Jumat, 02 Juli 2010

2

Mereka pernah (terlihat) rukun pada suatu waktu. Terekam dalam lem­bar­an-lembaran foto yang lengket menempel pada sebuah album foto.

Luthfi Muhaimin lahir pada bulan pertama di suatu tahun, satu di­git angka se­­bagai tanggalnya. Dua puluh bulan kemudian, saat daun pada pe­po­hon­an di be­la­h­an bumi utara lepas dari dudukannya, Ardian Yogaswara me­nyu­sul kakaknya ke dunia. Lima belas bulan setelah itu, selang beberapa ha­ri dengan ulang tahun ke­­tiga si sulung, Zahra Maulana lahir. Dalam salah sa­tu lembar foto, tampak ba­yi pe­rempuan itu dicium dua a­bang­nya, masing-masing di pipi kiri dan pipi kanan.

Foto-foto pada beberapa lembar album sesudahnya diambil pada rentang du­a-tiga tahun setelah itu. Salah satunya menampilkan pendatang ba­ru di ke­luarga i­tu yang dinamai Mayong Nugroho. Di atas kasur, bayi berwajah be­ngong itu ber­ba­ring dirubungi ketiga kakaknya. Kakak pertama mengapit di­ri­nya di sebelah ka­nan dengan mimik ekspresif khas bocah nakal. Kakak kedua ti­dur­an di sebelah ki­ri­nya dengan pandangan mata tak fokus. Kakak ketiga—sa­tu-sa­tu­nya perempu­an—bersimpuh di atas kepalanya dengan senyum malu-malu.

Selepas pengambilan gambar, Imin kecil mencubit pipi adik bayinya de­ngan gemas—entah mengajak main atau menangis. Mama mendorong Papa a­gar tak menghalanginya. Padahal Papa baru saja hendak mengambil gambar lagi. I­min di­marahi. Semua anak disuruh menyingkir dari kasur agar Mama mendapat ru­ang yang lega untuk memungkas tangis Mayong dengan ASI.

Di luar kamar, sasaran kejahilan Imin berpindah pada Zahra. Zahra me­me­kik ketika sebelah pipinya ditarik keras sekali. Ia ingin menangis kencang juga se­per­­ti Mayong. Tapi ia lebih takut dimarahi Mama. Mama pernah memarahinya ka­re­na tangisannya membangunkan Mayong.

“Ardi… Pipinya Zahra enak lo…” Imin tersenyum sumringah pada Ardi sam­­bil memain-mainkan pipi Zahra dengan dua jarinya. Mata Zahra ber­kaca-kaca. A­palagi ketika tangan Ardi pelan-pelan mulai menggapai pipinya yang sebelah la­gi. Hampir saja lima jari itu menyentuh kenyal kulitnya, saat Papa me­manggil me­re­ka untuk menghabiskan sarapan. Ardi berlari ke arah Papa. Tan­pa melepaskan cu­bitannya dari pipi Zahra, Imin menyusul. Zahra terseret. Pipinya ma­kin perih.

 Imin, 7 tahun. Zahra, 4 tahun.

Elok boneka itu. Sepasang mata kelerengnya bersinar. Rambut co­ke­lat ar­ti­fisialnya panjang halus bergelombang. Zahra tak berhenti me­nyi­sir­i­nya. Seakan tak pernah rapi benar rambut itu bagi Zahra. Sesekali ia be­nah­i juga gaun renda-ren­­da sang boneka. Zahra memeluk hadiah ulang tahunnya yang ke­empat itu.

Beberapa menit kemudian boneka itu lenyap dari pelukan. Zahra ter­pa­na. Se­­bagian ujung rambut Si Manis berada dalam genggaman tangan Imin. Ber­sa­ma se­­orang anak sepantarannya—tetangga satu RT, Imin menaiki pagar be­randa.

“Eh, sekarang pilotnya perempuan…” Imin merebut kapal-kapalan besar da­­ri tangan temannya itu. Ia dudukkan boneka Zahra di atas benda tersebut.

“Terbangin ke sana aja.” Cetus Rizal, si anak tetangga. Imin mengangguk-angguk. Ia terbangkan (kalau bu­kan melempar) kapal-kapalan yang dipiloti se­bu­ah perempuan cantik itu ke arah po­hon rambutan samping beranda. Zahra menjerit his­teris kala keduanya me­nan­cap di tajuk pohon. Imin dan Rizal meloncat dari pagar beranda lalu dulu-duluan ber­lari ke lantai bawah. Bahu membahu mereka meng­evakuasi kapal-kapalan yang katanya dibelikan ayahnya Rizal dari Taiwan itu. Kembalilah dua bocah i­tu ke rumah Rizal.

Seekor ulat hitam berbulu dengan corak totol-totol putih menjuntai dari ba­­lik daun. Hewan itu menengok ke sana ke mari sebelum bersalto dan mendarat te­pat di pun­­cak hidung boneka Zahra.  Zahra duduk lemas di sudut beranda. Ia tak mau menyentuh boneka itu la­gi. Hilang sudah teman mainnya, ditawan ulat.

Imin, 8 tahun. Ardi, 7 tahun. Zahra, 5 tahun.

Imin dan komplotannya ramai berdiskusi di teras. Mereka duduk me­lingkar dikepung beragam sandal dan model sepeda yang menimpa titik-ti­tik air dan lumpur—buah tangan hujan yang baru selesai bertandang. 

Mun ka jalan nu eta mah sok loba budak kam­pung[1]!” cerocos Budi.

“Takut pisan atuh ketemu budak kampung aja…” komentar Sa­hir.

Rizal memutus, “Atau nggak ke gang yang mau ke sawah aja. Kalau ke­te­mu anak kam­pung yang di sana juga da kita mah nggak kenal ini atuh.”

“Tapi jangan lewat jalan bawah. Lewat yang nan­jak, biar rame…”

Solusi Imin sontak disetujui kawan-kawannya.

Celetukan Adi mem­buat sorakan mereka putus lagi. “Tapi sepedanya si Samsul bocor tadi. Bisi nggak kuat.”

Para bocah mendesah kecewa. Mereka tak ingin kehilangan keasyikan i­ni, tapi tak enak juga kalau sampai harus meninggalkan seorang kawan. Sam­sul menelusupkan kepalanya ke balik lutut. Siap dikorbankan.

“Eh, ya udah, pake sepeda adik saya aja!” cetus Imin.

“Trus si Ardi pake yang mana atuh?” Sahir menuding Ardi, yang sedari ta­di diam saja. Tidak menyangka pula masih ada yang memerhatikan dirinya.

“Kan adik saya banyak. Tenang…” Imin melangkah ke garasi. Ia keluar la­gi dengan menggiring sepeda mini. Kendati tidak di­do­mi­na­si de­ngan warna pink, tetap kentara kalau itu sepeda cewek. Kawan-kawan Imin me­ngernyit jijik.

“Kamu aja yang pake!” Samsul tak kuasa sembunyikan rasa ter­hi­na.

“Aahahaha, si Imin make sepeda awewe[2]!” Meletuplah berbagai ledek, ta­wa, dan cemooh.

Imin tersenyum-senyum saja. Ia menunjuk Ardi. “Di, sepeda kamu pin­jem­in ke Samsul yah. Kamu yang pake sepedanya Zahra.”

Kepala Ardi tegak. Para bocah bersorak. Lekas mereka tung­gang­i sepeda ma­sing-masing—kecuali Samsul, yang dipinjami sepeda Ardi tanpa per­setujuan res­mi dari pemiliknya. Pedal-pedal dikayuh untuk melesatkan laju. Kon­voi sepeda ber­gerak ke arah yang dituju. Meninggalkan Zahra yang baru sa­dar akan apa yang ter­jadi. Ia baru saja ke luar dari kamar mandi. Pekik jerit Zahra me­lepas kepergian me­reka, “MAS IMIN, BALIKIN SEPEDA ZAHRA! MAS I­MIIIIN…!”

Air mata mulai merebak dari balik pelupuk mata Zahra. Jongkok ia di atas kar­pet teras. Membenamkan sedu sedannya di balik lutut.

Ce­pat-cepat ia mendongak ketika mendengar derit roda sepeda mendekat. Ar­­di muncul dari balik pagar sembari menuntun sepeda mini Zahra. Abangnya itu me­­nunduk saat tanpa intonasi berucap, “Rantainya putus.”

Imin, 9 tahun. Ardi, 7 tahun. Zahra, 6 tahun.

Begitu bel pulang sekolah berdering, Ardi dan Zahra biasanya tidak main ke mana-mana. Keduanya belum memiliki banyak teman dekat. Mereka akan ber­te­­mu di gerbang sekolah lalu pulang bersama ke rumah tanpa banyak cakap.

Sesudah ganti baju, Ardi dan Zahra menikmati makan siang sambil me­­nger­jakan PR. Sesekali mata mereka tertuju pada layar TV. Mayong tertidur di a­tas lantai dengan menggenggam prakarya yang ia buat di TK. Pembantu me­re­ka me­nyetrika pakaian sambil sesekali memindah saluran TV.

Menjelang ashar, terengah-engah Imin memasuki rumah. Tersungkur ia di a­­tas lantai keramik yang dingin. Terdengar keluhannya, “Aduh, gerah banget…”

Imin melepas seragam atasnya. Ia buang ke sembarang arah. Hanya ber­sing­let dengan celana merah penuh noda tanah, mendekatlah Imin pada pem­ban­tu me­reka. “Mbak, beliin es teh dong, di warung Tante Rima…”

“Nggak liat Mbak belum selesai ngelicin apa?” semprot si Mbak.

Imin tak putus asa. Ada objek pesuruh yang lebih lemah posisinya. Ke­pa­­lanya berhenti bergerak saat ia dapati Zahra. “Zahra, beliin es dong. Haus nih.”

Zahra menggeleng.

“Ayo, Imin kasih duit nih…”

Zah­ra tetap menggeleng-geleng. “Nggak mau. Nggak mau!”

Membelalak mata Zahra ketika sebelah tangan Imin teracung. Tersenyum Bar­­bienya dalam genggaman itu. Itu Barbienya yang ketiga. Yang pertama masih ter­­sangkut di pohon cengkeh milik Tante Ani—ibunya Budi. Yang kedua rusak di­­sambar petir karena terlempar sampai ke atap rumah. Semua berkat Imin. Kalau sam­­pai Barbie yang kali ini rusak juga, Mama tidak akan membelikannya Bar­bie la­gi. Barbie yang kali ini saja sudah pernah tahu rasanya hidup di dasar tong ca­da­ngan air selama lima hari—sengaja Imin tenggelamkan.

“Kalau nggak mau, bonekanya Mas kentutin loh!”

“Jangaaaan…” rengek Zahra.

“Beliin nggak?”

“Nggak mauuu…” tangis Zahra.

“Ya udah…”

“Aaaaaah!”

Beberapa menit kemudian, punggung Zahra turun naik di bawah si­­raman si­nar mentari. Punggung tangannya sendiri tak bisa jauh dari kedua ma­ta­nya yang terus mencucurkan air. Muncul ragam pikiran tak e­nak­ da­lam kepalanya. Bagaimana kalau ia belum berhenti menangis be­gi­tu sampai di wa­rung Tante Rima? Bagaimana kalau orang-orang di sana bertanya ke­napa mu­ka­nya sembap begitu? Bagaimana kalau mereka menanyainya ma­cam-macam yang lain? Ba­gai­ma­na kalau Zahra tak bisa menjawab satu pun di an­ta­ra­nya? Ba­gai­ma­na kalau kejadian ia menangis sampai warung Tante Rima ini ke­ta­hu­an Mama?

Zahra duduk di bawah sebatang pohon peneduh jalan. Ia berusaha meng­hen­­ti­kan isak tangisnya. Menghabiskan sisa-sisa kepiluannya. Tidak memedulikan tan­­­da tanya di wajah mereka yang melihatnya sepanjang jalan tadi. Derit rantai se­pe­da yang dikayuh mendekat. Zahra bertahan untuk tidak meng­angkat wajahnya ken­dati suara itu terdengar familiar.

“Zahra.” Barulah Zahra mengangkat wajah saat mendengar nada tanpa in­to­nasi itu terlantun. Telapak tangan Mas Ardi terbuka. “Mana u­angnya?”

Ia berikan apa yang Mas Ardi minta.

“Ikut nggak?” Mas Ardi menuding bagian belakang sepeda dengan ke­pa­la­nya yang serta merta disambut gelengan kepala Zahra.

Lama Zahra menunggu. Mas Ardi kembali dengan seplastik es teh meng­gan­­tung di salah satu setang sepedanya. Ia mengayuh sadel sepeda dengan santai a­­gar adiknya yang mengekor tidak jauh tertinggal. Sesekali masih terdengar sisa seng­­guk dari belakang daun telinganya.

Bukannya Mama membiarkan segala kenakalan Imin. Tiap kali ke­tahuan, Ma­ma memarahi Imin. Diam-diam Zahra menikmati bentakan-ben­takan itu, mes­ki kadang menyakiti pendengarannya juga. Apalagi kalau Papa yang marah, ma­kin puaslah Zahra. Yang mereka tidak tahu, respon reaktif orangtua malah akan me­nyulut ke­bang­kitan setan dalam diri anak.

Zahra tidak pernah berhenti disiksa Imin, meski intensitas dan fre­ku­en­si­nya lama-lama makin turun, hingga berhenti sama sekali. Bukan karena Imin telah di-ruqyah, bukan, melainkan karena Imin ingin meneruskan SMA di Bandung.

Kakek yang paling mendukung Imin bersekolah di Bandung. Apalagi I­min a­dalah cucu pertamanya. Laki-laki pula. Paling disayang! Dan Kakek sudah ber­ta­hun-tahun hidup sendirian, sepeninggal Nenek. “Biar ada yang nemenin Ka­kek­lah di rumah. Lagian SMA di Bandung mutunya pasti lebih bagus daripada di Su­me­dang!” tandas Kakek yakin.

Hijrahlah Imin ke Bandung. Dan damai di bumi!

Tidak ada yang iseng mencubiti pipi Zahra lagi. Tidak ada yang me­mak­sa­nya untuk membuatkan mi lagi. Tidak ada yang menyembunyikan ba­rang-barang ke­sayangannya lagi. Tidak ada yang gencar meledekinya lagi. Dan saingannya da­lam berebut remot TV berkurang. Baru kali ini Zahra merasa hi­dup begitu indah.

Awalnya Imin masih ingat pulang seminggu sekali ke Sumedang. La­­lu la­ma-lama frekuensinya makin jarang, sampai ak­hir­­nya Mama mengancam tidak a­kan memberi Imin uang saku kalau Imin tidak pu­lang barang sebulan sekali.

Konsekuensi dari malas pulangnya Imin ke Sumedang adalah, ganti me­re­ka sekeluarga yang menjenguk Imin ke Bandung. Seringnya Zahra me­na­war­kan di­ri untuk menjaga rumah saja. Ia tidak sudi bertemu Imin. Ia malas bertemu Ka­kek—yang jarang menyengajakan diri berakrab-akrab dengan para cucunya yang la­in. Ia juga tidak dekat dengan sanak saudara lainnya yang berdomisili di Ban­dung. Namun keluarganya selalu berhasil memaksanya ikut. Yang membuat Zah­ra se­­panjang jalan merengut.

Tahun berikutnya, ganti Ardi yang ditarik bersekolah di Bandung. “Ardi daf­­tar ke sekolah Imin aja, sekolah favorit lo di Bandung!” Kali ini Imin ikut un­juk usaha meyakinkan.

Zahra merasa ada yang hilang dalam kehidupannya. Untungnya, Ar­di ma­sih lebih ingat pulang ketimbang Imin. Sampai akhirnya Ardi punya pacar.

Sementara itu, sumber penghasilan Papa selama ini, sebuah perusahaan swas­­ta di Jakarta, kian menunjukkan tanda-tanda akan tewas dalam waktu relatif de­­kat. Papa kelimpungan. Perubahan harus dilakukan. Sudah beberapa tahun ini me­­reka tidak lagi mempekerjakan pembantu di rumah—selain karena anak-anak su­­dah mulai besar dan harus belajar mengurus diri mereka sendiri. Kebiasaan be­lan­­ja ke Bandung hampir di setiap akhir pekan juga mulai dikurangi. Dan kini ru­mah mereka di Sumedang yang akan dikorbankan—dikontrakkan untuk me­nam­bah penghasilan yang makin berkurang.

Papa dan Mama tidak menunggu sampai tahun berikutnya saat me­re­ka me­mu­­tuskan untuk sekalian pindah rumah ke Bandung. Menempati ba­ngun­an utama di sebidang lahan milik orangtua Papa, lebih tepatnya. Pada se­bi­dang lahan ter­se­but terdapat tiga bangunan: bangunan utama yang ditempati Ka­kek-Nenek se­be­lum Nenek meninggal; paviliun; dan persewaan studio mu­sik.

Sepeninggal Nenek, Kakek rasa bangunan utama terlalu besar untuk ia ting­­­gali sendiri. Kakek pun membenahi paviliun agar dapat difungsikan se­ba­gai ru­­mah seutuhnya lalu ia pindah ke sana. Bangunan utama di­bi­ar­kan ko­song tak ter­urus. Diurus orang lain, Kakek terlalu pelit untuk meng­gaji. Diurus sen­diri, Ka­kek terlalu malas untuk bersih-bersih. Kakeklah yang le­bih dulu minta a­gar ba­ngun­an utama diisi. Sehingga, dengan pindahnya keluarga ter­sebut ke sa­na, ba­ngun­an utama tak lagi jadi rumah berperabot tak ber­peng­huni lagi tak terurus.

Kondisi finansial keluarga mau tak mau bikin Zahra setuju un­tuk pindah ke Bandung. Selain itu, ia pikir kualitas sekolah favorit tujuannya di Ban­dung le­bih baik dari yang ada di Sumedang. Mayong apalagi. Meski se­dih harus berpisah de­ngan teman-temannya di Sumedang, ia ingin memperluas per­gaulannya.

Ukuran bangunan yang akan mereka tempati di Bandung lebih besar da­ri ru­mah mereka di Sumedang. Bagi anak kecil yang sedang senang-senangnya men­je­lajah, bangunan tersebut adalah lahan bermain yang cukup memadai. Se­ti­dak­nya ke­tiga anak laki-laki tidak lagi harus berbagi satu kamar. Baik Papa-Mama ma­u­pun Zahra, masing-masing akan mendapat kamar yang lebih lega.

Rencana pindah rumah ditangguhkan sampai Zahra lulus SMP. Se­mentara itu, Mama memproses izin mutasi ke Bandung dan Pa­pa tetap mem­per­ju­angkan perusahaannya di Jakarta.

Zahra lulus dari SMP-nya dengan NKU terbaik. Namun apalah artinya, ber­­kat sistem kuota, ia tidak jadi mengincar SMAN Bilatung—SMA negeri fa­vo­rit nomor 1 di Bandung. Tidak bisa, kalau mau aman. Dengan terpaksa, SMAN Se­­lonongan jadi tujuan. Zahra tidak punya pilihan lain. Ia tidak berminat men­daf­tar ke lain SMA, sebab SMAN Selonongan (kata Imin) adalah SMA negeri fa­vorit no­mor 2 di Bandung. Dekat dengan rumah yang akan mereka tempati pula.

Jadi kini, tidak hanya Zahra harus kembali serumah dengan Imin, tapi me­re­­ka juga bakal bersekolah di tempat yang sama. Padahal sebelumnya mereka ti­dak pernah satu sekolah. Entah apa pertimbangan orangtua mereka saat me­nye­ko­lah­­kan Ardi, Zahra, dan Mayong di sekolah swasta, padahal sebelumnya Imin me­re­­ka sekolahkan di sekolah negeri. Tidak hanya SD, tapi juga SMP.

Zahra merasa kembali berkubang dalam neraka dunia.



[1] Sunda: kalau ke jalan yang itu suka banyak anak kampung

[2] Sunda: perempuan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain