Senin, 05 Juli 2010

5

Masih terhunjam dada Zahra oleh angka itu. Enam-dua, da­lam lingkaran.  Ra­sanya bagai dihempas ke luar Iglo oleh sekawanan Es­kimo saat kesasar di Ku­tub Utara. Padahal ia sudah mempersiapkan ulangan itu dari jauh hari. Begini saja ha­silnya? Zahra tak terima. Apalagi ketika tahu bahwa masih ada orang yang bernasib lebih baik darinya. Mendapat angka enam-delapan dalam lingkaran.

Zahra tahu, hanya ia dan orang itu di kelas yang mendapatkan nilai di atas enam puluh untuk ulangan Fisika kali ini.

Zahra juga tahu untuk tak lantas tercelup dalam derita kala melihat orang la­in senang. Terimalah itu dengan hati lapang. Larutlah bersamanya, niscaya rasa se­nang akan meliputimu juga. Zahra berusaha membuktikan itu dengan coba me­lon­tar senyum pada oknum penjatuh nilai. Tapi sepertinya yang keluar malah se­buah senyum kecut. Seperti tercekat ekspresi orang itu kala bertemu muka Zahra. Ti­dak cukup hanya dengan senyum, Zahra melengkapi usaha pembuktian itu de­ngan ucapan yang Zahra berusaha mati-matian agar tak terdengar sinis.

Memang bukan kali ini saja ada yang mendapatkan nilai ulangan lebih be­sar darinya. Maka Zahra tambah sedih. Mengapa pelajaran di SMA susah sekali? Le­bih mudah mendapat nilai tertinggi di kelas saat SMP dan SD dulu.

Sebagaimana siang-siang sebelumnya, pulanglah ia ke rumah dengan lunglai. Hari ini kembali ia pamerkan kemampuan sosialnya yang buruk itu pada te­­man sekelas. Sungguh ia malu. Kapankah perubahan akan terjadi? Ia tak tahu.

Pantas saja begitu dalam kecewa Zahra. Ia merasa yang bisa ia lakukan ha­nya rajin belajar—orang lain pun bisa melakukan asal ada ke­ma­u­an. Kemahiran me­lakukan beberapa pekerjaan rumah tangga juga tidak membuatnya lebih per­caya diri. Itu bukan suatu kemampuan yang dapat dibanggakan. Itu adalah ke­te­ram­pilan dasar yang harus dimiliki semua perempuan.

Hasil psikotes yang dibagikan tempo hari juga tidak memuaskannya. Se­ca­rik kertas itu sama sekali tidak menginformasikannya potensi-potensi unik yang ba­rangkali ia miliki. Seni, kek, apa, kek. Ia juga ternyata tidak secerdas yang ia sang­ka. IQ-nya biasa-biasa saja. Saran untuk memperluas pergaulan dan ber­ke­cim­pung dalam organisasi malah terasa mengintimidasinya. Seolah makin me­ne­kan­kan bahwa yang ia miliki hanyalah kelemahan dan kelemahan.

Saat melintas garasi, Zahra berusaha tidak melirik pada Mas Imin dan te­mannya yang tengah melakukan sesuatu pada si Bambang—bukan orang, me­la­in­kan kijang biru langit hadiah Kakek untuk ulang tahun Mas Imin ketujuh-belas.

“Hibur adik saya dong, Det,” suara Mas Imin.

Yang ditanggap oleh Kang Detol, “Ayo sini Zah, Akang dongengin.” 

Gejolak kesenewenan dalam dada mendorong Zahra untuk menampik a­jak­­an bernada sok serius itu. “Nggak mau,” ucapnya pelan tapi ketus pada teman Mas Imin yang paling sering main ke rumah itu. Anak SMANSON juga.

Dan Zahra tidak mau tahu lagi apa yang terjadi di garasi sesudah ia pergi.

Sesampainya di kamar, terbenam ia dalam kasur. Ia terdiam sampai mera­sa baikan untuk kembali keluar kamar dan menunaikan rutin siang. Setelah itu ia be­rencana latihan pidato lagi. Siang ini ia kembali luput dari eksekusi. Di­se­la­mat­kan oleh anak Pak Catur yang sedang sakit.

Selain Mas Imin dan Kang Detol di garasi, serta Zahra yang wira-wiri ka­mar mandi-kamar-ruang makan-kamar, tak ada penghuni lain di rumah itu. Mama ba­­ru pulang petang, sedang Papa akhir pekan. Kakek, kalau sedang tidak ada ma­unya, tidak singgah ke bangunan utama. Mayong pasti sedang keluyuran sepulang se­kolah seperti biasa. Mas Ardi masih rapat di sekolah.

Zahra baru tahu Mas Ardi salah seorang kepala divisi di ekskul Je­je­pang­an. Usai mendendangkan bel pulang sekolah, terdengar panggilan dari speaker ke­las bagi para aktivis ekskul untuk berkumpul atau apa. Salah satunya adalah eks­kul Jejepangan akan mengadakan rapat divisi. Disebutlah nama Mas Ardi. Sudah bu­kan korban bully lagi cowok itu kini, melainkan kepala divisi!

Dengan demikian, karena rumah sepi, Zahra merasa begitu aman untuk ber­latih. Jarak antara kamarnya dengan garasi cukup jauh. Mas Imin dan Kang De­tol tidak akan sampai mendengar suaranya, asal ia pun tidak melafalkan isi nas­kah pidatonya itu sambil teriak-teriak.

Seandainya saja naskah pidatonya ini boleh dibaca saat tampil di depan, ten­tu Zahra akan melakukannya. Tapi karena Pak Catur menghendaki pidato tanpa teks, mau tak mau Zahra harus berlatih.

Pak Catur mengalokasikan setengah jam terakhir pelajarannya untuk prak-tik pidato siswa, sehingga tiap minggu hanya beberapa siswa yang ditunjuk maju. Hingga minggu kesekian, tidak kunjung juga Zahra dapat giliran. Padahal Zah­ra su­dah berkeringat dingin sepanjang pelajaran. Setelah pelajaran berakhir, ia lega. Na­mun kelegaan itu hanya sesaat. Jauh di dalam jiwanya adalah ke­ce­mas­an yang bertumpuk dari minggu ke minggu. Ia tak pernah merasa ada kemajuan da­ri latihannya yang memang jarang itu.

Zahra menatap bayangnya di cermin. Bahkan terhadap bayangnya sendiri sa­ja kepercayaan dirinya surut. Zahra mengingatkan diri untuk tidak sering-se­ring mengintip ke cermin.

“…seandainya kita mau membacanya, maka karya sastra dapat mem­bu­ka­kan mata kita untuk mengetahui realitas sosial, politik, budaya…”

Zahra mendadak lupa apalagi yang mau ia katakan ketika lagi-lagi pan­dang­nya menyapu cermin. Mungkin seharusnya ia tidak usah menghadap cermin.

“Sastra dapat memperhalus jiwa… memberikan motivasi bagi ma­sya­ra­kat… uh, untuk berpikir dan berbuat… demi pengembangan diri—pengembangan di­rinya dan masyarakat… melestarikan nilai-nilai peradaban bangsa…”

Zahra merasa tak ada semangat dalam dirinya kala menguar kata-kata ter­se­but. Ia bayangkan Pak Catur akan menyelanya sejenak. Memberi koreksi bahwa ia harus lebih “bernyawa”. Zahra akan mengeluh dalam hati sambil menunduk-nun­duk. Lalu ia akan mulai lagi membaca teksnya dari awal. Tanpa melirik nas­kah. Zahra memindahkan kertas lecek dari tangannya ke atas meja. Tapi lalu ia am­bil lagi. Lagi-lagi lupa ia apa saja yang mau dikatakan. Padahal ia sudah mem­ba­ca ulang teks tersebut lebih banyak dari jumlah lapisan yang ada di wafer. Dan ki­ni yang ia hadapi hanya lemari.

“Zahra…”

Zahra berjengit karena suara itu dan ketokan di pintu. Mas Imin merusak su­asana latihan saja!

“Ikut nganterin Detol yuk?”

Apa peduliku dengan si sabun antiseptik itu? pikir Zahra jengah.

“Abis itu temenin Mas Imin ke toko buku. Mau nggak?”

Jawaban “nggak mau” hampir meloncat dari mulut Zahra. Tapi ia berpikir u­lang. Pergi ke toko buku mungkin bisa menyulut gairah dalam jiwanya. Dengan de­mikian ia bisa memberi “nyawa” bagi pidatonya yang bertemakan minat baca ma­syarakat Indonesia itu. Tentu saja ia harus bawa dompet sendiri. Siapa tahu ia nan­ti tergiur untuk membeli sesuatu. Sisa uang jajannya beberapa minggu ini ki­ra­nya cukup untuk dibelikan sebuah buku.

“Ya bentar. Ganti baju dulu,” sahut Zahra akhirnya.

Kang Detol ternyata hanya minta diantar balik ke SMANSON. Sepanjang per­­jalanan yang pendek itu, rongga tubuh si Bambang ramai oleh ragam banyolan, Mas Imin pada Kang Detol dan Kang Detol pada Mas Imin, yang tak ada lucu-lu­cu­nya. Entah kenapa itu tetap menggelitik Zahra—sekuat mungkin ia mena­han un­tuk tidak ikut tertawa. Alih-alih isi banyolan, yang bikin Zahra geli se­sung­guh­nya lagak dua orang itu. Turunnya Kang Detol menyapu gelak tawa dan meng­gan­ti­kannya dengan hening.

“Mau ke Gramed apa Palasari, Zah?” Mas Imin mengintip Zahra yang du­duk di jok tengah dari kaca spion.

“Terserah.”

“Palasari aja yah. Imin lagi pingin hemat.”

Huh, lagaknya, kayak entar mau ngebeliin aja… Zahra mendengus.

Tidak butuh lama untuk mencapai Palasari dari SMANSON. Dua tempat ter­sebut berada dalam satu wilayah. Zahra mengekor saja ke mana Mas Imin me­lang­kah. Sesekali pandangnya ia alihkan ke kanan kiri. Ia coba meresapi ruh dari pa­­ra buku yang memenuhi rak setiap lapak. “Ayo… Sini… Belilah aku…” Buku-bu­­ku itu seakan punya daya menggoda. Zahra pura-pura tak melihat setiap para pen­jaga lapak menanyainya, buku apa yang ia perlukan.

Mas Imin rupanya tidak hendak menuju lapak tertentu di bagian tengah sen­­tra penjualan buku diskon tersebut. Ia masuk ke gang belakang. Di sa­na ber­de­ret tidak saja toko buku, tapi juga warung makan dan lainnya. Masuklah mereka ke sebuah toko yang terlihat paling ramai. Padat nian toko tersebut oleh rak-rak pan­jang dan buku-buku yang berjejalan di dalamnya. Zahra bingung harus ke ma­na dulu. Mas Imin tahu-tahu sudah lenyap saja. Semoga Mas Imin tidak lupa ka­lau ia ke sini tidak sendiri, tapi membawa adiknya yang paling teraniaya, harap Zah­ra sambil memasuki salah satu jalan yang terapit dua rak. Sesekali ia harus ber­henti untuk memberi jalan bagi orang yang menuju arah sebaliknya. Setelah pu­­tar-putar tak tentu arah, dan terpukau oleh ragam judul yang ada, sampailah Zah­ra di ranah fiksi. Yang membuatnya ingin berteriak, “Yippi!”

Segera ia tenggelam dalam keasikan membaca sinopsis belakang sampul. Ia pilah mana yang lebih menarik hati hingga mendorongnya untuk membeli. An­dai saja orangtuanya tidak sepelit itu dalam mengeluarkan uang untuk membeli bu­ku. Mereka tidak tahu pentingnya buku sebagai hiburan, bukan semata untuk pe­lajaran. Zahra jadi ingin membacakan pidatonya itu di depan orangtuanya.

“Hei, hei, Zahra.”

“Huh?”

Sebuah buku tergantung vertikal beberapa senti dari mata Zahra. Warna me­­rah mendominasi sampulnya. Lalu biru. Rangkaian huruf yang font-nya paling be­sar terbaca, Seni Berbicara dan Berkomunikasi.

“Mau nggak?”

“Ya kalau Mas Imin mau beli mah ya beli aja,” acuh tak acuh Zahra me­nang­gapi. Ia ingin lekas kembali pada keasyikkannya semula.

“Kalau emang mau, entar Mas Imin beliin buat Zahra.”

Zahra terpekur. Tak sengaja, tersapu juga oleh ma­­tanya beberapa buku pa­da satu lagi lengan Mas Imin. Ngeh akan arah mata Zah­ra, Mas Imin mem­per­li­hat­kan judul-judul lain dalam dekapannya itu. Zahra me­nangkap sekilas kata se­ma­cam “bicara”, “pidato”, dan “komunikasi” pada ju­dul-judul itu.

Jangan-jangan selama ini Mas Imin tahu kala Zahra latihan pidato di ka­mar? Jangan-jangan sekarang Mas Imin sedang meledeknya?

“Yang dibaca tuh buku-buku yang kek gini, biar kalo ngomong nggak pa­yah kek gitu!” Zahra serasa mendengar ucapan Mas Imin menyambar telinganya. Pa­dahal senyatanya mulut Mas Imin menyimpul senyum saja. Lalu para pe­ngun­jung toko buku ini, termasuk para karyawan di balik meja dan yang berseliweran di gang-gang, tahu kalau kemampuan verbal Zahra amat sangat payah. Dan Zahra ter­hujani oleh tatap dan bisik prihatin, kalau bukan cibiran.

“Zah? Heh, mau nggak? Mas Imin yang beliin, sok.”

Zahra menatap Mas Imin tajam. Ia mendadak asing dengan sosok itu. Se­la­ma ini yang mendominasi otaknya adalah kenangan-kenangan buruk bersama Mas Imin. Zahra yang dikira hendak merampas mainan Mas Imin, padahal ingin mem­be­reskan. Zahra yang pernah dicubit Mas Imin yang gemas karena Zahra tidak bi­sa henti menangis. Zahra yang sebetulnya ingin tidur, tapi Mas Imin terus me­ne­rus mengganggunya. Zahra yang tidak pernah berbuat apa-apa pada teman-teman Mas Imin, tapi mereka tiru-tiru Mas Imin mengoloknya. Dan lain sebagainya yang ja­di menyakitkan kalau Zahra sengaja mengingat.

“Zah? Zahra? Mumpung lagi baik nih!”

Zahra terusik. Zahra tidak mau. Zahra mendadak hanya ingin pulang.

Sesampainya di rumah, ia langsung mendekam di kamar. Ia baru keluar sa­at perasaan buruknya mereda, kalau bukan karena terpaksa.

Saat ia kembali, ia dapati buku-buku itu di meja belajarnya. Su­dah ber­sam­pul plastik semua—bagian dari pelayanan toko. Ia rengkuh tum­puk­an bu­ku itu. Ia ta­ruh di kamar Mas Imin. Ia tidak butuh buku-buku itu. Zahra tidak mau lihat me­re­ka lagi. Mereka semua mem­bu­at­nya merasa tambah hina.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain