Kamis, 01 Juli 2010

1

Gelombang dingin menggerayangi kuduk. Kedua belah ta­­ngan­ ganti me­re­mas. Den­tum pada jan­tung­ kian gahar. Sesekali kedua belah tangan yang saling geng­gam itu ia tautkan dengan bibir yang mengerucut. Setiap kata yang dikoarkan pemuda ramping berambut ke­riting be­be­ra­pa jauh di hadapnya menjelma ancam. Cemas menepis segala informasi yang hendak meng­hun­jam otak.

“Pb! CH! CO...!”

Takut! Resah! Gelisah! Kata-kata itu menggantikan setiap jenis emisi peng­hu­ni udara Ko­ta Bandung yang dimuncratkan Acil dari mulutnya.

“...jangan katakan udara Bandung masih sejuk, karena sesungguhnya udara Ban­­dung sudah busuk!”

Sebentar lagi gilirannya. Mungkin sehabis ini gilirannya. Pasti setelah ini gi­li­ran­nya! Pe­lu­angnya pada tiap kesempatan semakin besar. Seiring dengan satu per satu dari me­reka menaiki panggung rendah di depan kelas, lalu turun lagi de­ngan wajah puas sementara wajahnya kian pias. Seiring dengan semakin mende­kat­nya Acil pada ka­limat penutup.

"Mari kita galakkan semangat bersepeda!"

Kalimat itu dan tepuk tangan riuh menyentaknya. Belum lagi Pak Catur selesai mengomentari penampilan anak yang baru tu­run pang­gung itu, Zahra sudah tak tahan untuk tak mengacungkan tangan.

"...izin ke toilet, Pak..." cicitnya lirih sebelum menghamburtinggalkan ke­las. Naskah pi­datonya remuk dalam saku seragam.

Zahra tidak pernah benar-benar menyukai Tria. Anak Jakarta coret itu ba­nyak omong.

“Ih, Zahra, ketahuan banget tadi. Sengaja kabur ke toilet ya, biar nggak da­pat giliran pidato?”

Zahra berharap bisa menyumpal lubang besar di wajah itu dengan pengha­pus papan tulis. Zahra memang tidak bisa melakukannya. Namun ia bisa membayangkan rong­ga ranselnya sebagai mulut Tria. Dan kini ia sedang menjejalkan buku-buku dan alat tulis ke dalamnya.

Zahra merasa mukanya sudah semasam belimbing mentah. Bersikeras ia me­na­han­nya, kalau-kalau Tria dan kawanannya melihat. Setidaknya kalau Tria me­nyem­pat­kan diri untuk melihat reaksi Zahra sehabis diledek begitu, itu artinya Tri­a masih peduli pada Zahra. Tapi tidak. Tahu-tahu Tria telah mengganti sasaran le­dek ke lain siswa. Zahra tidak tahu harus bersyukur apa tidak.

Sembari menarik tali tasnya, Zahra membuang mata ke luar jendela kelas. Men­da­pat­i sepuncak kepala yang sudah familier benar baginya. Ah, Mas Ardi!

Tanpa ingat untuk melempar pamit, Zahra melesat ke dunia di balik pintu. Me­ning­gal­kan kawanan yang memang tak terlalu akrab dengannya. Yang tak akan per­nah mampu ia akrabi.

Lonjakan semangatnya agak surut setelah tahu bahwa Mas Ardi tidak sen­di­ri. Hampir selalu dengan cewek itu. Sampai ke rumah sekalipun! Seakan sudah ja­di rutinitas saja bagi cewek itu untuk menyambangi rumah mereka. Seakan ru­mah itu sudah jadi rumahnya sendiri. Dan itu sudah berlangsung sejak minggu per­ta­ma Zahra serumah dengan Mas Ardi lagi. Saat seluruh anggota keluarga me­re­ka kembali menetap dalam satu rumah—kecuali Papa yang masih harus bolak-ba­lik Bandung–Jakarta.

Zahra belum bisa menerima Teh Tata. Segala perhatian yang cewek itu be­ri pada Zahra, Zahra anggap upaya menjilat. Cewek itu hendak merebut se­lu­­ruh perhatian Mas Ardi. Padahal pake jilbab, tapi pacaran, heu.. Mencela-ce­la Teh Tata dalam hati jadi kebiasaan baru Zahra.

“Mas Ardi, mau pulang?” sembur Zahra begitu jaraknya hanya sejengkal da­ri ransel abang nomor duanya itu.

Mas Ardi menoleh. Teh Tata juga, tentu saja.  Katanya, “Eh, Zahra, pulang ba­reng yuk?”

Zahra menanggapi dengan kernyitan wajah. Entah Teh Tata sadar apa ti­dak, Zahra tak peduli.

“Bareng mah bareng aja…” Kepala Mas Ardi kembali melengos ke depan. Sok acuh tak acuh seperti biasa.

Sesampainya di muka gerbang sekolah, dengan lengkungan hijau besar ber­tu­lis­an “SMAN Selonongan Bandung” di atasnya, Zahra menarik-narik tali ran­sel Mas Ardi. Membuat cowok kurus dengan kumis tanggung itu menoleh ke be­la­kang lagi. Teh Tata juga, tentu saja. “Mau beli cilok dulu… Tungguin…” Tan­pa menoleh pada sepasang insan itu lagi, Zahra menembus keramaian berse­ma­rak­kan putih abu. Menuju gerobak tukang cilok untuk menghabiskan sisa uang ja­jannya. “Dua ribu, Mang…”

Dengan seplastik cilok berlumur sambal di tangan kiri, Zahra kembali me­nem­bus keramaian. Menuju tempat di mana ia kira masih akan ia dapati Mas Ardi di sana. Kepalanya celingukan. Dadanya mulai berdebar. Agak dingin di lehernya sam­pai ke kuping-kuping. Mereka benar-benar tidak ada. Ke mana? Kok nggak bilang-bilang? Mungkin mereka juga sedang jajan, dan akan kembali sebentar lagi. Atau jangan-jangan mereka telah meninggalkannya.

Kembali kepala Zahra tengok kanan dan kiri. Dan mendapati secuil titik bi­ru muda cerah terselip di sela tubuh-tubuh beratasan seragam putih yang ber­se­li­wer­an. Sepasang kaki terbungkus Warrior hitam itu berganti haluan. Mengekor si ti­tik biru muda cerah menuju arah ke rumah—yang tidak sampai dua puluh menit ja­lan kaki jaraknya dari tempat ini. Bagian bawah rok abu-abu panjang itu kem­ba­li dikepung debu jalanan.

Benar, titik biru muda cerah itu adalah ranselnya Teh Tata. Hampir ber­dem­pet titik itu dengan titik hitam pudar di sebelahnya—ransel Mas Ardi. Mereka me­ninggalkannya, lagi.

Dua pasang Warrior itu tersenyum jumawa menyambut kedatangannya di mu­ka pintu masuk rumah. Pada mulanya mereka kompak berjejer dalam sederet ba­ris­an rapi, hingga Zahra mengacak mereka dengan sebelah kakinya. Sebelah se­pa­tu Teh Tata meluncur masuk ke bawah rak alas kaki. Gemuruh dalam dada Zah­ra. Huh, biar tahu rasa! Puas ia kini.

Pelan, Zahra mengucap salam seraya menembus hawa sejuk yang berputar da­lam rumah besar itu. Ia tidak berharap akan ada yang membalas salamnya. Mes­ki nyatanya ada.

“Waalakum salam!” Satu tangan Kakek memegang spatula, sedang satu­nya lagi meletakkan sepiring kangkung berasap di atas meja makan. Pintu yang Zah­ra masuki memang langsung menghadapkannya pada ruang makan—yang se­be­tulnya jarang difungsikan demikian. Kakek menjawab salamnya. Kakek pasti se­dang soleh. Kulit Kakek yang agak terang kontras dengan pakaian hitam-hitam yang sudah jadi dresscode sehari-harinya. Kecuali celemek putih berendanya itu. Da­lam pandangan Zahra, Kakek seperti kaos kaki berjalan.

“Kalau mau ambil aja, Zahra!” sahut Kakek.

Zahra balas menyahut, “ya”, namun pelan. Salam lesunya tadi saja masih bi­sa tertangkap telinga Kakek. Zahra yakin pendengaran Kakek masih baik.

Satu per satu kaki terbalut kaos kaki itu meniti anak tangga demi anak tang­ga. Terpaku sebentar di puncak. Zahra bertemu puncak kepala itu lagi. Sudah ja­di kebiasaan pemiliknya untuk menatap layar PC selama berjam-jam dalam se­ha­ri. Sejak pulang sekolah, dijeda solat dan keperluan buang air, disambi makan, sam­­pai akhirnya disingkirkan oleh Mas Imin: sang pe­me­gang otoritas tertinggi di ba­wah orangtua, si penguasa lalim nan keji. Zahra ber­gidik.

Mas Ardi hampir selalu menanggapi dengan acuh tak acuh, setiap kali Zah­ra ajak berkonfrontasi. Entah dengan mengangkat bahu, mendengus, ber­ko­men­tar pendek, atau apapun yang bikin hasrat marah-marah Zahra me­nyu­rut. Atau men­ciut, kalau Mas Ardi sudah sampai menghasilkan bunyi keras—entah dengan mem­banting atau memukul sesuatu—saking cowok introver itu merasa terusik. Ma­ka Zahra hanya bisa mencemberuti tampak belakang Mas Ardi.

Yang menangkap energi negatif yang dipancarkan Zahra malah Teh Tata. Ce­­wek itu seakan punya radar untuk menangkap segala sinyal yang diarahkan pa­da kekasihnya.

Zahra melengos. Kembali ia menuruni tangga. Sebetulnya kamarnya ter­le­tak di bawah, di depan sepetak taman kecil di belakang rumah. 

“Zahra, sori... Tadi kita lupa, kamu mau bareng...” sayup-sayup a­las­an Teh Tata melayang ke dalam rongga telinga Zahra. Zahra me­no­lak percaya. Bilang aja kalau emang nggak mau bareng mah! Untuk ber­anjak dari sisi Mas Ardi dan meminta maaf sungguh-sungguh di hadapan Zah­ra saja Teh Tata tak rela.

Sebetulnya tidak banyak yang berubah dari Mas Ardi. Sejak dulu cowok i­tu memang cuek, tidak pedulian—agak autis, orang-orang sering mengatakan. Ha­nya saja, sewaktu mereka masih tinggal di Sumedang, tidak ada itu cewek aneh ma­­cam Teh Tata. Entah apa dilihatnya pada diri Mas Ardi. Belum pernah a­da yang selengket itu pada abang cupunya. Tidak juga Zahra!—yang su­dah sejak TK ka­kak beradik itu hampir selalu pergi pulang sekolah dan belajar ber­sama.

Lepas menunaikan solat zuhur dan makan siang, kembali Zahra menuju lan­tai dua. Masih ruangan yang sama dengan tadi. Di mana Mas Ardi dan Teh Ta­ta masih kuat memelototi layar PC. Bukannya solat dulu, terus makan… batin Zah­ra tidak senang. Bagaimanapun juga, ruang yang dituju adalah pusat hiburan pa­ra anak di rumah itu. Selain tidak lebih luas karena berbagi lahan dengan pa­vi­li­un Kakek dan ruang-ruang pribadi mendiang Nenek yang terkunci, lantai bawah a­dalah wilayah teritorial bagi mereka yang tua-tua: Kakek; Mama; Papa—kalau la­gi pulang ke Bandung. Siapapun orang muda yang tahan berlama-lama di sana, a­kan merosot drastis puluhan tahun seleranya akan sesuatu.

Di pojok ruangan yang berseberangan dengan tangga, terdapat satu set PC yang dimonopoli oleh Mas Ardi. Entah apa yang Mas Ardi lakukan dengan kom­puter itu. Belum lagi koleksi manga scan, mp3 anime, dan apalah-itu-produksi-Je­pang­-nya yang bikin berat memori. Kalau Zahra dan Mayong yang butuh saja, Mas Ardi bisa mengucap, “Entar, entar, dikit lagi, nanggung…” Tapi begitu Mas I­min mau pakai, tanpa banyak kata dan tunda, dengan patuh Mas Ardi me­nying­kir. Mas Imin juga yang menyuruh Mas Ardi menyimpan koleksi ma­ni­aknya itu dalam CD sehingga komputer mereka bisa kembali (agak) ce­pat loading-nya.

Karpet lebar membentang di tengah ruangan itu. Di sana bermacam ak­ti­vi­tas sosial biasa berpusat. Di mana teman-teman Mas Imin berkumpul dan bikin ga­duh. Di mana Zahra mengerjakan tugas bersama teman-teman sekelompoknya. Di mana Zia—sepupu mereka yang juga satu sekolah dan sering main ke sana—me­nelungkup sambil mencorat-coret sesuatu atau merumpi dengan teman-te­man­nya yang juga teman-teman Mas Ardi. Dan lain-lainnya.

Dipisahkan oleh lemari tua panjang besar yang dijejali tumpukan majalah la­ma dan pajangan-pajangan berdebu, pojok satunya adalah sebuah TV 21 inch di a­tas buffet rendah. Selain sambungan antena, juga ada kabel-kabel yang membuat TV ter­sebut bisa menampilkan visi dari CD PS 2 hingga DVD. Ada karpet juga di si­tu, dikepung beberapa kursi empuk.

Ke sana Zahra menuju. Atmosfer memuakkan dari pojok seberang tang­ga menyambar ketentraman yang sudah cabik. Ia berusaha untuk meng­abaikan.

Dinyalakannya TV dan PS 2. Bukannya ia jago main PS 2. Satu-satunya CD PS 2 yang diakrabinya adalah The Sims 2. Yang The Sims 3, ia sudah men­do­rong­-dorong Mayong untuk membujuk orangtua mereka membelikan tapi tidak kun­jung saja mereka disisihkan uang.

Baru saja Zahra hendak mengarahkan orang-orangannya untuk bertamasya ke downtown, bau matahari campur keringat menyapa sepasang rongga hi­dung. Zahra mendongak. Bayang Mayong menimpa. Bocah SMP itu masih dalam se­rag­am putih-biru dongker. Ranselnya menyentuh lantai, disusul tubuh pe­milik­nya.

“Gantian…”

“…baru juga main…”

“Aaah… Mbak Zahra mah taunya cuman main The Sims aja.” Mata Zahra me­nyipit. Ia benci nada seperti i­tu, nada melecehkan yang ia sudah kenyang menge­nyam padahal lapar saja tak per­nah.

“Biarin!” Zahra makin kuat mencengkeram joystick.

“Iiih… Punya siapa juga…” Memang Mayong yang merengek-rengek min­ta dibelikan PS 2, sejak yang lama—hasil jerih payah rengekan Mas Imin ma­sa-masa masih bocah—rusak. Waktu itu Mas Imin sudah bersekolah di Bandung dan mulai terbiasa tinggal di rumah-tanpa-PS 2, sehingga Mayong harus mem­per­ju­angkan sendiri kembalinya masa-masa indah bermain PS 2. Zahra hanya me­ne­beng hasilnya. Mas Ardi lebih tertarik pada game komputer.

Mayong berusaha merebut benda itu dari tangan Zahra. Tidak berhasil, Ma­yong mengambil tindakan subversif. Meloncat ke depan si kotak hitam dan me­nekan tombol open.

“Aargh!” Zahra membanting joystick ke lantai. “Biar di-save dulu kek!”

Zahra tersentak malu kala menangkap pandang kaget Teh Tata yang te­ngah memasukkan kembali mukenanya ke dalam tas mungil. Cewek itu ber­diri di be­lakang punggung Mas Ardi yang juga menyempatkan diri menengok, se­kilas.

Terhuyung-huyung Zahra kembali ke kamarnya. Seolah hanya di ruangan i­tu saja ia layak berada. Tidak, Zahra tidak akan mengucurkan air matanya hanya ka­rena persoalan sepele seperti ini. Ia menyimpannya untuk tekanan lebih besar yang mungkin saja akan diperolehnya nanti malam.

Sampul emas Sang KBBI menyilaukan mata Zahra. Benda itu meng­ha­sil­kan suara berdebum keras ketika dihempas ke atas meja ruang TV oleh Mama. Zah­ra menyentuh benda tersebut dengan paduan choir imajiner mengawang-a­wang di udara. Mengelus sampulnya yang sudah dilapisi plastik. Membuka setiap lem­bar kertas yang terjahit di baliknya. Membaca sekilas beberapa kata. Hasrat mem­pelajari kamus tersebut menjalar dalam sanubarinya. Memendam damba a­kan nilai tertinggi setiap kali ulangan Bahasa Indonesia.

“Beli di mana, Ma?” ucap Zahra, meski sudah dapat mengira jawabannya.

Mama tersenyum akan pertanyaan konyol tersebut. “Ya di Palasari[1] atuh.” Ba­ru kalau di Palasari benar-benar tidak ada, pinjaman tak dapat, dan kebutuhan a­kan buku tersebut tidak lagi bisa ditunda, toko buku besar di mal terdekat a­tau Jalan Merdeka yang jadi tujuan. Masih berseragam safari, Mama menyiapkan makan malam di atas meja. “Ma­kan dulu Zahra…”

“Iya, Ma, bentar…” Zahra masih belum puas mengamat-amati kamus tebal yang selama ini hanya bisa dibacanya di perpustakaan sekolah itu (kini ia me­mi­lik­inya sendiri!)—yang edisinya saja sudah cetakan lama (sementara yang ini e­di­si terbaru!). Aroma kertas yang menguar ke udara ia sesap dalam-dalam.

Sementara kedua tangannya sibuk membuka plastik lauk yang dibelinya da­lam perjalanan pulang, Mama mendongak. “Mayong, Ardi, makan…!” Dan me­no­leh lagi pada Zahra, “Imin udah pulang belum, Zahra?”

“Kayaknya udah.” Zahra tidak begitu peduli akan kehadiran Mas Imin di ru­mah ini. Padahal ia sudah bersyukur dua tahun kemarin telah ia jalani tanpa ha­rus melihat muka jahat itu tiap hari. Kini mereka harus serumah lagi. Zah­ra tak ber­harap banyak akan terjadi perubahan ta­bi­at pada cecunguk itu.

“Imiin… Mama udah beliin nih bukunya!”

“Mama beliin buku buat Mas Imin?” tukas Zahra pelan dengan nada tidak se­nang. Ketidakadilan masih membumi rupanya. Kalau Zahra minta dibelikan no­vel saja, jarang dikabulkan. Tapi begitu Mas Imin mempromosikan satu set en­sik­lo­pedi, orangtua mereka akan mengusahakan. Ensiklopedi kan harganya ja­uh le­bih mahal dari novel! Meski pada akhirnya ensiklopedi tersebut Zah­ra baca juga.

Mama menuding KBBI di atas pangkuan Zahra. Membuat Zahra ingat bah­wa baru kemarin malam Mas Imin meminta Mama membelikannya.

“Kebanyakan orang tuh pada jebloknya di Bahasa Indonesia, Ma. Ironis kan, Ma, ngaku nasionalis ternyata nggak menguasai bahasa sendiri?” begitu Mas I­min menjampi-jampi Mama malam itu. Dilanjutkannya dengan nada me­ya­kin­kan, “Imin kan mau UN ma USM, Ma. Jangan sampailah jeblok gara-gara Bahasa In­donesia doang. Beli KBBI dong, Ma.”

“Yah… Udah kepegang Zahra duluan!” Mas Imin tahu-tahu muncul, se­akan tiap barang yang dipegang Zahra akan turun pamor dan kualitasnya. Ges­tur Zahra malah membenarkan hal tersebut. Bagai abdi dalem yang tertangkap ba­sah mengusap-ngusap mahkota raja dengan penuh damba, ia meletakkan KBBI tersebut di atas meja. Mas Imin mengambil benda itu sembari duduk di sam­ping Zahra, yang beringsut-ingsut menjauh dan mulai mengerjakan kembali PR-nya. “Makasih, Ma!” sahut Mas Imin—agak janggal dalam indra pen­dengaran Zahra.

Mas Imin membuka-buka buku itu sekilas. Lalu menaikturunkannya de­ngan sebelah tangan seakan benda itu adalah barbel. Ia mengintip pekerjaan Zah­ra. Zahra semakin beringsut menjauh. “Eh, tahu nggak, Zah,” intonasi Mas Imin mem­buat Zahra merasa seperti seorang anak kecil polos, “orang kalau tulisannya mi­ring ke kanan itu katanya orangnya supel, pandai bersosialisasi. Tapi kalau tu­lis­annya miring ke kiri, sebaliknya, asosial. Terus, kalau ekor huruf g-nya mem­ben­tuk sudut tajam, itu artinya orang tersebut lagi ada masalah sama ke­lu­ar­ga­.”

Zahra berhenti menggurat sudut tajam pada huruf g-nya. Pandangnya ber­a­lih dari tulisannya-miring-ke-kirinya ke wajah sok inosen Mas Imin. Pandangan be­ngis. Dan suara Mas Imin cukup keras (kapan Mas Imin bisa bersuara pelan ka­lau bukan untuk mengerjai orang?) untuk dapat didengar Mama. Padahal ia sama se­kali tidak suka kalau kekurangan dirinya mulai diungkit, bahkan di depan o­rang­tuanya sekalipun. Bagaimana pula kalau ternyata Mas Ardi dan Mayong da­pat mendengarnya dari lantai atas?

Mas Imin menyorongkan KBBI pada Zahra, sama sekali tak menggubris ke­­sengitan yang dipancarkan adik perempuan satu-satunya itu. “Nih, kalau mau pa­­kai dulu, pakai aja.”

Zahra memandang benda tersebut dengan enggan. Cecarnya kemudian de­ngan suara bergetar, “Mama mah gitu ih. Zahra minta dari dulu nggak dibeliin. Ta­pi kalau Mas Imin langsung dibeliin…”

Bukan sekali ini saja Mama begitu. Dan alasannya selalu saja karena be­lum ada uang. Tapi lain halnya jika Mas Imin yang minta. Tampaknya alasan ke­ti­a­daan uang hanyalah suatu kebohongan. Tinggal tunggu waktu saja sampai tahu-ta­hu sang putra mahkota dibelikan laptop pribadi. Maka Zahra akan jadi semakin i­ri. Pinta Mas Imin selalu dianggap lebih penting dari apapun. Hanya Mas Imin ju­ga yang nama panggilannya di rumah diambil dari nama belakangnya.

“Emang Zahra minta dibeliin apa?”

CD The Sims 3. Kerudung yang berwarna senada dengan blus yang dibeli di King’s bulan lalu. Ransel yang beresleting, bukan yang bertali. Sepatu selop un­tuk jalan-jalan. MP4 player baru, karena yang sebelumnya sudah rusak dan Ma­yong tak mau sering-sering meminjamkan miliknya. Behel warna-warni seperti yang melekat di geligi Mas Imin. Dan masih banyak lagi. Zahra jadi bingung sen­di­ri mau menyebut yang mana dulu.

“Pokoknya selalu aja kayak gitu. Kalau Zahra yang minta, selalu dibilang, ‘nan­ti, nanti, nanti’…”

“Mas Imin kan mau kuliah. Mama beliin KBBI buat Mas Imin belajar.”

“Iya, Zahra. Entar kan Zahra bisa pake juga…” suara sok lembut Mas Imin ma­lah makin memanaskan mata Zahra.

“Selalu aja Zahra pake bekas mulu…”

Kalaupun yang Zahra minta belikan adalah kumpulan soal latihan ulangan, Ma­ma pasti menyuruhnya memanfaatkan yang bekas Mas Imin atau Mas Ardi du­lu. Yang sudah penuh dengan berbagai macam coretan pula—mulai dari kotretan ru­mus sampai komik bodoh tak beralur. Tapi sewaktu Mas Imin menginginkan kum­pulan soal ujian masuk PTN yang merekam jejak 50 tahun sejarah pendidikan In­do­ne­sia, tak pakai dalih “besok aja kita cari di Palasari”, langsung Papa mem­be­li­kan­. Padahal mereka saat itu sedang berada di toko buku besar yang kenal dis­kon hanya pada waktu-waktu tertentu

Mama berdecak. “Udah ah, jangan cerewet! Nggak tahu orangtua lagi su­sah duit. Tadi udah ngepel rumah belum?!”

Zahra tersentak. Memang ia senang saat para saudara laki-lakinya disuruh mem­bersihkan semua kamar mandi di rumah itu setiap Minggu—pekerjaan yang pa­ling tidak ia harapkan—tapi hanya ia yang disuruh mengepel rumah setiap hari!

Dan Mama mengatainya cerewet. Betapa menyakitkannya dikatai, apalagi o­leh orangtua sendiri. Bukannya ia tidak mengerti kalau perusahaan Papa tengah di ambang pailit dan Mama hanya PNS. Zahra hanya menginginkan keadilan di ke­luarga itu, yang tak pernah ia rasakan.

Zahra melangkah cepat ke belakang dapur. Biar tidak hanya matanya sen­di­ri yang basah, tapi juga anggota tubuh lainnya. Mengklamufasekan tangis dalam ke­riuhan mencuci perabotan masak. Zahra menyesal mengapa hanya tersisa se­di­kit perabotan yang bisa ia cuci. Menyesali Kakek yang tengah dirasuki roh bu­di­man tadi siang, lebih tepatnya.

“Mau dibantuin nggak?” Suara Mas Imin dari ambang pintu. Lunglai, Zah­ra menerobos celah di bawah lengan Mas Imin yang menempel pada kusen. Ia tak sa­bar untuk menghambur pada bantal-bantal di kamarnya. Mereka yang telah je­nuh merekam jejak tangisnya.



[1] Tempat penjualan buku murah di Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain