Selasa, 13 Juli 2010

13

Rumah Zia tidak sebesar rumahnya—rumah Kakek. Tapi katanya fungsional. Dari balik jendela mobil, Zahra terperangah memandangi rumah dengan disain minimalis tersebut. Rasanya dulu rumah mereka tidak seperti ini. Lupa-lupa ingat kapan terakhir ia berkunjung ke mari. Pernahkah? Belum. Sejak kematian Tante Merry, mereka pindah rumah. Jadi ini rumah mereka. Lalu rumah mereka sebelumnya di mana ya? Zahra merasa kualitas kehidupan sosialnya buruk sekali. Informasi mengenai sepupunya sendiri saja ia tidak tahu. Ini baru saudara dari pihak Papa. Belum saudara dari pihak Mama yang bertebaran di Pulau Jawa dan sekitarnya. Zahra menggembungkan pipi. Meneguhkan diri bahwa ia adalah seorang pembelajar. Dari yang tidak biasa menjadi bisa. Semoga mendekatkan diri dengan sepupu semudah mempelajari aljabar. Amin!

Mas Imin menarik rem tangan, membuat laju pelan si Bambang tertahan. Pintu depan rumah itu terbuka, menyembulkan kepala Zia dari baliknya. Zia tampak sumringah. Zahra menduga Zia begitu karena senang dengan kedatangan Mas Imin, bukan dengan dirinya. Mengapa takdir tidak berupa Mas Imin menjadi kakaknya Zia, sedang yang menjadi kakaknya Zahra adalah Kang Hilman saja, Zahra protes dalam hati.

Zahra memutar knop hingga jendela turun serendah mungkin. Semakin banyak udara lembap yang masuk ke dalam mobil jadinya. Muncul Zia tepat di sampingnya, menempel ke badan pintu mobil. Katanya, “Jadi siapa aja yang mau nginep?”

Mas Imin menuding Zahra dengan dagu. Zahra tersenyum canggung. Tak disangka, Zia balas tersenyum simpul hingga Zahra merasa semuanya akan baik-baik saja. Zia menerimanya. Oh, terima kasih, sepupu…!

“Kenapa Mas Imin nggak ikut?”

“Euh, lupa bawa daster.” Mas Imin memutar knop hingga jendela di sampingnya tertutup rapat.

“Pinjem punyaku aja…” ucap Zia sok genit.

“Nggak ah. Ukurannya beda.”

Ya ampun, mereka berdua ngomong apa sih? Zahra bergidik. Gerak matanya mengikuti Mas Imin turun dari mobil.

“Zahra, kamu mau nginep di rumah Zia apa di mobil?” tegur Mas Imin.

“Eh, iya, iya…” Zahra lekas menutup kembali jendela dan ikut turun sambil menggendong ransel. Diekorinya Zia dan Mas Imin menapaki lantai semen, lalu koral, lalu ubin. Sebelum benar-benar masuk, disapunya pemandangan teras rumah. Terasa artistik, namun dingin. Di dalam rumah mungkin lebih-lebih lagi.

Di ruang tamu, Zahra mengamat-amati beberapa foto yang terpajang. Terutama wajah Tante Merry, yang sudah beberapa tahun ini tidak ditemuinya langsung. Zahra masih ingat sewaktu melayat, ia tidak melihat Zia maupun Zaha menangis, apalagi berpelukan. Om Bahar malah tidak kelihatan sama sekali. Begitupun Papa dan Mama. Sepulangnya dari rumah duka, barulah Zahra tahu kalau selama di sana tadi, Papa dan Mama menemani Om Bahar di lain ruangan—yang tak terjamah oleh para tamu.

Denting gelas yang beradu dengan meja marmer menarik Zahra kembali pada kesadarannya. Seorang perempuan muda meletakkan gelas lainnya ke atas meja. Setelah habis isi nampannya, ia berlalu. Zahra mencibir. Rumah kecil, penghuninya hanya tiga orang, punya pembantu segala. Bandingkan dengan rumahnya—rumah Kakek. Selain besar, penghuninya saja lima sampai enam orang (tujuh, kalau akhir minggu), dan semuanya diberdayakan sebagai pembantu dengan porsi tugas yang tak merata. Jadi sebal Zahra mengingat itu, karena ia yang kebagian tugas paling banyak—setelah Mama.

Di ruang tengah, Mas Imin tidur-tiduran sambil nonton TV dengan saluran yang tak Zahra kenal. TV berlangganan pastinya. Beberapa jauh di sebelah Mas Imin, Zia asik mengutak-atik Facebook via laptop. Sekali klik, dengan cepat satu halaman baru terbuka.

Zahra menempelkan punggungnya ke salah satu sisi dinding ruang tengah lalu merosot duduk. Menggigit ujung jari kelingking. Mendadak diliputi rasa iri. Mau tidak ya, keluarga Zia pindah saja ke rumah Kakek (pasti masih muat!) dan membiarkan Zahra saja yang tinggal di rumah ini? Tidak bakal terlalu capek membersihkan dan membereskannya karena kecil, lalu ada pembantu, TV berlangganan, akses internet super kilat, apalagi? Mengapa Zia tampak tidak betah berada di rumahnya sendiri dan lebih suka menghabiskan waktu di rumahnya—rumah Kakek—yang kurang terurus dan berisik bin rese para penghuninya?

Selepas menumpang solat maghrib, Mas Imin pamit pergi ke bimbelnya. Tidak bisa janji menjemput Zahra balik keesokkan harinya pula. Zahra melepas kepergian Mas Imin sampai pintu depan. Zia sampai ke pagar. Perasaan Zahra menyendu. Tega nian si abang meninggalkannya di tempat yang masih asing baginya ini—dengan orang (nantinya orang-orang, kalau Om Bahar dan Zaha sudah pulang) yang tidak terlalu dikenalnya. Sebuah suara mengiang dalam kepalanya, terdengar sangat mirip dengan suara Mas Imin, “Makanya, kenalan!”

Dengan tubuh lebih tinggi, kulit lebih terang, dan tanpa gejala kebotakan serta gelambir lemak—kalau perut tak masuk hitungan, Om Bahar adalah versi rupawan Papa. Kumis tipis di bawah hidung semakin menguatkan karakternya—apapun itu artinya. Kendati demikian, Zahra tidak ingin punya papa seperti Om Bahar. Berdekatan saja rasanya sungkan, entah mengapa. Padahal sikap Om Bahar biasa-biasa saja, bahkan terkesan acuh tak acuh.

Om Bahar pulang sebelum dendang azan Isya. Ia lebih terlihat seperti bujang yang baru pulang main ketimbang bapak-bapak yang baru lepas dari urusan bisnis. Begitu menutup pintu depan, ia tampak sedikit terkejut melihat Zahra duduk di sofa ruang tengahnya. Setelah menyalami keponakannya itu, Om Bahar bertanya apakah Zahra suka nasi goreng. Zahra mengiyakan, berharap itu adalah tindakan sopan santun. Lalu Om Bahar pergi ke luar rumah. Tidak terdengar lagi deru mobilnya. Jalan kaki? Zahra jadi tidak enak hati.

Terdengar deru mobil lagi, disusul decit rem. Beberapa saat kemudian, pintu depan dibuka dari luar dan terlihatlah sosok serupa Zia. Namun sedikit lebih tinggi, lebih berisi, dan berkulit lebih gelap. Rambutnya dicepol dengan sumpit dan ia berkacamata. Dari pakaiannya—yang Zahra suka amati juga dari koleksi foto di Facebook, Zahra berasumsi bahwa selera berpakaian Zaha lebih baik dari Zia. Reaksi Zaha ketika melihat Zahra hampir sama dengan papanya. Zahra tertegun akan kemiripan itu. Bedanya, setelahnya Zaha memandanginya dari atas sampai bawah. Seolah sedang meneliti sesuatu. Membuat Zahra jadi salah tingkah. Sapaannya terdengar gagap.

“Zahra?” tegur Zaha, lebih terdengar seperti sedang meyakinkan dirinya sendiri. Wajahnya tak menggurat senyum.

“I…iya. Apa kabar, Zaha?” balas Zahra dengan segenap kecanggungan.

“Biasa aja.”

“Nggak usah diladenin, Zahra. Orang aneh dia,” sela Zia tanpa menoleh dari layar laptop.

Zaha tak menggubris Zia. Ia langsung belok kiri dan menaiki tangga.

Kebingungan menguasai Zahra yang tak tahu harus bersikap apa. Semua orang di keluarga ini tampak acuh tak acuh satu sama lain. Zahra jadi ingin lari ke kamar pembantu saja. Siapa tahu pembantu mereka lebih ramah dan terbuka.

Om Bahar kembali. Ia menaruh bungkusan hitam bawaannya ke atas meja makan lalu mengeluarkan satu per satu isinya. “Gimana keluarganya, Zahra?”

“Baik, Om.” Zahra melepas pandang dari tayangan TV yang sedari tadi tak dinikmatinya.

“Burhan, eee… Papa masih kerja?”

Hah, apa tentang Papa yang ia tidak ketahui? Zahra tidak pernah tahu tentang kesibukan Papa. Yang ia tahu hanya: Papa bekerja di Jakarta. Memang ia suka mendengar pembicaraan para orang tua di rumah mengenai perusahaan Papa yang sepertinya bermasalah. Tapi Zahra tak tahu persis apa perkaranya. Jadi ia menjawab, “Nggak tahu, Om.”

Om Bahar melontarkan ragam pertanyaan basa-basi lainnya sebelum akhirnya menyuruh untuk makan malam dengan nasi goreng yang sudah ia belikan itu. Zahra menoleh dengan bingung pada Zia. Kok malah tamu jadinya yang merasa harus mengajak tuan rumah makan? “Ya bentar, kumatiin dulu laptopnya,” jawab Zia.

Mereka bertiga duduk di ruang makan. Memakan nasi goreng bungkus itu dalam keheningan. Zahra menahan batuk karena sisa asap rokok yang sebelumnya dihisap Om Bahar masih mengambang di udara. Di rumahnya tidak ada yang merokok, kecuali Kakek. Itu pun Kakek sadar diri untuk tak melakukannya di dalam bangunan utama.

“Zaha suruh makan,” kata Om Bahar pada Zia.

“Entar juga turun sendiri.”

Jemu dengan hening, Zahra jadi merindukan keributan di rumahnya sendiri. Meskipun keributan itu sendiri tidak dalam konteks positif. Ia menanti-nanti kapan Zia akan mengajaknya ke luar dari situasi ini. Mengajaknya ke kamar mungkin? Zahra lebih nyaman berada dalam ruangan tertutup.

Seperempat jam kemudian, penantian panjang dan melelahkan Zahra usai. Zia mengajaknya naik ke lantai atas. Ingat untuk menerapkan sopan dan santun (dua jurus S cadangan), Zahra menawarkan diri untuk membereskan bekas perjamuan. Om Bahar dan Zia kompak mencegahnya, seolah itu bukan suatu hal yang patut diperbuat tamu.

Naiklah Zahra ke lantai dua, mengikuti Zia di depannya.

Di lantai dua hanya ada dua ruangan dan satu tempat terbuka untuk cuci-jemur. Pada pintu ruangan yang terdekat dengan tangga, terpasang sebuah lingkaran seukuran jam dinding pada umumnya dengan sisi berwarna merah. Di dalam lingkaran itu adalah karikatur seorang cewek berambut kuncir kuda dengan mata melotot sebelah, lubang hidung besar, dan lidah menjulur ke luar. Sebuah garis diagonal merah menimpa gambar tersebut dari ujung sisi lingkaran yang satu ke ujung lainnya. Zahra menduga sepertinya ia tahu karikatur itu dimaksudkan pada siapa.

Zia membuka pintu ruangan satunya yang terletak di ujung lorong. Masih diliputi ketidaknyamanan dan kepenasaranan akan hubungan antar penghuni rumah, ia memasuki kamar Zia dan takjub.

Kamar Zia penuh barang dan beragam warna, seperti kamar remaja gaul di tayangan TV. Juga lebih lega dari kamar Zahra. Meskipun Zahra tinggal di rumah yang lebih besar, namun ukuran kamar tidurnya—selain kamar tidur utama—biasa-biasa saja. Bagaimana ini prinsip keadilan di rumah Kakek? Zahra protes dalam hati. Selain itu, di salah satu sisi ruangan berderet rak buku dan benda pajangan lainnya—berseberangan dengan tempat tidur. Zahra tak mempedulikan betapa berantakannya kamar Zia—juga kesadaran dari pemiliknya untuk meminta maaf. Ia terpukau dengan koleksi buku Zia. Sebagian besar adalah novel dengan komposisi beragam, mulai dari sastra dunia hingga sastra Indonesia klasik, novel detektif hingga teenlit, juga Hemingway hingga Harahap. Teguran dari Zia menyentaknya.

“Aku tinggal dulu, ya, Zahra.”

Zahra mengangguk beberapa kali. Ia jadi awas lagi terhadap kamar Zia. Hati-hati ia melangkah supaya tidak menginjak benda-benda kecil yang bergelimpangan. Di depan cermin ia mematut diri. Mengingat-ingat materi pelajaran PAI, apakah Om Bahar termasuk muhrimnya atau tidak sehingga ia bisa bebas membuka jilbabnya di rumah ini. Ia mempertimbangkan juga apakah memangnya ia berani ke luar dari kamar ini tanpa ditemani Zia. Lari dari kebingungan, ia menggeser kaca yang menutupi salah satu baris dari salah satu rak dan mengambil sebuah novel. Kamar Zia serasa surga buku—Zia mestinya tidak menuntut bayaran kalau Zahra hendak membawa beberapa di antara sekian banyak bukunya pulang, Zahra pasti ingat mengembalikan. Rasanya Zahra tidak ingin tidur malam ini. Ia ingin membaca sepuasnya.

Selepas ganti baju, Zahra mengambil posisi duduk senyaman mungkin sambil bersandar pada tepi tempat tidur. Sepertinya malam ini akan menyenangkan, pikir Zahra. Menyenangkan bagi diri Zahra seorang, pikirannya menambahkan. Ah, tentu Zia tak akan keberatan kalau Zahra asik sendiri membaca buku, toh masih ada sarana pendukung kegiatan individualis lainnya di rumah ini, pikirannya meyakinkan. Terceluplah Zahra dalam dunia baru yang merasuk ke kepalanya.

Keributan di luar kamar menariknya kembali ke alam nyata. Zahra merasa tubuhnya membeku. Ternyata bisa ada keributan juga di rumah ini, pikirnya. Dan adu mulut di antara dua perempuan ternyata kedengaran lebih mengerikan. Dengan mayoritas penghuni lelaki di dalam rumah, Zahra jarang mendengar yang sesengit itu. Kecuali kalau di sekolah, dengan yang beradu mulut adalah mereka yang sama sekali tak berkaitan apa-apa dengannya.

“…nggak usah sok tahu deh!” Itu pasti suara Zaha.

“Tapi aku nggak suka!” Mendengar tarikan nyaringnya, ini pasti suara Zia.

“Udahlah, bisa nggak sih berhenti ngomongin itu?!”

Zahra menjatuhkan dirinya ke karpet dalam posisi meringkuk. Mencari-cari cara agar ia bisa terhindar dari mendengar keributan yang sepertinya berasal dari lantai bawah itu. Sesaat kemudian, ia tersentak dengan gelegar suara Om Bahar, “KALAU MAU RIBUT, DI LUAR!”

Zahra meringis. Menerka-nerka apakah Mas Imin tahu bahwa ia telah menjerumuskan adiknya ke lembah neraka. Zahra ketakutan setengah mati.

Raut wajah Zia terlihat biasa saja, seolah pertikaian saudara tak ubahnya nasi. Dan tanpa harus berinteraksi langsung dengan Zaha, bahkan sebenarnya tanpa harus ke rumah ini pun, Zahra sudah dapat mengenalnya lebih jauh dari mulut Zia.

“…baru menang sayembara ngomik beberapa kali aja… ya sih, teknik gambarnya emang udah tinggi… udah mah nggak sekolah formal, gaulnya ma orang-orang aneh aja terus… sok iyeh banget tau nggak sih dia tuh.. makin autis aja, udah…”

Zahra membayangkan Mas Imin menceritakan adik-adiknya dengan gaya serupa Zia di depan teman-temannya, atau mungkin di depan Zia sendiri. Jangan-jangan Mas Imin pernah demikian? Mungkin dengan nada sentimen yang diminimalisir, karena ia cowok. Jika ternyata Mas Imin pernah begitu, maka Mas Imin adalah seorang kakak yang perhatian sekali.

Zahra jadi ragu, apakah ia dapat menuntaskan misi yang Mas Imin limpahkan padanya. Menjalin kedekatan dengan Zia sekeluarga: 1. Dengan Zia, mudah-mudahan situasinya sekarang ini bisa masuk hitungan; 2. Dengan Zaha, Zahra tidak yakin. Sepertinya Zia tak akan mengizinkannya. Ia jadi merasa makin berjarak dengan Zaha; 3. Dengan Om Bahar, Zahra merasa tidak usah pun tidak apa-apa; 4. Dengan pembantu mereka, Zahra menertawakan dirinya dalam hati.

Seusai mengumbar segala informasi tak umum mengenai adiknya, yang membuat Zahra kian penasaran dengan sosok Zaha sebenarnya, Zia mendiamkan Zahra. Asik berguling-guling sendiri di atas tempat tidurnya. Zahra meneruskan bacaannya.

“Oh ya, Zahra, kamu mau tidur deket dinding atau di pinggir?”

Zahra kira ia akan tidur di lantai. “Ng, terserah aja.”

“Kamu suka baca, Zahra?”

“Ng, ya…”

“Suka bacaan yang kayak gimana?”

“Kalau penulis, sukanya siapa?”

“Kamu sendiri suka nulis nggak?”

Zahra sebal jadinya dengan pertanyaan Zia yang sepotong-sepotong itu. Keasikannya membaca jadi terusik. Masalahnya, Zia selalu memberi jeda di antara pertanyaan-pertanyaannya. Pada setiap jeda itulah Zahra kira ia bisa meneruskan membaca tanpa akan diganggu pertanyaan Zia lagi, yang ternyata tetap datang setiap beberapa menit sekali. Zahra sadar, itu hanya usaha Zia untuk mencairkan keheningan di antara mereka. Ia menurunkan bacaannya. Menunggu pertanyaan Zia selanjutnya dengan jurus S nomor 7. Zia sendiri tengah menerawang ke langit-langit kamar, mungkin memikirkan pertanyaan selanjutnya.

“Eh, Mas Imin jadinya mau nerusin kuliah ke mana sih?”

Ya, mana aku tahu? Kamu kan yang deket ama dia?  “Nggak tahu.”

“Ih, masak nggak tahu sih?” Protes Zia itu seolah menyiratkan pernyataan lain: Kamu kan adik kandungnya! Tinggal serumah lama sama dia!

“Kalau menurut kamu sendiri gimana?”

“Ng… Nggak tahu. Segimana Mas Imin aja.”

Zia tertawa pelan. “Ih, gimana sih? Kok tentang kakak sendiri aja nggak tau?”

Ya, mau bagaimana lagi? Zahra membatin. Mas Imin tidak pernah cerita. Ia memang suka mendekati Zahra, lalu menceritakan ini dan itu, tapi tidak banyak yang ia ceritakan tentang dirinya sendiri. Padahal berkat ulahnya tersebut, Zahra sampai beberapa kali kelepasan curhat.

Zahra termenung.

Jadi selama ini ia sudah dicurangi? Zahra membayangkan Mas Imin tengah mengumbar rahasia-rahasianya di depan kawanan jahilnya. Juga di depan Kang Hilman. Lalu Kang Hilman akan menyembunyikan tawa setiap kali bertemu muka dengan Zahra. Terdengar tawa bengis Mas Imin di kejauhan.

Ini tidak adil!

Zahra menyimpan perasaannya. Malu kalau tiba-tiba kelihatan ngambek tanpa sebab. Ia bersumpah akan bungkam kalau Mas Imin coba-coba mendekatinya lagi suatu kali nanti.

“ITB kali,” ucap Zahra akhirnya, supaya tidak kelihatan terlalu awam soal keluarganya sendiri. Waktu kecil Mas Imin pernah bilang ia ingin jadi insinyur. Lalu Papa menyuruhnya untuk giat belajar supaya masuk ITB. Setelah itu semakin banyaklah Papa membelikan Mas Imin buku-buku tentang sains—yang bukannya Zahra tidak tertarik juga, tapi Zahra merasa bacaan hiburan juga perlu untuk pengimbang, apalagi ia tidak banyak teman seperti Mas Imin. Sampai akhir-akhir ini pun, Papa-Mama masih suka mengingatkan Mas Imin bahwa ITB menantinya dan berhentilah keluyuran tidak jelas di luar rumah.

“Terakhir kali aku tanya sih, dia masih pingin jadi kayak dokter Bell.”

“Hah?” Siapa itu? Penemu telepon? Wajar sajalah. Mas Imin akan memilih STEI ITB kalau begitu.

“Itu loh. Psikiater yang di Monk. Oh iya, aku lupa. Di sana nggak pake TV berlangganan ya? Kalau mau nonton, pulang sekolah ke sini aja, Zahra. Si Mas Imin juga suka gitu. Sore biasanya di Star World, atau malem di Fox Crime. Novelnya juga ada sih, tapi aku nggak punya.”

“Ceritanya tentang apa gitu?”

“Tentang detektif-detektifan gitu deh. Tapi kadang-kadang luculah. Si Mas Imin tuh, suka ketawa-ketawa sendiri kalau nonton.”

Bisa dibayangkan, Zahra mencibir.

“Tapi dia juga pingin kayak si Lightman yang di Lie to Me. Eh, kamu juga nggak tau itu apaan ya? Jadi, Lie to Me itu kayak Monk juga, serial TV Amrik. Cuman kalau yang ini ceritanya mah tentang ahli baca gerak tubuh gitu deh. Jadi cuman dengan liat gerak tubuh orang aja, dia bisa tau si orang itu lagi boong apa nggak.

“Kok kayaknya aku lebih tau tentang Mas Imin sih daripada kamu? Jangan-jangan tentang si Ardi juga gitu. Kamu tau nggak kalau…” terucap serentetan informasi tentang Mas Ardi yang baru Zahra ketahui.

“Heh? Iya ya…” Zahra menunjukkan tampang sok heran. Wajar saja, ia meyakinkan dirinya sendiri, Zia kan seangkatan dengan Mas Ardi. Mungkin pernah sekelas juga. Dan teman-teman mereka juga sama. Padahal selama ini ia kira ia sudah cukup dekat dengan Mas Ardi.

“Mau aku kasih tau sesuatu tentang Mas Imin?” Zahra berguling. Menggeser tubuhnya agar lebih dekat dengan Zahra.

Sepasang alis Zahra bertaut. Apakah ia perlu tahu? “Apa emangnya?”

“Kalau Mas Imin masuk ITB, dia nggak ada ubahnya sama ratusan anak SMA favorit lainnya yang berlomba-lomba masuk sana, dengan tujuan pragmatis, untuk prestise dan kehidupan yang lebih baik untuk diri mereka sendiri. Tapi kalau dia tetap bertahan sama potensinya, bakal ada lebih banyak hal berguna yang bisa dia kasih buat lebih banyak orang,” ucap Zia, nyaris berdesis dengan mata mendelik. Seakan-akan yang diucapkannya itu adalah sebuah ancaman. Tubuh Zia menjauh lagi. “Kasih tau tuh sama dia!”

Zahra mengerutkan kening. Bukankah Zia yang lebih dekat dengan Mas Imin, mengapa ia tidak bisa memberitahukannya sendiri?

“Dia butuh lebih banyak dukungan dari keluarganya,” lanjut Zia, lebih kepada dirinya sendiri.

“Mbak Zia juga kan masih keluarga—“

“Keluarga dekatnya, maksud aku. Kayak kamu ini, mama kamu, papa kamu…”

O, Zahra tak mengerti. Ada apa dengan Mas Imin ini sebenarnya? Zahra merasa Zia terus memerhatikan mukanya yang seakan tak berekspresi padahal sebenarnya menyiratkan kebingungan. Zia memperbaiki posisi duduknya, menepuk-nepuk sebidang lahan empuk di dekatnya. “Naik sini, aku ceritain…”

Zahra menurut. Bagai seorang ibu yang hendak memberi dongeng pengantar tidur pada anaknya, Zia mulai bercerita.

“Pada suatu tahun ajaran baru, datanglah seorang anak muda bernama Luthfi Muhaimin, yang lebih kita kenal sebagai Mas Imin, ke sebuah sekolah GJ bernama SMANSON. Anak muda ini tak kalah GJ-nya. Di awal masuk ia bingung mau ikut ekskul apa. Di mata seorang remaja labil yang suka coba-coba dan ingin tau apa saja potensi terpendamnya, segalanya tampak menarik. Karena bingung menentukan pilihan, akhirnya ia menetapkan sebuah ekskul yang menampilkan demo Power Rangers setiap tahunnya sebagai ekskul sejatinya. Nah, itu terjawab, kenapa dia bisa sampai jadi ketua ekskul PATIN kemarin.”

Padahal Zahra tak bertanya. Bukan itu pula yang ia ingin tahu. “Terus?”

Zia menghela nafas. “Nah, terus… Karena pengaruh teman-teman labilnya, akhirnya ia terjerumus ke dalam sebuah MLM.”

Nah, benar! Ternyata Mas Imin memang punya hubungan dengan MLM! Zahra mengangguk-angguk. Heran mengapa ia merasa puas dengan fakta yang dianggapnya tak penting ini. “Terus?”

“Kalau kamu pernah diajak ikut presentasi MLM sama dia, dan mestinya sih udah pernah, aku ma Ardi cs juga pernah kok, itu kan suka ada training motivasinya. Alih-alih terjerat dalam jaring-jaring MLM,” pada kalimat ini Zia mengeraskan suaranya lalu merendahkannya lagi, “dia malah lebih terpikat sama buku-buku motivasi dan psikologi praktis yang diberikan si MLM itu. Entah apa menariknya itu, aku juga nggak begitu minat sama buku-buku gituan sebetulnya, tapi dia suka aja ngebandingin antara yang dikatain buku dengan kenyataan yang dia liat di sekitar dia.”

“Trus Mas Imin masih ikutan MLM nggak?”

“Nggak. Nggak jadi ikutan dia. Oportunis banget nggak sih?”

Zahra merasa kecewa. Padahal sudah geli saja ia tadi membayangkan Mas Imin menawarkan produk-produk MLM, yang belum apa-apa sudah ditolak calon korbannya.

“Sebetulnya si anak muda ini cuman lagi bingung aja, dia mau nerusin ke mana setelah lulus SMA. Dan dia pikir dia mesti menentukan itu sejak awal, supaya belajarnya lebih terarah. Dengan membaca buku-buku begituan, dan memerhatikan orang-orang di sekitarnya, dia pikir dia bisa nemuin potensinya. Tapi alih-alih begitu,” Zahra tak mengerti mengapa Zia membesarkan suaranya setiap menyebut kata “alih-alih”, “yang dia temukan malah potensi orang lain. Sebagai seorang sanguinis, sekaligus melankolis lagi hiperaktif, dan mungkin sedikit koleris—apalah itu, dia nggak bisa tinggal diam. Dia merasa harus bertindak. Dia yang trus motivasi si Ardi buat rajin gambar, sampai akhirnya Ardi jadi salah satu kadiv di ekskul Jejepangan. Dia juga yang ngasih tau ketua OSIS kita, kalau si Regi orangnya galak sehingga diangkat jadi bendahara OSIS aja. Dia juga…”

Zahra jadi teringat pula akan cerita Dean pada suatu waktu, tentang potensi terpendam beberapa anak SMANSON yang ditemukan Mas Imin, di mana itu ternyata hanya bagian dari usaha Dean agar Zahra mau meminjamkan PR-nya. Juga apa yang pernah Dean bicarakan di NAV. “Kenapa mereka harus dikasih tau Mas Imin dulu? Emangnya mereka nggak bisa nemuin potensi mereka sendiri?” Zahra menyela.

“Oh, tentu saja bisa, Zahra. Meski ada juga yang nggak. Atau malah sengaja mengabaikan potensinya. Kadang kita hanya membutuhkan seseorang untuk memotivasi diri kita terus menerus agar sadar bahwa sesuatu yang kita punyai itu penting untuk dikembangkan.

“Kalau kata Mas Imin sih, sebenernya kita semua punya potensi untuk segala sesuatu. Yang membedakan kita adalah, masing-masing dari kita punya suatu potensi yang lebih menonjol daripada orang lain. Misalnya, kita sama-sama bisa nulis dan nyanyi. Tapi tulisanku lebih bagus daripada kamu, karena aku lebih sering nulis, atau emang itu bakat alamku. Tapi kalau nyanyi, masih lebih bagusan kamu daripada aku. Misalnya karna waktu kecil kamu sering diajak orangtua kamu karaokean atau apa gitu. Jadi kalau bukan lingkungan yang menentukan, ya bakat alam kali ya…

“Itu Zahra, yang masih bikin Mas Imin penasaran. Dia pikir kalau dia nerusin ke Psikologi, dia bisa bikin penelitian mengenai gimana cara bakat bekerja. Juga gimana caranya ngubah orang-orang yang punya masalah sama potensi dirinya. Tapi ini cuman wacana kita kemarin aja sih. Kalau dia penasaran banget sama dinosaurus juga kayaknya dia bakal ngebet bikin mesin waktu.” Zia memutar kedua bola matanya. “Eh, gaya ngomong aku udah kayak Mas Imin aja ya? Hahaha…”

“Heh, iya…” Zahra jadi penasaran, Zia sudah dikuliahi apa saja oleh Mas Imin mengenai ini. Dan ia masih bingung apa bedanya potensi dengan bakat. Jadi apakah potensi itu sesuatu yang kita pasti punya, sedangkan bakat itu belum tentu? “Trus Mbak, berarti kalau keterampilan sosial itu… Misalnya, seseorang itu nggak punya keterampilan sosial… Itu benernya bukan dia nggak punya, tapi nggak menonjol aja, gitu ya Mbak?”

“Jangan pake Mbak dong… Zia aja…” Zia menggaruk hidungnya. “Kalo kata Mas Imin sih, keterampilan sosial itu bakal makin berkembang seiring dengan dewasanya seseorang. Wajar kalau anak-anak masih suka malu-malu. Tapi kalau udah gede, dia kan harus bisa ngatasin masalahnya sendiri, nggak mungkin sembunyi di ketek ibunya lagi. Jadi ya karena tuntutan lingkungan juga sih. Tapi ya, kalo menurut aku, ya itu termasuk potensi juga sih… Entar, coba kita liat di KBBI ya…”

Dengan gerakan cepat, sebuah KBBI sudah mendarat di pangkuan Zia. “Potensi… Mana sih? Oh, ini… Kemampuan yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan, kekuatan, kesanggupan, daya. Nah, kalau bakat, coba kita liat… Hmm… Dasar, kepandaian, sifat, dan pembawaan yang dibawa sejak lahir…”

Zia menutup KBBI. “Tadi cerita tentang Mas Iminnya sampai mana ya?”

Zahra menggeleng. Ia juga lupa. Sebetulnya ia memang tidak terlalu tertarik dengan masa lalu Mas Imin—seakan-akan Mas Imin kecengannya saja. Meskipun ada dua tahun mereka tidak tinggal bersama sehingga Zahra tidak bisa memantau perkembangan keseharian Mas Imin di rumah—juga karena Zahra terlanjur antipati pada kakak lalimnya itu. Dua tahun yang hilang. Dua tahun yang mengubah seseorang—mengapa ia sendiri tidak? 

Sebuah kesadaran lain tersibak, jangan-jangan Mas Imin mendekatinya selama ini juga karena melihat “sesuatu” dalam dirinya. Sesuatu yang bisa dikembangkan. Tapi apa memangnya? Mungkinkah itu motif di balik sikap Mas Imin yang sekarang?

“Ah, iya!” Zia mengagetkannya. “Jadi, begini terusannya… Kamu tau nggak, tapi jangan bilang siapa-siapa ya, para guru BP di sekolah kita itu punya intel di setiap kelas loh. Intel ini yang bertugas memberitahu guru BP, kalau terjadi masalah di kelas, sehingga masalah tersebut bisa segera ditangani sebelum makin menjadi-jadi. Nah, kejelian Mas Imin dalam mengamati orang lain, akhirnya terendus oleh seorang guru BP, sehingga ia dijadikan intel di kelasnya. Namun rupanya kemampuan Mas Imin tidak hanya sebatas jadi intel saja. Setelah bernegosiasi dengan guru BP, akhirnya dibentuklah sebuah sistem konseling, yang fasilitatornya tidak hanya guru BP saja, tapi juga dari siswa.”

“Mas Imin?”

“Ya. Tapi nggak sendirilah. Ada beberapa temennya yang sepaham ma dia juga, ikut ngebantuin.”

Zahra kira ia bisa menerka siapa saja yang Zia maksud.

“Siswa yang bermasalah ternyata nggak sedikit. Di luar mereka keliatan baik-baik aja, normal, tapi di dalam jiwa mereka terjadi konflik yang amat pelik. Kadang peran guru BP aja nggak cukup. Dibutuhkan juga pendekatan personal oleh teman sebaya. Di situlah peranan siswa konselor. Mereka bekerja secara halus. Nggak ada yang boleh tau kalau mereka bekerja untuk kepentingan BP. Tugas siswa konselor adalah menjadi teman yang perhatian bagi para siswa bermasalah, sehingga mereka mau terbuka. Kalau sudah begitu, akan mudah untuk bantu memecahkan masalah mereka secara baik-baik. Di situlah peran guru BP dan pihak sekolah mulai masuk.”

Wow. Zahra tidak tahu kalau ada yang seperti itu di sekolahnya. Jangan-jangan Unan adalah seorang siswa konselor yang ditugaskan untuk mendekatinya? Atau Syifa? Ah, kalau anak DKM sih wajar bersikap baik hati. Atau jangan-jangan Dean? Tapi sepertinya bocah itu mendekatinya murni karena alasan amoral.

“Namun sekarang tidak ada lagi yang seperti itu di sekolah kita, Zahra.”

“Kenapa?”

“Karena ceritanya sudah TAMAT sampai di sini!”

“Hah?”

“Kamu tau, aku punya potensi sebagai pengarang, sehingga kamu cuman bisa mengklaim sekian puluh persen dari semua ceritaku tadi sebagai kebenaran, sisanya adalah fiktif. Tapi silahkan kamu pilah-pilih sendiri. Udah ah, aku ngantuk!” Zia menarik selimut lalu membungkus dirinya dengan itu.

Zahra menggoncang tubuh Zia pelan. “Eh, jadi yang siswa konselor itu beneran ada apa nggak sih?”

“Tau ah. Itu mah ceritanya Mas Imin, nggak tau bener apa boong. Kamu tanya aja sendiri ama dia. Zzzzzzz…” Zia menirukan suara orang mendengkur.

Zahra menghembuskan nafas dan menggerutu pelan. Sebetulnya ia ingin sekali terus menggoncang-goncangkan tubuh Zia sampai kembali bersuara, bahkan kalau perlu merampas selimutnya sekalian. Tapi ia tidak berani. Jadilah Zahra kembali bersandar di tepi tempat tidur dengan pikiran yang tak bisa berkonsentrasi pada bacaan. Pikirannya sibuk memilah mana yang fakta dan mana yang fiktif dari cerita Zia barusan. Bisa saja semua ternyata kibulan. Dan yang paling Zahra bingungkan adalah, jadi sebetulnya Mas Imin itu inginnya jadi psikiater, psikolog, atau guru BP? Satu hal yang pasti adalah, ada kecenderungan bahwa Mas Imin akan beralih haluan cita-cita dari ITB ke entah jurusan apa. Dan apapun jurusan tersebut, Mas Imin adalah seorang pemberdaya. Kamu emang ngebutuhin dia, Zahra, hati Zahra berkata dalam kegamangan yang aneh. 

Kadang kita hanya membutuhkan seseorang untuk memotivasi diri kita terus menerus…

Secara keseluruhan, Zahra merasakan sehari semalam menginap di rumah Zia bukanlah suatu pengalaman yang buruk. Meskipun ia agak sakit hati. Keluarganya menjemputnya pada Minggu sore. Mereka tidak bisa menyembunyikan bukti bahwa mereka baru saja dari mal untuk berbelanja. Licik. Tidak ajak-ajak. Tapi mengingat kembali apa saja yang telah ia dapatkan dan alami di rumah Zia membuat rasa sakit itu terobati.

Semalam, keinginan mula Zahra di kamar Zia terwujud. Ia berhasil menuntaskan sebuah novel, tidak lama sebelum Zia bangun dari tidurnya dengan tampang tidak-kelihatan-bangun-tidur sama sekali. Zia mengeluh lengannya pegal sekali dan kepalanya pusing dan Zahra tidak tahu apa yang harus ia perbuat. Jadi ia mengambil sebuah novel baru dan membacanya sampai tahu-tahu kantuk merenggutnya. Ia tertidur di karpet.

Pagi harinya, Zia mengajak Zahra jalan pagi keliling komplek perumahan. Bersama Om Bahar juga ternyata. Lalu mereka makan bubur ayam bersama di suatu simpang yang cukup ramai. Begitu sampai di rumah Zia lagi, Zahra tidak betah menemani Zia menonton kartun pagi. Di sana ada Om Bahar yang sedang main gitar pula. Jadi ia naik ke lantai dua dan berinisiatif membereskan kamar Zia—setidaknya tempat tidurnya. Zahra merasa hasil didikan orangtuanya membuat ia jadi punya naluri membereskan atau membersihkan sesuatu di pagi dan sore hari. Bahkan Mayong pernah tega mengatai Zahra “pembantu” di depan teman-teman mainnya, saat Zahra sedang menyapu teras di suatu sore. Memang Mayong buru-buru meralat setelah itu, namun Zahra kadung mengecapnya sebagai adik durhaka.

Seusai beres-beres, Zahra merasa tak baik kalau ia langsung membaca novel. Ia tidak ingin dicap sebagai anak malas di rumah orang, maka ia turun untuk mandi. Dilihatnya Zia dan Om Bahar masih asik dengan kegiatannya masing-masing di ruang tengah. Zahra sempat berpikiran jangan-jangan memang tidak ada aturan harus mandi biarpun hari Minggu di rumah itu. Tapi biarlah. Ketika ia naik lagi ke lantai dua, pintu kamar Zaha terbuka. Baru saja derap langkah Zia pada lantai kayu melewati pintu tersebut, Zaha memanggilnya. Menyuruhnya masuk ke dalam kamar.

Zahra takjub mendapati kamar Zaha ternyata sangat rapi. Jika ada lomba membereskan dan membersihkan kamar, Zahra penasaran siapa kira-kira yang akan menang di antara ia dan Zaha. Sama seperti Zia, Zaha menaruh banyak barang di kamarnya—namun semuanya tertata rapi. Juga ada lebih banyak gambar dipajang di dinding, yang Zahra asumsikan sebagai buatan Zaha sendiri. Beberapa di antaranya sudah pernah Zahra lihat di Facebook Zaha. Kamar Zaha juga terasa lebih sejuk daripada kamar Zia.

Zaha duduk di atas sebuah kursi putar yang tampak empuk sekali. Meja di belakangnya berukuran besar, dengan tumpukan rapi kertas dan buku serta alat tulis (atau gambar?) berjejer rapat dalam sebuah wadah. Koleksi buku Zaha tidak lebih banyak dari koleksi buku Zia. Ukurannya pun lebih variatif. Sepertinya hanya ada sedikit novel di sana, duga Zahra, dan sepertinya pula ada lebih banyak gambar dan warna daripada kata di dalam buku-buku tersebut.

Atas titah Zaha, Zahra menutup pintu lalu duduk di atas tempat tidur. Zaha melemparkannya sebuah kaleng soft drink dingin yang diambilnya dari kulkas kecil di samping meja. Kulkas kecil? Zahra terbelalak. Melihat arah pandang Zahra, Zaha tersenyum. Katanya, “Aku beli kulkas sama mobil pake uangku sendiri, Zahra, dari menang lomba-lomba, ikut pameran… macem-macemlah… Mm, sebagian besar masih ditombokin papaku sih. Tapi kamu nggak usah bilang-bilang Zia ya. Kalau mobil, ya jelas nggak bisa disembunyiin. Tapi kalau kulkas ini, si Zia belum tahu.”

“Oh.” Zahra terkesima. Ia jadi mengerti apa maksud dari rambu-rambu di pintu kamar Zaha. Antara Ceria dan VW Kodok yang dilihatnya di carport tadi pagi, yang mana milik Zaha?

“Aku butuh kulkas di kamar, soalnya kalau udah gambar aku suka males ke luar. Pinginnya ada kamar mandi juga sih di sini. Tapi ya mending entar aku sekalian bikin rumah sendiri aja deh.”

Zahra manggut-manggut. Merasa agak ngeri dengan sosok di hadapannya ini. Zaha ini umurnya berapa sih? Bukankah seharusnya masih seumuran dengan Zahra? Namun Zahra merasa Zaha jauh lebih dewasa dari umurnya yang seharusnya. Tanya Zahra, “Sejak kapan kamu bisa nyetir?”

Zaha tersenyum lebar, bersandar di kursi putarnya. “Udah dari SMP, Zahra. Tapi mobilnya sih belum lama.”

“Oh.”

“Sejak Mama meninggal, Papa emang jadi agak-agak korslet. Aku juga kaget waktu aku dibolehin sekolah di rumah. Belajar apapun yang aku pingin, nggak harus ngikutin materi sekolah formal, yang kalau aku lihat Zia sih, kayaknya nyetresin banget ya? Apalagi pas aku bilang aku pingin mobil. Aku sama sekali nggak nyangka pas Papa mau nombokin, padahal aku nggak kepikiran punya mobil sekarang-sekarang ini. Tapi emang aku udah bisa nyetirnya dari dulu-dulu sih, diajarin temen.”

“Oh…” Bertambah kengerian Zahra, karena sepupunya itu terasa seperti mensyukuri kematian mamanya. Zahra langsung menepis prasangka buruknya itu. Mungkin sebenarnya Zaha sama korslet dengan papanya. Zahra tidak bisa membayangkan bagaimana sekiranya mamanya sendiri yang meninggal. Ia belum siap.

“Kalau kamu, gimana, Zahra?”

“Apa?”

“Kemarin aku baca status kamu…”

Zahra tak menyangka, ternyata Zaha pernah mengintip Facebooknya juga. Zaha bahkan ingat status apa saja yang pernah Zahra update, meski tak semua. Dari situlah, Zaha mengembangkan pertanyaan-pertanyaannya untuk Zahra. Zahra merasa Zaha selayaknya wartawan yang sedang mewawancarai narasumbernya saja. Sikap Zaha semalam ternyata hanya kalau di depan Zia saja.

“Aku juga nggak tau apa maunya,” kata Zaha. “Tapi aku kira ya kek gitu cara kita saling memahami. Nggak tau deh, apa suatu saat kita bisa ngegunain cara yang lebih baik atau nggak.”

Dan Zaha tahu tentang Zia sebanyak Zia tahu tentang Zaha, meskipun mereka tidak pernah menyengajakan untuk bertukar cerita. “Kadang-kadang informasi itu terlontar gitu aja pas kita lagi marah-marah. Misalnya pas dia ngomentarin temen-temenku untuk ke sekian kalinya, dia pake ngebandingin ama temen-temennya segala. Trus ya udah, ke luar aja informasi tentang temennya, si A, yang kek gini atau gitu. Ya udah, aku bales lagi. Selesai berantem, ya aku jadi tau ternyata dia punya temen yang kayak gimana aja.”

Zahra menimbang-nimbang. Lebih baik sering berseteru tapi setelahnya jadi tambah mengenal satu sama lain seperti Zia dan Zaha, atau diam-diaman tapi tidak pernah tahu apa-apa seperti ia dan para saudaranya? Pertanyaan-pertanyaan Zaha tentang keluarganya, membuat ia semakin menyadari bahwa sungguh tidak banyak yang ia ketahui tentang mereka. Jadi apa makna dari sekian lama tinggal bersama? Toh, mereka tetap dapat saling menerima tanpa harus banyak bertukar informasi lewat kata-kata. Itukah kekuatan dari ikatan darah?

Zahra tidak sadar bahwa ia sudah menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengobrol dengan Zaha. Terdengar Zia memanggil nama Zahra dari luar. Zahra dan Zaha kompak menoleh ke arah pintu. Zaha memberi isyarat bahwa ia mempersilahkan Zahra untuk pergi.

Zia agak kaget sewaktu melihat Zahra keluar dari kamar Zaha. Sejenak kemudian tampangnya biasa lagi dan ia mengajak Zahra untuk makan siang bersama di bawah. Zahra menurut saja. Sesudah makan siang, ia kembali ke kamar Zia untuk menunaikan solat zuhur dan melanjutkan bacaannya yang terputus semalam.

Lalu pada petang hari, ia dipanggil karena keluarganya datang menjemput. Zia mengizinkannya membawa pulang beberapa buku. Tak terkira senangnya Zahra. Di depan Zia dan keluarganya begitu, orangtua Zahra sungkan melarang anaknya hendak berkutat dengan bacaan non akademis. Barulah Mama menegurnya saat di mobil, itu pun karena tidak baik membaca saat mobil sedang jalan—bisa merusak mata.

Maka, sepanjang perjalanan pulang Zahra mengisi kekosongan batinnya dengan memikirkan ulang apapun yang diingatnya dari perkataan anak-anak Om Bahar. Masih pula ia menerka-nerka mana yang fakta dan mana yang fiktif dari cerita Zia. Namun lepas dari itu, Zahra mendesah, entah apakah silaturahmi memang secara siginifikan dapat memanjangkan umur atau tidak, ia merasa kualitas kehidupan sosialnya membaik. Senang ternyata, dapat menghabiskan waktu bersama orang-orang yang tidak biasanya. Ada hal-hal baru yang ia dapatkan dan itu menyegarkan kehidupannya yang selama ini begitu-begitu saja. Membuat hidupnya jadi terasa lebih hidup. Dan kini ia tak bimbang lagi akan siapa yang bisa ia mintai dukungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain