya.

Lantas, apa gunanya penjurusan saat SMA kalau begitu?

“Jadi, Zahra mau ke IPA atau IPS?” tanya wali kelas.

Atas segala yang telah ia lalui selama ini, dan perasaannya pada Mas Imin ter­utama, maka Zahra memutuskan. Ia membisikkannya pada telinga Mama yang ter­selubung jilbab batik.

 

-akhir-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain