Sabtu, 17 Juli 2010

17

Orang bilang, hidup bagai rollercoaster. Zahra merasa telah mengerti makna dari perumpamaan klise tersebut. Setelah serentetan kemajuan yang menyenangkan hatinya, kini ia merasakan kesenduan lagi.

Semula ia menganggap Unan sebagai anugrah Tuhan untuknya. Namun kini terasa tidak lagi. Unan lebih suka nongkrong dengan teman-temannya yang lain. Yang lebih gaul. Yang lebih banyak memberikan keuntungan baginya. Zahra sendiri sesungguhnya lebih suka berduaan saja, ketimbang ramai-ramai. Namun ia juga sadar. Sebetulnya Unan sudah mengajaknya untuk ikut ramai-ramai, ia saja yang masih kerap menarik diri. Teman-teman Unan  tidak selalu memberikan kenyamanan baginya, sebagaimana membicarakan drama Asia tidak selalu menarik.

Pernah suatu kali Unan mengajak Zahra ke BIP sepulang sekolah bersama teman-teman lainnya. Padahal sebelumnya mereka berdua sudah janjian hendak membeli suatu benda yang mereka incar sejak lama di BSM, pada hari yang sama. Unan bilang, mereka bisa ke BSM lain kali, seolah tidak penting lagi artinya benda incaran mereka berdua itu. Maka Zahra merasa Unan lebih memilih teman-teman lainnya itu ketimbang persahabatan mereka. Pada akhirnya Unan mengalah untuk jalan berdua saja ke BSM. Tapi suasana yang tercipta kemudian jadi terasa tidak enak. Zahra merasa Unan jadi angin-anginan. Tapi Unan bilang Zahra saja yang aneh.

Bertambah lagi sakit hatinya, saat tahu bahwa Unan pergi ke Bazaar SMANSON tanpa mengajaknya. Memang ia agak menjaga jarak dengan Unan akhir-akhir ini karena rasa sebalnya itu. Tapi bagaimanapun juga, ia kan masih kawan sebangku Unan? Sebagai permintaan maaf, Unan mengajak Zahra jalan-jalan ke suatu tempat berdua saja. Namun Zahra yang kadung marah jadi makin ingin menjauhi Unan. Ia tidak percaya lagi pada Unan. Ia tidak peduli seandainya Unan berhenti jadi kawan sebangkunya sekalipun.

Untuk menciptakan interaksi sosial yang baik ternyata harus banyak makan perasaan. Zahra lelah dengan itu. Ia ingin cemberut saat perasaannya tidak enak, dan itu sering terjadi. Tapi demi menjaga perasaan orang lain agar mau berteman dengannya, ia harus sekuat mungkin menahan. Zahra tidak tahu sampai kapan ia harus menahan. Kapan ia dapat terbiasa untuk tersenyum, bahkan di kala sedang kesal sekalipun? Apakah suatu proses harus berjalan selama ini?

Kini Zahra merasakan suatu kemunduran. Ia jadi tidak ingin ke mana-mana lagi sepulang sekolah, selain ke rumahnya sendiri. Sesampainya di rumah, ia hanya ingin bergelung di tempat tidur, menunaikan pekerjaan rumah tangga yang jadi tugasnya, menonton drama Asia, atau melarikan diri ke pelajaran sekolah. Ia bahkan tidak merasakan semangat sekuat sebelumnya saat membuka buku pelajaran sosial. Ia menguat-nguatkan diri dengan memikirkan kemungkinan besar ia tidak akan bertemu Unan di kelas IPS. Unan kan ingin jadi ilmuwan Bosscha.

Zahra bahkan tidak kepikiran untuk minta motivasi dari Mas Imin. Sampai ia sadar bahwa keadaannya sekarang tidak ada bedanya dengan keadaan sebelum hubungannya dengan Mas Imin membaik. Keadaan di mana perhatian Mas Imin mulai tumbuh untuknya, dan ia malah menafikan itu. Keadaan sebelum ia ingin terberdayakan. Masak mau mundur lagi?  Pertanyaan itu terdengar seperti Mas Imin yang mengajukan.

Ke mana Mas Imin? pikirnya. Mas Imin memang makin jarang di rumah. Lagi intensif bimbel, kata Mama. Atau mungkin belajar bersama di rumah temannya. Atau entah. Tapi bukan itu yang membuat Zahra merasa ada sesuatu yang tiba-tiba hilang dari hidupnya. Sejak awal tahun, Mas Imin sudah begitu, tapi hubungan di antara mereka berdua malah kian membaik.

Zahra tersadar. Sudah berapa lama ia tidak mengobrol lagi dengan Mas Imin? Intensitas hubungan mereka berkurang drastis sejak… Apa karena Mas Imin UN? Ah, Zahra pun disibukkan dengan UTS—apalagi karena ia ingin yang terbaik untuk aneka mata pelajaran sosialnya. Namun sesudah UN dan UTS pun, tetap belum ada obrolan lagi di antaranya dan Mas Imin. Zahra mengingat-ingat.

Sebuah ingatan melayang-layang dari kejauhan dan sampailah pada pikirannya. Malam di mana ia terbangun karena suara Mama dan Mas Imin yang baru pulang dari menjemput Mayong di kantor polisi. Mayong terjaring razia balapan liar rupanya. Malam itu Zahra terlelap dengan luapan amarah Mama pada Mayong sebagai pengantar tidurnya.

Beberapa hari setelahnya, ketika sedang berjalan-jalan di suatu pusat perbelanjaan, Papa memergoki Mas Ardi berpakaian wanita. Sebetulnya saat itu Mas Ardi sedang ikutan cosplay. Namun Papa tak suka itu. Sebelum kembali ke Jakarta, Papa sempat mengobrol dengan Mas Imin. Zahra sebetulnya tidak niat menguping. Kebetulan saja terdengar dari dapur, karena ia sedang membereskan perabot bekas Mama masak.

“…apa nggak krisis gender dia nanti...”

“…nggak kok, Pa. Anak-anak sekarang banyak yang ikutan gitu juga, normal-normal aja kok. Lagian kan Papa tau sendiri Ardi udah punya pacar…”

“…nah, itu lagi, pacaran!”

Zahra lekas menjauh dari dapur agar percakapan tersebut tak terdengar jelas lagi. Kalau sudah perkara Mas Ardi dan pacarnya, Zahra malas mendengarkan. Dan Zahra  eneg membayangkan Mas Ardi dengan rambut palsu, gaun berenda, dan tongkat plastik mainan. Zahra akan bersikap sama dengan Papa seandainya ia jadi orangtua Mas Ardi. Bahkan ia akan memarahi Mas Ardi sekalian karena ikut berperan dalam mempercepat kiamat. Sudah begitu, prestasi akademis Mas Ardi tergolong biasa-biasa saja pula, dibanding dirinya dan Mas Imin.

Dan sejak itulah Mas Imin tidak pernah mendekatinya lagi untuk maksud tertentu. Interaksinya dengan Zahra seperlunya saja, misalnya minta diambilkan ini atau itu. Pun Zahra, yang terlalu larut dalam gelombang perasaannya. Itulah yang hilang dari kehidupannya yang baru, Zahra telah menemukannya. Mendadak perasaan sendunya hilang. Digantikan oleh semangat kebangkitan.

Mungkin Mas Imin juga membutuhkan perhatian, pikir Zahra. Bagaimanapun juga, Mas Imin adalah manusia—tidak ada ubahnya dengan objek yang kerap dibicarakannya. Lalu Zahra ingat bahwa seharusnya ia juga menyemangati Mas Imin. Mas Imin kan bakal menghadapi serentetan ujian yang menentukan masa depannya. Wajar juga kalau Mas Imin hendak fokus belajar dulu hingga tidak sempat banyak mengobrol dengan Zahra lagi.

Zahra masih menyimpan sisa bahan dan perkakas dari tugas prakarya semester lalu. Diturunkannya kotak berdebu tersebut dari atas lemari. Ia keluarkan segala yang mungkin dapat digunakannya untuk membuat sesuatu. Namun karena tak terbayang hendak membuat apa, akhirnya ia hanya membuat sebuah kartu dari karton biru dengan tulisan:

 

SEMANGAT! JANGAN MENYERAH!

CHAYO F. PSIKOLOGI!

 

Zahra juga akan balas memberi gambar pada Mas Imin. Tidak seperti Mas Imin yang punya kecenderungan pada dedemit, yang akan Zahra gambar adalah seorang peri cantik. Tapi berkali-kali membuat sketsa, ternyata hasilnya tidak memuaskan. Ternyata Mas Imin masih lebih pandai menggambar darinya, Zahra sebal. Akhirnya ia menambahkan berikut di bawah tulisan sebelumnya:

 

dari: peri baik hati X9

 

Zahra membayangkan Mas Imin akan tertawa terbahak-bahak saat menemukan kartu ini di meja belajarnya. Ah, tapi biarlah, Mas Imin membutuhkan penyegar di sela kesibukannya belajar.

Sejenak kemudian, Zahra sadar bahwa ia harus membuat kartu yang semacam untuk dirinya sendiri. JANGAN MENYERAH!—kata itu menggema dalam rongga kepalanya. Mengingatkannya bahwa ia sendiri masih berada dalam suatu proses, janganlah sampai itu putus di tengah jalan. Kata-kata lain mulai melayang-layang di kepalanya. Mulai dari satu per satu elemen jurus S hingga PROAKTIF.

Mengingat kata yang disukainya itu, Zahra jadi tercenung. Saking sukanya ia pada kata tersebut, ia ingin menjadikan itu sebagai bagian dari karakternya. Gara-gara gelombang perasaannya kemarin,  hampir saja hal itu tak terwujud. Maka, Zahra pun berniat untuk segera melupakan segala hal tak mengenakkan kemarin dan memperbaiki sikapnya pada Unan mulai besok. Semoga Unan masih mau berteman dengannya. Zahra kira ia akan menangis kalau Unan tidak mau jadi kawan sebangkunya lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain