Kamis, 15 Juli 2010

15

Hari-hari Zahra kini bagai tak lepas dari iringan tembang “Misty” milik Ella Fitzgerald yang melantun ke luar dari gramofon Nenek. Dari mula ketakberdayaan Zahra bagai seekor anak kucing di atas pohon yang selalu digantungi mendung, hingga persuaannya kembali dengan sesosok lama yang telah menjadi lain. Tempat kini ia bisa menggantungkan tangan dan petunjuk ke mana melangkah. Mereka bahkan sudah masak nasi goreng bersama, sambil mengkaji sebab-sebab yang melatarbelakangi cara mendidik Papa-Mama sehingga lahir individu-individu seperti mereka.

Zia memang tak pernah cerita apa-apa lagi tentang Mas Imin pada Zahra. Namun melihat Zia membuat Zahra ingat pada Mas Imin. Dan mengingat Mas Imin membuat Zahra tahu. Ada seseorang yang pasti mau membantunya memberdayakan diri. 

Terkuak satu kebenaran dalam cerita Zia. Memang jeli kemampuan Mas Imin dalam membaca orang lain. Tidak pernah ada kesepakatan di antara mereka bahwa salah seorang menjadi pemberdaya dan yang lain menjadi yang diberdayakan. Zahra tak perlu membuat yang seperti itu. Mas Imin sepertinya sudah tahu sejak lama apa saja yang harus diberikan pada Zahra. Di sela kebiasaan-kebiasaan buruk lamanya yang tak lekang, Mas Imin menyelipkan saran dan dukungan.

Ketika datang kesempatan lagi untuk mereka berbagi, Mas Imin menanyakan kunjungan ke rumah Zia yang lampau. Zahra tersenyum sambil mengangguk-angguk. Lalu ia mulai bercerita mengenai kemajuan-kemajuan yang dialaminya. Tak perlu pakai banyak paragraf seperti cara Zia bercerita. Zahra cukup melaporkannya dalam beberapa kalimat saja, “Kemarin juga Zahra main ke rumah temen, dua kali. Trus pulangnya diajakin ngobrol sama supir angkot.”

“He, supir angkotnya curhat apa aja?”

“Ya, gitulah… Banyak…”

 “Zahra sendiri berani nggak, ngajak ngobrol orang nggak dikenal?”

“Ih, ngapain?”

“Ya nggak apa-apa. Kadang ada aja orang yang butuh perhatian, walaupun cuman sedikit, dan asalnya dari orang nggak dikenal sekalipun.”

“Masak sih?” Zahra ingat perasaan senangnya saat disenyumi atau disapa orang lain. Itu pun dari mereka yang dikenalnya di sekolah, meskipun tak terlalu dekat. Pernah ia ditegur orang tak dikenal, seperti pengalaman di angkot kemarin itu, dan itu malah membuatnya canggung. Ia juga tidak suka orang yang SKSD tapi oportunis macam Dean, dan lemparan basa-basi tak penting yang dilontarkan orang-orang sok ramah lainnya. Mungkinkah suatu saat ia malah bakal membutuhkan yang semacam itu?

“Orang-orang kesepian macam itu, dapat sms yang isinya sekadar ‘halo?’ atau ‘SEMANGAT!’ aja bisa seneng banget loh,” kata Mas Imin lagi dengan nada meyakinkan. “Tapi mungkin tergantung dari siapa juga sih smsnya, he. Yah, banyak faktor... Bahkan cuman ngedengerin orang ngomong aja, itu juga termasuk salah satu bentuk perhatian.”

Zahra terpana. Tuh kan, persis sekali dengan apa yang ia pikirkan di angkot kemarin. Zahra hendak menguji kebenaran lainnya. “Ng… Mas Imin tuh suka ngamatin orang ya?”

“Emangnya Zahra nggak pernah ngamatin orang juga?”

“Ya pernah sih… Tapi kan, nggak sampe ngedeketin orang itu, trus ya… ngasih motivasi atau dorongan untuk berbuat sesuatu, gitu? Sesuai dengan potensinya?” Hati-hati Zahra bicara, khawatir Mas Imin tidak mengerti maksudnya.

“Ya kalo mau ngasih yang gituan ya tinggal kasih aja. Apa susahnya?”

“Tapi kan nggak semua orang kayak gitu.”

“Ya itu tergantung seberapa besar perhatiannya aja.”

“Terus kenapa Mas Imin perhatian? Sampai mau berbuat kayak gitu?”

“Karena Allah nggak bakal ngubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu mengubah nasibnya sendiri. Makanya itu kita harus kasih tau dia buat ngubah nasibnya. Kalau nggak kayak gitu, gimana kehidupannya mau jadi lebih baik?” Mas Imin terdiam sejenak, lalu mengubah posisi duduknya menjadi lebih condong. “Darimana kamu tau kalo Imin suka ngamatin orang dan seterusnya? Trus kenapa tadi sempet ngarahnya ke soal potensi?”

Cengiran menghiasi muka Zahra. Menerka-nerka apakah ia telah berbuat salah. Memang ia tidak pernah melihat Mas Imin mengamati orang secara langsung. Tidak pernah pula mereka bicara soal potensi orang lain dan semacamnya, selain tentang diri Zahra sendiri. Sekarang ganti ia yang diamati Mas Imin. Zahra jadi salah tingkah. “Ng… Denger-denger ceritanya orang aja sih… Dean… Mbak Zia…” Suara Zahra memelan.

Tak disangka, Mas Imin malah mengangguk-angguk sambil tersenyum simpul. “Oh iya. Imin emang suka sih ngobrol-ngobrol ama mereka sih.”

Zahra lega. Mas Imin melanjutkan lagi, “Sebetulnya bukan masalah potensi aja sih. Kalau kita suka ngamatin perilaku orang lain, trus ngerasa ada yang salah dengan dia, lantas kita nggak suka, kadang kita malah milih buat ngejauhin mereka. Atau ngediemin aja. Ya nggak?”

“Ng… Ya?” Zahra malas mengingat-ingat Dean lagi, seakan tak ada contoh buruk lainnya saja. Ah, tentu saja ada! Zahra baru ingat kalau tahun kemarin ia masih melakukan hal demikian pada Mas Imin.

“Tapi kalau Imin sendiri sih kasihan kalau cuman ngebiarin aja. Apalagi kalau sikapnya ampe ngerugiin orang lain juga, nggak cuman ke dirinya aja. Kalau orangnya bisa dikasih tau, ya kasih tau. Kalau nggak, ya entah gimana caranya, diusahakan supaya dia nyadar sendiri. Dengan begitu, manfaatnya kan nggak cuman buat dia aja, tapi buat diri kita juga. Bukannya sebaik-baik manusia adalah mereka yang ngasih manfaat buat orang lain? Kita kan diciptakan buat jadi rahmat bagi semesta alam?” Mas Imin menutup penjelasannya, masih dengan mengangguk-angguk sambil tersenyum simpul.

Zahra terkesima. Mas Imin mestilah tidak termasuk golongan orang-orang yang tidur saat khotbah Jumat.

“Dan kalau soal potensi, Zahra…” Zahra terperangah saat kemudian Mas Imin melanjutkan dengan kalimat, “Sebenernya kita semua punya potensi buat ngelakuin apa pun”. Terkuak lagi satu kebenaran dari cerita Zia. Zahra sudah tahu apa isi penjelasan selanjutnya, hingga Mas Imin mengakhir penjelasannya itu dengan, “Maka, nikmat Allah manakah yang kamu dustakan, Zahra? Kalau kamu masih bilang diri kamu nggak punya potensi apa-apa, bukannya itu sama aja kayak mengingkari nikmat-Nya? Jangan dikira kamu suka jutek itu bukan potensi loh, Zahra. Justru yang dipakai jadi pemakai sinetron itu yang bisa jutek kayak kamu itu…”

Ukh. Lagi-lagi soal jadi pemain sinetron! Zarah mesem-mesem. Seandainya saja ada lebih banyak orang seperti Mas Imin, tentu akan ada lebih banyak pula orang bermasalah seperti Zahra yang terbantu. Zahra mengangkat kedua lengan dan melipatnya di belakang kepala. Menerawang ke langit-langit. “Coba ada ya, Mas, sekelompok orang di sekolah kita yang sadar buat kayak gitu.”

“Kayak gimana?”

“Sadar buat ngebantu orang lain, meskipun itu bukan temen deketnya. Apa seseorang harus punya temen deket dulu, baru dia bisa dapet pertolongan, dukungan, dan semacamnya?”

“Ya, makanya itu fungsinya berteman, Zahra.”

“Tapi kadang ada aja orang yang nggak tau caranya berteman. Seharusnya ada yang ngasih tau mereka gimana caranya.”

Mas Imin tersenyum saja mendengar ocehan Zahra itu.

“Eh, kalo gitu Mas Imin cocoknya jadi psikolog dong?”

“Haha… Nggak tau juga… Emang menurut Zahra gitu?”

Zahra menurunkan lagi lengannya. “Ya… Cocok aja… Kan entar Mas Imin bisa nolong orang-orang yang kesulitan dengan dirinya sendiri. Entah itu karena dia belum nemuin potensinya, atau gara-gara kelakuannya, atau kenapa…”

Seperti terdengar Zia berbisik di telinganya, “Kalau Mas Imin masuk ITB, dia nggak ada ubahnya sama ribuan anak SMA favorit lainnya yang berlomba-lomba masuk sana, dengan tujuan pragmatis, untuk prestise dan kehidupan yang lebih baik untuk diri mereka sendiri. Tapi kalau dia tetap bertahan sama potensinya, bakal ada lebih banyak hal berguna yang bisa dia kasih buat lebih banyak orang.

“Kasih tau tuh sama dia!”

Zahra membayangkan, Mas Imin yang sudah jadi psikolog handal akan mampu membantu Zahra memperbaiki kualitas kehidupan sosialnya, menghilangkan sikap intimidatif Mama, menurunkan kecenderungan autis pada Mas Ardi, mengurangi kebandelan Mayong, mengobati depresi Papa (kalau nanti perusahaannya benar-benar sudah tewas), menciptakan sifat altruis dalam diri Kakek, membetulkan korsletnya Om Bahar, mengentaskan absurditas Zia, meminimalisir keeksentrikan Zaha, dan lain-lainnya… Mungkin juga mengubah Dean agar mampu mengerjakan PR-nya sendiri? Dalam pemahaman Zahra, psikolog adalah seorang montir jiwa yang mampu memperbaiki segala macam perilaku manusia.

“Sebetulnya itu tergantung pada individunya masing-masing sih, Zahra. Meskipun Mas Imin bisa ngasih saran ke kamu buat ini itu, tapi semua itu balik ke kamunya sendiri, kepengaruh apa nggak, mau berubah apa nggak. ”

Zahra manggut-manggut. Namun telah terpatri dalam benaknya akan kalimat Zia, kadang kita hanya membutuhkan seseorang untuk memotivasi diri kita terus menerus… Dan Mas Imin adalah orang yang bisa, Zahra masih tetap pada keyakinan itu.

“Berarti Mas Imin entar mau ke Psikologi?”

“Hee… Ya entar liat ajalah!”

“Mau masuk Psikologi mana, Mas? UI? UGM? UNPAD?”

“Haha, gimana entar ajalah. Ngomong dulu sama Papa-Mama…”

“Bukannya sekarang teh udah mulai pendaftaran yang kayak gitu-gitu ya?” Berkat kemajuan dalam kehidupan sosialnya akhir-akhir ini, Zahra jadi pernah mendengar selentingan yang macam begitu. Sering juga ia dengar dialog para orang tua di rumah tentang masa depan Mas Imin. Tapi yang paling sering mereka sebut hanya ITB.

“Hehehe…. Kalo Zahra sendiri gimana? Entar lagi kan penjurusan? Mau masuk IPA atau IPS?”

“Mmm…” Mungkin sekaranglah saat yang tepat untuk minta pendapat Mas Imin. Ada suatu gagasan di kepalanya akhir-akhir ini yang ia sendiri belum yakin. “Kalau menurut Mas Imin, IPS tuh kayak gimana sih?”

“Baik-baik aja tuh.”

“Iiiih…”

“Kenapa emangnya? Mau masuk IPS?”

“Menurut Mas Imin gimana?”

“Ya terserah Zahra aja. Kirain selama ini Zahra minatnya ke IPA. Kan katanya dulu pingin jadi dokter?”

Ah, semua anak kecil pun akan menjawab hal yang sama kalau ditanya cita-cita, Mas Imin ini seperti yang tidak tahu saja. Zahra mencibir.

“Kenapa? Pingin masuk IPS?” tanya Mas Imin lagi.

Karena mayoritas anak IPS adalah anak gaul dan Zahra ingin ketularan gaul. Gaul dalam hal ini bukan berarti hobi main dan mengikuti tren, melainkan gaul dalam konteks banyak teman dan komunikatif. Bukannya anak IPA tidak, tapi Zahra kira ia akan lebih terberdayakan di IPS. Zahra kini jadi minat pula pada objek yang bernama manusia, ditinjau dari aspek sosialnya, karena itu terkait dengan dirinya sendiri. Ia bahkan mempertimbangkan untuk kelak berkuliah di Komunikasi atau Psikologi.

Tapi Zahra merasa malu hendak mengungkapkannya pada Mas Imin. Ia belum siap untuk mengumbar kekurangan dirinya lagi. Jadi ia hendak mencoba jalur diplomasi. “Mas Imin tahu Bu Leni nggak?”

“Tahu. Yang guru Fisika itu kan?”

“Waktu itu, Bu Leni pernah cerita. Katanya dia tuh pas SMA sebetulnya nggak suka banget sama Fisika. Nilai Fisikanya jelek-jelek terus. Dia juga nggak suka ama gurunya. Tapi akhirnya dia malah masuk ke IKIP, jurusan Fisika.”

“Kenapa?” tanya Mas Imin, seolah-olah ia sendiri belum tahu.

“Soalnya, dia pingin bisa Fisika. Makanya masuk sana.”

“Kenapa dia pingin bisa Fisika?”

“Nilai-nilainya yang lain pada bagus. Cuman Fisika aja yang jelek. Makanya dia penasaran pingin bisa.”

“Kenapa dia nggak belajar Fisikanya dari dulu-dulu aja, waktu pas masih SMA? Jadi nilai Fisikanya nggak harus ikut-ikutan jelek kan?”

“Iiiih… Ya, mana tahu ah!” tukas Zahra sebal. Pertanyaan-pertanyaan Mas Imin malah melencengkannya dari maksud semula.

“Hehe, ngambek.”

Zahra sebisa mungkin menahan nafsu ngambeknya itu kendati ia sudah sampai melipat tangan dan membalikkan badan. Amarahnya menyurut seiring dengan berkatanya ia, “Aku juga pingin bisa…”

“Pingin bisa Fisika?”

“Bukan...” Zahra mendadak kelu. Berharap Mas Imin dapat membaca pikirannya tanpa harus susah payah ia ucapkan sendiri. Ia terlalu malu untuk mengatakannya. Dirasanya telah terlalu lama ia bungkam, namun Mas Imin tampak masih menungguinya lanjut bicara dengan sabar.

“Kalau kamu emang minatnya ke sana, ya kenapa nggak?” ucap Mas Imin akhirnya.

“Tapi aku nggak punya potensi…” Zahra membayangkan dirinya berada di tengah keriuhan yang diciptakan oleh para teman sekelasnya di kelas IPS, kelak. Selain gaul, imej bandel juga melekat pada mereka. Zahra jadi tidak yakin apakah ia akan betah di kelas IPS. Toh ia tidak harus masuk sana kalau hendak mengambil jurusan berbau sosial di bangku perkuliahan. Ia bisa ambil jalur IPC saat seleksi masuk, meskipun jadinya harus belajar dua kali.

“Punya… Nggak boleh kufur nikmat, Zahra. Inget tadi Imin ngomong apa? Cuman mungkin aja potensi kamu yang itu kurang berkembang. Makanya kamu pingin masuk IPS supaya bisa ngembangin itu kan?”

Zahra mengangguk-angguk penuh semangat. Ia dapatkan apa yang ia cari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain