Senin, 12 Juli 2010

12

Sungguh ia ingin tahu. Seolah hanya Mas Imin tumpuan harapannya. Rasa-rasanya segala perlakuan Mas Imin padanya kemarin memang untuk mengesankan bahwa sang kakak siap mendengar bermacam keluh kesah adiknya. Maka didekatinya Mas Imin yang tengah menggaruk-garuk kepala di atas barisan kolom berhiaskan lambang integral di mana-mana. Padahal Mas Imin katanya baru pulang bimbel, tapi setelah sampai rumah dan bersih-bersih, sudah siap tempur lagi. Sudah ia nanti-nanti keberadaan Mas Imin sejak tadi, hanya untuk bertanya, “Emang cara ngedapetin temen yang banyak gimana, Mas?”

Ternyata tampang Mas Imin biasa saja, seakan yang Zahra tanyakan adalah apa saja bumbu untuk memasak nasi goreng. Padahal Zahra semula mengira terlebih dahulu Mas Imin akan meresponnya dengan kernyitan aneh. Bukankah ini suatu pertanyaan bodoh? Malu sebenarnya Zahra menanyakan itu. Tapi apa boleh buat, sudah terlanjur.

Mas Imin termenung sebentar mendengar pertanyaan Zahra tersebut. Lalu katanya, “Waktu MOS kan diajarin cara berinteraksi dengan orang lain, yang sekian S itu.” Zahra mengernyit. Mas Imin menghitung dengan jarinya. “Senyum. Salam. Sapa. Sekian.”

“Sopan. Santun,” Zahra melanjutkan.

“Ah, ya, itu dia deh.”

Zahra pikir, intinya tidak jauh berbeda dengan buku etiket yang curi-curi dibacanya di Gramedia BSM[1] beberapa waktu silam. Setidaknya ia tidak harus mengeluarkan uang seratus ribuan lebih untuk itu. Mengaplikasikan tiga yang pertama mungkin sudah cukup untuk pembelajaran awal. Pembelajaran untuk meningkatkan keterampilan sosialnya. Ia sadari memang ia hanya tersenyum kalau kelepasan. Hanya memberi salam kalau terpaksa. Hanya menyapa kalau disapa duluan. O, kini ia yang harus mengasah inisiatifnya sendiri.

“Emang kenapa gitu, Zahra?”

“Ng… Ada deh!”

Maka, seiring dengan berjalannya tahun yang baru, Zahra memasuki pula semester baru KBM-nya, dan ia menahbiskan diri untuk menjadi seorang Zahra yang baru. Zahra yang hangat dan bersahabat. Unan juga punya banyak teman, mengapa ia tidak?

Maka, keesokan paginya Zahra menginjak ubin lorong menuju kelasnya—tidak ada yang baru dari sekolah di semester baru ini—dengan langkah lebih ringan. Dengan mengulas senyum. Terus menerus mengingatkan dirinya untuk mempertahankan senyum itu selama mungkin. Ia melihat orang-orang tersenyum juga, bahkan tertawa, kendati bukan kepada dirinya. Belum. Ah, andai ia juga bisa selepas mereka dalam mengekspresikan kesenangan batin, atau lihai dalam menyembunyikan kesengsaraan.

Aaah, tadi ia berpapasan dengan Arderaz, dan cowok jangkung itu balas tersenyum simpul padanya! Kya…

Zahra merasa mendapatkan energi tambahan untuk terus tersenyum. Meskipun setelah itu ia tidak menangkap ada senyum lain yang secara khusus ditujukan padanya. Tapi tidak apa-apa. Hari masih pagi…

“Hai, Cinta, met semester baru, ya!”

Zahra menoleh ke kanan kiri dengan bingung. Memang tidak hanya mereka berdua yang ada di kelas itu. Tapi hanya ada mereka berdua pada salah satu sisi kelas. Dan mata Dean memang mengarah padanya. Zahra merinding. Meskipun ingat bahwa gaya bahasa Dean memang suka pakai “cinta-cintaan” pada teman-temannya—terutama yang cewek, Zahra tetap merinding.

Dalam hati ia mengeluh. Apakah kalau ia bertemu Arderaz di satu waktu, ia akan bertemu dengan Dean di waktu berikutnya? Karena setelah diingat-ingat, itulah yang terjadi sejak MOS. Dan tidak pernah yang terjadi adalah kebalikannya, padahal frekuensi Zahra bertemu Dean di sekolah hampir setiap hari.

“Perasaan kita belum ada PR lagi deh.” Zahra merasa tidak perlu memberi senyum pada bocah yang satu ini.

“Ahahaha… Iya ya. Ini kan semester baru!” balas Dean dengan tawa riangnya sembari mengusap-usap bagian belakang kepala. Tak lama kemudian wajahnya juga menyirat bingung. Mungkin selain dalam urusan pelajaran, mereka berdua memang tidak nyambung. Seolah tidak terjadi apa-apa, Dean berlalu begitu saja. Dengan riangnya, sembari menghampiri kawanannya di sisi kelas yang lain, ia berkata, “Kebiasaan nangkring di bangku Zahra sih kalau pagi-pagi…”

Tawa meledek teman-temannya meledak. “Ih, Dean, pagi-pagi udah oneng aja...!” Yak, betul. Zahra membenarkan dalam hati. Lalu ia duduk di bangkunya. Memasang kembali senyumnya. Akankah ia tersenyum terus pada papan tulis?

Zahra memandang ke sekeliling kelas. Orang-orang sudah bercampur dengan kawanannya masing-masing. Ada beberapa memang yang terlihat duduk sendiri-sendiri, tapi Zahra tak mengenal mereka. Tercetus inisiatif untuk memulai suatu perkenalan. Iya. Tidak. Iya. Tidak.

“Assalamualaikum, Zahra…” sapa Syifa. Ia masih menggendong ransel kulitnya. Zahra jadi ingat kalau tadi malam sudah janjian dengan Unan untuk duduk sebangku. Tapi terlebih dahulu ia harus membalas salam Syifa. Ah, iya, salam!

“Maaf, Syifa, hari ini aku janjian duduk sama Unan,” ucap Zahra. Merasa keterampilan sosialnya membaik karena telah mengucap “maaf”.

“Oh, nggak apa-apa, Zahra,” senyum Syifa, seolah hal tersebut takkan membuat hubungan di antara mereka retak.

“Terima kasih,” Zahra mengucapnya, dan merasa keterampilan sosialnya menjadi lebih baik lagi.

Kemajuan yang menyenangkan di awal tahun! Zahra bersorak dalam hati. Sekarang ia hendak minta “tolong” pada siapa ya? Zahra pernah membaca, salah satu kunci dalam hubungan sosial yang baik adalah fasih mengucap “maaf”, “terima kasih”, dan “tolong”.

Pada mereka yang selanjutnya mengambil duduk di sekitar bangkunya, Zahra berusaha melempar senyum. Namun tidak semuanya ngeh. Mereka yang balas tersenyum adalah yang sadar kalau sedari tadi Zahra melihat pada mereka. Zahra sendiri menyadari hal tersebut. Ia jadi merasa dirinya menyeramkan. Bertanya-tanya ia dalam hati, bagaimana caranya agar setiap yang dituju dapat menangkap senyumnya dan tergugah untuk membalas.

Nah, itu Unan datang. Kali ini Zahra ingat untuk menyertakan salam juga dalam senyumnya. Tapi ia bingung. Salam seperti apa yang hendak ia utarakan. “Assalamualaikum” rasanya hanya terdengar lumrah di kalangan anak DKM. Syifa anak DKM. Unan bukan. Ucapan “selamat pagi” kedengarannya seperti hendak membuka pidato. Kalau “how are you?”, memangnya ibu mereka berbahasa Inggris? Dan apakah itu berupa salam? Bisa-bisa Unan malah menertawakannya.

Untung masih ada jurus selanjutnya! Sapa!

“Hai!” sapa Zahra, yang dibalas senyum heran Unan. Biasanya Unan duluan yang menyapa.

“Hai juga,” jawab Unan dengan gestur cueknya. Sambil duduk ia melepaskan ranselnya. “Udah bikin resolusi? Gimana jadinya?”

“Mm… Belum euy. Masih berubah-ubah…” bohong Zahra. Ia malu mengaku kalau isi resolusinya hanya: 1. Memperbaiki keterampilan sosial, dan; 2. Lancar ngomong di depan kelas.

“Oh.” Unan mengeluarkan selembar rajutan yang belum jadi dari ransel di pangkuannya. “Ini salah satu isi resolusiku taun ini loh. Bikin syal rajutan buat diriku sendiri.”

Zahra manggut-manggut. Masih berusaha mempertahankan senyum. Mendadak ia ingat bahwa kata “tolong” belum diucapkannya pada siapa pun. Diliriknya Unan. Pelan ucapnya, “Eh, Unan, tolong…”

“Tolong apa?”

“Nggak papa. Lagi pingin ngomong itu aja.”

Unan mendengus, lalu tertawa. Akhirnya tetap juga ia ditertawakan Unan. Tapi tidak apa-apa. Dipikir-pikir, Zahra senang melihat Unan tertawa.

Hari yang melelahkan bagi Zahra. Seharian itu di sekolah ia terus berusaha mengkombinasikan senyum, salam, dan sapa. Memang dirasakannya ada kemajuan—tinggal membutuhkan pembiasaan dan itu tergantung pada apakah ia bisa mempertahankannya dalam hari-hari esok, minggu hingga bulan. Namun apabila mengingat kegagalannya, ia merasa kemajuan itu tak berarti. Dalam sekian kali usahanya itu, entah berapa puluh senyum yang tak sampai, salam yang kelu untuk dikeluarkan, dan lemparan sapa yang tak mengena. Yang dituju tak merasa telah dilempari. Itu membuatnya gondok. Sia-sia. Menahan energi positif agar tetap berada di permukaan, dan energi negatif agar tidak menyerobot ke luar, ternyata bukan hal mudah.

Rasanya Zahra ingin berbagi. Kepada Unan, ia belum siap mengungkap kekurangan diri. Kepada buku harian, ia sudah bosan karena buku harian tak menjawab. Kepada teman-teman dekatnya sebelum ia SMA, memang mereka masih ingat padanya? Kepada Mas Ardi, ia sebetulnya suka curhat juga sekali-sekali. Namun karena Mas Ardi pun memiliki masalah-masalahnya sendiri yang belum terpecahkan, maka Zahra merasa kurang dapat mempercayai kakaknya tersebut. Biarlah Mas Ardi berkutat dengan masalah-masalahnya saja, tanpa Zahra harus menambah ricuh.

Jadi kepada siapa, hanya Mas Imin yang Zahra bayangkan. Lambat laun Zahra melihat Mas Imin sebagai figur yang oke: tidak memiliki masalah berarti dengan akademis (tapi orangtua mana yang suka melihat anaknya malas-malasan?); punya banyak teman dan kenalan; punya mobil dan bisa diandalkan untuk antar jemput; selalu punya simpanan duit, entah dari mana; tidak terganggu masalah pacaran, karena setahu Zahra Mas Imin tidak punya; dan hidup seolah tanpa beban. Mestinya hidup Mas Imin tidak seringan itu, tapi mana Zahra tahu.

Yang pasti, Zahra hanya ingin berbagi. Meskipun hanya dalam sebentuk pertanyaan, yang ia lontarkan malam itu di meja makan, setengah berbisik agar tak terdengar yang lain, “Mas, kalau 3 S yang kemarin nggak berhasil, gimana?”

“Hah, maksudnya?” Mas Imin menyendok nasi ke atas piring.

“Itu… Yang senyum, salam, sapa. Kalau misalnya udah ngelakuin yang tiga itu, tapi nggak berhasil, gimana?”

“Nggak berhasil gimana?”

“Mm, misalnya. Kalau udah senyum, tapi nggak ada yang ngeliat. Atau nggak, nyapa, tapi yang disapa nggak denger.”

“Oooh…” Zahra mengekor Mas Imin duduk di depan TV. “Kalau gitu jadi 4 S, Zahra.”

“Ng… Yang sopan, santun, dan seterusnya tea?” Zahra merasa yang semacam itu masih abstrak baginya. Sopan yang seperti apa? Santun yang macam mana? Kalau senyum, salam, dan sapa, kan sudah jelas apa yang harus ia lakukan.

“Bukan…” Mas Imin menggigit kerupuk. “4 S itu, jadinya, senyum, salam, sapa, dan SEBUT NAMANYA.”

“Ooo…” Zahra manggut-manggut.

Jurus yang keempat pun Zahra coba keesokan harinya. Kini senyumnya diiringi sapa yang disertai oleh nama orang yang ia sapa. Ia berusaha menyapa setiap orang dikenal yang ditemuinya sepanjang jalan menuju kelas. Tapi ada juga yang ia masih malu-malu untuk itu, seperti kepada kawan para kakak dan sepupunya misal. Padahal mereka pernah main ke rumah, Zahra masih ingat nama mereka, tapi karena jarang atau bahkan tidak pernah berinteraksi, Zahra jadi amat sungkan. Jadi ia hanya melempar senyum saja. Ada yang balas tersenyum, ada yang tidak. Arti senyumnya pun macam-macam. Kebanyakan adalah senyum yang kalau diterjemahkan dengan kata-kata menjadi, “Eh, yang barusan itu siapa ya?”

Jika usahanya berbalas manis, tak terkira senangnya hati Zahra. Zahra menemukan kebahagiaan baru dalam hidupnya. Sebuah interaksi kecil dengan orang lain saja dapat membuat hidupnya terasa begitu berarti. Senyum orang lain padanya membuatnya merasa ada. Sapaan-sapaan singkat dari mereka meneguhkan bahwa perhatian mereka padanya memang nyata.

Namun tetap saja jurus ini tidak selalu membawa hasil yang memuaskan. Zahra rasanya malu sekali kalau ia sudah sebut nama, tapi yang disebut tetap tidak mendengar. Apalagi kalau ada yang menyaksikan. Seperti yang dilakukan Unan saat mereka jalan ke Karunia pada jam istirahat. “Tadi kamu manggil siapa, Zahra?” tegur Unan.

“Eh? Nggak kok. Nggak ke siapa-siapa,” kilah Zahra. Padahal sebetulnya tadi ia hendak menyapa Zia, namun sepupunya itu seolah tak mendengar.

Ketika dikemukakannya hal ini, pada suatu kesempatan yang dinanti-nanti, Mas Imin pun kembali memberinya sebuah jurus. “5 S. Senyum. Salam. Sapa. Sebut namanya. SUARAKAN DENGAN KERAS.”

Canggih! Suhu Imin selalu punya jurus-jurus, seharusnya ia membuka perguruan saja!

Ada kalanya pada suatu malam Zahra kembali dihinggapi keengganan untuk berurusan dengan Mas Imin. Bukan perkara kebiasaan Mas Imin di rumah yang masih kerap mengintimidasi Zahra, tapi ada rasa sebal lain yang kurang beralasan. Jurus-jurus yang Mas Imin berikan dapat ampuh pada suatu ketika, namun efek sampingnya dirasakan jauh lebih menyiksa. Penerapan jurus-jurus tersebut berisiko pula mempermalukan diri sendiri.

Seperti yang terjadi pada suatu jam istirahat.

Lalu lintas di muka pintu kelas saat itu sedang ramai-ramainya. Karena Unan mengajak, Zahra rela saja duduk di sana—di bangku yang merapat di dinding luar samping pintu kelas. Sementara Zahra tergugu, di sampingnya, Unan dan Dean menyonteki PR-nya sambil sesekali tertawa. PR yang akan dikaji sama-sama setelah jam istirahat berakhir. Unan bilang, Dean memang tidak berkualitas sebagai calon suami, tapi setidaknya parasya masih bisa dinikmati. Zahra agak shock dengan kenyataan bahwa Unan ternyata seperti itu. Tapi itulah yang Zahra pelajari sebagai ilmu berteman, kita harus menerima keadaan teman apa adanya—kalau tidak bisa mengubahnya jadi lebih baik. Meski demikian, lama-lama bete juga Zahra karena merasa kurang diacuhkan. Keramaian juga membuatnya tidak nyaman.

Satu per satu orang yang lewat ditelitinya, kalau-kalau ada yang bisa jadi objek praktik keterampilan sosialnya. Bagi Zahra, mereka yang masuk kategori “orang yang harus disapa” adalah mereka yang pernah bertukar kalimat dengannya. Dan “eh, maaf, kaki saya keinjek” tidak masuk hitungan.

Lalu dilihatnya dari kejauhan Arderaz hendak melintas ke depannya. Mendadak Zahra merasa debar jantungnya jadi tidak keruan. Oh, tentu saja Arderaz masuk ke dalam kategori “orang yang harus disapa”! Arderaz banyak mengumpan kalimat padanya sewaktu MOS, seperti, “Zahra, alas duduknya udah selesai?”, atau “Zahra, tolong dong guntingnya”, atau, “Hati-hati, entar jatuh!”, atau “Kamu baik-baik aja, kan?” Zahra tersipu mengingat betapa ia hapal hampir setiap kalimat yang pernah Arderaz lontarkan padanya. Yang seringnya hanya sanggup ia jawab dengan “ya” atau “nggak”.

Nah, itu dia. Ia berharap menyapa Arderaz bisa memberkaskan sedikit kebahagiaan dalam hari-harinya yang sendu.

Sebetulnya Zahra telah berhasil memperbesar volume suaranya jika hendak menyapa orang lain. Namun dalam situasi demikian, sepertinya ia harus berlatih untuk lebih menaikkan volumenya. Sekali, Arderaz tampak tidak ngeh. Dua kali, ah, sudahlah. Malah orang lain yang menoleh. Zahra menunduk untuk menyimpan rasa malunya diam-diam, juga gelenyar hangat yang mengitari sekujur tubuhnya. Berharap sangat, Unan dan Dean sama sekali tidak menyadari usaha gagalnya.

“DERAAAAAZ…!”

Sontak Zahra menoleh ke arah Dean. Arderaz juga. Cowok bertubuh besar itu sekalian membalikkan badan dan tergopoh-gopoh mendekat. “Kenapa, Yan?”

Dean menunjuk Zahra dengan pensilnya. “Tadi lo dipanggil ma Zahra.”

Zahra berjengit. Ia merasa ngeri saat Arderaz menoleh padanya. Dan bertanya, “Ada apa, Zahra?”

Tidak ada jam di sekitar situ, selain arloji di pergelangan tangan si kembar, namun Zahra seolah mendengar detik demi detik berlalu dalam gema. Selebihnya adalah sunyi dan tampang Unan dan Dean yang sama-sama dongo, menanti sebuah gerakan. Zahra tak berani menengadah karena wajah Arderaz ada di sana. Sampai ia sadar kalau Arderaz juga sama-sama menanti. Dan sebagai bagian dari kaum populer di SMANSON, waktunya mungkin tak banyak. Maka Zahra menguatkan diri untuk mengangkat kepala dan mengerahkan semua jurus S yang dimilikinya. Senyum dan sapa, disertai menyebut nama dengan suara keras—ini sedang dalam keramaian, “Hai, Deraz.”

“Hai juga, Zahra.”

Suara jangkrik.

“Entar pulang sekolah jangan keluyuran dulu ya, Yan.”

“Gua udah nggak demam lagi kok, Yaz…”

“Ya udah, take care. Duluan ya, semua.”

Zahra mengangguk. Unan melongo. Dean melambaikan tangan.

“Kenal di mana?” Unan menatap Zahra dengan beringas.

“Se—segugus…”

“Trus tadi kamu manggil Deraz emang kenapa, Zah?” tanya Dean.

“Ta—tadi tuh aku cuman mau nyapa. Trus kamunya malah manggil-manggil gitu…”

“Oh…”

Sejurus kemudian Unan dan Dean sama-sama tak bisa menghentikan tawa mereka. Entah apa yang lucu, Zahra tak mengerti. Sedikit tersinggung. Ia tak suka tawa Unan kali ini. Dan ia makin benci pada Dean, kendati kehadiran bocah itu telah menjerumuskan sekaligus menyelamatkannya. Mengingat-ingat kejadian tersebut, masih membuat Zahra bersungut-sungut hingga malam hari tiba.

Mas Imin, yang menyadari Zahra kembali ke tabiatnya semula, mendekati Zahra. Tidak butuh waktu singkat dan bukan usaha mudah untuk mengorek keterangan dari Zahra. Tapi akhirnya berhasil juga, setelah beberapa hari kemudian.

Ketika tampang Zahra sudah biasa-biasa lagi dan (sepertinya) sedang berada dalam mood baik, Mas Imin kembali mencoba mendekati Zahra. Di tengah keributan Kakek-Mama yang memperkarakan tanah keluarga, Papa yang mengajari Mayong menumpuk balok tetris dengan tepat guna, serta kesunyian Mas Ardi dan ponselnya, bertanyalah Mas Imin, “Waktu itu kenapa tanya-tanya soal yang S-S-an itu, Zahra?”

“Pingin aja.”

“Udah dicoba?”

Zahra tidak mau Mas Imin berpikir bahwa semua jurus S yang dimintanya tempo hari adalah untuk dipraktikannya sendiri, seakan-akan Zahra adalah makhluk yang bermasalah, kendati Mas Imin mungkin memang sudah sejak lama berpikir demikian. Jadi dengan penuh keengganan ia ungkapkan juga insiden kemarin hari, dengan modifikasi sedemikian rupa yang ia harapkan tak akan membuat rasa malunya kentara. Namun tak ayal Mas Imin tertawa juga. Cemberutlah Zahra. Pudar tawa Mas Imin melihat itu. “Kalau gitu jadi 6 S, Zahra. Senyum. Salam. Sapa. Sebut namanya. Suarakan dengan keras. Sama SESUAIKAN DENGAN KONDISI,” ujar Mas Imin di tengah sisa sengal tawanya.

Zahra mendengus sebal. Melengoskan kepala.

“Ah, atau mau tahu jurus yang ketujuh?”

“Apa?” Menoleh kembali.

Mas Imin tampak geli melihat kepenasaranan Zahra masih nampak. “7 S. Senyum. Salam…”

“Skip. Skip. Skip.”

“…Sesuaikan dengan kondisi. Trus, SABAR yaaa… Huahahahaha…”

Minggatlah Zahra. Hasrat ingin menangisnya hampir tak bisa dibendung lagi. Tega-teganya Mas Imin melecehkan usahanya untuk menjadi lebih baik. Zahra menyesal telah membuka diri pada Mas Imin. Tahu begini dipendam-pendam saja yang kemarin itu. Biarlah kondisinya begitu terus, tak berteman dan tak berkemampuan. Ternyata Mas Imin memang masih amat sangat menyebalkan sekali!

Tadinya Zahra ingin langsung melesat ke kamar mandi untuk cuci muka. Berharap itu dapat menyamarkan bulir air mata yang mulai menjejakkan diri. Bukan sekali ini memang anggota keluarganya melihatnya hendak menangis. Dan setiap itu terjadi, ia merasa sangat malu. Ingin sekali ia bisa menghilangkan kebiasaan jelek tersebut.

Uh, sial, keduluan Kakek. Beloklah Zahra ke kamarnya. Terkejut dengan beberapa perabotan kamarnya yang tidak pada tempatnya.

“Iii… Papa ngapain?”  

“Loh, katanya kemarin stop kontaknya rusak?” Papa menggeser tempat tidur Zahra untuk memperluas ruang bagi tubuhnya yang agak tambun. Kembali ia mengorek-ngorek stop kontak dengan obeng.

“Heeeeuuuhh…” Zahra benar-benar kesal. Ia pergi ke ruang tamu. Rupanya perdebatan antara Kakek dan Mama dipindah ke sana. Kembalilah Zahra ke depan kamar mandi. Dikunci. Dengan intonasi senewen, “Siapa di dalaaaam?”

Terdengar suara nyaring nan sengau, “Mayong!”

Apakah di rumah sebesar itu kamar mandinya hanya satu? Tentu tidak. Zahra baru ingat untuk pergi ke kamar mandi lainnya, kendati sebetulnya hasrat ingin menangisnya sudah hilang sama sekali. Ia berbalik dan menggerutu ketika hampir menabrak tubuh Mas Imin. Ia berusaha mencari celah namun gerak Mas Imin lebih sigap menghadangnya. Meskipun sudah tidak lagi peduli pada aplikasi resolusinya, Zahra tetap kepikiran untuk menambah satu poin lagi: belajar silat. Lain kali Mas Imin menghadangnya, ia bakal loncat tinggi-tinggi dan menendang Mas Imin sekuat mungkin.

Zahra menyerah. Ia berdiri tegak menantang si sulung, yang dengan nada sok bijak berkata, “Sebetulnya yang kemarin itu belum lengkap, Zahra. Ada yang belum Mas beritahukan sama kamu,” ucap Mas Imin pelan, seakan-akan apa yang dibicarakannya adalah rahasia negara.

Hampir saja Zahra termakan suasana. Meski semangat pemberdayaan dirinya nyaris putus, tak urung ia ingin tahu juga. Dahinya berkerut. Tanggapnya sok malas, “Apa gitu?”

“Masih ada satu lagi rahasia huruf S—huruf S yang dapat mengubah kualitas kehidupan sosial. Sebuah jurus andalan.”

Sekian menit Zahra menunggu kata berawalan huruf S ke luar dari mulut Mas Imin. Tapi sudah jadi tabiat Mas Imin untuk terlebih dulu mempermainkan lawan bicara yang ingin diusilinya. Hingga Zahra jadi setengah mati penasaran gara-gara itu. “Apaan sih?” sergahnya kemudian, tak tahan juga. Kalau Mas Imin masih mau bermain-main dengannya lebih lama lagi, Zahra akan mengerahkan segenap tenaganya agar Mas Imin menyingkir dari jalannya.

“SILATURAHMI.”

Mas Imin menyeringai, lalu mengangguk pada tatap Zahra yang bertanya.



[1] Bandung Super Mall

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain