Kamis, 08 Juli 2010

8

Ketergesaan mengiringi langkah Zahra ke mana-mana. Dari mulai ka­mar­nya, ruang tengah, hingga rak alas kaki. Hampir saja ia memecahkan gelas ketika tak sengaja menyenggol benda yang tadinya diam di atas buffet itu. Akibatnya Mama jadi ikut gusar. Ia hampiri Zahra yang sedang rusuh mengikat tali sepatu.

Riweuh[1] amat sih…” komentar Mama dengan spatula di tangan. Ia ting­galkan a­donan dalam rebusan minyak di dapur. “Mau ke mana?”

“Zahra ada kumpul kelompok jam sembilan di Taman Ganesha…” Kepala Zahra men­dongak ke arah jam yang menempel pada permukaan dinding beberapa jauh di atas­nya. Setengah sembilan lebih. “Pasti nggak akan keburu…! Mama sih, tadi nyuruh Zahra belanja dulu…”

Mama seperti tidak tahu saja kelakuan Zahra kalau disuruh belanja. En­tah di warung atau di sekitar gerobak pedagang keliling, Zahra akan menyelip di an­ta­ra ibu-ibu yang sibuk bertanya dan menawar harga. Tapi ia akan diam saja sampai si pedagang ngeh akan keberadaannya, lantas menegurnya. Mama bi­asanya tidak te­r­la­lu mempermasalahkan lamanya waktu yang dibutuhkan Zahra un­tuk me­nu­nai­kan tugasnya. Yang jadi masalah adalah kalau ternyata Zahra juga ada janji menger­ja­kan tugas kelompok, dan titah belanja itu jadi mengganggunya.

“Abis tadi juga Zahra nggak bilang sih!” cetus Mama dengan nada khasnya. Malah makin bikin Zahra merasa terintimidasi.

“Ya udah, minta anter sama Imin aja,” sahut Papa, sedari tadi menyimak dari balik bentangan koran di lain ruangan. “Imiiiin… Anterin Zahra tuh!”

“Ya, entar biar dianter Imin aja, biar cepet. Udah sarapan belum?”

Zahra menggeleng cepat.

“Tuh, kan... Tunggu bentar. Mama bekelin.”

“Apa, Pa?” Mas Imin tiba di lantai bawah dengan tergopoh-gopoh.

“Anterin Zahra ke… mana itu? Ngerjain tugas kelompok katanya…” ja­wab Papa tanpa melepaskan mata dari barisan huruf di atas kertas koran.

“Oh… Sekarang?” Mas Imin mengambil kunci mobilnya dari atas buffet lalu melewati Zahra yang masih tergugu di ambang pintu garasi. “Ayo, Zah!”

Zahra terperangah. “Gitu aja?”

Mas Imin tidak merasa ada yang salah dengan kaos buluk longgar dan ce­lana ber­muda belelnya. “Ya, gini aja. Cuman nganter ini kan?”

“Eeh.. Tunggu dulu! Nih, bekelnya!” sayup teriakan Mama dari dapur yang disambut Mas Imin dengan, “iyaaa, ni mobilnya masih dipanasin dulu…”

Awas entar kalau turun! batin Zahra di tengah deru mesin si Bambang.

Kendati Mas Imin yang menyetir, dan wilayah Kota Bandung kala Minggu pagi tam­pak anteng dan hangat—belum menunjukkan adanya kemacetan akibat invasi mere­ka yang tidak berplat D, tetap saja itu tidak mengubah jarak antara ru­mah de­ngan Ta­man Ganesha.

Begitu Mas Imin menghentikan si Bambang di depan gerbang masuk Ta­man Ga­ne­sha, Zahra langsung membuka pintu dan meloncat keluar. Ia lalui ce­lah di an­tara pilar-pilar yang ditempeli batu kecil-kecil itu. Sudah lewat seperempat jam lebih dari yang dijanjikan kini. Zahra merasa amat tak enak hati.

Selepas menuruni tangga, ia pindai seluruh penjuru lanskap taman. Ia cari sosok para teman sekelompoknya di antara lalu lalang orang berjalan, melaku­kan senam ringan, bercengkerama berdua-dua atau bersama keluarga, piknik keluar­ga, dan lain-lain. Setelah menapaki sekian meter jalur pedestrian dan melewati toilet umum, Zahra menemukan Acil dan Salman sedang duduk berhadapan di atas hamparan rumput yang cukup lega untuk lima orang.

Saking serunya mengobrol, Acil dan Salman tidak ngeh akan ke­ha­diran Zah­ra. Sampai Zahra memberanikan diri untuk mengumpan. “Rani ke mana?” He­ran Zahra, Rani tak tampak. Biasanya cewek mungil tersebut tepat waktu dan pa­ling si­gap dalam pengerjaan tugas. Zahra pasti kewalahan kalau Rani tak ada. Se­bagai per­empuan, yang kerap dianggap lebih rajin dari anak lelaki, memang me­reka berdua yang biasanya paling banyak berkontribusi dalam penyelesaian tugas.

Acil menoleh lantas sok kaget. “Zahra! Kapan da­tang?”

Zahra tidak mengacuhkan teguran bernada amat artifisial tersebut, plus ge­rakan pu­la. “Rani mana?” tanya Zahra lagi. Was-was saja ia. Jangan sampai hanya ia seorang yang nantinya yang paling banyak kerja. Kendati cowok, Acil dan Sal­man sebetulnya punya cukup rasa tanggung jawab dalam penyelesaian tugas ke­lompok. Tapi kalau sudah ada orang-orang yang lebih rajin dari mereka me­na­ngani, mereka jadi kerja seadanya. Perhatian mereka cepat teralih.

“Katanya ada kumpul KEPALA.” Sibuk mulut Acil mengunyah cireng. “Bilangnya sih mau nyusul entar.” KEPALA adalah Kelompok Pecinta Alam.

Mengingat bahwa Minggu pagi memang jadwal latihan rutin ekskul yang diikuti Rani tersebut, Zahra dongkol. Seandainya saja mereka tidak menunda lan­tas melupakan pengerjaan tugas ini, mereka kan tidak harus berkumpul pada Minggu pagi. Tidak harus bertabrakan dengan jadwalnya Rani. Tidak harus mem­buat Zahra terancam kelimpahan beban. Rani juga tidak protes saat diputuskan janji kumpul ini, seakan-akan cewek tersebut memang bisa datang.

“Kalau Dean, dia izinnya mau ada acara keluarga gitu,” tambah Acil.

Dean sih, Zahra tak peduli. Saking seringnya Dean mangkir, Zahra pikir tak seharusnya nama Dean dicantumkan dalam tugas yang mereka kumpulkan.

“Ke mana tho, Cil?” Salman menyeruput sisa cairan coklat muda dalam sebuah gelas besar. Diambilinya potongan benda kenyal dan lembek di dasar gelas dengan sen­dok. Goyobod.

Acil menggaruk-garuk lehernya. “Ke Singapur. Tahu, belanja kali.”

Sejenak mereka menghikmati adanya kejomplangan kelas sosial dalam ke­lom­pok ini. Sampai Zahra ingat lagi akan tugas yang ter­lu­pa­kan. Sung­guh ter­lu­pa­kan karena sebelum ini mereka memang baru mengatur jan­ji kum­pul sa­ja, yaitu hari ini. Mereka belum sampai pada kesepakatan me­nge­nai pem­bagian tu­gas, bo­ro-boro apa yang mau dikerjakan. Mereka ka­dung di­si­bukkan oleh tu­gas-tugas la­in, mulai dari PR individu sampai tugas kelompok, juga tu­gas-tugas eks­kul.

Hanya Zahra yang paling tidak banyak acara di antara teman-teman se­ke­lom­poknya. Setelah segala tugas akademik sudah ditangani, mereka beralih pa­da ekskul atau kawanan mereka. Mereka berafiliasi dengan ekskul dan atau ko­mu­ni­tas tertentu, sedang Zahra tidak dengan satupun, kecuali mungkin dengan ko­mu­ni­tas orang-orang yang tidak berkomunitas.

“Jadi, gimana tugas kita?” Zahra mengingatkan dengan jemu. Tugas ke­lompok kali ini tidak mung­kin ia kerjakan sendiri, harus bersama-sama, karena tu­gasnya adalah me­wa­wan­carai orang. Zahra merasa amat tak berkecakapan untuk ini pada khu­sus­nya—dan segala hal pada umumnya.

“Udah beres kok, Zahra. Tenang aja…” Salman mengacungkan kedua jempol. “Ki­ta tinggal beli bahan-bahan buat bikin display-nya aja.”

 “Iya. Makanya ini kita lagi nungguin si Rani dulu, baru ke Balubur…”

 “Ng… Eh, tunggu, kalian emang udah ngewawancara siapa aja?” Zahra merasa di­khi­a­nati. Sungguh tega mereka meninggalkannya. Padahal sengaja Zah­ra menanti ke­sem­patan untuk belajar mewawancarai orang bersama-sama ini.

“Tadi kita sambil beli cireng sama goyobod, sambil tanya-tanya yang ju­al­nya juga. Ho oh, Cil? Eh, maaf lupa bagi-bagi. Ini cirengnya masih ada. Ambil a­ja, Zah.” Salman men­dorong sebuah wadah kertas dengan rembesan minyak di be­berapa bagian ke ha­dap­an Zahra. Tidak ada minat Zahra terundang sebesar biji se­ngon sekalipun un­tuk mengambil. Perutnya sudah isi dengan be­kal dari Mama yang ia makan selama di mobil. “Kalau mau, tambah lagi aja, Zah. Itu, kamu bisa deketin pedagang batagor. Entar aku sekalian titip beli, boleh kan?”

Padahal Zahra justru ingin ada yang menemani.

Menyusup sedih dalam hati Zahra. Tak hanya karena teman-temannya itu tidak bermasalah dalam berhubungan dengan orang lain sedang ia demikian, tapi juga karena teman-temannya i­tu ternyata lebih sigap dari yang ia sangka. Meng­i­ngatkannya kembali bahwa kebijakan a­ka­de­mik kini tdak hanya menuntut siswa untuk cakap secara kognitif, tapi juga afektif dan psikomotorik—apapun itu ar­ti­nya, ia membacanya di kata pengantar buku pelajaran. Jelas kalau dua aspek ter­se­but memang secara signifikan ber­pe­nga­ruh dalam penilaian, Zahra tak akan mam­pu bersaing. Zahra hanya ung­gul dalam ulangan tertulis. Dan PR yang tidak me­nuntut untuk tanya-tanya orang. Ma­ka­nya Zahra tak bisa tentram kala diskusi ke­las, di mana setiap anak berlomba-lom­ba untuk jadi yang paling banyak bicara.

“Eh, siapa tahu di Singapur juga si Dean inget buat ngewawancara!”

“Wah, bagus itu, Cil! Sms, Cil, ingetin!” sahut Salman.

“Entar tema display kita bukan tentang pedagang kecil di Kota Bandung lagi, dong…”

“Iya ya, Cil.”

 “Boleh nggak liat hasil wawancara kalian?” kata Zahra kemudian.

Acil dan Salman terdiam. Acil menoleh pada Salman. “Kamu masih inget nggak tadi ki­ta ngomongin apa aja sama mang-mang cireng dan goyobod?”

“Ya udah, entar kita tanya lagi aja yuk, Cil. Sambil mbalikin gelas.”

Zahra menghela nafas. Ini satu alasan kenapa ia tidak begitu sreg dengan orang-o­rang yang paling sering sekelompok dengannya ini. Pun ia tidak merasa begitu da­pat terlibat dengan diskusi-diskusi mereka. Kali ini Acil dan Salman membandingkan Rani dengan Nicolas Saputra. Ka­re­na tak tahu apa lagi yang mau dikerjakan, menyimaklah Zahra dengan jemu.

“Rani tuh mirip sama Nicolas Saputra, Cil. Rambutnya!”

“Tapi itu kan cuman yang di film AADC aja. Menurut saya, ke­miripan me­re­ka tuh terletak pada auranya gitu. Misterius-misterius gimana, gitu…”

“Iya. Mereka sama-sama banyak diemnya, ya.”

Mendekat bunyi langkah kaki kuda beradu dengan paving block. Analisis Acil dan Sal­man terhenti. Bersama Zahra, mereka menoleh. Ketika telah dekat de­ngan me­re­ka, kedua kaki depan kuda tersebut terangkat. Ringkik perkasanya me­nyerta. So­sok di atas punggung kuda itu gelap terhalang cahaya matahari. Sosok yang pa­ling mereka tunggu-tunggu! Tampak anggun sekaligus tangguh benar ia di sana, mem­buat takjub. Dari siluet rambutnya, serupa siluet rambut pada logo radio Pram­bors, mereka bertiga mengenali sosok itu sebagai seorang Maharani—yang se­da­ri tadi mereka sebut-sebut sebagai Rani saja.

Bertopi merah dengan kapucong di belakang kuduknya melambai-lambai, si pemilik ku­da yang sesungguhnya terengah-engah menyusul. Begitu dekat, ia berhenti. Ta­ngannya, mengapit cambuk dengan tali terkulai, diletakkan pada lutut yang menekuk. Di tengah sengalnya, “Maaf, Neng. Kudanya lagi sensitif…”

“Nggak apa-apa. Si Japri jinak kok sama aku.” Dengan tangkas, seolah bi­asa ja­di joki, Rani meloncat turun dari punggung kuda. Ia belai surai ku­da ter­se­but sembari dituntun balik ke pemiliknya.

Dari arah yang sama dengan kedatangan tiga makhluk sebelumnya, me­nyongsong pemuda berkacamata. Ia berlari-lari gembira dengan kembang gu­la merah muda nan rimbun di salah satu tangan. Sesampainya di dekat si pemilik ku­da, ia ke­luarkan beberapa lembar uang kertas dari saku celana. “Ini, Mang, duit­nya,” ka­ta­nya sembari menyerahkan uang tersebut pada si pemilik kuda. Kaos bu­luk longgar ser­ta celana bermuda belel yang dikenakan orang itu membuat Zahra merasa ter­ce­lup dalam sebuah lukisan Edvard Munch, Scream.

Gelak tawa Mas Imin, dipadu bahak senada dari para kawan, menyelun­dupkan nes­ta­pa dalam rasa Zahra. Yang ada da­lam kepalanya hanya penye­lesaian tugas segera. Lalu pulang. Dan tidak me­li­hat dunia. Pembawaannya jika ke­sun­tuk­an akan hidup, yang frekuensi ke­mun­cul­an­nya begitu sering, mulai menyergap.

Rani bilang ia sudah me­wa­wan­carai si pemilik kuda. Mulai dari per­ta­nya­an mengenai asal usul si kuda hingga berapa peng­hasilan yang diperoleh si pe­mi­lik dari membiarkan kudanya itu ditunggangi a­nak-anak. Rani merekam hasil wa­wancaranya dalam se­ca­rik kertas, yang entah ba­gai­ma­na caranya, kemudian dima­kan si Japri. Zahra tidak jadi tidak kecewa.

“Nanti kita ketemu Japri lagi,” Rani mengulas senyum datar, sekilas, untuk membungkam kericuhan Zahra. Padahal hari sudah semakin siang. Zah­ra meng­ge­ser simpuhnya ke bagian yang ternaungi dari hamparan rumput. Ke­napa pula o­rang ini harus ikut-ikut? Zahra menatap tajam pada oknum pemagut kem­bang gu­la. Polos benar tampang itu, berakrab-akrab dengan anak-anak yang bu­kan se­ang­katannya. Bahkan orang itu pula yang tadi menyuruh Rani menunggang ku­da sampai tempat pertemuan. Dibayari pula!

“Ta­di habis nurunin Zahra saya parkir di deket Kebun Binatang situ. Terus liat Rani la­gi jalan. Eh, kok kayak kenal? Ya udah saya deketin aja. Ternyata be­ner, temennya Zah­ra yang suka main ke rumah. Terus kita ngobrol-ngobrol aja, ya, Ran? Sampai ki­ta ngeliat kuda. Terus saya jadi pingin liat Rani naik kuda. Ka­yaknya eksotis aja,” ce­ri­ta Mas Imin saat baru bergabung dalam lingkaran—yang tidak membentuk ling­kar­an sebetulnya—yang didengar Acil dan Salman dengan antusias, dan Zahra, dengan ma­las. “Eh, teman-teman…” Zahra tidak suka men­dengar si sok muda itu me­manggil te­man­-temannya begitu. “Nggak bosan, se­ke­lompok terus kayak gi­ni?”

Aku iya... Zahra buru-buru menepis perasaannya yang kontan menjawab. Sebal, me­nga­pa ia dengan musuh abadinya itu bisa sampai sepikiran.

Beginilah jadinya kalau guru menyerahkan pem­bagian kelompok pada murid-murid dan murid-murid malas membagi diri. Praktisnya adalah membuat kelompok dengan para teman dekat. Tapi ba­gai­ma­na kalau diri sendiri dan teman dekat sama-sama tidak profesional? Dan bagaimana dengan mereka yang tidak punya teman dekat? Anak-a­nak rajin pun sesungguhnya sungkan dengan mereka yang hanya ingin menumpang-can­tum nama saja. Maka solusi yang dianggap pa­ling adil adalah pembagian kelom­pok secara acak. Seperti apapun para teman se­kelompok yang nantinya didapat, ma­u tak mau harus diterima. Pembagian kelom­pok tugas piket dianggap sebagai pem­ba­gi­an kelompok yang seacak-acaknya. Terbukti, setiap kelompok terdiri dari kom­bi­na­si beragam karakter di kelas, mulai dari anak rajin, anak malas, anak aneh, hing­ga anak yang tak pernah terlihat di a­rena pergaulan. Dan kelompok itu teruslah yang akhirnya mereka pakai saat guru Biologi, Sosiologi, hingga Ekonomi membe­bas­kan mereka dalam pembagian ke­lompok. Kendati ada saja segelintir orang yang me­ra­sa tidak cocok dan muak de­ngan anggota kelompok yang itu-itu terus. Terma­suk Zahra. Padahal rumahnya yang biasa dijadikan basecamp pengerjaan tugas karena lokasinya paling dekat sekolah dan kondusif.

“Nggak tuh. Malah enak. Kita jadi kenal deket satu sama lain. Iya nggak, Cil?” Sal­man merengkuh bahu Acil sambil mulai menyanyikan tembang That’s What Friends are For.

“Ah, saya sih eneg liat muka kamu…” seloroh Acil, membuang muka.

“Wuah, kamu.” Salman mendorong bahu Acil yang terkekeh-kekeh. “Saking enaknya sam­pai jadi eneg!”

“Aku pikir kita bisa jadi sahabat.”

Semua memandang Rani yang seketika tersenyum. Terpana. Merasa, be­ta­pa me­nak­jub­kannya teman mereka yang satu ini. Perasaan Zahra menghangat dii­ring debar. Per­kataan Rani mengesankannya. Zahra tidak ingat ada yang pernah bilang begitu pa­danya, mengakui bahwa Zahra potensial untuk dijadikan sahabat.

“Wajar kalau ada rasa jenuh, saat kita udah terlalu sering bersama. Dengan teman, sa­habat, keluarga malahan. Kebayang nggak, kalau udah kerja nanti, ada ke­mung­kin­an kita bakal bekerja di satu tempat selama puluhan tahun, dan ketemu sama o­rang yang itu-itu terus?” kata Mas Imin lagi, yang dijawab anggukan Rani.

“Kayak para guru kita yang umurnya udah pada tua. Aku kadang ke­pi­kir­an, mereka bo­san nggak ya, mengajar terus seumur hidupnya?”

“Itu namanya pengabdian, Rani…” sela Salman.

“…nerangin soal gaya dan tekanan terus dari tahun ke tahun, selama pu­luhan tahun” sam­bung Acil, merujuk pada seorang guru Fisika sepuh yang me­ngajar mereka, “sam­pai udah mlothok aja di kepala.”

“Lo, kamu ngerti mlothok tho, Cil?”

“Deket-deket kamu terus sih!”

“Meskipun kalian sering bareng, apa kalian u­dah bener-bener kenal sama satu sama lain?” tanya Mas Imin lagi.

“Mas, kita mau ngerjain tugas…” tegur Zahra, tidak kuasa me­nyem­bu­nyi­kan cem­be­rut. Kalau tidak cepat-cepat dicegah, bisa-bisa Mas Imin keburu me­mi­kat para teman se­kelompoknya dengan ceramah panjang lebar tentang apalah, se­o­lah dirinya mo­ti­va­tor handal. Tapi para teman sekelompoknya itu malah me­nang­gapi Mas Imin. Membiarkan isi diri mereka ter­ku­ak pelan-pelan. Sampai akhirnya Mas Imin mencetuskan sebuah gagasan yang ma­kin menjengkelkan Zahra.

“Kalau gitu, buktiin kalau kalian udah kenal satu sama lain dengan main peran!” Gagasan itu direspons kernyitan di kening dan bibir yang mengerucut bi­ngung, namun menyiratkan kepenasaranan tingkat ting­gi. Mata Mas Imin me­nger­ling sekilas pada muka Zahra yang makin tertekuk sa­ja, namun tak ia pedulikan. Pe­man­dang­an itu biasa baginya. “Biar diskusi ke­lompok kalian jadi tam­bah ajib. Gimana kalau sesekali kalian diskusinya sam­bil niru gaya temen kalian yang lain? Misal Salman jadi Rani, Acil jadi Zahra, Ra­ni jadi Acil, Zahra jadi Salman…”

Zahra mendesah. Nggak penting banget Mas Imin ini, jangan mau!

Acil mengerutkan muka. Menggerutu dengan mulut kembung, “Ayo, dong, kita nger­ja­in tugas…”

Tawa meledak dari mulut Mas Imin, disusul Salman yang menyertakan a­cungan jem­pol­nya juga. “Wah, mirip tenan!” sahutnya. Rani tersenyum saja.

Mas Imin mengusap sebelah matanya. “Haduuh… Cil, jangan-jangan ka­mu saudara kem­barnya Zahra yang hilang…”

Aku nggak kayak gitu! Zahra melipat kedua lengan di depan dada. Makin rapat me­ngatup bibir, sampai pipinya gembung. Namun tak se­o­rangpun yang i­ngat untuk melihat ekspresi Zahra setelah gayanya dijiplak tanpa i­zin begitu. 

“Ayo, sekarang Rani…”

Rani mengubah posisi duduknya. Setelah terdiam sebentar, tanpa cang­gung ia ­ubah raut mukanya sedemikian rupa—berapi-api sambil mengepalkan se­belah ta­ngan—lalu menurunkannya lagi. Katanya dengan ekspresi yang kembali datar, “Yang tadi itu gayanya Acil waktu pidato Bahasa Indonesia.”

Mas Imin, Acil, dan Salman tertawa. “Nggak ada mirip-miripnya…”

Nggak ada lucu-lucunya… ratap Zahra dalam hati. Kaget ia, mengapa Ra­ni mau-mau­nya berpartisipasi dalam permainan bodoh ini.

“Sekarang Acil!” Masih dengan muka mesem-mesem, Mas Imin me­nu­ding Salman.

“Loh, aku udah!” sergah Salman.

“Ah, apaan?” bantah Acil.

“Dari tadi aku kan diem aja. Kayak Rani, pendiem… Ngomongnya entar, kalau perlu a­ja!”

“Ah, apa? Tadi kamu banyak kelepasannya gitu!”

“Huahahaha…” tawa Mas Imin lagi. Rani berbagi cengiran.

“Sekarang giliran Zahra tuh…” Kepala Salman menuding Zahra. Yang la­in­nya mengikuti. “Ayo Zah, kamu tiruin aku!”

“Iya, tinggal medhok aja. Nggak susah!” timpal Acil. Tak sabar menanti a­pakah Zah­ra berani unjuk aksi.

Inilah aksi Zahra. Ia memamerkan sebengis-bengisnya muka. Dan tidak dalam kon­teks bercanda. Empat orang di hadapannya terhenyak.

“Aku nggak kayak gitu…” gumam Salman lirih, hanya menggelitik am­bang rong­ga telinga Acil, namun tak terterjemahkan dalam rentetan kata.

Sesekali mata Mas Imin melirik spion di atasnya. Sosok Zahra hanya ter­li­hat sebagian pinggulnya saja. Tampak belakang. Jemu ia dengan suasana macam ini. Belum kalau ia tetap coba membujuk Zahra agar memperlihatkan wajahnya. Akan ia temui lagi wajah itu tertekuk. Rahang kuat terkunci. Memendam ke­eng­gan­an besar untuk terbuka. Apalagi berucap. Yang keluar paling hanya gerutu yang tak bisa diterjemahkan dalam kata-kata.

Meredam kesal yang mulai berkecamuk dalam dada, berkatalah Mas Imin, “Zahra, kenapa sih? Gitu terus dari tadi.”

Tubuh yang sedari tadi bergelung saja di jok tengah itu akhirnya bangkit. Punggung Zahra merapat ke sandaran kursi. Ia mengusap mata. Ia harap orang di balik kemudi tidak sedang mengintipnya lewat spion, atau malah sekalian me­no­lehkan kepalanya ke belakang. Intonasi Mas Imin tadi memutar sebuah kenangan buruk dalam kepalanya. Pernah tempelengan mendarat Mas Imin untuk mem­bungkam tangisnya. Kenangan itu berhasil menggerakkannya. Ia amat tidak mengharapkan Mas Imin akan melakukan itu lagi padanya kini.

“Mewek…” Cemoohan dari jok depan.

“…nggak…”

“Mau makan lagi nggak?” lanjut Mas Imin, berusaha terdengar santai.

“Tadi udah.”

“Masak? Tadi Mas Imin belum liat.”

Zahra malas merajut dusta. Mas Imin memang tadi tidak sepenuhnya me­nemani kelompok Zahra mengerjakan tugas. Setelah Zahra berhasil mengambil a­lih fokus teman-temannya, Mas Imin minggat entah ke mana. Waktunya makan siang, sementara kawan-kawan Zahra memesan semangkuk bakso (plus me­wa­wancarai pedagangnya), Zahra malah lebih bernafsu meneruskan pengerjaan tu­gas. Pendaman amarah menekan nafsu makannya.

Setelah display selesai dikerjakan (mereka tidak menyangka dapat me­nye­lesaikan itu semua dalam waktu beberapa jam saja—semua berkat tekanan dari Zahra), Acil-Salman-Rani sepakat bahwa Zahralah yang akan membawa display tersebut. Alasan mereka kuat.

“Saya kan naik sepeda. Rumah saya paling jauh. Entar ringsek nggak tuh kalau saya bawa?” ungkap Acil. Salman mengemukakan hal yang sama, kendati jarak kosannya dengan sekolah cukup dekat. Belum sempat Rani buka mulut, Sal­man memungkas, “Kamu aja yang bawa, Zahra. Kamu kan ada mobil,” yang di­a­mini Acil, “Rumah kamu juga kan paling deket sekolah.”

Seandainya tadi ia ke tempat ini tidak diantar Mas Imin dengan mobil, a­pakah ia akan disuruh begini juga? Semua seakan sudah direncanakan untuk me­la­wannya. Zahra malas memikirkan hal ini, tapi ia masih bisa mengajukan dalih. Kakaknya tidak ada. Ia akan pulang naik angkot dan kemungkinan display-nya a­kan ringsek juga. “Apalagi pakai sepeda…” potong Acil seraya menuding jauh ke belakang punggung Zahra. Ketika Zahra menengok, ia lihat di kejauhan Mas Imin tengah bercakap-cakap dengan seseorang.

Di sinilah Zahra akhirnya, dalam kijang kotak biru langit berhiaskan ber­cak-bercak amplas. Ia berniat menahan laparnya sampai rumah.

“Zahra, ikut ekskul apa aja di sekolah?” tegur Mas Imin lagi.

“Nggak ikut apa-apa.”

“Lo, kenapa? Seru-seru lo.”

Pertanyaan itu mengusiknya. Meng­i­ngatkannya kembali akan ke­ce­mas­an­nya kala harus berhadapan dengan orang-orang baru.

“Kalau lagi banyak duit, bisa ikut AFS…”

“Udah buka gitu pendaftarannya?” respons Zahra dengan enggan. Ber­akrab dengan teman sekelas saja susah, sudah berani mimpi tinggal di luar ne­geri!

“AFS yang ini mah bukan AFS yang ke luar negeri, tapi Asosiasi Filantropis SMANSON.”

“Ada ekskul kayak gitu?” Zahra curiga Mas Imin hendak mengerjai.

“Bukan ekskul sih, ya kayak komunitas aja gitu… Ah, atau nggak ikut PARKINSON aja!”

Kalau yang satu ini, Zahra sudah pernah dengar. Demonya terselip di an­ta­ra serentetan demo ekskul lain yang lebih eksis sewaktu MOS. Tapi ia sendiri be­lum paham apakah PARKINSON itu, dalam konteks SMANSON. Kalau par­kin­son yang nama penyakit ia sudah tahu.

“Para Pemikir SMANSON.”

Zahra mengernyit. Lalu apa yang dilakukan ekskul tersebut selain meng­a­jak para anggotanya berpikir?

“Atau nggak ikut ekskulnya Mas aja.”

Kendati sudah ditawari berkali-kali untuk bergabung dengan ekskul ter­se­but, Zahra ma­sih pasang tampang aneh. Ia tidak bisa membayangkan suatu ketika dirinya, da­lam demo ekskul tersebut, memeragakan berbagai jurus silat dengan menge­nakan to­peng salah seorang personil Power Rangers. Nama ekskul tersebut juga agak-agak membuatnya merinding: PATIN, alias Pembuka Mata Batin. Zah­ra menduga ekskul tersebut kental dengan ajaran klenik.

“Atau nggak… Ikutan WARBUNG.”

Kalau yang satu ini, Zahra belum pernah dengar sama sekali. “Itu apa?”

“Untuk mereka yang terselubung.”

Zahra mengernyitkan dahi. Zahra belum pernah dengar sebelumnya ada ekskul di SMANSON yang dijuduli WARBUNG. Mungkin WARBUNG adalah nama komunitas semacam BASTARD, yang merupakan sekumpulan anak-anak absurd. Seabsurd jawaban Mas Imin. Dan apa pula itu maksudnya terselubung? Jangan-jangan WARBUNG itu sekumpulan anak-anak penjajak alam gaib? Se­ta­hu Zahra, ekskul seni bela diri yang diikuti Mas Imin juga ada kaitannya dengan hal-hal gaib. Dasar musyrik! batin Zahra mendesis. “Komunitas dedemit gitu ya?” kecurigaan Zahra meledakkan tawa Mas Imin. “Gaib-gaib gitu?”

“Kalau urusannya soal keliatan apa nggak, kita yang manusia juga punya!”

“Maksudnya?”

“Ada deeh…”

Zahra mendengus. Pembicaraan tidak mutu!

“Latihan pidatonya udah sampai mana, Zahra?” ucap Mas Imin lagi.

“Yaa, gitu deh…”

“Ngebales, ngebales…”

Zahra tak menggubris. Tak minat berakrab dengan sang kakak. Tak biasa.

“Udah tampil belum?”

“Belum.” Zahra coba menafikan kecemasan yang mendadak timbul.

“Tuh, masih bisa latihan kan, biar tampil bagus.”

Cih, apa sih nih orang, sok akrab banget! Mendadak Zahra benci pada orang sok akrab macam Mas Imin ini. Macam Dean saja.

“Latihan ngomong jangan sendirian aja, Zahra. Tapi sambil di­te­menin.”

 “Ngapain juga ditemenin?”

“Biar ada yang ngomentarin. Beda kan, rasanya, antara ngo­mong sendiri ngadep lemari sama kalau ada yang ngeliatin gitu, meski cu­man satu-dua orang?”

Ilmu batin Mas Imin udah sampai mana sih? Kok dia bisa tau aku la­ti­an­nya suka sambil ngadep lemari? Sekarang Zahra jadi takut. Padahal selama ini ia selalu memastikan pintunya tertutup rapat sebelum memulai latihan.

“Kalau latihannya sendirian doang mah, itu namanya cuman ngapalin. Ta­pi kalau sambil ngadep orang beneran, itu baru namanya latihan!”

Zahra membayangkan dirinya berlatih di depan beberapa orang, di ruang tengah lantai dua rumahnya. Siapa saja mereka? Anggaplah para teman se­ke­lom­poknya tadi. Zahra merasa metode latihan macam itu sepertinya memang bakal le­bih menyuntikkan keberanian untuknya. Ah, tapi apa bedanya latihan dengan ek­sekusi kalau begitu? Sama-sama menghadap orang kan? Jumlahnya saja yang beda. Ia kemukakan pikiran itu pada Mas Imin, yang dijawab, “Ya bagus kalau gi­tu mah. Nggak perlu latihan lagi kan jadinya?”

“Justru orang-orangnya itu… yang bikin grogi…”

“Makanya Zahra, latihannya ya sambil diliatin orang beneran juga. Sama temen deket gitu, yang dipercaya.”

“Ah, udah ah.” Makin ruwet saja Zahra memikirkan berbagai ke­mung­kin­an metode latihan berbicara di depan banyak orang. Apa tidak cukup hanya de­ngan orang-orang khayalan saja? Kendati demikian, ia penasaran juga apakah la­tihan sambil menghadap orang betulan itu bakal lebih memberikan efek.

“Kalau Mas lagi di rumah, sama Mas juga nggak apa-apa kok.”

Tidak akan pernah terjadi! Zahra bertekad.



[1] Sunda: rusuh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain