Di perempatan kamu biasa melihatku.
Kalung menjerat leherku, terhubung rantai ke tangan seorang lelaki. Topi kumal
menyembunyikan sebagian rambut lepeknya. Baju kotak-kotaknya sama lecek dengan
mukanya. Matanya suntuk. Aku tidak berani meloncat ke bahunya, aku
berputar-putar saja di sekitarnya. Kami berdiam di pulau jalan, tidak jauh dari
lampu lalu lintas.
Merah nyala lampu, serta-merta jalur
hidupku tertekan kalung. Digeret berkali-kali seiring jumlah salto yang
kulakukan. Ia melemparkan payung yang seukuran tubuhku. Aku menangkapnya, lalu
berputar-putar sembari mengayuh sepeda yang seukuran tubuhku. Sebelah tangannya
menabuh kendang berkali-kali. Sebelah tangannya lagi, sembari tetap memegang
rantai, mengambil sepasang egrang yang seukuran tubuhku.
Kalung kembali menyentak leherku.
Kulempar payung dan sepeda, kutangkap egrang itu lalu kunaiki. Aku berputar-putar
dengan egrang di atas garis-garis aspal. Polutan mewarnai rambut di sekujur
tubuhku. Aku lelah. Lelaki itu belum makan dari pagi, jadi aku juga. Lapar
membikin garang tatapannya, sedang aku kian sayu memilukan. Tapi aku harus
tetap mengayunkan kayu-kayu ini, atau lelaki itu akan mencekikku dengan lebih
kasar.
Aku berputar untuk ke sekian kali. Masih
aku dapati manusia berkepala besar itu menghadap ke arahku dari atas sepedanya
yang bermesin. Hitam berkilat-kilat. Aku tidak dapat melihat rupanya
sebagaimana rupa majikanku. Ia baru menoleh ke lain arah ketika warna lampu
berganti hijau.
Petang majikanku menyeret-nyeretku untuk
menyeberang jalan. Sempoyongan tangan dan kakiku menggapai-gapai tanah agar
nyeri di leherku tak begitu terasa. Sekonyong-konyong manusia berkepala besar
itu muncul di belakang kami. Sepeda bermesinnya berjalan pelan. Aku meloncat ke
punggung majikanku, lalu duduk di bahunya. Tubuhku menghadap ke arah sosok itu.
Ia ikut berhenti ketika majikanku berhenti di suatu warung. Sembari melahap
pisang sesekali kuperhatikan ia yang memantau kami dari kejauhan.
Perjalanan dilanjutkan. Kami masuk ke
dalam gang. Ia tidak. Ia berhenti di muka. Kepalanya hitam besar berkilat-kilat
memantulkan punggung majikanku, mukaku.
Ia datang pada suatu malam. Aku
terbangun dari peraduanku di atas pohon belimbing. Aku meloncat ke dahan yang
lebih atas. Dedaunan gemerisik. Ia tengadah. Sinar bulan dan kemilau bintang
menerangi mukanya. Ia tidak lebih tua dari majikanku, sama jantan.
Ia mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya.
Rantaiku dipotong. Aku terbebas dari pohon ini. Ia memberiku buah. Aku menempel
di pundaknya. Lelaki itu mengelus-elusku. Aku bergelayut di dadanya. Dulu
sekali aku masih begitu pada majikanku, tapi tidak sejak ia kepayahan
menghidupi istri dan anak-anaknya.
Tempat tinggal lelaki itu jauh. Ketika
ia membuka pintu aku melihat puluhan sorot terpancar dari sosok serupaku. Kami
makhluk yang senasib, kemudian kutahu. Kami diincar dari tiap-tiap perempatan.
Dikumpulkan. Diberi makan. Segala pepaya, mangga, pisang, jambu. Kami pun
diberi daging, tuan kami yang baru sungguh murah hati. Tapi kami harus memotong
sendiri santapan kami.
Tuan kami yang baru tidak memberi kami
pekerjaan konyol. Pekerjaan baru kami adalah di sebuah ruangan berdinding
hitam, bertanah lembap, diberikan pada kami tiap beberapa minggu sekali, tapi
berhari-hari sebelumnya kami tidak diasup seiris buahpun. Sebelumnya ia
mengajari kami bagaimana cara menggunakan pisau untuk menyayat, membelah,
memotong. Tapi sering kami tak sabaran. Dengan beringas kami hantam manusia
yang ia hempas. Sudah tanpa daya, entah apa yang tuan kami telah lakukan
padanya sebelumnya. Manusia demi manusia mulus tanpa serat kayu.
Sarimin yang telah mahir menggorok. Ketua
geng. Miliknya bukan sekadar pisau, tapi golok. Setelah darah merembes ke
permukaan yang memadat dan dingin, kami menyerbu demi hentikan cakaran di dalam
perut kami. Kami berbagi jatah sebagaimana senioritas di antara kami. Aku masih
baru, aku cukup dapat kaki. Kaki manusia, hmm, slurp, slurp, masih bergerak-gerak
saat aku jilati. Aku lihat ke ujung, geligi santapan kami masih tampak, rongga
yang menaunginya terbuka dan tertutup, suara tercekat.
Kami kenyang, tuan kami masuk ruangan. Pencahayaan
hanya dari belakangnya, yang segera tertutup kembali. Paculnya terangkat.
Bongkah demi bongkah tanah menyamarkan anyir yang mulai merajalela, hingga
tertutup sempurna. Lalu kami dikeluarkan dari ruangan. Kami harus menunggu
beberapa lama lagi, hingga bisa mencicipi lagi makanan spesial itu. Hari-hari
selanjutnya kami mesti terbiasa lagi dengan buah.
Pisau tidak hanya dapat digunakan untuk
mencacah daging. Kami dilatih cara melempar pisau agar tepat sasaran.
Menjadikan satu sama lain sebagai sasaran. Bersembunyi dari serangan. Bersalto
dan berkelit. Satu per satu dari kami gontai ke lantai, darah menggenang. Yang
terkuat yang menang. Tuan kami kembalikan kodrat kami, perbarui kebudayaan
kami, tidak di hutan, hanya dalam ruang-ruang luas di tempat tinggalnya. Tidak
ada pepohonan, hanya dinding-dinding dan perabotan. Segala porak-poranda, tapi tuan
kami terkekeh-kekeh.
Setelah kali ke berapa aku dapat
kesempatan makan enak, tuan kami didatangi beberapa lelaki. Pakaian yang mereka
kenakan melejitkan ingatanku saat masih bekerja di perempatan: cokelat hampir
serupa kulit mereka, tapi yang dulu kerap kulihat dilapisi kuning menyala. Kami
tertegun di kandang masing-masing, atau di macam-macam perabotan yang mengisi
ruang tengah. Tatapan lelaki-lelaki berseragam itu menyapu kami, sebelum
memasuki ruang demi ruang di tempat tinggal tuan kami.
“Monyet-monyet ini peliharaan Anda?”
kudengar suara. Tuan kami mengiyakan. Beberapa di antara kami menjerit-jerit.
Pamerkan seringai agar lelaki-lelaki berseragam itu gentar. Kerahkan desisan.
Jangan sampai mereka mendekat. Kejar, terus kejar. Lawan jika mereka coba
menyentuh. Tapi mereka keder duluan. Tuan kami menutup pintu. Beberapa di
antara kami masih menggeram-geram.
Selepas kepergian lelaki-lelaki
berseragam itu, Ujang dibantai. Ia yang menggigit wanita di rumah sebelah. Ia
sudah tak sabaran menyantap makanan enak lagi, sudah beberapa bulan ini belum.
Kami dikumpulkan. Pisau kami dilucuti,
diganti pisau baru yang berukuran lebih kecil, lebih tajam. Ia terbenam dalam
sofa kebesarannya, seraya memandangi kami yang sedang mencoba-coba senjata baru
kami. Belum untuk diarahkan pada satu sama lain, belum ada instruksi. Baginya
tak perlu ada kekang pada kami agar kami patuh. Ia seorang master.
Kata-katanya kami dengarkan sembari kami
kunyah buah-buah yang ia berikan. Bahwa ia akan meninggalkan rumah ini. Bahwa
ia akan melepaskan kami. Pisau baru sebagai bekal kami untuk menguliti apa
saja. Makanan, tentu saja. Dasar monyet kalian, bergerak cuman karena makanan! serapahnya.
Kalau begitu alangkah lezatnya daging manusia yang telah berlaku keji pada
kalian.
Tuan kami pergi. Rumah dikunci, tidak
akan pernah dibuka lagi. Kami tidak tahu harus ke mana, mungkin kembali pada
majikan kami sebelumnya. Demikian aku. Kuingat dulu ia sering kali
menarik-narik leherku, mungkin memang enak rasanya, rasa lehernya. Aku tidak
butuh kalung. Aku punya pisau.*997w*
sekadar ngerjain latihan dari sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar