Minggu, 04 Juli 2010

4

Kendati masih pagi, layar PC rumah tetap membutuhkan waktu lebih dari se­menit untuk menampilkan halaman utama Facebook. Tersadar Zahra dari la­mun­­an. Ia ketik e-mail dan password lalu kembali melamun. Dan pagi itu, Zahra kem­bali membuktikan bahwa Facebook tak pernah dapat menyalakan gairah hi­dup­nya. Angka di Pemberitahuannya tidak pernah lebih dari satu digit—kalau ti­dak ada sama sekali. Begitupun dengan jumlah temannya, tidak pernah beranjak da­ri dua digit. Jarang ada yang menulis di dindingnya, mengomentari statusnya, men­gajaknya chatting, menautkannya dengan sesuatu, apalagi mengunggah foto yang ada sosok suram dirinya. Zahra heran sendiri, kenapa ia harus ikut-ikutan tren zaman sekarang—membuat akun Facebook—yang malah semakin me­nam­bah kekecewaan dalam hidupnya. Mas Imin saja, yang pasti jauh lebih gaul da­ri­nya, tidak punya akun Facebook. Boro-boro Twitter.

Zahra malas membuka-buka situs lain dengan kecepatan akses yang se­lam­bat bekicot sekarat ini. Ia lebih suka ke warnet kalau harus mencari tugas di in­ternet. Lagipula biasanya kan Mas Ardi memonopoli pemakaian PC. Diam-diam Zah­ra menanti kapan Mas Imin akan bergerak untuk mengganti modem internet yang ada dengan modem yang kecepatannya jauh lebih kencang.

Setelah mematikan PC, kembalilah ia ke kamarnya. Mendapati Zia masih nye­nyak dalam tidurnya. Padahal ini sudah jam setengah enam lebih. Semua sau­da­ra laki-lakinya saja sudah pada bangun dan mandi. Zahra sendiri sudah pakai se­­ragam. Tinggal menunggu sarapan siap dan memakai jilbab saja.

Zahra mengguncang betis Zia pelan. “Zia, Zia, Mbak Zia, bangun…”

Zia sekitar setahun lebih tua dari Zahra. Sepupunya itu tidak mau di­pang­gil dengan embel-embel “Kak”, “Teteh”, “Mbak”, dan sebagainya yang me­nun­juk­kan bahwa ia lebih tua dari siapapun. Namun Zahra kadang masih kelepasan.

Zia menggeliat. Mengucek-ucek matanya. “Jam berapa nih?”

“Setengah enam lebih…” Zahra sudah siap dengan nyaring keterkejutan Zia karena lagi-lagi bangun terlambat. Juga karena ia lupa bawa seragam baru un­tuk ia pakai hari ini. Kemarin Zia bilang sendiri bahwa seragam yang sedang ia pa­kai itu belum dicuci dua hari. Sudah tahu begitu, ia malas pulang ke rumahnya sen­diri. Beginilah kalau sekolah lebih dekat rumah saudara daripada rumah sen­di­ri—apalagi kalau memang akrab dengan saudara tersebut. Untung Zia tidak lupa me­­ne­beng cadangan pakaian dalam dan peralatan mandi di lemari Zahra. Sudah se­perti rumah sendiri saja Zia di rumah tersebut, apalagi sejak ada Mas Imin.

“Mas, aku lupa bawa seragam lagi…” Zia cengengesan ketika ia bertemu Mas Imin dalam perjalanannya menuju kamar mandi.

“Pinjem punyanya Zahra aja,” sahut Mas Imin yang tengah menyendok ku­ah sayur sisa kemarin malam. “Sekalian mulai kerudungan aja, Zia.”

“Mau pake seragam yang kemarin aja ah!” suara Zia dalam kamar mandi.

“Ih, geuleuh[1]! Jorok!”

Ta­wa Zia diredam gebyuran air.

En­tah mengapa Zahra merasa tidak senang mendengar keakraban itu. Zia mem­perlakukan Mas Imin seolah-olah mereka adalah saudara kandung. Zahra sa­ja yang jelas-jelas adik kandung Mas Imin dan sudah belasan tahun tinggal se­ru­mah, tidak pernah berinteraksi seakrab itu dengan Mas Imin. Zahra merasa aneh me­ngapa sampai terbersit perasaan seperti itu dalam dirinya.

Zahra mematut penampilan pada cermin kamar. Ia tak pu­as pada kedua be­lah pipi tembemnya—yang selalu ia klaim sebagai bukti kejahatan Mas Imin di ma­sa lalu. Selebihnya memang ia tidak pernah merasa berwajah rupawan.

Sudah rapi jilbabnya. Ia coba mengulas senyum selebar mungkin, meng­a­pli­kasi­kan apa yang pernah ia baca di suatu tabloid. Tersenyum pada diri sendiri se­telah bangun tidur tidak hanya dapat mengencangkan kulit wajah dan membuat tam­pak awet muda, tapi juga dapat mengalirkan energi positif. Mungkin ada ba­ik­nya juga kalau ia mulai menebar senyum pada teman-teman sekelasnya nanti.

Zahra ngeri melihat bayangannya sendiri di cermin. Senyumnya lebih me­nye­rupai seringaian. Ia membayangkan kernyitan aneh yang akan menghias wajah te­man-temannya kala melihat senyumnya itu. Zahra menghembuskan nafas. Ia coba lagi mengatur kedua belah bibirnya agar membentuk senyum yang tidak a­kan membuat teman-temannya lari. Lalu ia teringat akan senyum tiga jari yang di­ajar­kan para senior saat MOS kemarin. Ia praktikkan pula yang satu itu.

Zahra belum bosan berlatih senyum sampai terdengar cekikikan dari sudut ka­mar. Zahra terkesiap. Sejak kapan Zia sudah berada di sana lagi?!

“Kamu ngapain sih, Zah?”

Sudah jelas cekikikan itu muncul karena Zia memerhatikan Zahra sedari ta­di. Kali ini Zahra tidak mau tersenyum lagi.

“Eh, liat nggak teteh yang kacamataan itu? Yang pas upacara kemarin di­u­mu­min menang lomba debat yang di SMAN Air Amplas itu? Dia tahun ke­ma­rin u­dah nyampe Brunei juga. Padahal pas sebelum SMA-nya tuh dia biasa aja. Ta­pi e­mang katanya ngomongnya cepet banget. Pas kemarin ngobrol sama dia sih, dia bi­lang dia emang dulu orangnya gugupan. Kalau ngomong pelan-pelan tuh, dia ma­lah lupa apa yang mau diomongin. Sampai pas SMA, dia ketemu orang yang nge­dorong dia buat masuk ekskul debat. Orang debat kan emang ngo­mong­nya ha­rus cepet banget kan. Eh, ternyata kepake banget dong kebiasaannya ngo­mong ce­pet itu. Dan karena udah biasa mentas, dia sekarang udah jarang gugupan la­gi.

“Nah, kalau akang yang itu, yang pake topi ijo itu, dulunya mantan geng mo­tor. Percaya nggak, dia udah beberapa kali nginep di kantor polisi? Sa­ngar ya? E­mang si akang itu kalau ngomong kasar bet. Sampai sekarang juga he­wan pe­li­ha­raannya masih suka dibawa-bawa kalau ngomong. Dia bilang, ba­nyak yang ng­gak suka dia gara-gara kebiasaannya itu. Tapi mau gi­ma­na lagi. Udah berenti dari geng motor juga, namanya kebiasaan mah susah ngi­lang­innya. Udah gitu, dia per­nah juga hampir nggak naik kelas. Terutama gara-ga­ra nilai bahasa Inggrisnya je­blok. Sampai suatu hari, ada yang nyaranin dia buat be­lajar hip hop supaya dia bi­sa tetep ngomong kasar, sekaligus belajar bahasa Ing­gris. Dan supaya ada temen be­lajar, akhirnya dia ngediriin komunitas hip hop deh di SMANSON.

“Akang yang barusan nyapa kita itu, iya, Kang Ajat, alias Kang CP, itu ju­ga orangnya dulu minderan banget. Kata dia sih, pas awal-awal masuk SMA, mau i­kut ekskul apa gitu, atau mau dateng ke acara apa, harus ada yang nemenin. Ka­lau nggak ada temennya, biarpun dia pingin banget ikutan, dia pasti nggak bakal ja­di dateng akhirnya. Tapi, dia tuh jago banget main bridge. Cuman, karena waktu itu di ekskul bridge orangnya dikit banget, temen-temennya juga nggak nambah ba­nyak. Tapi untungnya dia punya temen deket, yang terus-terusan ngedorong dia bu­at ngajak main bridge ke orang-orang yang nggak bisa main bridge. Terutama ke orang-orang bekennya SMANSON. Ya jelaslah, dia menang terus. Tapi ak­hir­nya orang-orang jadi pada kagum gitu sama dia, dan minta diajarin. Trus lama-la­ma dia jadi punya kepercayaan diri deh, dan menyadari pentingnya bridge untuk per­gaulan dan menambah pesona diri. Atas dasar itulah, akhirnya dia bisa nge­hi­dup­in ekskul bridge lagi. Makanya, ekskul bridge di SMANSON punya jargon: un­tuk kepercayaan diri Anda yang tertindas!”

Jika jawaban “iya, percaya” adalah satu-satunya cara untuk me­nye­la­mat­kan­nya dari keceriwisan Dean, maka itulah yang akan Zahra lakukan, meski de­ngan amat berat hati. Dan sekarang ia menghadapi kebuntuan bagaimana meng­u­sir Dean dari dekatnya. Sejak ia masih bersama Syifa saat keluar kelas, ke Ka­ru­nia (a­nak-anak lebih fasih menyebut “Karunya” pada kantin yang lebih me­nye­rupai wa­rung itu), melewati masjid, sampai kembali ke kelas, ocehan Dean ma­sih ber­de­nging di kuping Zahra. Seharusnya Zahra ikut kumpul DKM[2] saja bersama Syi­fa tadi di masjid. Dean pasti bakal kepanasan hanya karena menginjak lantai te­ras­.

“Kalau gua, potensi gua apa ya? Hehe… Belajar nggak bisa, olahraga ng­gak kuat, nyanyi malah disuruh diem… Gua juga pingin didorong dan dikasih sa­ran kayak mereka itu sama Kang Lutung. Kalau kata Kang Lutung sih, sesepele a­pa­pun potensi kita, yang penting kita bisa berguna bagi orang lain. ”

Sama. Zahra juga tidak pernah merasa memiliki potensi apapun yang me­non­jol dari dirinya. Ia tidak punya potensi apapun, malahan.

Jadi semua yang diocehkan Dean tadi merujuk pada Mas Imin? Zah­ra makin ilfil.

Sebagaimana SMAN Selonongan dikenal sebagai SMANSON, Mas Imin ju­ga beken dipanggil “Lutung” di SMA itu. Tapi mau dipanggil Lutung, Munyuk, a­tau malah Surili, bagi Zahra sama saja. Zahra mengakui, tindak-tanduk Mas Imin sa­ma hiperaktif dengan segala jenis primata. Namun Zahra sama sekali tidak mi­nat ikutan memanggil Mas Imin demikian. Kesannya seperti ia juga mau meng­a­krab­kan diri dengan orang paling ia benci itu. Selain itu, kemungkinan Ma­ma a­kan marah ka­­rena nama anaknya diubah sembarangan—pakai nama he­wan pula. Sa­king ter­biasa mendengar Mas Imin dipanggil “Lutung” oleh ka­wan-kawannya se­­kolahnya, kata “Lutung” jadi tak terasa sebagai nama hewan lagi da­lam pen­de­ngar­an Zahra. Begitu pula menurut pengakuan orang-orang yang me­mang­gil Mas Imin demikian. Zahra jadi sebal mengapa ini sampai harus ter­jadi. Sudah bagus Mas Imin diidentifikasikan dengan hewan yang memang mirip dengannya.

Zahra tahu Mas Imin cukup tenar di SMANSON. Apalagi de­ngan Mas Imin jadi peserta penyusup saat MOS lalu, tenar pulalah monyet itu di ka­langan a­nak-anak kelas X. Dan ternyata sebab lain ketenaran Mas Imin, juga ka­rena ia ke­tu­a suatu ekskul, adalah karena ia suka mendorong o­rang un­tuk masuk ke suatu ko­munitas? Bahkan kalau Mas Imin pernah men­do­rong seseorang masuk jurang pun, Zahra tak peduli. Dean tidak ada topik lain apa?

“Pasti seneng punya kakak kayak Kang Lutung, di rumah ketawa mulu.”

“Nggak.” Zahra menghempaskan tubuh di atas bangkunya yang keras.

Dean duduk di sebelahnya. “Atau, bukan seneng, tapi seneng banget?”

“Nggak.”

Zahra sendiri heran setiap menyaksikan Mas Imin begitu disenangi di SMAN­SON. Zahra hampir tidak pernah melihat Mas Imin dalam sendiri dan su­nyi. Biasanya selalu ada gelak tawa atau ocehan bernas yang mengiringi.

“Zahra ikut ekskul apa aja?”

“Nggak ikut apa-apa.”

Zahra sebetulnya tertarik dengan banyak ekskul. Namun bayangan akan ke­tidaknyamanan saat harus berkumpul dengan orang-orang yang belum dikenal le­bih mencemaskannya.

“Zahra nggak suka ama Dean ya?”

Tadinya Zahra mau menjawab “nggak” lagi. Namun ia memutuskan untuk di­am saja. Ia memang tidak suka Dean. Ia tidak suka setiap Dean meminjam PR-nya. Ia tidak suka saat Dean lagi-lagi tidak ikut kumpul kelompok. Ia tidak suka ka­la Dean mangkir dari tugas piket, di mana mereka lagi-lagi sekelompok. Ia ti­dak suka waktu Dean dan anak-anak sejenisnya bikin gaduh di kelas, ada atau tia­da guru. Saking tidak sukanya pada Dean, Zahra lebih suka menganggap Dean se­ba­gai bukan Dean, melainkan sebagai saudara kembar cowok itu—sang rupawan la­gi menawan, Arderaz Haykal—dalam versi kekanak-kanakkan. Kendati itu ma­lah membuatnya jadi agak ilfil pada Arderaz.

Pokoknya tidak ada satu hal pun dari Dean yang ia suka, bahkan jumper ga­­ul Dean sekalipun! Tapi ia lebih tidak suka lagi kalau ia nanti menjawab, maka per­tanyaan Dean akan kembali memberondonginya tanpa henti.

“Kenapa, Dean jelek ya?”

“Nggak.”

Sial. Bisa-bisanya mulutnya refleks menjawab. Pasti latihan senyum tadi pa­gi yang membuat mulutnya jadi licin begini!

“Bener? Soalnya, gua heran aja, kok Zahra bisa-bisanya mikir kalau Dean je­lek. Padahal orang-orang bilangnya Dean ganteng gitu…”

Dan kini ia tidak bisa tidak tersenyum juga rupanya. Latihan senyum ber­tu­ah. Ia mempertimbangkan untuk tidak melakukan itu lagi sering-sering.

Mungkin sebetulnya Dean tulus ingin berteman dengannya. Mungkin tidak a­da rugi berteman dengan peramah macam Dean ini. Mungkin Zahra bisa ke­tularan banyak teman. Betapa seulas senyum spontan telah meneteskan optimis da­lam pikiran Zahra.

Ia usahakan agar senyum itu bertahan di bibir. Zahra menoleh pada Dean. Me­munculkan pemberitahuan bahwa permintaan pertemanan Dean telah di­kon­firmasi. Mungkin setelah ini Dean akan menyarankan beberapa teman untuknya.

Terhias pula wajah Dean dengan cengiran. Dengan penuh kehati-hatian co­wok itu bertanya lagi, “Udah ngerjain PR Kimia belum? Gua boleh liat nggak?”

Lima menit lagi bel mengakhirkan jam istirahat dan menggantikan­nya de­ngan pelajaran Kimia untuk kelas X-7, kelas mereka. Dan Dean datang terlam­bat ta­di pagi. Pantas saja sedari tadi Dean mengejar-ngejarnya.



[1] Sunda: ungkapan untuk menyatakan rasa jijik

[2] Dewan Keluarga Masjid—bisa diartikan sebagai takmir, bisa pula jadi sebutan untuk kerohanian Islam di sekolah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain