Jumat, 09 Juli 2010

9

Suatu keteguhan dapat goyah semudah membalikkan telapak tangan. Se­ba­gai­mana mereka yang bersumpah untuk membatasi konsumsi gula, namun begitu terjebak dalam badai angin di puncak gunung, yang mereka inginkan lantas hanya segelas coklat hangat.

Sebagaimana Zahra, yang menahan diri untuk tidak mengkaji sebab me­ngapa ia tahu-tahu sudah berdiri di depan pintu kamar Mas Imin. Sudah terlanjur ia sampai situ. Lebih kuat alasan untuk bertahan di muka pintu ketimbang alasan untuk balik kanan dan mengurungkan niat semula.

Sunyi dalam geming pintu. Mas Imin nggak ada di dalam kok, ada suara batin yang berupaya menghelanya kembali ke kamar. Namun suara batin lainnya seterik sinar mentari di penghujung siang itu. Coba dulu! Siapa tahu ada! Siapa tahu bisa! Mas Imin kan nggak selalu di rumah, kapan lagi?

Setelah mengetuk pintu, Zahra lekas menarik tangannya lagi.

Tak ada perubahan.

Tok tok lagi. Ia menunggu beberapa saat hingga satu sisi pintu tak lagi le­kat dengan kusen. Kepala Mas Imin menyembul. Raut mukanya bertanya, “Apa?”

“Mm, mau latihan pidato.”’

Mulut Mas Imin membulat. Kepalanya mengangguk-angguk. “Ya udah. Pake dulu kerudungnya.”

Dahi Zahra berkerut. Mas Imin melanjutkan, ”Biar kerasa beneran… Kayak pas tampil…”

“Pake seragam juga?”

Mas Imin terkekeh. “Nggak usah…”

Zahra bertahan dalam bingung. Mas Imin memungkasnya dengan mimik serius. “Mau nggak?”

Zahra berbalik. Ia membuat asumsi, mungkin Mas Imin hendak meng­a­jak­nya jalan-jalan lagi. Latihan pidato akan dilaksanakan di dalam mobil, sambil me­lihat-lihat jalan, supaya terkondisikan santai. Ah, tahulah. Mas Imin suka aneh-a­neh, Zahra bisa maklum.

Ketika Zahra kembali, pintu yang berhiaskan beberapa tempelan stiker za­dul itu telah tertutup. Ia mengetuk. Daun pintu ditarik ke dalam. Mas Imin me­nyambutnya dengan sumringah. “Udah siap?”

“Ya?” Zahra menjawab heran. Apalagi ketika Mas Imin merengkuh pundaknya dan mendorongnya masuk ke dalam kamar dan cilukba, dua orang dikenal menyambutnya. Dikenali Zahra sebagai Kang Hilman dan Kang Ajat, karib-karib Mas Imin selain Kang Detol.

“Halo, Zahra,” sapa Kang Ajat ramah. Kang Hilman juga. mereka telah duduk bersandar dengan manisnya di tepi tempat tidur Mas Imin—seakan telah (di)siap(kan) untuk menyaksikan pertunjukan Zahra.

Zahra tak kuasa menyembunyikan keterperangahannya. Dengan gugup ia menoleh pada Mas Imin yang masih memegang kuat pundaknya—upaya pencegahan kalau-kalau Zahra hendak kabur. Mas Imin pasti bisa merasakan tubuh Zahra menegang. Pantas saja Mas Imin menyuruhnya memakai kerudung tadi. Ternyata ia telah menyelundupkan orang-orang lain dalam kamarnya! Aih, betapa polosnya Zahra!

Akan lekas saja bagi Zahra untuk memutar langkah apabila yang di hadapnya adalah anggota keluarga atau teman-teman sekelompok tugas yang sudah paham tabiatnya. Tapi tidak di depan Kang Hilman. Zahra tak sudi hati membekaskan kesan buruk tentang dirinya dalam benak orang tersebut. Kang Hilman adalah impian realistis Zahra. Ia serupa Fedi Nuril dengan kalem-itas beberapa tingkat di atas Arderaz. Peraih medali emas di OSN Fisika pula. Akumulasi pertemuan mereka, terutama karena tak jarang bertemu di rumah, menyimpankan rasa tersendiri dalam hati Zahra. Dan tak ada seorang pun yang tahu tentang itu.

Zahra berusaha keras agar kecemasan tak sampai meluap ke permukaan. Sebelum itu terjadi Mas Imin telah mendudukkannya sehingga rasa merananya diganti terpana.

Mas Imin menyusul bersimpuh di samping Zahra. Sebelah tangannya terangkat mengarah pada teman-temannya. “Zahra, yang ini namanya Kang Hilman, kalau yang ini Kang Ajat.”

“Udah tahu,” ucap Zahra pelan sembari malu-malu menyapu tatap Kang Hilman. Kedua orang di hadapannya tertawa pelan.

Lambat laun satu dua kalimat canggung berkembang menjadi aliran kata-kata perkenalan. Diam-diam Zahra menikmati kekaleman Kang Hilman dibanding dua kawannya yang tak putus menginisiasi obrolan agar lancar berjalan. Terutama karena Zahra diam saja kalau tidak ditegur. Menjawab pun pendek-pendek saja.

Obrolan santai itu membuat Zahra pada mulanya mengira bahwa lagak Mas Imin hendak menemaninya latihan pidato tadi hanya tipu belaka. Mungkin Mas Imin hanya ingin adiknya dan teman-temannya itu saling mengenal, karena selama ini kalau bertemu di rumah tak pernah ada interaksi tertentu di antara mereka. Was-was yang dirasa Zahra berangsur-angsur sirna. Terselip perasaan senang karena bisa mengobrol dengan Kang Hilman meskipun ia hemat kata—Zahra lebih-lebih lagi, tapinya. Selama ini teman seangkatan saja belum tentu semua dikenalnya, apalagi kakak kelas. Menjadi suatu kebanggan tersendiri baginya untuk dapat mengenal beberapa kakak kelas—yang bukan saudara-saudaranya sendiri.

Tahu-tahu Mas Imin menepuk punggung Zahra yang padahal baru mulai merileks. Dikatakannya, “Eh, Zahra besok mau pidato lo!”

Zahra terhenyak. Ternyata memang benar ia dijebak! Tak jadi ia coba melunturkan benci pada kakaknya itu, padahal tadinya ia hendak. Percaya pada kekuatan pikiran, Zahra mengirim sinyal-sinyal supaya jangan sampai Mas Imin membuatnya mengeluarkan lipatan kertas lecek di saku celana training-nya.

“Wah, hebat, pidato di mana?” tanya Kang Ajat, masih dengan muka riangnya.

“Ng, cuman tugas Bahasa Indonesia aja, kok,” jawab Zahra, berusaha keras meredam gelisah.

“Siapa guru Bahasa Indonesianya?” tanya Kang Hilman.

“Pak Catur.”

“Dulu juga Akang sama Pak Catur lo.”

“Saya juga.”

Lantas bercakap-cakaplah mereka mengenai indahnya saat-saat diajar oleh Pak Catur. Metode mengajar Pak Catur dirasa amat memberdayakan. Zahra tertawa dipaksakan. Bertanyalah Kang Hilman padanya, ”Gimana persiapan pidatonya, Zahra?”

Zahra terperangah. Tak tahu bagaimana ia harus menjawab. Pun merespon kala Mas Imin malah menjelek-jelekkannya, “Iya, Zahra tuh grogian.” Cemberutlah Zahra dibuatnya. Tak ingat bahwa seharusnya ia menjaga imej di depan Kang Hilman. Cemberut itu diredupkan pertanyaan Kang Ajat, “Tema pidatonya apa nih?”

Dengan suara pelan, Zahra menjawab bahwa tema pidatonya adalah tentang minat baca dan sastra. Kang Hilman dan Kang Ajat tampak tertarik. Mereka bertanya mengapa Zahra memilih tema tersebut. Dalam benak Zahra mengalir segala alasan. yang terkuat adalah karena ia merasa berhak untuk mendapatkan akses terhadap buku bacaan—yang orangtuanya pelit belikan. Dan buku-buku milik para saudaranya tiada menarik hatinya. Dan sekian “dan” lainnya. Menyadari keberadaan Mas Imin, Zahra segera menepis pendam emosi yang memberinya kekuatan untuk menyuarakan pentingnya tema tersebut. Jadi jawaban yang terlontar hanya, “Pingin aja.”

“Zah, bagaimana kalau tiba-tiba Mojo Jojo dateng?” Kang Hilman dan Kang Ajat kompak menoleh pada Mas Imin. Kang Hilman memperbaiki posisi duduknya. “Dan berkata bahwa dia akan menghancurkan dunia. Alasannya, ‘pingin aja’.”

Hanya orang macam Kang Detol kiranya yang sanggup meladeni ocehan absurd Mas Imin. Padahal termasuk karib, namun Kang Hilman dan Kang Ajat diam saja. Plus cengiran canggung bagi Kang Ajat dan kuduk merinding bagi Zahra. Teringat Zahra akan boneka Bubblenya. Boneka itu masih dalam kondisi bagus saat Zahra berusia 9 tahun, di mana Mayong sudah tahu naksir anak tetangga. Dan Mas Imin menyarankan Mayong untuk memberikan boneka tersebut sebagai kenang-kenangan saat si anak tetangga dibawa orangtuanya pindah rumah ke pulau seberang. Tak pakai minta izin Zahra pula.

“Gara-gara suka disuruh maju sama Pak Catur ke depan kelas, saya sekarang udah nggak gugupan lagi, Zahra,” cetus Kang Ajat, hendak menggiring kembali topik pembicaraan. Kang Ajat melirik Kang Hilman, yang ekspresinya datar-datar saja, seolah tak pernah mengidap keluhan sama. Namun Kang Hilman tetap punya tanggapan, “Orang yang percaya diri juga tetap bisa kena demam panggung.”

Dalam hati Zahra bertanya-tanya mau dibawa ke mana lagi pembicaraan ini. Apakah hendak melibatkan para antek Powerpuff Girls lagi, ia menerka. Ia menyimak para muda yang menggali ingatan mengenai pengalaman mereka saat harus bicara di muka umum, membaginya satu sama lain. Tapi ternyata, ia juga kelimpahan sebuah tanya, “Kalau Zahra gimana?”

“Ng, eh, ya… Gitu…”

Mereka semua terus menatapnya, seakan menuntutnya untuk mengeluarkan lebih banyak kata. Jika sekadar tatapan saja tak manjur, mereka lihai menggunakan beberapa pendekatan hingga akhirnya Zahra yang risih mau tak mau mengungkap.

Zahra mengernyit ketika Mas Imin menyuruhnya membeli karton putih dan spidol. Tentu saja Zahra tidak mau. Meskipun Mas Imin bilang, ini untuk kebaikan Zahra juga. Yang menambah rasa sebal Zahra, sok tahu sekali Mas Imin. Zahra tak takut lagi pada Mas Imin. Sungguh kekanakkan sekali apabila Mas Imin masih coba-coba mengerahkan ancaman apabila Zahra menolak.

Nyatanya, Mas Imin tidak mengancam. Mas Imin tidak lagi kekanakkan kalau begitu, Zahra harus menerima itu. Mas Imin pergi sendiri ke luar rumah. Menolak untuk terima, Zahra kini dalam dugaan: kalau Mas Ardi sedang di rumah, pasti Mas Ardi pun tak kan luput dari perintah untuk mewujudkan maksud Mas Imin yang tak jelas itu.

Menunggu azan maghrib, Zahra duduk berselonjor kaki di atas ubin kamar. Tangan kirinya memegang beberapa carik kertas. Beberapa baris kalimat di situ terang oleh stabilo kuning. Naskah drama. Dialog yang harus diucapkan Zahra berentet di bagian awal dan akhir. Ditelusurinya kata demi kata, baik yang akan ia ucapkan maupun yang akan diucapkan lawan main padanya, dengan debar kencang bersembunyi di balik dada tanpa ia ingin. Ia membayangkan situasi latihan yang akan terjadi. Gembung pipinya. Kata-kata itu tak dapat melekat dalam memori otaknya.

Ia malah jadi terbayang-bayang sikap arogan Mama-Papa selama ini kepadanya, Mas Ardi dan pacarnya yang pecemburu, atau Mayong yang sepertinya tak mau dekat-dekat dengannya. Sayup-sayup suara Kakek mengobrol dengan Mama. Membicarakan lauk apa yang hendak dimasak untuk makan malam nanti tidak harus dengan suara sekeras itu kan, mendadak Zahra jengkel sekali pada dua orang tua di rumah itu. Ia menghempaskan naskah drama ke atas pangkuan. Menatap gelap di balik jendela yang kemudian tertutup sekilas oleh sekelebat sosok Mas Imin.

Senyum Mas Imin di muka pintu. Zahra menyesali kegagalannya dalam berperilaku tertutup. Sedari tadi ia membiarkan pintu kamarnya terbuka walau hanya sejengkal.

Enak benar Mas Imin menghempaskan tubuh dekat kakinya dalam posisi telungkup. Zahra menggeser sedikit kakinya itu lalu mengamati apa yang hendak Mas Imin perbuat. Mas Imin membentangkan karton putih sembari mengambil beberapa benda dalam jangkauan tangannya yang bisa dijadikan pemberat. Bau tinta spidol menyengat indra penciuman. Mas Imin mulai berkreasi. Zahra sulit untuk tak mengacuhkan.

“Bikin apa sih?” Zahra tak tahan untuk bertanya kendati dengan intonasi yang dibuat sedemikian rupa untuk menunjukkan bahwa ia terganggu.

“Ah, liat aja!” ucap Mas Imin. Beberapa menit kemudian jelaslah bahwa Mas Imin tengah menggambar orang. Orang-orang dengan beragam rupa. Menyadari bahwa Zahra terus mengamatinya, Mas Imin menyodorkan spidol. “Mau ikut gambar juga?”

Sesaat Zahra bingung memutuskan. Menerima tawaran tersebut seperti melancarkan jalan akan terbinanya keakraban di antara mereka berdua. Dan itu terasa aneh dan tidak nyaman karena tidak biasa. Memikirkannya saja sudah membuat Zahra bergidik. Ia tak tahu mengapa ia tak ingin akrab dengan saudara kandungnya sendiri. Sampai kapan, Zahra, sampai kapan? Masak mau selamanya? tanya batinnya, yang dijawab juga oleh batinnya, habis Mas Imin nyebelin sih. Dan ditanggapi oleh batinnya lagi, tapi adakah sekarang ia masih nyebelin? Zahra termangu, mengingat-ingat, sebelum membiarkan batinnya menjawab, masih kok. Berhenti membacot batinnya setelah itu, sebelum bersuara lagi, tapi udah nggak senyebelin dulu kan? Entah apa sebabnya, Maha Tahu Allah SWT.

Mas Imin tidak menggigit, Zahra, yakinnya pada diri sendiri. Jadi ia menggeleng untuk menepis dugaan bahwa Mas Imin memang menggigit. Juga bahwa tidak ada salahnya mulai terbuka dan membuang gengsi jauh-jauh—Zahra sendiri sudah bosan dengan keadaan dirinya.

Mas Imin menarik kembali spidolnya. Zahra sungkan untuk mengkonfirmasi bahwa sebetulnya ia juga ingin ikut menggambar. Menyesali syaraf motorik yang kompak menyatu dengan pikiran. Tidak jadi terlarut ke dalamnya, jadilah Zahra terus mengherani keanehan Mas Imin. Jika Mas Imin hendak merintis potensi sebagai tukang gambar, mengapa harus dilakukan di kamar Zahra? Zahra merasa bagai guru TK yang sedang mengawasi pekerjaan muridnya dalam membuat prakarya. Oh, ada apa, ada apa dengan Mas Imin ini? Kini kekejiannya telah bertransformasi menjadi keanehan! Apakah patut disyukuri?

“Nah, udah jadi!” Mas Imin mengangkat karyanya. Dengan wajah gembira ia memperlihatkannya pada Zahra, barisan orang-orang dengan beragam ekspresi dan rupa. Baik yang tersenyum hingga cemberut maupun yang botak hingga berjilbab. Zahra tidak tahu harus merespon apa. Bertepuk tangan dengan antusias disertai pujian “anak pintar…” terasa akan membuat Mas Imin tampak imbisil—meskipun kiranya yang bersangkutan pun tak kan berkeberatan. Tak terusik dengan kedataran ekspresi Zahra, ucap Mas Imin, “Ini buat latian!”

“Heh?”

Sekilas senyum muncul di wajah Mas Imin, sebelum ia celingukan. Sembari bangkit, dengan sebelah tangan memegang sang mahakarya dengan hati-hati, enak benar Mas Imin mengoprek meja belajar Zahra. Ditaruhnya kertas karton itu di atas kursi samping meja belajar. Jari-jarinya mengorek ujung isolasi. Beberapa senti diguntingnya, sebanyak empat kali. Lalu dengan itu ia menempelkan gambarnya pada sebidang kosong dinding kamar Zahra. Diguntingnya lagi isolasi agar gambar tersebut melekat dengan baik pada dinding. Puas, Mas Imin berbalik dan berkacak pinggang. Ditunjuknya orang-orang dalam gambar, menjawab tanda tanya yang bergumul dalam kepala Zahra, “Kalau sama mereka, nggak malu kan?”

Zahra terperangah.

Namun dibiarkannya gambar itu tetap di sana sementara si penciptanya begitu saja lalu dari kamar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain