Sabtu, 03 Juli 2010

3

Tidak ada yang harus Zahra sapa di sekolah. Bukannya ia tidak mengenal te­man-temannya. Ia hapal nama sebagian besar teman sekelas dan teman se­gu­gus­nya saat MOS. Dan mungkin nama beberapa anak dari kelas-kelas lain. Hanya sa­ja, menyapa seseorang bukanlah kebiasaan Zahra. Tapi ia akan membalas dengan gu­gup kalau disapa. Dan entah kenapa, ia akan merasa bersyukur sekali se­su­dah­nya. Terharu. Ternyata masih ada yang mau memerhatikannya di dunia ini.

Tapi tidak untuk orang yang satu ini.

“Zahraaaaa… Eh! Pahlawan kita udah dateng nih!”

Dengan buku tulis dan pulpen di tangan, sosok jangkung-tipis itu meng­ham­piri Zahra dengan riang. Kedatangan sosok itu diekori beberapa anak se­je­nis­nya: mereka yang tahunya hanya gaul, senang-senang, dan jadi pusat perhatian, ta­­pi sama sekali tidak mau kenal cara bergaul dengan pelajaran. Mereka diekori pu­la oleh para pengikut yang sejatinya tidak berasal dari jenis mereka.

Buku tulis Kimia Zahra berpindah ke tangan Dean disertai desah ke­ti­dak­ikh­lasan dari pemiliknya. Dalam hati, Zahra menangisi nasibnya yang sejak SD ti­dak kunjung berubah.

Zahra sudah menyerah dengan segala bujuk rayu Dean yang jarang datang ke sekolah dengan membawa PR yang sudah selesai dikerjakan. Bagaimanapun, pa­­ra pengekor Dean mungkin tidak akan pernah kenal Zahra kalau bukan Dean yang menggiring mereka.

“Makasih Zahra... Zahra manis deh...” Dean menepuk pipi Zahra dengan bu­­kunya sebelum menggiring lagi para pengikutnya berlalu dari situ, untuk me­nyon­teki PR Zahra bersama-sama di sudut yang lebih strategis.

Zahra sama sekali tidak termakan pujian yang ia anggap pepesan ko­song itu. Ia teruskan perjalanan ke bangku nomor dua dari depan meja guru. Teman se­bang­kunya berdiri memberi jalan. Zahra duduk dengan lesu. “Tumben Zahra baru datengnya jam segini. Untung aja gurunya belum masuk,” tegur Syifa.

Zahra mengangguk pelan. Tidak terpikir hendak menyambung dengan ka­li­mat apa. Setidaknya Syifa masih mau jadi teman sebangkunya hari ini. Syifa me­mang baik padanya. Tidak pernah lupa untuk ikut serta mengajaknya jajan saat jam istirahat. Padahal Syifa sudah punya beberapa teman dekat di kelas. Kalau bu­kan karena dikenalkan Syifa, Zahra tidak akan mengenal mereka lebih cepat. Mes­ki demikian, Zahra belum bisa benar-benar berbaur dengan Syifa dan para te­man de­katnya itu. Apalagi ini masih bulan-bulan pertamanya di SMA. Lebaran lalu pun hanya segelintir teman yang ingat untuk mengirim sms ucapan selamat Idul Fi­­tri padanya. Membuat Zahra berpikir, apakah ia punya ponsel hanya untuk me­ne­rima sms ucapan selamat Idul Fitri?

Mendadak anak-anak kembali ke bangkunya ma­sing-masing. Bu Elly ma­suk kelas dengan paduan langkah anggun sekaligus angkuh. “PR-nya yang ke­ma­rin sudah dikerjakan?” tegur guru tersebut sambil lalu.

Anak-anak serempak menjawab dalam paduan suara tak jelas. Nasib buku Zah­ra entah sekarang sudah terdampar sampai ke tangan si­apa. Pemiliknya cemas ka­­lau-kalau buku itu belum kembali saat waktunya pengecekan.

Zahra merasa punggungnya disodok sesuatu. Bukunya. “Dari Dean,” kata anak yang duduk di belakang bangkunya. Beberapa bangku di belakang anak itu, Dean duduk. Ia ter­se­nyum dan melambai pada Zahra. Teringat Zahra pada se­nyum saudara kembar co­wok itu. Arderaz Haykal, saudara kembar Dean, adalah ke­­tua gugusnya saat MOS. Senyum yang diulas oleh wajah yang hampir serupa De­an itu jauh le­bih merawankan hati. Sedang senyum Dean sama sekali tidak me­nge­sankan bagi Zah­ra. Memang hangat senyum itu. Hangat-hangat tahi ayam.

Buku Zahra agak lecek akibat dikerumun banyak orang tadi. Zahra ber­­decak kesal sambil membuka halaman di mana ia mengerjakan PR-nya be­be­ra­pa hari lalu. Sampai di halaman yang ia cari, ia kaget dengan sebuah guratan yang minta ampun jeleknya: “Kasian bukunya dicemberutin terus L Senyum atuh! J

Dengan gemas Zahra menghapus coret-coretan dari pensil tersebut.

“Ada yang bisa mengerjakan soal nomor satu?” suara lantang Bu Elly. Se­o­rang anak yang telah selesai menyalin pengerjaan soal nomor tiga di papan tulis me­lintas di sampingnya. Kali ini tidak ada lagi tangan-tangan teracung. Bu Elly me­napaki jalan di antara dua lajur bangku. Mencari-cari siswa yang kelihatannya min­ta ditunjuk maju ke depan.

“Nomor satu, udah ada yang ketemu jawabannya belum?” ulang Bu Elly.

Syifa berbisik, “Zahra, kamu udah ngerjain yang nomor satu?” Ke­li­hat­an­nya cewek berjilbab itu juga belum mengerjakannya. Zahra melirik hasil pe­ker­ja­an­nya. Mas Ardi tidak kelihatan yakin saat membantunya mengerjakan soal ini, ja­di ia pun tak yakin akan hasilnya.

“Zahra udah Bu!” celetuk seseorang. Suara Dean.

“Zahra?” ketukan hak sepatu Bu Elly mendekat. Tabuhan beduk meng­ge­ma di dada Zahra. Dingin menyambar kuduk. Diperparah oleh gejolak mood buruk yang belum mereda, telapak tangannya berkeringat. Bu Elly di sampingnya. Dengan kepala, Bu Elly memberi isyarat untuk bangkit.

Gugup, Zahra menjawab, “Eng, nggak tahu, Bu, bener atau salah...”

“Nggak apa-apa, kerjakan aja dulu.” Bu Elly menyodorkan spidol ke ha­dap­annya. Zahra bergeming. Bagaimana kalau ternyata pekerjaannya salah? Dan me­reka semua mencemoohnya? Bagaimana ini, bagaimana? Ia melirik ujung spi­dol itu takut-takut. Ambil. Tidak. Ambil. Tidak. Ambil. Tidak.

“Saya aja, Bu,” suara datar Rani. Cewek mungil itu seolah bisa membaca ke­gelisahan Zahra. Mantap betis berbonggol otot itu melangkah ke depan kelas. Bu Elly menyerahkan spidol.

Syifa menyeret buku tulis Zahra ke dekatnya. Mengamati hasil pekerjaan Zah­ra sambil manggut-manggut. “Ih, aku nggak kepikiran sampai sini lo. Ka­yak­nya bener punya kamu deh… Makasih ya, Zahra.” Didorongnya buku tulis itu kem­bali ke depan Zahra yang sedang menatap resah ke papan tulis.

Kening Zahra berkerut-kerut saat mendapati bahwa cara pengerjaan Rani ber­beda dengan miliknya. Entah mengapa Zahra merasa lebih baik cara pe­nger­ja­an­nya yang ditulis di depan sana—asal jangan ia yang melakukannya.

Bu Elly menerima kembali spidol yang dijulurkan Rani. Sejenak ia me­ng­a­mat­i hasil pekerjaan para muridnya sambil sesekali mengusap dagu. Sejurus ke­mu­dian ia membuat catatan di samping hasil pekerjaan Rani. Setelah selesai, “Co­ba kalian kerjain yang nomor satu pakai cara ini…”

Zahra meneguk ludah. Ternyata memang hasil pekerjaannya sudah benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain