Minggu, 18 Juli 2010

18

Adalah suatu akhir pekan di mana Bandung tambah macet ka­rena pe­lak­sa­na­an USM ITB Daerah. Papa jadi korban. Sam­pai­ di rumah, ia tampak menyesali sesuatu. “Ternyata USM ITB udah lewat, Imin kok nggak ikut?”

Emang Mas Imin mau ke ITB? batin Zahra saat mendengar itu. Rupanya Mas Imin belum bilang soal ganti haluan cita-cita masa kecilnya itu. Namun se­ke­te­munya Papa dengan Mas Imin kemudian, sepengetahuan Zahra tidak ada ke­du­a­nya membicarakan soal itu. Lagipula obrolan antara Papa dengan Mas Imin tidak per­nah menarik hatinya. Ia lebih suka mendekam di kamar dan membaca.

Setiap akhir pekan setelahnya, kegamangan di hati Zahra setiap me­n­de­ngar Papa dan Mas Imin berbincang. Biasanya di tengah malam, sa­at Zahra dan sa­u­dara-saudaranya sudah masuk kamar. Kadang terdengar suara Ma­ma dan atau Ka­kek menyerta. Zahra hanya dapat menangkap penggalan kalimat mereka. Si­sa­nya ditelan suara TV. Kalimat yang diulang terus dari minggu ke minggu.

“…dari dulu pinginnya Imin masuk ITB… kerja di tempat bonafide… gaji dolar… gantiin Papa biayain adik-adik… biar nggak kayak Papa gini… termakan idealisme sendiri… mau bangkrut… nggak usah main psikolog-psikologan lagi sama adik-adik kamu… Ardi nilainya turun terus… kalau bisanya cuman gambar, anak-istrinya entar gimana… Mayong… stres… anak SMP favorit kok kena razia polisi… berhenti dululah ngasih motivasi buat obsesi-obsesi nggak jelas kayak gitu… mau kayak gimana masa depan mereka nanti… .Om Bahar juga negur… Zia jadi makin urakan gitu… sekali-kali bikin orangtua senang… harus bisa jadi sosok… dicontoh adik-adik… Papa-Mama nggak mungkin ngebiayain terus...”

Akhir pekan ke sekian, pembicaraan beberapa orang kawan kian memicu keresahan Zahra. Pembicaraan yang menggiring mereka pada sebuah pertanyaan, “Kakak kamu ada yang kelas XII juga kan, Zahra? Mau nerusin ke mana?”

“Mm… Psikologi.” Zahra tidak yakin dengan jawabannya sendiri.

“Oh? Ya? Katanya Psikologi mah banyakan perempuannya ya?”

“Emang kenapa kalau laki-laki?” Zahra agak tersinggung, meski lucu juga membayangkan Mas Imin sebagai laki-laki seorang di tengah para perempuan.

“Nggak apa-apa . Cuman denger-denger mah, banyakan perempuannya…” jawab kawan Zahra dengan nada menghindar dari emosi Zahra yang mulai terasa.

“Mau masuk ke Psikologi mana, Zahra?” tanya kawan Zahra yang lain.

Zahra tidak tahu jawabannya.

“Perasaan kemarin teh baru SIMAK UI sama UM UGM yah?”

“Kakak kamu ikut yang mana, Zahra? Tesnya ikut yang di mana?”

Tidak tahu. Tidak tahu. Tidak tahu. Setelah kawan-kawannya memberi in­for­masi lebih lengkap mengenai seleksi masuk beberapa PTN yang belum lama la­lu, tahulah Zahra, tak satupun yang Mas Imin ikuti. Tidak pernah ada adegan Mas Imin pamit pada Papa-Mama untuk mengikuti salah satu atau bahkan semua. Kalaupun ada, Zahra mestinya menyaksikan. Dan sewaktu rombongan siswa SMANSON ke Yogyakarta untuk mengikuti UM UGM—bersamaan dengan USM ITB Daerah, sepertinya Mas Imin santai-santai saja di rumah.

“Dia ikutan SNMPTN kali,” ujar seseorang dengan nada menenangkan.

“Tapi kalau SNMPTN peluangnya cuman dikit,” tanggap kawan yang lain.

“Tapi kan lebih murah.”

Meski SNMPTN lebih murah dan kondisi finansial keluarga tengah me­nu­ju ambruk, rasanya Papa tak akan sampai hati menjadikan itu sebagai satu-satunya peluang bagi putra kesayangan. Lalu Mas Imin ke mana? Benarkah ia ke ITB?

Zahra merutuki ketidakpeduliannya pada Mas Imin. Mengapa sih ia tidak pu­nya inisiatif untuk menanyakan kabar Mas Imin? Semua obrolan mereka kerap me­rambati banyak hal, tapi jarang membahas soal Mas Imin sendiri. Kalaupun Zah­ra menyinggung itu, topik pembicaraan dapat berbelok lagi ke hal lainnya. Pun, Mas Imin tidak pernah berinisiatif menceritakan dirinya, apalagi bayangan akan masa depannya yang harus segera ia tentukan. Zahra harus cari tahu. Ia harus pastikan Mas Imin berada di jalur yang tepat.

Minggu-minggu ini memang Zahra cari-cari kesempatan di mana ia bisa me­ngobrol lagi dengan Mas Imin. Kesempatan yang ia rasa tepat adalah saat ia ber­dua saja dengan Mas Imin. Sebagaimana obrolan-obrolan mereka sebelumnya, Zah­ra tidak mau ada orang lain dengar. Hanya Mas Imin yang boleh tahu.

Namun kesempatan itu tidak pernah datang. Jarang ia menemukan Mas Imin termangu sendiri di kamar sambil memelototi deret geometri. Mas Imin a­da­lah tipe orang yang belajar di tengah lalu lalang dan suara orang. Dan akhir-akhir i­ni Mas Imin belajar terus. Belajar untuk ke mana? Zahra terus bertanya-tanya. Ia ta­kut saja Mas Imin ternyata tidak sesuai prasangkanya semula. Apalagi jika meng­ingat bahwa Mas Imin tidak pernah bilang hendak ke Psikologi.

Tiba suatu akhir pekan. Disiram pencahayaan lampu ruang tengah, Mas Imin menyatakan keputusan. “STEI ITB,” kata Mas Imin mantap. Papa, Mama, dan Kakek menyambut dengan senyum senang.

“Bagus! Tapi itu passing grade-nya lumayan tinggi, kan?” suara Papa.

“Ah, cucu Kakek pasti bisa!” yakin Kakek.

“Anak Mama kan pinter. Masuk mana aja bisa!” Mama tak mau kalah.

Mas Imin risi dengan polah para orang tua di hadapannya itu. Belum lagi tiba-tiba Zahra menghempaskan diri di sampingnya. Dan berkata dengan penuh emosi, “Mas Imin kan sebetulnya pingin masuk Psikologi.”

Para orang tua itu kaget.

“Lo, tapi uang kita bertiga sudah masuk rekening ITB!” protes Kakek yang kemudian dipotong Mama, “Calon insinyur kok Imin ini…”

“Tapi Mas Imin minatnya sama psikologi! Dia harusnya jadi psikolog! Mas Imin tuh bisa bikin orang yang tadinya bermasalah, jadi nggak lagi!”

“Ya bagus sih itu. Tapi Imin pilih ITB kok,” tanggap Papa.

Mas Imin menangkap lirikan Papa. Katanya kemudian, “Iya, akhir Mei besok Mas Imin mau coba dulu ikut USM ITB Terpusat, Zahra.”

“Tapi itu nggak Mas Imin banget. Mas Imin cocoknya jadi psikolog. Itu potensinya dia. Papa sama Mama harusnya ngebiarin Mas Imin milih jurusan sesuai potensinya…” Zahra tak bisa lagi membendung air mata. Ia juga tak mengerti mengapa ia harus sampai menangis hanya untuk mengungkap pendaman hati yang menyesakkannya selama ini. Para orang tua itu, anggap Zahra, tidak pernah tahu apa yang mampu Mas Imin perbuat untuk orang lain—untuk dirinya.

Para orang tua itu memandang Mas Imin dengan tanda tanya. Mas Imin membalas dengan cengiran yang menyatakan bahwa ia juga tak mengerti.

Zahra mengusap basah wajahnya dengan lengan. Sudah terlanjur. Masih menggebu-gebu inginnya untuk menentang orangtua. Suaranya mulai bergetar. “Jangan-jangan entar Zahra juga nggak boleh milih jurusan lain selain Kedokteran, padahal Zahra pinginnya masuk ke jurusan lain…”

“Lo, Zahra bukannya memang mau jadi dokter dari dulu?” suara Mama.

“Zahra mau ke mana memangnya?” tanya Papa.

“Tapi ya terserah Zahra aja deh,” suara Mama lagi.

Zahra tak tahan terus menangis sambil dilihati begitu. Tidak ada pula yang berinisiatif merangkulnya. Ia berdiri. “Nggak adil! Zahra boleh terserah tapi Mas Imin mau nggak mau harus masuk ITB!” jeritnya, sebelum menghambur ke kamarnya sendiri. Mata semua orang mengarah padanya sampai ia lenyap.

Kakek berdecak-decak. “Udah lama nggak liat dia kayak gitu.”

Papa dan Mama pura-pura tak mendengar perkataan Kakek. Memang kejadian barusan adalah suatu hal biasa yang mengiringi pelayaran bahtera rumah tangga mereka. Dari dulu Zahra sering tiba-tiba menangis tanpa sebab dan lari ke tempat sepi untuk sembunyi. Bagi mereka, hal tersebut belum jadi suatu hal serius yang harus segera ditangani karena setelahnya keadaan akan biasa-biasa lagi. Baru mereka sadari bahwa penyakit Zahra tersebut sudah lama tidak kambuh.

Namun yang terpenting sekarang adalah masa depan putra sulung mereka. Kata mereka, “Sekarang fokus belajar dulu, ya!”

Berjalan sambil terus menyeka air mata dengan lengan membuat Zahra menabrak Mas Ardi. Zahra tidak peduli. Hasrat ingin segera menangis puas-puas di kamarnya lebih besar ketimbang rasa malu. “Zahra, kenapa?” Mas Ardi terus bertanya seperti itu sampai Zahra membanting pintu kamar lalu menguncinya.

Zahra menghempaskan diri ke kasur. Membenamkan muka pada bantal. Ter­dengar usahanya menangis tanpa suara. Merutuki kecengengannya. Rasa malu kem­bali menghantam. Ia malu pada semua orang yang melihatnya menangis tadi. Ia malu karena telah mengatakan pada kawan-kawannya Mas Imin akan masuk Psi­kologi, padahal tidak. Ia malu karena telah menyemangati Mas Imin masuk Psi­kologi. Ia malu karena tidak bisa menahan rasa sebal pada Unan. Ia malu ka­re­na sudah berani menggertak Dean dan berprasangka buruk pada Arderaz. Ia malu ka­rena telah mengajukan diri sebagai presentator pada kawan-kawan sekelompok tu­gasnya. Ia malu karena telah begitu meniatkan diri untuk ke rumah Syifa ma­lam-malam. Ia malu karena telah termakan begitu saja omongan Zia. Ia juga malu pa­da Zaha dan Om Bahar, entah mengapa. Ia malu pada semua orang. Ia merasa ren­dah di hadapan mereka semua.

Dan sungguh naif ia mengharapkan Mas Imin akan sudi untuk terus me­no­long­nya—juga orang-orang seperti dirinya, suatu saat, dengan menjadi psikolog. Se­harusnya ia tidak sebegitunya mengharap pertolongan pada orang itu. Ia jadi i­ngin kembali membenci Mas Imin, sebenci-bencinya. Ia juga benci pada dirinya sen­diri. Semakin keras ia menahan tangis.

Terkuras energinya karena menangis hebat. Lambat laun ia hanya ter­seng­guk saja. Sengguk berubah jadi isak. Isak diredam kantuk. Zahra tak peduli de­ngan ketokan di pintu kamar. Suara kedua orangtuanya yang membujuk rayu. Sa­dar untuk mengambil kembali hati anaknya. Iming-iming berupa mi dog-dog atau sa­te sama sekali tidak menggugahnya untuk membuka pintu. Ia hanya ingin mem­pertahankan lelapnya kini. Pergi jauh dari dunia yang menyusahkannya.

“Tok. Tok.”

Zahra menggumam kesal. Ia jadi terbangun lagi. Ia merasa matanya sudah mem­bengkak karena begitu beratnya membuka. Ditengoknya jam dinding. Sudah ham­pir tengah malam begini. Masih terdengar samar-samar suara TV. Ia mem­be­kap kepalanya dengan bantal. Ingin kembali larut ke alam mimpi. Tapi suara “tok tok” di pintu itu terus mengganggunya.

“Zahra…” Terdengar lagi suara Mas Ardi. “Masih hidup kan?”

Dengan suntuk ia berjalan ke arah pintu. Lebih karena lagi enak-enak tidur di­bangunkan, ketimbang karena penyebab tangisnya tadi. Ia bahkan lupa tadi ia me­nangis hebat karena apa.

Tak apa-apalah, Mas Ardi ini, pikirnya. Paling-paling hanya menumpang sms untuk secara resmi menyudahi percengkeramaannya dengan Teh Tata. Zahra su­dah berkali-kali mengingatkan Mas Ardi untuk ganti provider supaya pulsanya ti­dak cepat habis.

Zahra memutar kunci. Menarik gagangnya dan membukalah pintu kurang da­ri sejengkal. Terlihat seraut wajah tirus. Dengan nada sok terganggu Zahra ber­ta­nya, “Ada apa sih?”

“Boleh masuk?” tanya Mas Ardi.

“Hmh… Apa sih? Besok ajalah!”

Mata Mas Ardi lari sebentar ke luar kamar. Lalu kembali lagi. “Kalau gitu, pin­jam HP bentar dong.”

“Ya… Ya…” Zahra sudah menduga itu yang akan diucapkan Mas Ardi pa­da akhirnya. Ia mencari-cari di mana ia menaruh ponselnya terakhir kali. Di a­tas tempat tidur. Berjalanlah ia ke sana untuk mengambil. Ketika ia berbalik lagi, di­lihatnya pintu sudah terbuka lebih lebar. Mas Ardi tidak sendiri rupanya. Ada Mas Imin di sebelahnya. Dan mereka sudah bertukar tempat.

“Makasih, Di,” Mas Imin memamerkan behelnya.

“Sama-sama.” Dan minggatlah Mas Ardi begitu saja. Sementara itu, Zahra ma­sih terpaku di tepi tempat tidur dengan ponsel dalam genggaman.

Tinggal tersisa satu bantal Zahra. Sisanya telah dilemparkan dengan kasar ke arah Mas Imin yang menangkapnya dengan tangkas. Zahra me­nangkupkan ban­tal yang ada ke mukanya, lalu terciptalah Tangkuban Zahra di atas tempat ti­dur. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak terisak. Teringat lagi olehnya segala pe­nyebab tangisnya yang sebelumnya. Kini ditambah pula dengan rasa sebal ka­re­na Mas Imin berhasil menipunya. Zahra merasa dirinya bodoh sekali.

Terasa Mas Imin duduk di sampingnya. Punggungnya yang naik turun di­te­puk beberapa kali. “Tadi dibeliin mi dog-dog tuh…”

“Pergi!” jerit Zahra. Tetap telungkup, ia menggeser tubuh se­ja­uh mungkin da­­ri Mas Imin. Menangis makin kencang, meski tanpa suara. Ingin ia tumpahkan se­muanya. Biar Mas Imin tahu sekalian, pedihnya menjadi seorang Zahra.

Terdengar Mas Imin berdecak. Lalu bangkit dari tempat tidur Zahra. He­ning lama. Pintu ditutup. Hening kembali.

Zahra tidak tahu ia harus merasa lega atau makin pedih karena ternyata sampai situ saja perhatian Mas Imin padanya. Ia habiskan sisa-sisa tangis, mes­ki sudah tak ingin sekencang tadi. Masih tersengguk, ia lepas bantal dari muka, hendak melihat kekacauan yang mungkin tercipta akibat serbuan bantal tadi. Ia memekik ketika mendapati seraut wajah bengong Mas Imin.

Mas Imin lekas duduk di dekatnya dan menahan pundaknya agar tidak membuat tangkuban lagi. Disodorkannya segelas air minum. Alih-alih menerima air tersebut untuk meredam senggukannya, Zahra malah memukuli Mas Imin keras-keras. Mas Imin berusaha menyelamatkan air di tangannya agar tidak tumpah. “Eh, eh… Kalau mau gelut, entar dulu… Imin taruh dulu minumnya…”

Mas Imin menaruh gelas di meja samping tempat tidur Zahra kemudian kembali ke posisi semula. Dengan segenap emosi, Zahra menghajarnya lagi. Mas Imin mengaduh-aduh. Berusaha menangkis pukulan Zahra sambil masih sempat-sempatnya mengamankan kacamata. Zahra mengambil sebuah bantal. Dengan beberapa kali pukulan ia membuat Mas Imin jatuh. Tak berkutik. Dan kali ini suara mengaduh kesakitan Mas Imin terdengar sungguh-sungguh. Zahra menghentikan serangannya.

“Tadi denger nggak, bunyi ‘krek’ keras?” Mas Imin bangkit pelan-pelan dengan tangan kiri memegangi lengan kanan. Ia mencoba menggerakkan lengan kanannya itu. Ia mengaduh lagi. “Aduh… Kayaknya tangan Imin patah nih…”

Panik merambat pada Zahra. Lekas ia mendekati Mas Imin. “Maaf, Mas Imin, maaf…” Zahra hampir menangis lagi.

“Makanya, jangan keras-keras tadi mukulnya…”

“Maaf…” Zahra mulai terisak. Ia tidak berani melihat mata Mas Imin yang seolah-olah menyalahkan dirinya. Yang lain juga pasti akan memarahinya nanti karena mematahkan lengan Mas Imin. Zahra tersedu-sedu.

“Eh, Zahra… Zahra…” Zahra berhenti mengusap-usap matanya. Terpana dengan lengan “patah” Mas Imin yang kini bisa bergerak bebas lagi. “Liat! Lo, kok, bisa gerak-gerak lagi. Patahnya nggak jadi!”

“Aaarrgh…” Dengan sekuat tenaga Zahra menghantamkan bantal lagi pada Mas Imin. Rasanya kali ini ia ingin mematahkan lengan Mas Imin betulan. Mas Imin tertawa-tawa saja dibegitukan. Sambil bangkit lagi dari jatuhnya, ia masih terkekeh-kekeh. Zahra diam saja. Ia sudah capek marah-marah dan cemberut terus. Dan ia tetap diam saja hingga Mas Imin berhenti sama sekali. Heran karena Zahra tampak tak terusik dengan tawanya lagi.

Mas Imin berdehem beberapa kali sambil memperbaiki posisi duduknya. Zahra mengamatinya terus. Kalau ingin serius bicara, sekaranglah saatnya.

“Zahra,” kata Mas Imin, setelah mendapatkan ketenangan dirinya kembali, “Kata siapa Imin mau masuk Psikologi?”

“Kata hati Mas Imin.”

Mas Imin terbatuk pelan. “Imin emang dari dulu pinginnya masuk STEI ITB kok. Emang cuman hobi Imin aja baca buku-buku psikologi dan semacamnya itu. Banyak juga kok orang yang suka baca gituan.”

“Bohong!” tukas Zahra. “Mas masuk STEI ITB cuman karena banyak orang yang pingin masuk ke sana aja. Ngikutin tren. Huh, nggak keren!”

Mas Imin terdiam. Zahra melanjutkan lagi, “Mas Imin tuh dari dulu nga­bis­in duit Papa-Mama terus. Masuk ITB kan mahal! USM lagi! Entar kalo gi­lir­an­nya Mas Ardi, Zahra, sama Mayong masuk kuliah trus nggak ada duit, gimana?” Zah­ra jadi ingin menangis lagi. Bukan itu alasan sebetulnya. Ia takut setelah jadi ma­hasiswa ITB, Mas Imin sibuknya bukan main. Tidur hanya tiga jam sehari. Ter­ancam tewas saat osjur. Tidak punya kehidupan lain selain kehidupan a­ka­de­mis. Akhir pekan digunakan untuk pemulihan tenaga sebelum sibuk mengerjakan tu­gas-tugas lagi, dan bukannya untuk memberdayakan potensi lain. Dan hal-hal m­engerikan lain yang Zahra dengar dari cerita kawan yang kakaknya kuliah di ITB. Dengan demikian, Mas Imin tidak akan punya banyak waktu untuk dicurhati Zah­ra lagi. Juga, mengapa Mas Imin hendak tega mengubur potensinya sendiri, i­tu yang paling Zahra sesalkan.

“Nggak, Zahra. Papa udah rajin nabung buat biaya kuliah anak-a­nak­nya dari dulu. Termasuk biaya Imin di ITB, Papa udah memperkirakan juga. Mes­ki jatuhnya jauh lebih tinggi juga sih… Makanya Mama sama Kakek juga patungan…” Zahra bergeming. Lanjut Mas Imin, “Apa salahnya sih kalau Imin pingin balas budi sama mereka?”

“Mas Imin tuh gigit lidah sendiri! Nelen ludah sendiri! Mengingkari potensi sendiri!”

“Eh… Udah…” potong Mas Imin sebelum Zahra menyatakan bah­wa dirinya telah mengingkari nikmat Tuhan juga. “Bener kata Zahra, potensi itu ng­gak boleh disia-siakan. Tapi, Imin kira, kita tetep bisa ngembangin po­ten­si kita tanpa harus kehilangan yang lain. Meskipun entar Imin jadi ma­ha­sis­wa ITB—insya Allah, amin—Imin tetep bisa ngelakuin hobi Imin kok. Ngamatin o­rang lain kek. Nyemangatin mahasiswa lain yang lagi pada madesu kek. Anak ITB kan tingkat stresnya tinggi tuh. Tenang aja, Imin juga bakal berguna kok di sana.”

Zahra merasa ia tak akan pernah bisa menang melawan Mas Imin. Mung­kin memang benar ia saja yang terlalu naif. Berharap terlalu banyak.

Mas Imin bangkit lalu berjalan menuju pintu. Sebelum ditutupnya pintu ter­sebut, dibuatnya Zahra jadi ingin menangis lagi. Belum pernah Zahra men­de­ngar Mas Imin mengucap kalimat itu, “Maaf ya, udah ganggu.”

MAAF. Kata itu mengiang-ngiang dalam kepala Zahra. Mas Imin bahkan ti­dak pernah mengucap TOLONG padanya jika hendak diambilkan sesuatu, pun TE­RIMA KASIH saat sudah diambilkan. Zahra bertanya-tanya kapankah Mas Imin akan mengucap dua kata sakti lainnya.

“Doain Imin tembus USM, ya,” kata Mas Imin lagi. “Makasih.”

Zahra terkesima. Pintu ditutup. Dan terbuka lagi. “Eh, tolong entar ge­las­nya dibalikin sendiri ya.” Zahra mengangguk.

“Oh ya, salutlah. Imin nggak nyangka loh Zahra tadi berani ngomong ma Pa­pa-Mama kayak gitu. Besok-besok lagi Zahra pasti bisa berani juga ngomong di de­pan kelas.”

Pintu kembali tertutup. Air mata Zahra mengalir lagi de­ngan deras. Se­be­lum tangisnya keburu habis, lekas ia beranjak ke kamar mandi. Ia hen­dak ber­wu­du, solat tahajud, lalu berdoa dengan penuh kesungguhan agar Mas Imin tidak tem­bus USM ITB. Semoga dengan demikian, hati Mas Imin akan kembali ter­be­lok­kan pada Psikologi, dan menjadikan jurusan ter­se­but sebagai satu-satunya pi­lih­an pada SNMPTN. Amin. Masih belum terlambat un­tuk daftar SNMPTN kan? Zah­ra bertekad untuk cari tahu. Kali ini ia ti­dak mau ketinggalan informasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain