Rabu, 07 Juli 2010

7

Giliran pidato Zahra saja belum sampai, Pak Catur sudah memberi tugas baru. Jam pelajaran Bahasa Indonesia siang itu diisi dengan pembentukan ke­lom­pok dra­ma, dilanjutkan dengan diskusi kelompok mengenai drama yang akan di­tam­pilkan.

Seperti biasa, Zahra lebih banyak diam dalam diskusi kelompok seperti ini. Se­mentara kawan-kawan sekelompoknya sibuk mengoceh, Zahra mengisi wak­tu dengan mencorat-coret halaman belakang buku tulisnya. Yang kian meyakinkannya bahwa ia memang tidak punya bakat menggambar. Mendadak ia men­dapati bahwa ia sudah ketinggalan banyak informasi a­kibat tidak mengikuti ja­lannya diskusi. Sudah mulai pembagian peran saja. Ceritanya sendiri entah ba­gai­mana. Pikiran bahwa setelah ini ia harus tanya-tanya teman sudah membuat Zahra malas duluan.

Aing nu jadi tokoh utama wae mun kitu[1]!”

“Aku jadi istrinya!”

“Gua si Bundo, si Bundo!”

“Kalau gitu saya jadi tetangganya ajalah!”

Dan aku jadi pemegang lampu aja, nggak apa-apalah… batin Zahra. Ia te­lan keresahan karena harus tam­pil di muka kelas lagi. Padahal urusan perpidatoan saja belum usai. Ia berharap men­dapat peran yang tidak terlalu banyak tampil, ka­lau tidak boleh berada di balik la­yar saja. Zahra lekas menepis kenangan saat ia tam­pil dengan penuh kegugupan da­lam penampilan drama masa SMP.

“Eh, biar adil diundi aja yuk!” inisiatif seseorang yang akhirnya disetujui semua anggota kelompok. “Zahra, bantu nyobekin kertas dong…”

Zahra mencabut bagian tengah buku tulisnya dan menjalankan perintah tanpa ba­nyak bicara. Teman di sebelahnya yang menulisi sobekan-sobekan kertas yang Zahra buat. Teman-teman lain bantu menggulung. Gulungan-gulungan ker­tas itu kemudian ditaruh di telapak tangan seorang anak lalu dikocok-kocok de­ngan kedua belah tangan. Saat kedua belah tangan itu terbuka, berebutanlah mere­ka mengambili gulungan kertas. Zahra tak buang-buang tenaga. Ia mengambil gu­lungan kertas yang terjatuh saja. Dibukanya. Dan didapatinya kata “BUNDO.”

Satu per satu gulungan kertas yang lain juga dibuka. Masing-masing anak me­nyebut­kan peran yang didapatnya. Ada yang senang. Ada yang kecewa. Ada yang biasa-biasa saja. Zahra tidak termasuk ketiganya, karena ia adalah golongan orang-orang yang resah, mau dapat peran apapun juga. Akan makin besar ke­re­sah­an­nya kalau peran yang ia dapatkan ternyata menuntutnya tampil banyak.

“Eh, siapa yang dapet peran si Bundo?”

Ragu, Zahra mengacungkan tangan. Anak-anak memandangnya takjub.

“Woaa… Rifan, kamu dapet ibu baik hati. Bisa-bisa nggak jadi dikutuk kamu!” seru Unan, bakal tetangga si ibu baik hati dengan anaknya yang terkutuk.

Zahra terenyuh. Ia dibilang baik hati. Tapi begitu melihat wajah Rifan, pe­rasaan itu raib. Raut Rifan sama tengil dengan Dean. Dan sepertinya Rifan anak BASTARD—komunitas cowok bengal SMANSON yang selalu Zahra hindari.

“Tuker ajalah, tuker sama si Iin!”

“Eh, jangan ah. Udah adil pembagiannya kayak gini!”

“Iya, iya…”

“Tapi si Zahra bisa nggak?”

Harga diri Zahra tersentil. Lebih-le­bih saat ia menyadari bahwa, berdasar pengalaman-pengalaman sebelumnya, ke­mampuan beraktingnya memang amat buruk. “Ganti aja nggak apa-apa, kok…”

“Udah, tenang aja. Entar kita latihan bareng-bareng. Pasti bisa kok.”

Zahra tidak merasa telah ditenangkan. Tapi ia malas menambah ribut.

Mereka yang tidak terima Zahra jadi Bundo akhirnya kalah suara dengan mereka yang menganggap undian adalah sistem teradil di dunia. Yang mereka dis­ku­sikan kini adalah siapa yang hendak menggarap skenario dan penentuan waktu latih­an. Baru setelah Pak Catur mengumumkan bahwa sesi diskusi kelompok u­sai (jan­tung Zahra kontan berdebar karena itu artinya sebentar lagi sesi pidato), ke­pu­tusan kilat didapat. Zahra tidak kebagian tugas apa-apa selain menunggu skenario selesai dibuat dan ikut latihan pada jadwal yang disepakati.

Saat mengembalikan bangku ke tempat semula, Zahra memberanikan diri berta­nya pada salah satu anggota kelompok dramanya, “Drama kita tentang apa?”

“Kita mau marodiin Malin Kundang. Kamu tadi nggak merhatiin, Zahra?”

Zahra menggeleng malu. Dalam kepalanya tadi hanyalah keresahan akan tampil di mu­­ka kelas serta pikiran buruk akan betapa tidak berbakatnya ia dalam menggam­bar. “Terus Bundo itu perannya ngapain?”

“Si Bundo itu, ya ibunya Malin Kundang.”

Zahra berhenti menyeret bangku kala menyadari bahwa ibu adalah seorang tokoh penting dalam legenda Malin Kundang. Si penentu nasib tokoh utama. Peran yang menjadi tanggungan Zahra adalah peran vital yang bermain di adegan-adegan utama. Zahra lemas.



[1] Sunda: saya  yang jadi tokoh utama saja kalau begitu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain