Bogemnya menjurus ke daguku. Bagus, aku bisa mengelak. Deru
napasku menghebat, dengusnya tertahan di lubang hidung. Bagus, begitu pula
katanya. Sekarang apa? Yang kupikirkan hanya menyerbu perutnya dengan puncak
kepalaku. Tertangkap kedua belah tangannya, lalu tergampar tendangannya bak
bola. Aku terhuyung. Tubuhku berderak di ubin. Tidak ada gunanya meresapi
nyeri. Mengaduh-aduh bukan senjata yang mempan. Ia ulurkan tangan padaku,
kusambut, sekalian kujegal tumitnya. Sip! Ia nyaris terjungkal, tapi bagian
atas tubuhnya lantas berkelok dengan luwes, lalu menghantam tubuhku dari atas.
Dadaku menubruk ubin. Ia biarkan aku terengah-engah berapa lama, sebelum menarik
sebelah tanganku dengan kasar. Aku bahkan tidak sadar ia sudah tidak menindihku.
Bagian belakang tubuhku terlempar hingga menabrak dinding. Segera ia mengambil
jarak, angkat kedua bogem, sementara sepasang tungkai kakinya menjejak
kuda-kuda. Ayo, ayo. Hembusan napasku amat keras. Sebelah mataku sudah tidak
melihat. Serasa aku bakal ambruk setiap saat. Tapi ia menantiku. Aku kerahkan
pukulan sikut, berharap bisa menusuk bagian manapun dari tubuhnya, manapun,
ayo, terjatuhlah. Tapi bogemnya menggebuk pipiku. Sial! Sontak aku meludah.
Gimana, rasanya? Ia mengulas senyum. Asin, bangke!, asin! Kujawab dengan
batuk-batuk yang efeknya bak meledakkan rusuk. Aku bisa dengar sengalnya.
Pelipisnya yang berkilat-kilat akibat keringat. Mendadak semangatku nyala. Ini
akan jadi penghabisan, penghabisan! Kujelmakan diriku kilat, condong ke
perutnya. Ia berkelit, untung masih tertangkap sebelah mataku yang masih dapat
membuka. Hyah! Hyah! HYAAH! Aku sudah tidak peduli mana tangan mana kaki.
Pandanganku merah, merah. Aku dibakar panas dari mana-mana, bekas tubuhnya yang
menubruk tubuhku dengan semena-mena. Terakhir kuayunkan pundakku, pundakku,
jatuh dalam rengkuhannya.
Ia tertawa, bangsat!, ia tertawa. Aku terkulai di kaki tempat
tidurnya, sementara ia turun ke lantai bawah. Suara ibunya. Ada apa sih Nak
gedebak gedebuk di atas. Beres-beres, Bu!, serunya bernada misuh-misuh, aku
tahu dalam hati ia terkekeh puas, si keparat itu. Bercak merah menodai
seragamku, bagus, seragamku sekarang menyerupai bendera Jepang. Aku tidak tahu
jatuh dari mana cairan itu, dari dahiku apa hidungku apa mataku apa mana.
Barangkali jantungku pun telah melesak ke kepala, berdenyut-denyut keras di
sana.
Ia kembali, menghamburkan barang-barang dari tangkupannya di
dekatku. Kapas, cotton bud, sebotol
alkohol, Betadine, plester… Aku tidak tahu kalau ia ikut PMR di sekolah.
Pedulilah. Perih mulai menimpa titik-titik mulai dari permukaan kulitku hingga
beberapa kilometer lagi ke dalamnya. Kuintip sesekali matanya, yang dengan
saksama memerhatikanku—lukaku.
“…aku enggak mau ginian lagi,” ucapku, dengan napas yang
masih sukar kuatur.
“Manja banget kamu ini,” gerutunya, tanpa senewen betul.
Aku tidak menjawab, sekalian menelengkan kepalaku. Aku ingin
meludah lagi. Tapi melihat bercak dari lukaku pada hari-hari sebelumnya saja
belum ia bersihkan… ya ampun si brengsek ini benar-benar jorok—kadal buntung.
Ocehannya terus dengan bagaimana pukulanku makin kuat,
tendanganku makin mengena, tusukanku makin lincah, dan pertahananku makin gesit
dari waktu ke waktu.
Jujur, aku tidak bisa menahan ini, aku ingin bersamanya—ya aku
memang ingin bersamanya!, tapi tidak untuk jadi samsaknya. Tidak untuk jadi
pengganti dirinya sedang ia pengganti bapaknya, dulu, dulu ketika ia bangun
siang ditampar, tidak menghabiskan makan digampar, keluyuran ditonjok, tidak
kerjakan PR dijotos, menangis ditoyor, mengeyel ditempeleng. Ringan tangan dan
berat mulut, begitu ia mengenang bapaknya, yang almarhum.
“Tapi kamu tahu, Raka, waktu aku jadi juara umum di SD-ku.
Aku pulang bawa piala besar, piagam, hadiah… kamu tahu gimana bapakku?”
“AKH!” Tiba-tiba ia menabok lenganku dengan kencang,
membuatku tahu mesti ada memar yang dalam di sana.
“…sebetulnya enggak persis di sana sih, tapi di punggung…”
Jangan tabok punggungku!
bikin sendiri dong ah meme-mu di http://memegenerator.net/instance/28839326 |
Setelah menyobek pembungkus plester ia henti sesaat. Memandang
ke lain arah sebelum kembali padaku. “Aku bukan orang yang sulit kayak bapakku.
Kalau aku ingin kamu jadi temenku, aku bisa bilang langsung sama kamu, enggak
sulit.”
He. Benarkah? Ia tidak melakukannya. Ia cuman mengajakku ke
kamarnya, main game, lalu bilang
kalau tarung betulan lebih enak ketimbang tarung dengan avatar, lalu ia ketagihan.
Aku bisa apa, tubuhnya jauh lebih besar dan perkasa.
“Tapi…” sejenak mukanya mengernyut-ngernyut, “…aku suka cara
bapakku.”
Ia menyeringai, lebar. [cukupah:14.20 – 15. 11:231012]
sekadar ngerjain latihan dari sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar