“The Train from Rhodesia” (1949) merupakan cerpen karangan
Nadine Gordimer (lahir 1923), seorang pemenang nobel Sastra dari Afrika
Selatan. Cerpen ini secara subtil mengungkapkan
kritik terhadap politik apartheid.
Cerita dibuka dengan kedatangan sebuah kereta, yang kemudian
berhenti di sebuah stasiun.
The train come out of
the red horizon and bore down toward them over the single straight track.
Seorang wanita muda di dalam kereta, didekati seorang pria
tua. Melalui jendela pria tua tersebut menawarkan dagangannya yang berupa
ukiran kayu berbentuk hewan. Si wanita tertarik dengan ukiran kayu berbentuk
singa, suaminya pun berminat untuk membelikannya. Tetapi kemudian wanita
tersebut memutuskan bahwa harga singa ukiran tersebut terlalu mahal. Ia pun
pergi dari tempat itu, lalu duduk di bangku seraya merenung.
Kereta kembali berangkat. Si suami mendekati istrinya dengan
singa ukiran di tangan. Ia berhasil mendapatkan benda tersebut seharga dua shilling lebih murah. Apa nyana, si
istri malah marah.
If you wanted the thing,
she said, her voice rising and breaking with the shrill impotence of anger, why
didn’t you buy it in the first place? If you wanted it, why didn’t you pay for
it? Why didn’t you take it decently, when he offered it? Why did you have to
wait for him to run after the train with it, and give him one-and-six!
One-and-six!
Si istri pun tidak mengacuhkan suaminya lagi, membiarkan
singa ukiran tersebut jatuh begitu saja.
Kereta pun kembali berjalan.
The train had cast the
station like a skin. It called out to the sky, I’m coming, I’m coming; and
again, there was no answer.
IMHO. Kereta bak sebuah garis yang membelah jalanan, seperti
politik apartheid yang memisahkan manusia berdasarkan warna kulit. Kereta
meraung-raung dengan sirenenya, tapi tidak ada satupun yang memedulikan. Seakan
menggambarkan kondisi pada masa politik apartheid dilangsungkan, tidak ada yang
cukup acuh untuk mengubah keadaan. Hingga orang-orang seperti Nadine Gordimer sampai
Nelson Mandela bersuara.
***
Saya coba membayangkan sekiranya latar cerpen ini adalah
Indonesia, masa kini, dan bukannya Afrika Selatan, masa lalu. Di Afrika
Selatan, warna kulit membedakan kelas. Di Indonesia, kulit sama cokelat tapi
perbedaan kelas tetap nyata. Kesenjangan amat terasa. Hotel setinggi puluhan
lantai menjulang sendiri di tepi pemukiman padat nan kumuh, duh! Cek Jalan
Gatot Subroto di Kota Bandung tuh.
Rasakan pengalaman berkendara dengan kereta di Indonesia, di
Pulau Jawa, di jalur Jogja-Bandung saja misal. Menjelang sore, kereta telah sampai
di sebuah stasiun di Garut—atau sekitar itu.
“Duk! Duk!” badan kereta dipukul-pukul.
“Bu, minta duit…!” suara anak-anak kecil riuh menyusul.
“Duk! Duk!” di sini, di sana, di mana-mana di sepanjang badan
kereta.
Belum lagi, “Quaquaqua…”, atau “Mijonmijonmijon…”, dan “Ayamayamayam…”
Kejadian sebagaimana di cerpen Nadine Gordimer mungkin saja
terjadi. Tidak cuman di kereta, ayo beralih ke pasar. Calon pembeli menawar
dengan harga serendah mungkin, tidak dikasih, tinggalkan. Pedagang, apabila
telah sampai taraf putus asa karena barangnya memang tidak laku-laku, akan
mengejar calon pembeli. Kasih dengan harga semau calon pembeli, atau coba ajak
bernegosiasi lagi.
Memang patut apabila istri memarahi suami. Menawar barang
hanya untuk bersenang-senang. Membayar dengan harga yang tidak pantas. Bikin si
pedagang sampai mengejar-ngejar. Suami tidak tahu betapa berarti bagi si
pedagang apabila barangnya laku, biarpun cuman satu. Dasar suami iseng.
Beberapa kritik mengenai cerpen ini memposisikan suami
sebagai karakter yang tidak simpatik. Adapun saya juga melihat sisi yang
menunjukkan bahwa suami sebetulnya sekadar ingin menyenangkan istri, sedang bargaining for fun itu hanya implikasi
dari kejadian yang dimulai oleh istri. Sekiranya istri tidak urung membeli
singa ukiran tersebut, kejadian
suami-bayar-terlalu-murah-sampai-bikin-pedagang-lari-lari-padahal-sudah-tua kan
tidak perlu terjadi. Toh suami juga sampai lari-lari untuk menunjukkan pada
istri bahwa ia telah memperoleh barang yang semula diinginkan istri, tapi istri
tidak menghargai. Suami tidak menghargai pedagang, suami tidak dihargai istri.
Di sisi lain istri tidak jadi membeli singa ukiran bukan
hanya karena harga yang mahal, melainkan juga karena mereka sudah membeli
banyak barang serupa, dan istri sedang galau akan hubungannya dengan suami. Ia
merasa asing dengan suami, yang sayang sekali sebabnya tidak dijelaskan lebih dalam
oleh pengarang. Bisa jadi suami tertarik pada istri, tetapi istri menikah
dengan suami tidak dilandasi dengan cinta. Bagaimanapun suami dan istri menaiki
“kereta dari Rhodesia” itu karena mereka baru pulang dari bulan madu. Baru permulaan.
Coba lihat setelah bertahun-tahun lagi, setelah satu sama lain telah semakin
mengenal, masihkah istri merasa asing dengan suami?
Kompleks juga cerpen ini. Politik apartheid tidak hanya
memisahkan yang putih dengan yang hitam, tapi berpotensi juga terhadap suami
dengan istri.***
(dari "The Harper Anthology of Fiction" oleh Sylvan Barnet, 1991, HarperCollins Publishers Inc.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar