Senin, 19 Juli 2010

19

Sejak terorientasinya Mas Imin pada ITB, perlahan-lahan energi negatif mu­lai menguasai Zahra kembali. Zahra jadi malas dekat-dekat Mas Imin. Mas I­min juga sudah tidak berusaha mendekati Zahra. Di rumah, ia selalu terlihat ber­ku­tat dengan buku kumpulan soal. Ia seakan hendak menunjukkan pada Zahra bah­­wa keinginannya masuk ITB bukan sekadar untuk menyenangkan para orang tu­a di rumah. Saat Zahra mengingatkannya akan pendaftaran SNMPTN pun, Zah­ra kaget dengan jawaban Mas Imin, “Oh iya ya! Buat jaga-jaga kalo Imin nggak tem­bus USM, eh, audzubillahimindzalik…”

Kehadiran Dean beberapa kali seminggu di rumah semakin memperburuk su­asana hatinya. Entah jin mana kali ini yang merasuki bocah itu hingga sadar un­tuk tidak mangkir kerja kelompok lagi. Memang bagus seperti itu, tapi tidak baik ju­ga kalau akibatnya Dean jadi ketagihan datang ke rumah. Alasannya sih mau be­la­jar bareng. Zahra sampai dititipi langsung oleh ibunya Dean via te­lepon. Ke­mu­di­­an Zahra tahu semua itu kamuflase belaka. Alih-alih belajar, Dean malah lebih se­ring nongkrong di paviliun Kakek. Zahra tak mau tahu apa yang dikerjakan De­an di sana, melibatkan Mas Imin pula. Bikin Zahra tambah keki. Yang jelas, a­ki­bat dititipi oleh ibunya Dean yang tinggi ia sanjung itu, ia jadi terbebani un­tuk meng­ubah gaya belajar Dean. Setidaknya kini Zahra jadi punya sarana untuk me­lam­piaskan emosi labilnya. Dean adalah objek yang enak untuk dibentak-bentak.

Kehidupan so­si­al Zahra di sekolah kena juga. Zahra seolah tak ingat bah­wa ia telah mengalami kemajuan. Ha­nya karena alasan kelelahan batin, ia sudah ti­dak peduli lagi akan itu. Hu­bung­an­nya dengan Unan sudah hampir membaik pa­da­hal. Hingga pada suatu ke­sem­pat­an jalan ke mal ramai-ramai, Zahra tahu-tahu ka­bur. Zahra lebih membela pe­ra­saan tidak nyamannya ketimbang usaha untuk ber­baur. Lama-lama Unan pun pin­dah ke lain bangku. Setelah kosong untuk be­be­ra­pa lama, lain-lain orang meng­isinya secara paruh waktu. Namun tak ada seorang pun yang bisa meng­gan­ti­kan peran Unan.

Ia bahkan tidak bersemangat saat Zia main ke rumah dan menyampaikan sa­lam Zaha untuknya. Melihat-lihat isi Facebook Zaha malah membuat Zahra ter­i­ri­tasi. Malas jadinya ia berhubungan dengan cewek tersebut. Ia iri mengapa se­pu­pu­nya itu bisa terlihat begitu gaul dan berbakat, padahal kakaknya hanya seorang Zi­a—seorang cewek urakan yang agak sinting, menurut Zahra—bukannya co­wok u­sil namun memberdayakan macam Mas Imin!

Namun Mas Imin sudah tidak memberdayakannya lagi. Melempem pula se­mangat pemberdayaan diri Zahra. Buku-buku pelajaran sosial tidak lagi sering di­bukanya. Ia menertawakan gagasannya semula yang hendak meneruskan ke ke­las IPS, lalu lanjut ke jurusan Komunikasi atau Psikologi di bangku kuliah. Bisa-bi­sa terintimidasi terus ia setiap hari dengan kegaulan dan keaktifan para ma­ha­sis­wa di sana.

Hingga Zahra sungguh lupa akan usaha memberdayakan dirinya dulu yang mem­beri imbas pada dirinya kini. Zahra baru ingat kalau ia pernah mengajukan di­ri sebagai presentator, M-5 menuju presentasi.

Turunnya kelompok sebelumnya mendatangkan giliran maju bagi ke­lom­pok mereka. Sebagai ketua kelompok, Acil langsung sigap memberi instruksi. “De­an, kamu jadi moderator yah kayak biasa? Rani, kamu gantiin Zahra jadi no­tu­len yah? Yang presentasi Zahra. Berarti entar yang jawab pertanyaan saya sama Sal­man. Eh, nggak deng, saya jadi operatornya aja.”

Zahra tidak mendengar. Ia masih sibuk membenahi slide pre­sentasi di lap­top Salman. Beginilah jadinya kalau ia mempercayakan pe­nger­ja­an slide pada o­rang lain, ia misuh-misuh. Sambil membawa laptop Salman, ia pin­dah duduk ke sa­lah satu kursi yang telah dipindahkan ke depan kelas. Rani me­nyu­sul. Acil dan Sal­man menyambungkan kabel proyektor ke laptop. Setelah ka­wan-kawan se­ke­lom­poknya duduk, Dean ambil posisi di depan mereka. Siap un­tuk membuka. Be­lum juga ambil vokal, anak-anak sudah tertawa melihatnya. Ka­lau kata Acil, tanpa per­lu dibantu mulut, muka Dean sudah jago melawak dengan sen­dirinya.

“…udah ah, tong seuri wae, gandeng[1]! Eh, maaf, Pak Bagod, itu di luar teks… Ya udah, langsung ajalah ya, kita tampilnya… presentator kita tercinta… Pro­fesor Zahra Maulana…”

Rani menepuk lengan Zahra. Zahra tersadar. “Apa?”

“Presentasi!” Acil memperingatkannya tanpa suara.

Kontan wajah Zahra bagai maling tertangkap. “Kok aku?”

Acil kaget, dengan berbisik, “Loh, kan kamu yang waktu itu minta?”

“Iya, Zahra. Katanya kamu pingin biasa ngomong di depan? Kapan lagi?” du­­kung Salman. Suaranya pelan namun penuh semangat.

Zahra menggeleng gelisah. Kalaupun ia masih peduli akan hal tersebut, ten­tu ia tetap membutuhkan persiapan sejak lama. Ia berbisik keras,  “Nggak ah! Ng­gak! Aku nggak mau!”

Wajah Acil dan Salman diliputi kebingungan.

“Tapi kan kamu yang paling ngerti isi slide-nya!” bisik Salman lagi.

“Tapi kan kamu yang nyelesein slide-nya terakhir kali!” tukas Zahra.

“Lo? Ya nggak! Lha, tadi kamu ngutak-ngatik laptopku tuh ngapain tho?”

Zahra bungkam. Menyesali dirinya yang selalu kalah dalam setiap adu mu­lut. Kembali ia merengek. “Nggak… Jangan aku, plis…”

Bangkitlah Rani. Prinsip hidupnya adalah Talk Less Do More. Baru saja ia hen­dak mengucap salam, Pak Bagod selaku guru Biologi memotong. “Tunggu… Tung­gu… Daripada kalian bingung-bingung, biar Bapak aja yang ngatur for­ma­si­nya. Kamu, yak, kamu yang udah berdiri, bukan kamu Dean, Zahra ya? Eh? Ma­ha­rani? Yak, kamu yang jadi moderator. Buka lagi presentasi kalian dari awal. Te­rus, operatornya kamu yang rambutnya kayak rambut ketiak itu. Yang jadi pre­sen­ta­tornya, yang perempuan satu lagi… Yak, Zahra. Notulennya…”

“DEAN, PAK!” Sebuah suara muncul dari bangku paling belakang.

“Ya udah, Dean aja.”

Salman buru-buru bangkit karena didorong Acil. “Wah, jangan, Pak. Saya a­ja! Tulisan saya masih lebih kebaca dari tulisannya si Dean!”

Acil menambahkan, “Iya, Pak. Setuju, Pak. Tolong, Pak, demi ke­mas­la­hat­an bersama! Saya ngalah deh, Pak, biar Dean yang jadi operator!”

Pak Bagod meneruskan, “Yang jawab pertanyaan Salman. Tapi nanti bo­leh dibantu yang lain. Sudah, sudah, jatah waktu presentasi kalian entar habis.”

Acil dan Salman duduk lagi dengan lesu. Acil menggeser duduknya ke de­pan layar komputer. Dean duduk di salah satu kursi yang kosong sambil cengar-ce­ngir. Dengan ogah-ogahan, Salman menyodorkannya kertas folio dan alat tulis. Ra­ni maju ke depan. Zahra berkeringat dingin.

Zahra bangkit dari kursi. Tatap nanarnya menyapu audiens. Mereka se­mu­a di­am. Bermuka datar. Ke mana keriuhan yang tadi mengisi? Mana an­tu­si­as­me me­re­ka karena melihat siapa yang di depan? Oh, tentu saja ia bukan Dean. Ra­gam pra­sangka berkecamuk dalam pikiran Zahra. Apa yang orang-orang itu ha­rap­kan da­rinya? Apa yang hati mereka bisikkan tentangnya? Apakah berisi ce­mo­oh­an untuknya? Zahra menoleh ke belakang. Pandangnya menyapu wajah pa­ra kawan se­kelompoknya. Berharap bantuan. Mungkin Acil bisa coba melobi Pak Ba­god untuk menggantikannya? Tapi raut muka me­re­ka semua me­mancarkan penantian. Dan rasa optimis bahwa Zahra bisa. Selagi ia me­noleh la­gi ke depan, dilihatnya wa­jah Pak Bagod menyiratkan hal yang sa­ma. Kem­ba­li Zahra menatap audiens. Rasa tidak percaya diri masih bercokol kuat dalam dada.

Padahal sudah berkali-kali ia mendapat kesempatan bicara di depan orang ba­nyak, tapi mengapa rasa macam ini tidak pernah pudar? Kali ini tanpa persiapan a­pa-apa pula. Berhenti mikir! Teriaknya dalam hati. Mengingatkannya akan satu hal yang ia sadari dalam perjalanan silaturahmi ke rumah Syifa. Cara untuk me­wu­judkan sesuatu yang mulanya enggan dilakukan adalah membuatnya jadi ter­lan­jur. Berhentilah mencemaskan hal yang tidak perlu, Zahra!

“Ayo? Zahra?” tegur Pak Bagod.

Bismillahirahmanirrahim… ucapnya dalam hati. Ia memejamkan mata. Ke­tika dibukanya lagi, dibayangkannya mereka semua adalah paduan garis-garis hi­tam di atas latar putih. Tidak begitu indah wujud mereka, karena begitulah ka­rak­ter gambar Mas Imin. Dan karena ini siang hari, mereka tidak terlihat seperti se­kelompok siswa dedemit.

Zahra lupa mengucap salam. Ia ingin langsung pada hal pokok yang hen­dak ia sampaikan. Tapi sebelumnya ia harus melalui dulu bagian latar belakang, ru­musan permasalahan, dan seterusnya. Ia merutuki dirinya saat tanpa sengaja me­noleh ke belakang. Sesekali ia lupa pada apa yang hendak ia ucapkan sehingga ia harus menyontek slide yang terpampang di viewer. Dan ia tidak suka me­nyon­tek. Sudah terlanjur… sudah terlanjur… biarlah... hibur hatinya yang lain.

Sesekali tawa pelan dari audiens saat ia salah ucap. Entah me­ngapa, itu tidak terdengar lagi sebagai cemoohan kini dalam pendengarannya. Ma­lah ia merasa dirinya telah menghibur mereka. Tawa itu adalah bentuk per­hatian mereka padanya. Mereka memerhatikan ucapannya. Sebagaimana Dean yang acap ditertawakan teman-temannya, namun Zahra tidak merasakan itu se­ba­gai cemooh untuk Dean. Dean malah terlihat menikmatinya. Sadarlah Zahra, jus­tru itu yang membuat Dean tidak pernah kekurangan perhatian karena Dean meng­hargai segala bentuk perhatian orang untuknya. Bahkan jika itu berupa ben­tak­an Zahra sekalipun. Dean tak pernah kelihatan tersinggung. Ia menerimanya se­olah-olah itu adalah suatu hal yang wajar bagi seseorang untuk melampiaskan ke­butuhannya.

Perasaan senang menelusupi diri Zahra, meskipun terasa getar di tangan dan kakinya, panas dingin badannya, dan agak gagap lisannya sesekali. Di luar itu, ia tidak percaya bahwa kata-kata dapat mengalir dari mulutnya selancar Curug Dago. Ia terus berusaha menyambung kalimat-kalimatnya, tidak peduli bahwa mereka dalam keadaan berhamburan di kepala. Ia bahkan bisa menciptakan kalimat-kalimat yang pokoknya tak termuat dalam slide. Ia yakin bahwa ia mulai bisa menikmati ini. Padahal sudah lama ia tidak berinteraksi secara khusus dengan Mas Imin, namun ia merasakan satu kemajuan lagi dalam hidupnya. Zahra merasa tidak membutuhkan dukungan Mas Imin lagi untuk maju. Masih ada orang lain yang mau mendukungnya. Ia bisa melanjutkan pemberdayaan dirinya sendiri tanpa harus minta petuah Mas Imin dulu sebelumnya. Ia bisa, ia pasti bisa!

“Huahahahahahha…”

Sebuah tawa yang entah muncul dari mana—terdengar main-main dan bukan pertanda hati yang terhibur—memadamkan penerangan dalam ruang kata di otak Zahra. Zahra jadi tidak bisa mengambil kalimat untuk ia keluarkan dalam bentuk lisan. Entah ke mana mereka semua. Tidak teraba. Zahra diam. Mendadak terasa kosong dan gelap dalam kepala.

“…presentasi akan dilanjutkan oleh teman saya…” Zahra bingung hendak pi­lih siapa. Ia balik kanan lalu duduk di kursi yang kosong. Menunduk. Kawan-ka­wan sekelompok memandanginya dengan bingung. Zahra tidak mau tahu ba­gai­ma­na ekspresi orang-orang lainnya dalam kelas tersebut. Dadanya berdebar ken­cang. Tangannya masih gemetaran, terasa dingin dan lembap. Ia tidak percaya apa yang telah dilakukannya tadi. Hal itu pasti terjadi di luar kesadarannya.

“Tinggal kesimpulan, Zahra…” bisik Acil. Zahra menggeleng kuat-kuat.

Tanpa lebih lama lagi menunggui usaha kawan-kawan sekelompoknya un­tuk membujuk Zahra, dengan sigap Rani berdiri. Ia bacakan kesimpulan pre­sen­ta­si kelompok mereka, menutupnya, lalu membuka sesi tanya jawab.



[1] Sunda: jangan ketawa terus, berisik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain