Jumat, 16 Juli 2010

16

Bukan lagi jurus S yang Mas Imin berikan padanya. Zahra merasa dirinya kini sudah seharusnya naik tingkat. Mas Imin mewariskannya sebuah kitab karangan Mpu Sean Covey. Kitab itu menjabarkan kebiasaan-kebiasaan remaja paling efektif. Ada satu di antaranya yang paling Zahra suka, yaitu: PROAKTIF.

Membaca kitab tersebut, juga beberapa bacaan dari rak buku Mas Imin lainnya (ternyata sebagiannya adalah milik Zia yang sudah lama tidak dikembalikan), mendorong Zahra untuk segera membiasakan satu hal baru dalam hidupnya: terbuka pada orang lain.

Agak bimbang ia pada mulanya. Sesungguhnya masih ada takut untuk mengungkap sesuatu tentang dirinya. Apapun berpotensi untuk menjadi bahan ejekan. Ia mengingatkan dirinya bahwa ia sudah tidak berada di masa kanak-kanak lagi. Lingkungannya pun tidak demikian. Orang-orang di sekitarnya sudah lebih tahu bagaimana caranya bersikap pada orang lain—semestinya. Mereka yang dimaksud Zahra adalah anak-anak sekelasnya, pada khususnya. Selama lima hari berturut sebagian harinya harus dilewatkan bersama mereka.

Semakin dipikir, semakin ia ragu untuk melakukan. Zahra mengingatkan dirinya untuk tidak pikir panjang lagi begitu kesempatan itu datang.

Bernuansa reuni, kelompok tugas itu akhirnya bersatu lagi untuk pertama kalinya di semester baru. Acil, Salman, dan Rani—rasanya sudah lama Zahra tidak bersama mereka, padahal setiap hari bersua di kelas. Kadang ada saja hari damai di sekolah, yaitu hari di mana Dean, si bocah sakit-sakitan, tidak masuk sekolah. Hari ini adalah hari itu. Kedamaian membuat antusiasmenya membuncah. Namun tak teraba tiga sekawan lain yang mulai larut dalam obrolan.

Kali ini mereka harus membuat penelitian sederhana tentang lingkungan hidup di sekitar mereka. Alih-alih memutuskan hendak meneliti pengaruh perubahan pH terhadap kecepatan pernafasan ikan, atau pola aliran energi pada makhluk hidup di pohon, atau eutrofikasi di perairan, diskusi tiga sekawan malah melenceng pada pengalaman hiking mereka liburan kemarin di Gunung Puntang. Selama itu, Zahra memikirkan kapan saat yang tepat untuk menyela mereka. Ia juga ingin bicara. Sekarang? Atau nanti? Zahra memutuskan untuk tidak berpikir sama sekali. “Kapan-kapan aku boleh ikut?”

“Wah! Ya bolehlah…” sambut Salman dengan lagak khasnya. Ia membuka kedua belah lengannya. “Because we are friends!”

“Boleh aja, Zahra. Kenapa nggak?” ujar Rani.

“Iya, malah kita pikir kamu yang nggak mau diajak-ajak,” imbuh Acil.

“Ho oh. Waktu itu kita kan pernah ngajakin kamu mancing di deket rumahnya Rani. Tapi kamunya nggak mau, tho?” kata Salman lagi.

Zahra nyengir. Waktu itu ia menolak ikut supaya tidak ketinggalan menonton drama Asia pada sorenya. Zahra yang sekarang tidak ingin mengulangi hal sama. Apalah artinya satu episode yang terlewat ketimbang kesempatan untuk bersosialisasi— menoreh pengalaman menyenangkan dalam memori?

“Ya… Itu kan dulu. Besok-besok insya Allah aku bisa deh.”

Mereka bertukar senyum. Baru kali ini Zahra merasa aura kelompoknya semenyenangkan ini. Katanya lagi, “Kalau boleh, besok pas ada giliran presentasi lagi, kalo aku yang jadi presentatornya gimana?”

Itu pun diucapkannya tanpa pikir panjang. Sudah lama Zahra kepikiran untuk keluar dari zona aman atau memperluas zona nyamannya. Kata Mas Imin, yang Zahra butuhkan agar lancar bicara di muka kelas adalah pembiasaan. Dan kesempatan itu harus dicari. Syukur-syukur kalau datang sendiri. “Tapi bisa habis waktu kita kalo cuman dipakai buat menanti. Akhirnya kita nggak dapet apa-apa sama sekali,” tutup Mas Imin malam itu.

Zahra menekan kuat keinginan untuk memikirkan kemungkinan apapun yang dapat mengurungkan ucapan. Bagaimana kesusahannya menjelang eksekusi nanti, perkara nantilah! Belajar susah itu memberdayakan, yakinnya.

“Ya nggak apa-apa,” ucap Acil. Menggaruk pipinya. Menoleh pada Zahra lagi. “Tumben?”

“Iya, biasanya kamu tuh suka nolak kalau disuruh ngomong. Padahal kan kamu yang paling ngerti cara ngerjainnya, Zahra,” sambung Salman, hal Zahra yang selalu menyiapkan slide presentasi untuk penampilan kelompok mereka. Zahra kerap menambahkan poin-poin pikirannya ke dalam slide. Namun saat dituding anggota kelompoknya untuk bantu menjelaskan di depan kelas, ia bergeming.

“…kalau lagi diskusi kelas juga, diem… aja.” Acil menirukan gaya Zahra saat dalam situasi yang sedang diungkitnya. Zahra terpana, ternyata Acil suka memerhatikannya.

Memang saat ada guru menunjuknya untuk bersuara, Zahra selalu menghindari bicara banyak. Semula kalimat-kalimat terkait diskusi berkecamuk dalam pikirannya, namun begitu pusat perhatian mengarah padanya, buyarlah semua. Kecemasan tak beralasan menguasainya. Ia benci saat-saat seperti itu. Saat ia harus menyuarakan sesuatu padahal ia lebih suka menyimpannya sendiri atau bahkan tidak memikirkannya sama sekali. Ia lebih suka menjadi bisu. Tak seorang pun berhak menuntutnya untuk bersuara karena ia bisu. Jadi ia tidak usah merasakan kecemasan semacam itu. Namun Tuhan tidak menghendakinya bisu. Itulah sebab mengapa ia harus mengoptimalkan ketidakbisuannya.

Zahra memainkan jemarinya. Saatnya mengaku, memberi umpan untuk memulai sesi berbagi, “Habisnya aku suka grogian sih…”

“Aku juga. Tanganku dulu masih suka gemetaran kalau harus ngomong di depan,” tanggap Salman.

Zahra menggali ingatan dan tidak menemukan kebenaran kalimat Salman. Penampilan Salman selalu setenang embun pagi. Sewaktu MOS saja ia sudah berani menyanyi di depan ratusan peserta dan panita.

“…pas SMP aku masih kayak gitu kok. Tapi lama-lama nggak lagi. Kamu juga pasti bisa kok, Zahra! Asal sering-sering aja ngomong di depan!”

Acil mengangguk-angguk saja sambil mengorek salah satu lubang telinganya. Penampilan Acil di muka kelas juga tidak kalah menarik. Ia suka mengeluarkan kalimat-kalimat yang tidak umum, kadang memancing tawa audiens namun lebih sering menggaring, kadang pula ia terlihat lebih seperti berorasi. Rani apalagi. Dalam kondisi apapun, air mukanya sedatar permukaan tripleks. Jadi jarang bisa diketahui apakah ia sedang senang, gugup, panik, atau frustasi.

Mendadak Zahra merasa malu. Sepertinya hanya dirinya yang bermasalah. Apakah ia harus terbuka juga mengenai ini? Diliputi kenaifan, ia nyengir lagi. “Mohon bantuannya ya teman-teman…”

Adalah senyum dan tawa mereka memulihkan lagi perasaannya.

“Nggak papa kali, nyante aja,” kata Acil.

“Justru bagus tho, yang paling ngerti kan harusnya yang ngejelasin.” Salman menatap Acil yang membalasnya dengan anggukan.

“Huu, tapi entar semua aku yang ngerjain dong?”

“Pasti aku bantu kok, Zahra.” Senyum Rani tidak pernah lebar, namun tetap dapat menguatkan.

“Dengan demikian, ketua kelompok Ragil Setyo Joharman memutuskan bahwa buat presentasi kali ini yang maju Zahra. Hal-hal yang menyangkut formasi lainnya diatur kemudian dalam tempo waktu tergantung gurunya mau kita presentasi kapan. Setuju?”

“Sah!” sahut Salman. Acil mengetokkan tempat pensilnya ke bangku tiga kali. Zahra masih diliputi rasa malu, tapi kali ini bercampur dengan haru.

Satu lagi kata yang Zahra suka, diambil dari bacaan yang disarankan Mas Imin, adalah: ASERTIF. Kata tersebut menunjukkan sifat percaya diri dan penuh kekuatan. Zahra menanti dan mencari kesempatan untuk dapat mengaplikasikan kata tersebut dalam kehidupannya. Sebetulnya kesempatan itu mengiringinya hampir setiap hari, bahkan sebelum ia menemukan kata tersebut. Namun baru pada kali ke sekian ia menyadarinya. Dan dosis yang ia gunakan terlalu besar rupanya. Ia malah kelepasan menggertak.

“NYONTEK PR TERUS! KAPAN KAMU MAU NGERJAIN SENDIRI?”

Dean terhenyak. Sontak ia memegang dadanya, seolah-olah ia punya penyakit jantung.

Berpasang mata mengarah pada mereka berdua. Zahra lekas menunduk malu. Ditambah panas dingin dan deg-degan, lemas pula ia. Ternyata menggertak orang membutuhkan energi yang tidak sedikit. Ia mengangkat kepalanya sedikit untuk mengecek apakah ada malu juga tersirat pada wajah Dean karena digertak begitu. Ternyata tampang Dean sudah biasa-biasa saja, seolah gertakan Zahra tidak berarti apa-apa untuknya. Zahra mendesah. Tentu saja Dean begitu. Sewaktu diminta guru ke luar kelas karena membuat kegaduhan pun, bocah itu masih bisa cengar-cengir.

Dan kalau bocah itu ditanya apakah ia pernah merasa malu, kemungkinan besar ia akan balik tanya, “Malu? Malu apa? Emangnya apa yang mau dipalu?”

“Ya ampun, Zahra, selamat ya, udah kesampaian cita-cita kamu jadi anak pemberani!” Dean hendak menyalaminya. Zahra buru-buru menangkis. Pandangnya menyapu sekitar. Mereka sudah tidak jadi pusat perhatian lagi, namun tetap saja ia merasa malu. Memangnya siapa yang pernah bercita-cita jadi anak pemberani?

Kendati sudah digertak Zahra, tetap saja Dean masih tebal muka untuk mengerahkan rengekan. “Ayo, Zahra… Kalo gua ampe nggak ngerjain lagi kali ini, entar Bu Elly bilang nyokap gua… Ya Zahra, ya Zahra, ya Zahra, ya? Ya?”

Kali ini Zahra ingat untuk menggunakan dosis yang tepat. Akhirnya sampai juga kesempatannya untuk dapat berkata-kata keji pada seseorang. Rasanya seperti dendam yang terbalaskan.  “Ya bagus malah kalau kamu sampai dimarahi ibu kamu. Biar kamu berubah!”

Dean tercengang. “Zahra… Zahra… Zahra…”

Zahra melemparkan tatapan pergi-jauh-jauh-kamu-dari-sini!

“…elo kok…”

Zahra tahu status Dean sebagai anak kesayangan satu sekolah—bahkan oleh para guru yang sering memintanya ke luar kelas sekalipun. Namun Zahra tidak peduli setelah ini Dean bakal sebal padanya. Bahkan jika Dean mengerahkan pasukan gaulnya untuk menindas Zahra hingga lulus SMA sekalipun. Yang penting sekarang adalah, kebenaran harus ditegakkan! Kebenaran pasti akan menang! Puas ia karena telah menerapkan ajaran Mas Imin untuk memberitahu seseorang agar berubah.

“…MIRIP BANGET SIH AMA NYOKAP GUA?!”

Ganti Zahra terperanjat. Dari mana miripnya?! Amit-amit punya anak seperti Dean!

Dean beringsut mundur dari bangku di hadapan Zahra. Ia mengambil buku PR-nya dan berkata dengan sedih, “Baiklah kalau Mamih Zahra nggak berkenan untuk kali ini, nggak apa-apa…”

Zahra merapatkan dirinya ke dinding. Tubuhnya merinding. Dilepasnya Dean yang mungkin hendak memburu mangsa baru dengan jaminan mutu serupa. Dean pergi ke luar kelas. Zahra menghembuskan nafas. Ia memperbaiki posisi duduknya. Menyeret buku pelajaran Sosiologi tepat ke hadapan untuk dibacanya lagi. Zahra telah mempertimbangkan gagasannya untuk meneruskan ke IPS. Semakin dipikirkan, semakin ia bergerak ke garis positif. Ia harus mendapat nilai yang bagus untuk mata pelajaran berbau IPS saat UTS dan UAS nanti.

Hawa di kelas mendadak berubah. Seperti ada semerbak kharisma yang merawankan hati mengawang-awang di udara. Asalnya dari pintu kelas. Telah datang sebuah selingan menawan pada jam istirahat—sesuatu yang jarang terjadi. Sesaat Zahra tak bisa bergerak. Bisa ia rasakan penghuni kelas lainnya pun terpaku. Dengungan lebah itu kini senyap, sejenak, sebelum berputar kembali dengan irama kehati-hatian.

Dean akhirnya berhasil menyeret Arderaz masuk ke dalam kelas. Agak terkesima Zahra, karena cowok itu menyandang gitar di punggungnya. Zahra bukannya tidak tahu kalau Arderaz juga anak band. Sudah beberapa kali Komunitas Band SMANSON, alias KOMBAS, menyelenggarakan gig di area sekolah. Karena tak suka keramaian, Zahra tak pernah tuntas menyaksikan penampilan Arderaz. Namun yang ada dalam pikiran Zahra kali ini adalah Arderaz yang baru selesai mengamen.

“Katanya kemarin nggak ada PR?” terdengar suara Arderaz. Cengkeraman tangan Dean masih bertengger pada pergelangan tangannya.

Zahra jadi tak bisa berkonsentrasi pada bacaannya. Diam-diam kupingnya awas, sambil sesekali kepalanya terangkat untuk mengamati.

Rengekan Dean, “Ih, gua juga baru taunya barusan tadi… Ayo dong, Yaz… Pelajarannya Bu Elly nih! Habis ini pula! Mampus gua kalo entar sampe nggak ngerjain PR-nya lagi…”

Awas aja kalo dia sampe ngungkit-ngungkit aku juga... batin Zahra.

“…temen gua yang biasa udah nggak mau bantuin lagi…” Dean menambahkan argumen untuk semakin mengenyahkan keengganan Arderaz. “Ayo, Yaz… Keburu jam istirahatnya habis…”

Meskipun Dean tidak menyebutkan namanya, tetap Zahra dongkol. Ia mencoba untuk berkonsentrasi pada bacaannya lagi, namun tidak bisa. Ia penasaran apakah Arderaz akan berhasil ditaklukan oleh Dean. Jangan, Arderaz, jangan… pintanya dalam hati, demi kebaikan saudaramu sendiri! Ia tahu Arderaz tak mungkin dapat mendengarnya, tapi siapa tahu saja kekuatan pikiran memang nyata.

Dean berhasil mendudukkan Arderaz di bangku terdekat. Ia membentangkan PR-nya di hadapan Arderaz. Beberapa orang cowok yang Zahra kenali sebagai bukan teman sekelasnya melongok dari balik pintu. Melihat Arderaz di sana, mereka masuk. Dean tertawa-tawa sebentar bersama mereka. Lalu para cowok itu berkerumun di sekitar bangku yang diduduki Arderaz. Sesekali menunjuk sesuatu di atas pekerjaan Arderaz. Arderaz mengguncang-guncangkan tipe-X yang disodorkan Dean padanya. Para penghuni kelas sesungguhnya yang baru masuk ke dalam kelas berjengit saat mendapati kerumunan Arderaz cs di bangku dekat pintu masuk. Kehadiran para tamu tersebut membuat suasana kelas terasa lebih cemerlang, entah mengapa. Mungkin karena mereka semua populer di sekolah. Suram yang kerap menggelayuti kelas paling pojok itu pun tergusah.

Sementara itu, Zahra tengah sibuk mencela-cela Arderaz dalam hati. Ia protes mengapa Arderaz mau-maunya diperbudak oleh Dean. Sudah begitu, sebelum Arderaz menyusul teman-temannya minggat karena PR Dean sudah tuntas digarap ramai-ramai, Dean masih saja mencegat. “Boleh minta goceng nggak, Yaz? Uang jajan gua kayaknya ketinggalan di mobil tadi, hehe…”

Mau-maunya dipalak…!

Zahra tak bisa terima melihat Arderaz begitu saja menyerahkan uang dari dalam saku seragamnya ke tangan Dean. Warnanya biru pula! Di matanya kini, Dean laksana setan dan Arderaz adalah abdinya yang tanpa daya. Hiish…

Zahra mendapatkan satu pelajaran baru. Untuk mengubah seseorang, ternyata tidak cukup hanya dengan memberitahu yang bersangkutan. Melainkan juga orang-orang di sekitarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain