Minggu, 11 Juli 2010

11

Kawanan Mas Imin berkerumun di depan pagar yang hanya terbuka setengah. Zahra sungkan hendak menggusah mereka. Ia mencari-cari celah agar dapat masuk ke dalam rumah dengan beberapa plastik belanjaan memberati tangannya. Kang Ajat yang pertama ngeh akan keberadaan Zahra, padahal Mas Imin yang duduk di atas kap si Bambang dalam posisi menghadap jalan. Atas pemberitahuan Kang Ajat, Kang Detol dan Kang Hilman meminggirkan motor mereka. Sebetulnya Zahra ingin mengucap “permisi” saat melewati mereka, tapi entah mengapa rasanya malu. Jadi ia lewat saja sambil terbungkuk-bungkuk.

“… Zahra ajakin aja…” suara Kang Ajat terdengar.

“Eh, Zahra, Zahra,” panggil Mas Imin, menahan Zahra yang baru hendak melangkahkan kaki ke balik pintu. “Ikut yuk.”

“Ke mana?”

Sekitar setengah jam kemudian, Zahra duduk bersanding dengan Mas Imin di jok depan. Tiga sekawan Mas Imin duduk anteng di jok tengah dan jok belakang. Si Bambang melaju dengan santai pada Sabtu menjelang siang itu. Sepanjang perjalanan Zahra menahan risih berada di tengah sekumpulan anak kelas XII yang pembicaraan mereka hanya berkisar di UN, USM ITB, SNMPTN, dan semacamnya.

Sekitar dua jam kemudian, Zahra duduk di kursi empuk dalam ruangan ber-AC di sebuah hotel berbintang. Matanya memelototi gambar bergerak di dinding yang disajikan oleh LCD proyektor sebagai satu-satunya sumber cahaya di situ. Tayangan video Paralympic—olimpiade difabel—memang memesona Zahra, tapi lebih merawankan hati lagi melihat Kang Hilman. Sesekali Zahra melirik beberapa kursi di sampingnya untuk mengawasi orang tersebut.

Sekitar sejam kemudian, Zahra duduk di kursi empuk di luar ruangan yang sudah mendinginkan badannya selama beberapa jam terakhir. Ia mengunyah beberapa tusuk daging ayam dengan empat kakak kelasnya duduk di sekitarnya. Mas Imin dan Kang Detol berebut bicara dengan mulut penuh makanan. Zahra jadi eneg menghabiskan kudapannya kala menyaksikan cuil demi cuil makanan tersembur dari mulut mereka. Berharap setengah mati mengapa bukan Kang Hilman saja yang jadi abangnya.

“Suka diputer terus yah, yang Paralympic itu,” komentar Kang Detol.

“Tapi saya mah nggak bosen da nonton itu teh,” sahut Mas Imin.

“Kalau nonton itu, perasaan rendah diri kita jadi nggak ada artinya. Kita punya fisik dan kecerdasan normal, tapi kita nggak pernah melihat itu sebagai kelebihan,” ucap Kang Hilman.

Yang ditambahi Kang Ajat, “Iya, justru mereka yang kita anggap kurang malah bisa berbuat sesuatu. Lah, kita yang normal?”

“Jadi keingatan juga sih, sama orang-orang yang lagi tergeletak lemah, gara-gara apa gitu misalnya, kanker, AIDS, kena malpraktek terus lumpuh seumur hidup…”

“Kenapa gitu, Tung, eh, Min? Eh, kamu teh Lutung apa Imin sih?” Kang Detol memagut nagasari untuk yang ke sekian kali.

“Luthfi Muhaimin,” jawab Mas Imin kalem, sebelum menjelaskan dengan tampang sok tahu, “Kita lagi sehat gini, mudah aja mencerca-merca hidup. Tapi mereka, nggak peduli di waktu mereka sehat dulu orangnya kayak gimana, mau bejat, mau baik, mau cupu, nggak gaul, slengean kayak si Detol ini—hidup lagi (Mas Imin berkelit dari jurus totok ular sanca seribu maut Kang Detol)—di kepala mereka udah nggak ada lagi kecemasan. Entah cemas gara-gara mikirin entar USM gimana, atau gara-gara mau praktek pidato besok, atau cemas gara-gara ditolak si Sabrina (lagi-lagi Mas Imin sukses berkelit dari jurus tapak macan Kang Detol—alias tempeleng)… Seandainya mereka punya kekuatan sedikit aja, mereka nggak akan ragu-ragu lagi—apalagi canggung—buat berbagi kesuksesan perjuangan mereka melawan kesakitan mereka. Ada hal-hal yang lebih patut dicemaskan di dunia ini. Dan mereka udah berhasil melewati itu.”

“Jadi saya harus kena kanker dulu?” tanya Kang Detol.

“Ya, nggak… Hah, emangnya kamu bisa hidup dengan kantong kering?”

Kang Detol bergidik.

Zahra tidak terpikir apapun untuk menanggapi perbincangan mereka, ditambah rasa sungkan karena mereka adalah para kakak kelas yang tidak ia kenal benar—termasuk yang kakak kandungnya sendiri. Tapi ia mengikuti setiap kata dan gerak mereka. Dan termenung karenanya. Beberapa kalimat tadi terasa sungguh mengena.

Sekitar satu jam kemudian, Zahra duduk di bangku kayu nan keras dalam sebuah warung tenda di pinggir Jalan Burangrang. Sebetulnya tadi mereka sudah sampai rumah. Rumah begitu sepinya. Hanya ada Kakek yang sedang bermesraan dengan gitar listrik tuanya—ditemani seorang penjaga dan beberapa orang penyewa di penyewaan studio musiknya. Kakek bilang Papa dan Mama sedang ke resepsi pernikahan. Mas Ardi dan Mayong mungkin masih main entah ke mana. Jadilah setelah tiga kawanan Mas Imin mengambil motornya masing-masing dan pamit, Mas Imin mengajak Zahra berpergian lagi untuk cari makan. Betapa cowok itu cepat sekali laparnya, padahal di hotel tadi mereka disuguhi makan siang.

Zahra menggeser segelas jeruk hangat ke hadapan Mas Imin. Mas Imin usai bertopang dagu. Ia mengaduk-aduk jeruk hangat tersebut. “Gimana tadi?” Ia menegur Zahra.

“Mmh? Apa?”

“Acara yang tadi…”

Zahra bingung menjawab. Ia menggeser gelas es jeruk tepat ke hadapannya.

“Tadi ditawarin ikutan MLM-nya terus nggak berani ikutan ya…?”

Mas Imin tertawa. Zahra menggumam tidak suka. Tidak suka diingatkan akan kekurangan dirinya. Batagor pesanan datang. Zahra menggeserkan sepiring ke hadapan Mas Imin.

“Heh?” Mas Imin menegur lagi.

Zahra terdiam sebentar, sebelum bicara, “Trus Mas Imin sendiri ikutan?”

“Ah, masa lalu…”

Empat cowok SMA yang mau lulus. Rajin mengikuti presentasi MLM. Zahra harus berkomentar apa? Yang jelas ia merasa tidak positif dengan itu.

“Cuman suka ikut training motivasinya aja kok,” kata Mas Imin lagi. Jari telunjuk tangan kanannya melipat satu per satu jemari tangan kirinya seraya menyebutkan nama bermacam MLM, baik Zahra familiar dengan itu maupun tidak. Ia tersengal. “Tapi pas terakhirnya ditanya, ‘jadi, tunggu apa lagi, kenapa tidak bergabung dengan kami mulai dari sekarang?’, kita ya sok-sok sibuk mempertimbangkan gitu deh… Terus kita ikut makan-makan terus pulang.”

“Kok suka ikutan yang kayak gitu sih?” tanya Zahra sok dingin sembari menuangkan kecap banyak-banyak pada batagornya.

“Ya lucu aja liat yang ngomong. Bersemangat banget gitu sih. Kadang malah ada yang suka lebay juga. Jadi ikutan semangat juga nggak sih, kalau liat orang yang semangat?”

Zahra tidak tahu. Zahra kira, malah orang lain yang terpengaruh oleh mood-nya. Mood buruk terutama. Dan ia selalu berlagak tak memedulikan itu meskipun dapat memperkirakannya.

“Kenapa? Lagi ngerasain sesuatu yang buruk?” Zahra tahu Mas Imin memandanginya. Sebetulnya ada saja yang bisa ia utarakan, kalau ia mau. Hanya saja ia merasa asing dengan itu. Jadi ia menggeleng. Rasanya aneh saja bisa dekat begini dengan Mas Imin. Apa benar, semakin dewasa seseorang maka ia akan semakin dapat bersikap hangat dan bersahabat? Itukah yang membuat sikap Mas Imin membaik padanya? Ah, memang Mas Imin sudah dewasa? Apakah Zahra juga dapat menjadi seperti itu suatu saat nanti? Yah, mungkin, Zahra mendesah. Tapi bukan sekarang. Semakin dipikir, semakin malas ia jadinya menanggapi Mas Imin.

“Jadi inget masa-masa SD…” gumam Mas Imin sambil melahap sepotong kentang berlumur bumbu kacang. “Kamu tahu nggak, anak SD itu pelaku bully terkejam lo.”

“Huh?” Zahra menunjukkan ekspresi sok tak mengerti.

Bullying… Itu loh, penyiksaan… Yang suka di TV-TV… Trauma yang dirasakan mereka yang kena bully sejak masih anak-anak itu bakal terus membekas sampai mereka dewasa dan mempengaruhi kehidupan mereka. Kasihan ya?” Mas Imin menatap Zahra sekilas, lalu melahap lagi batagornya dengan sikap cuek.

“Huh?”

“Huh? Huh? Huh?” Mas Imin mengulang-ngulang tanggapan Zahra dengan ekspresi komikal sehingga mau tak mau Zahra tertawa geli, namun tertahan. Mas Imin melanjutkan kembali, “Makanya, Zahra, mem-bully-lah sebelum di-bully.”

Zahra kaget. Kalimat itu terasa sulit ia cerna. Mas Imin menyilangkan sendok-garpu di atas piring kosongnya. Membandingkannya dengan piring milik Zahra. “Ayo dihabisin.”

Zahra menurut. Celotehan Mas Imin menemaninya menghabiskan potongan-potongan terakhir.

“Kamu tahu nggak, kenapa mobil Imin dikasih nama si Bambang?”

“Kenapa gitu?”

“Nama panjangnya sebetulnya Macan Terbang. Kalau disingkat jadi Mambang. Tapi karena Mambang seperti nama pupuh, makanya diganti jadi Bambang, supaya kedengaran pasaran.”

“Huh?”

“Ngomong-ngomong, itu Detol yang kasih nama. Kamu tahu nggak, kenapa temen Mas yang itu dipanggilnya kayak gitu?”

“Kenapa?”

“Soalnya nama aslinya Danang Pramudito.”

Zahra jadi serba salah. Mau ketawa, tidak lucu. Tidak ketawa, yang ke luar malah gumaman tak jelas, “heuheu…” Untung saja batagornya sudah ludes kini. Kiranya Mas Imin akan berhenti bersikap GJ. Tuh benar, dalam diam Mas Imin merogoh saku celananya. Mendadak matanya melotot. “Duh, duitnya mana?”

Jantung Zahra mencelos. Mas Imin memeriksa saku celananya yang satu lagi. Kantong-kantong jaketnya juga. “Kalau nggak ada, pinjem dulu ya, Zah!” Suara Mas Imin terdengar seperti yang menahan panik agar tidak menarik perhatian orang-orang di sekitar mereka.

Zahra sudah takut saja si penjual batagor sampai mendengar. Ia juga cemas memikirkan kemungkinan Mas Imin akan menjadikannya jaminan sementara cowok itu lari ke rumah untuk minta duit pada Kakek. Zahra jadi ingat sewaktu ia bersama Mas Ardi dan Teh Tata ke rental DVD. Saat itu juga Mas Ardi tidak bawa duit, malah ceweknya yang berinisiatif membayarkan. Coba Mas Imin tadi bawa temannya juga ke mari. Kang Detol kek, yang kelihatannya banyak duit. Asal jangan Kang Hilman saja, karena Zahra akan sangat malu jadinya. Zahra jadi kesal, mengapa para abangnya suka pada lupa membawa duit begini. Jangan-jangan mereka memang sengaja hendak memoroti adik perempuan mereka.

Sudah kecut muka Zahra, saat Mas Imin tiba-tiba terdiam. Tahu-tahu sudah ada selembar dua puluh ribuan saja di tangannya. Diambil dari saku belakang celana. “Ajaib! Ketemu!” ucapnya girang.

Zahra melengos, seolah tak tergugah. “Huh, garing,” ucapnya pelan, hampir tak terdengar. Ia menghela nafas dan memicingkan mata, untuk menutupi kenyataan bahwa sesungguhnya ia merasa terhibur. 

Jika dulu Zahra selalu menolak Mas Imin dalam kehidupannya, kini, makin hari Zahra makin merasa sebaliknya. Ia merasa sesungguhnya Mas Imin adalah kakak yang baik. Memang kadang-kadang masih ada sifat menyebalkannya, seperti menyuruh ini atau mencela itu, tapi di luar itu Mas Imin adalah sosok yang perhatian. Biasanya hanya Mama dan Papa yang intens menanyakan keadaannya, sementara para saudaranya acuh tak acuh saja. Tapi kini Mas Imin juga mulai suka tanya-tanya mengenai kegiatan Zahra di sekolah. Pada awalnya Zahra merasa itu bagai usikan. Mau tau aja ih, pikirnya. Namun lama-lama Zahra senang juga ditegur begitu. Ia menganggapnya sebagai tanda bahwa masih ada yang mau memerhatikannya. Ia hanya butuh diperhatikan!

Tapi tetap, untuk urusan pelajaran, Zahra lebih suka tanya-tanya pada Mas Ardi. Sebab Mas Imin kerap begitu songongnya jika Zahra hendak menanyakan cara mengerjakan suatu soal. Seolah sudah jadi template dalam otaknya, Mas Imin biasanya menanggapi pertanyaan Zahra dengan, “Hah, masak gitu aja nggak bisa?” Memang Mas Imin pintar, Zahra akui itu. Hanya Mas Imin dan Zahra yang pernah jadi juara kelas, sedang Mas Ardi dan Mayong tidak. Namun Zahra tidak suka dengan segala bentuk kesongongan, yang membuatnya sadar bahwa ia tidak punya apa-apa yang dapat dijadikan bahan untuk balas bersongong ria.

Pada mulanya adalah sebuah pengakuan, yang merintis keterbukaan kakak beradik itu.

“Dulu Imin suka sebel da, kalau udah hari Sabtu,” kata Mas Imin pada suatu waktu, selepas membicarakan UAS yang baru saja lewat beberapa hari silam. Dan Mas Imin mengajak Zahra mengobrol sembari mengutak-atik soal sebagai latihan untuk remedialnya esok hari.

“Huh?” respon Zahra, sok tak acuh. Mas Imin menerjemahkannya menjadi, “kenapa gitu?”

“Soalnya itu harinya Zahra beli baju.”

“Hah, kenapa?” Kali ini Mas Imin tidak harus menerka-nerka penerjemahannya lagi.

“Habis bajunya Zahra udah banyak, tapi dibeliin terus. Mana yang dipake jadinya cuman yang itu-itu aja lagi. Yang lain-lainnya didiemin aja di lemari. Tau-tau kekecilan, disumbangin aja.”

“I—ih!” Zahra memukul Mas Imin, yang tidak menghindar. “Mas Imin juga suka banyak dibeliin macem-macem.”

“Iya, tapi baju Imin kan gitu-gitu aja. Gantian ama Ardi. Terus entar pasti dipake Mayong juga.” Mas Imin mendengus. “Kalau Imin juga dikabulin buat beli baju tiap minggu mah Imin bakal fashion show terus.”

“Jadi Mas Imin pingin beli baju?”

“Nggak sih, biasa aja.”

“Ih, aneh,” ucap Zahra disertai senyum. Menyangka Mas Imin ternyata pernah memendam iri juga pada dirinya, meski diakhiri oleh penyangkalan. Cukup adil.

Lalu Mas Imin menciap lagi. “Udah ada temen deket di sekolah, Zahra?”

Zahra teringat Unan. Unan yang sudah sekali-dua kali ini jalan ke mal bersamanya, berdua maupun ramai-ramai. Unan yang tidak cantik benar, tapi enak dilihat. Unan yang entah kenapa mau dekat-dekat dengan Zahra dan bertukar sms-sms tidak penting dengannya. Unan yang ternyata suka menarik diri juga kalau bertemu orang-orang yang membuatnya tak nyaman. Unan yang takjub begitu mengetahui Zahra punya dua kakak dan satu sepupu di sekolah yang sama. Apalagi ketika Zahra menunjukkan pada Unan yang mana saja mereka.

“Ih, ngeri kali!” komentar polos Unan saat Zahra menunjuk Mas Imin di kejauhan. Zahra tidak tersinggung, malah geli, karena sependapat. Tapi ia ingin tahu juga apa alasannya. Unan mesti tak pernah jadi korban kesewenang-wenangan Mas Imin. Alasan Unan, “Dia kan yang pas demo ekskul mecahin lima batu kali sekaligus itu?”

Terhadap Mas Ardi, Zahra menunjuk salah seorang yang sedang mojok di salah satu lorong sekolah bersama kawanan suramnya, Unan memekik, “Aw, itu kan tipeku!” Zahra malah heran. “Dia nggak ganteng kok,” ia mengingatkan. Membuat senyum Unan meredup, “Iya sih. Nggak jadi ah.” Zahra menambahkan, “Trus pacarnya cemburuan banget.” Unan terbelalak, “Udah punya pacar? Ow, wow. Aku jadi punya harapan kalau aku juga bakal dapet pacar suatu hari nanti.”

Lalu pada Zia, Unan tersenyum aneh. “Oh, teteh yang GJ itu?” Zahra tak mengerti, “Kenapa GJ?” Sembunyi-sembunyi, Unan menunjuk sejumput rambut acak-acakan yang menyembul di antara kerumunan anak kelas XI di Kantin Klenger, “GJ rambutnya.”

Zahra mengangguk beberapa kali. Membuat Mas Imin bertanya lagi, seperti apakah gerangan anak yang begitu baik hatinya hingga sudi menjadi teman dekat adik cupunya itu. Yang ngatain Mas Imin ngeri, tertawa Zahra dalam hati.

Pertanyaan-pertanyaan Mas Imin membuat Zahra bercerita lebih banyak dari yang diinginkannya. Zahra kira ia hanya akan dapat bercerita seperti ini kepada sesama perempuan. Kepada Zia, misalnya, yang pernah Zahra harapkan dapat menjadi saudara perempuan tempat ia mencurahkan segala isi hati dan permasalahan yang sangat cewek—karena para saudara laki-lakinya tidak ada yang bisa diharapkan. Nyatanya sampai sekarang ia belum bisa dekat dengan sepupunya itu, meskipun Zia sering tidur di kamarnya. Tapi tiada mengapalah, sebab ia bercerita dengan lancar pula pada Mas Imin. Kendati yang dibicarakan baru sebatas hal-hal dangkal mengenai apa yang disukai dan tidak disukai Zahra di sekolah.

Zahra sadar, apapun yang ia bicarakan, ia hanya butuh untuk didengarkan. Kemampuan mendengarkan Mas Imin ternyata sebaik kemampuannya mencemooh.

Lalu pada penghujung tahun, di ruang tengah lantai dua, Zahra menemukan Mas Imin tengah mencorat-coret sesuatu di atas selembar karton. Zahra berdiri mengawasi dari jarak yang tak terlampau dekat. Mas Imin menengok untuk melihat siapa yang datang. “Eh, Zahra, gambar yang dulu Mas bikinin masih ada nggak?” tegur Mas Imin sambil melanjutkan kembali pekerjaannya.

“Eung, masih,” jawab Zahra, berharap itu dapat menghentikan Mas Imin dari pengerjaan gambar Keluarga Dedemit part deux. Namun rupanya bukan itu yang sedang Mas Imin kerjakan, melainkan,

“Kamu nggak bikin resolusi tahun baru, Zah?”

Mas Imin adalah orang kedua setelah Unan yang menanyakan hal itu padanya. Unan bahkan mengajak Zahra untuk membuat resolusi tahun baru bersama. Namun Zahra masih bingung apa yang hendak ia isikan. Begitu pula yang dikatakannya pada Mas Imin.

“Ikutan MLM,” gurau Mas Imin yang langsung disambut gelengan kepala. “Betewe, pidato yang sama Pak Catur tea jadinya gimana? Udah kan?”

Ya udahlah… Udah lewat bagi rapot juga, heu… cibir Zahra dalam hati. Secara lisan, ia menjawab, “Udah.”

“Sukses nggak?”

“Ya, gitu deh.” Sebetulnya ia lebih sukses main drama—yang tak diduga-duga, ketimbang pidato. Tapi ia tak mau bilang-bilang pada Mas Imin, atau Mas Imin akan jadi orang ke sekian yang menyarankannya untuk melamar jadi pemain sinetron ke sebuah rumah produksi. Mereka nyadar nggak sih aku ini nggak cukup rupawan?

“Kok kayaknya nggak ya?”

“Hee…”

“Mas Imin kasih usul satu nih, buat dimasukkin ke resolusi: perbanyak latihan public speaking!”

“Heung…”

“Tambahan usul lagi nih: perbanyak berbuat baik untuk kakak tercinta!”

“Hah?”

“Luthfi Muhaimin.”

“Iiiih…”

“Usul lagi satu: perbanyak teman deket. Banyak temen deket banyak keuntungannya loh, Zah, semakin banyak yang bisa dimintai tolong, buat minjem ini itu, disuruh ke sana ke sini.”

Huh, ternyata Mas Imin suka nyuruh-nyuruh juga ke temen-temennya… “Mas Imin sendiri resolusinya apa?” balas Zahra. Dagunya menuding ke arah serangkaian huruf R, E, S, O, L, U, S, dan I yang dibuat seindah mungkin, bagai kaligrafi, di bagian atas karton. Namun bagian bawahnya kosong melompong. Mas Imin memberinya cengiran.

“Satu, lulus UN,” tulis Mas Imin dengan huruf-huruf yang tidak lagi dibuat sok indah. “Dua, masuk kuliah. Tiga… Ah, nggak usah banyak-banyak dulu, yang penting dua ini kecapai dululah. Entar aja kalau kepikiran lagi deh!” Mas Imin menggulung kartonnya.

“Emang Mas Imin mau kuliah di mana gitu?”

“Di mana ya?”

“Kata Papa, Mas Imin mau ke ITB.”

“Aaang… Nggak tau juga…”

Zahra mengiringi kepergian Mas Imin yang turun ke lantai bawah. Mungkin hendak nimbrung para anggota keluarga lain yang sedang menyaksikan sinema pergantian tahun. Sekalian, matanya menyapu sosok Mas Ardi di sudut ruangan. Padahal besok sudah pergantian tahun lagi. Jadi sudah berapa tahun cowok itu tidak beranjak dari depan komputer?

“Mas Ardi,” panggil Zahra. “Bikin resolusi juga nggak?”

Mas Ardi menggaruk-garuk dagunya yang ditumbuhi beberapa helai rambut. Ia menoleh pada Zahra dengan telunjuk mengarah pada layar komputer. “Ini, lagi kubikin.”

Jadilah, ikut-ikutan Mas Imin, setelah berpikir panjang semalaman itu, saat sekian juta petasan dinyalakan di seluruh penjuru dunia, Zahra sudah punya dua poin resolusi untuk diwujudkan. Inti dari dua poin resolusi itu adalah pemberdayaan diri. Mungkin Mas Imin bisa bantu mengembangkan aktivitas-aktivitas konkrit apa saja yang mungkin ia lakukan untuk mewujudkan dua poin resolusinya itu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain