Selasa, 06 Juli 2010

6

Kesenduan sehari-hari Zahra biasanya agak sirna oleh kehadiran Papa di ak­hir pekan. Kalau Papa bawa oleh-oleh, biasanya Zahra yang duluan ditawari. Pa­pa juga yang duluan menanyakan apa kebutuhan Zahra saat mereka hendak be­lan­ja. Kalau ada permintaan Zahra yang tidak dikabulkan Mama, Zahra akan me­min­­tanya pada Papa—tidak mesti dikabulkan juga, memang. Kalau Zahra ada ke­per­luan di luar rumah pun, Papa akan mengantarnya. Dan Papa selalu memberi Zah­ra hadiah kalau Zahra mendapat ranking tinggi di kelas.

Seperti yang Papa lakukan pada akhir pekan ini. “Kita ke Ciwalk yuk…” u­jar Papa saat kebetulan anak-anaknya sedang berseliweran di sekitarnya, di ruang te­ngah lantai bawah. “Beli baju buat Zahra.”

Zahra mengangguk-angguk dengan semangat.

“Ya, dari kemarin Zahra minta terus tuh,” Mama menimpali.

Memang barang yang paling sering Zahra minta belikan pada orangtuanya a­dalah pakaian, atau apapun khas perempuan, yang membedakannya dari para sau­­dara lelakinya. Tetapi Zahra sering merasa pakaian yang telah ia beli ternyata ha­nya terlihat bagus saat dipakai manekin. Makanya Zahra sering minta dibelikan. Ia ­harap ia tidak salah pilih lagi pada kesempatan berikut.

Namun turun juga mood Zahra malam itu. Papa menolak membelikannya sebuah teenlit.

“Papa nggak bawa uang banyak, Zahra. Udahlah Zahra beli baju aja. Ma­yong juga nggak minta apa-apa kok.”

Pantas saja Mayong bisa diam. Papa sudah membelikannya raket baru ming­gu lalu. Jadi ia kini bisa dengan santai menelusuri pertokoan sambil me­mer­ha­tikan benda-benda yang dipajang di etalase tanpa secuil pun pinta.

“Kemarin pas Mas Imin lagi ada duit, dibeliin buku nggak mau…” Makin ru­sak saja suasana hari Zahra mendengar perkataan Mas Imin tersebut. Mem­bu­at­nya jadi menyalahkan diri sendiri. Padahal tempo hari ia bisa memanfaatkan ke­ba­ik­an Mas Imin untuk membelikannya beberapa buku yang ia ingin. Mengapa pula emosinya harus begitu mudah tersulut. 

“Ya udah, langsung turun ke bawah aja yuk,” ajak Mama.

Berbondong-bondonglah mereka mengikuti ajakan Mama. Mama langsung meng­giring Zahra ke tujuan. Tak hanya Mama sebetulnya, yang serba salah bi­la Zah­­ra mulai merengut di tengah acara keluarga. Kepekaan seorang ibu yang mem­bu­atnya merasa bertanggung jawab untuk sebisa mungkin mengantisipasi hal ini ter­jadi. Seringnya ia gagal. Zahra sudah terlanjur merengut. Kalau sudah begitu, su­sah sekali mengambil hati Zahra. Tidak jelas apa maunya anak itu. Dibaik-ba­iki, tetap merengut. Lama-lama Mama pun tidak tahan untuk ikut melampiaskan e­mosi. Tambah merengutlah Zahra.

Untung kali ini Mama cukup berhasil. Kekeruhan yang menghias muka Zah­ra sejak dari atas memudar seiring dengan didorongnya Zahra masuk ke ba­gi­an pakaian remaja putri. Perhatian Zahra teralih. Ia mulai mengamat-amati pa­kai­an. Memilah-milah. Ia tanya pendapat Mama. Mama menyuruhnya minta pen­da­pat Papa juga. Hingga dua stel pakaian ia bawa ke hadapan Papa yang sedang meng­­obrol bersama Mas Imin.

“Satu aja, Zahra…” Belum apa-apa Papa sudah memelas.

“Cuma nanya kok, cocokan yang mana…” Padahal sebetulnya Zahra me­mang ingin minta dibelikan dua-duanya.

Baru saja Papa hendak menjawab, Mas Imin menyela, “Asal Zahra ng­gak cem­berut gitu terus, sebenernya Zahra cocok kok pake yang mana juga!”

Papa tidak jadi lega. Dan tidak terpikir juga untuk menegur sulungnya itu, ka­rena sesungguhnya Papa sepaham.

Zahra meninggalkan kedua lelaki tersebut dalam dengusan sebal.

Kembali Zahra memilah-milah. Ia tak pernah bisa benar-benar yakin akan pi­lihannya. Mama selalu bilang “bagus” saat ditanya. Papa tetap pada ja­waban “terserah…”. Mas Imin pasti mencela. Mas Ardi biasanya mengangkat bahu. Se­dang Mayong, anak itu malah akan balik tanya, “Mbak, mending ini, atau ini ya?” Tak ada satupun anggota keluarganya itu yang juga bisa benar-benar ia percaya.

Sekilas pandang Zahra teralih ke pintu masuk. Ia menangkap seseorang yang ia kenal. Tak hanya satu ternyata, tapi dua. Sosok yang kedua yang bikin Zah­ra buru-buru mengalihkan pandang. Ia tak ingin sampai ber­in­ter­ak­si dengan so­sok itu di tengah suasana hatinya sedang buruk seperti ini. Bi­sa makin jatuh har­ga dirinya. Zahra makin sok sibuk saja me­mi­lah pakaian. Ia men­jauh dengan pung­gung membelakangi jalan yang kira-kira akan dipakai sosok-sosok itu lewat.

“ZAHRA!”

Sekilas ia menangkap keterkesimaan pada raut wajah Mama di depannya, se­­belum ia sendiri berbalik. Ia dapati keceriaan teman sekelasnya nan periang, yang sepertinya membawa anggota keluarganya lengkap, sama saja dengan ke­a­da­an Zahra sekarang. Bedanya, keluarga Zahra tidak memancarkan sinar seperti ke­lu­arga Dean. Setidaknya begitulah di mata Zahra.

“Zahra, ngapain? Mau beli baju yah?”

Belum sempat Zahra menjawab, tangan itu mendorong pundaknya. Risih Zah­ra disentuh begitu, oleh cowok pula. Tapi kali ini Zahra tidak bisa berbuat a­pa-apa, bahkan merengut sekali pun!

“Bunda, ini Zahra, yang suka bantuin Dean ngerjain PR…” ucap Dean se­a­kan Zahra memang ikhlas melakukannya—membiarkan PR-nya disalin Dean! Dean mendorong pelan pinggang wanita yang berdiri di sampingnya.

“Makasih, Zahra, udah bantuin Dean ngerjain PR. Maaf ya, anak Tante su­ka rewel...” Tangan itu begitu halus dalam genggamannya. Terhirup harum lem­but kala punggung tangan itu menyentuh keningnya. Wanita yang Dean sebut “Bun­da” bak pesohor jelita yang Zahra suka lihat di acara TV. Tidak hanya pe­nam­pilannya yang tampak awet muda, lebih-lebih wajahnya. Begitu segar. Ta­hu­lah Zahra, dari mana Dean mewarisi wajah yang halus tanpa cela.

Bahkan kiranya masih lebih tinggi badan wanita tersebut dibandingkan Pa­pa. Lebih-lebih lagi ayahnya Dean, yang yakin Zahra adalah pria tegap di be­la­kang Arderaz itu—raut wajah cowok itu dan ayahnya hampir serupa. Pantas saja De­an dan Arderaz menjulang begitu.

Zahra merasakan telapak tangan nan lembut itu sekilas menyentuh pi­pi­nya. Malulah Zahra, ia tengah berjerawat. Tapi lebih malu lagi ia, karena melihat Ar­deraz tersenyum padanya. Ingin Zahra memekik keras-keras atau sembunyi.

Masih hangat dalam ingatannya, kebersamaan dengan cowok tersebut kala me­reka satu gugus di MOS. Di tengah teriakan para senior yang menyuruh me­re­ka terus berlari (“Sigap, Dek, SIGAAAAP!”, “Jangan lembek kalian! Kayak tai aja!”), Arderaz menyodorkan tangannya pada Zahra yang terjatuh. Dalam keadaan se­perti itu, Zahra menyambut saja pertolongan tersebut. Lalu Arderaz kembali ber­lari ke tempatnya semula, jauh di depan barisan. Arderaz juga kerap mem­be­ri­nya perhatian. Saat anggota gugus mereka berkumpul untuk menggarap tugas bersama, Arderaz mendekatinya hanya untuk menanyakan apakah ia mengalami ke­sulitan. Esok-esok harinya, Arderaz pun selalu menanyakan apakah tugasnya su­dah lengkap atau belum. Kendati, tidak hanya kepada Zahra saja Arderaz be­gi­tu. Memang itulah kewajiban Arderaz sebagai ketua. Namun sebagai sosok yang se­ring disampingkan, Zahra merasa amat tersentuh.

Tak bisa hilang debar dalam hati Zahra kala melihat Arderaz, sampai se­ka­rang. Arderaz bagai pangeran berkuda putih dari kerajaan antah berantah. Mung­kin kutukan dari kerajaan musuh yang menyebabkan pangeran tampan nan baik ha­ti itu sampai harus memiliki saudara kembar berperangai setan. Malang nian nasib sang pangeran sekeluarga.

Ketika Zahra kembali ke alam nyata, kagetlah ia mendapati tidak hanya ia dan Mama saja yang tengah bersua dengan keluarga Dean. Tapi juga anggota keluarganya yang lain. Dean mengenalkan Mas Imin pada bundanya. Papa dan ayahnya Dean bersalaman. Arderaz mengenali Mas Ardi. Zahra melirik pada lawan bicara Mayong, yang tampaknya sepantaran dengan adiknya itu. Agak risih ia, mendapati cewek itu mengenakan blus longgar dan celana pendek. O, lihatlah tungkai kaki putih mulus nan jenjang itu. Pantas Mayong bertingkah sok akrab pa­da cewek yang Zahra tengarai adalah adiknya Dean dan Arderaz.

Dalam perjalanan pulang ke rumah, keluarga Zahra masih tenggelam da­lam pancaran pesona keluarga Dean. Tak henti mereka mengumbar kesan masing-ma­­sing akan keluarga tersebut selama setengah perjalanan. Memberi Zahra beberapa informasi yang baru kali itu ia ketahui.

“Ibunya Dean yang suka tampil di acara TV itu…!”

“Ayahnya Dean yang kadang ada di koran itu…!”

“Saudaranya Dean yang pernah masuk di majalah itu…!”

Namun tidak ada satupun yang ingat untuk mengomentari Deannya itu sen­diri, selain Zahra. Yang masih merutuki bocah itu dalam hati. Menyesali ke­na­pa Dean harus menyapanya tadi. Kan bisa saja bocah itu pura-pura tidak me­li­hat­nya. Melengos saja bersama keluarganya, langsung pergi ke tempat tujuan berupa res­toran mahal atau apalah. Setidaknya hal itu tidak akan membuat Zahra merasa be­gitu rendah diri malam ini. Tidak saja merasa rendah karena dirinya, tapi juga ka­rena keluarganya. Keluarganya yang bukan apa-apa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain