Rabu, 10 Oktober 2012

The Monkey's Revenge




Di perempatan kamu biasa melihatku. Kalung menjerat leherku, terhubung rantai ke tangan seorang lelaki. Topi kumal menyembunyikan sebagian rambut lepeknya. Baju kotak-kotaknya sama lecek dengan mukanya. Matanya suntuk. Aku tidak berani meloncat ke bahunya, aku berputar-putar saja di sekitarnya. Kami berdiam di pulau jalan, tidak jauh dari lampu lalu lintas.

Merah nyala lampu, serta-merta jalur hidupku tertekan kalung. Digeret berkali-kali seiring jumlah salto yang kulakukan. Ia melemparkan payung yang seukuran tubuhku. Aku menangkapnya, lalu berputar-putar sembari mengayuh sepeda yang seukuran tubuhku. Sebelah tangannya menabuh kendang berkali-kali. Sebelah tangannya lagi, sembari tetap memegang rantai, mengambil sepasang egrang yang seukuran tubuhku.

Kalung kembali menyentak leherku. Kulempar payung dan sepeda, kutangkap egrang itu lalu kunaiki. Aku berputar-putar dengan egrang di atas garis-garis aspal. Polutan mewarnai rambut di sekujur tubuhku. Aku lelah. Lelaki itu belum makan dari pagi, jadi aku juga. Lapar membikin garang tatapannya, sedang aku kian sayu memilukan. Tapi aku harus tetap mengayunkan kayu-kayu ini, atau lelaki itu akan mencekikku dengan lebih kasar.

Aku berputar untuk ke sekian kali. Masih aku dapati manusia berkepala besar itu menghadap ke arahku dari atas sepedanya yang bermesin. Hitam berkilat-kilat. Aku tidak dapat melihat rupanya sebagaimana rupa majikanku. Ia baru menoleh ke lain arah ketika warna lampu berganti hijau.

Petang majikanku menyeret-nyeretku untuk menyeberang jalan. Sempoyongan tangan dan kakiku menggapai-gapai tanah agar nyeri di leherku tak begitu terasa. Sekonyong-konyong manusia berkepala besar itu muncul di belakang kami. Sepeda bermesinnya berjalan pelan. Aku meloncat ke punggung majikanku, lalu duduk di bahunya. Tubuhku menghadap ke arah sosok itu. Ia ikut berhenti ketika majikanku berhenti di suatu warung. Sembari melahap pisang sesekali kuperhatikan ia yang memantau kami dari kejauhan.

Perjalanan dilanjutkan. Kami masuk ke dalam gang. Ia tidak. Ia berhenti di muka. Kepalanya hitam besar berkilat-kilat memantulkan punggung majikanku, mukaku.

Ia datang pada suatu malam. Aku terbangun dari peraduanku di atas pohon belimbing. Aku meloncat ke dahan yang lebih atas. Dedaunan gemerisik. Ia tengadah. Sinar bulan dan kemilau bintang menerangi mukanya. Ia tidak lebih tua dari majikanku, sama jantan.

Ia mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. Rantaiku dipotong. Aku terbebas dari pohon ini. Ia memberiku buah. Aku menempel di pundaknya. Lelaki itu mengelus-elusku. Aku bergelayut di dadanya. Dulu sekali aku masih begitu pada majikanku, tapi tidak sejak ia kepayahan menghidupi istri dan anak-anaknya.

Tempat tinggal lelaki itu jauh. Ketika ia membuka pintu aku melihat puluhan sorot terpancar dari sosok serupaku. Kami makhluk yang senasib, kemudian kutahu. Kami diincar dari tiap-tiap perempatan. Dikumpulkan. Diberi makan. Segala pepaya, mangga, pisang, jambu. Kami pun diberi daging, tuan kami yang baru sungguh murah hati. Tapi kami harus memotong sendiri santapan kami.

Tuan kami yang baru tidak memberi kami pekerjaan konyol. Pekerjaan baru kami adalah di sebuah ruangan berdinding hitam, bertanah lembap, diberikan pada kami tiap beberapa minggu sekali, tapi berhari-hari sebelumnya kami tidak diasup seiris buahpun. Sebelumnya ia mengajari kami bagaimana cara menggunakan pisau untuk menyayat, membelah, memotong. Tapi sering kami tak sabaran. Dengan beringas kami hantam manusia yang ia hempas. Sudah tanpa daya, entah apa yang tuan kami telah lakukan padanya sebelumnya. Manusia demi manusia mulus tanpa serat kayu.

Sarimin yang telah mahir menggorok. Ketua geng. Miliknya bukan sekadar pisau, tapi golok. Setelah darah merembes ke permukaan yang memadat dan dingin, kami menyerbu demi hentikan cakaran di dalam perut kami. Kami berbagi jatah sebagaimana senioritas di antara kami. Aku masih baru, aku cukup dapat kaki. Kaki manusia, hmm, slurp, slurp, masih bergerak-gerak saat aku jilati. Aku lihat ke ujung, geligi santapan kami masih tampak, rongga yang menaunginya terbuka dan tertutup, suara tercekat.

Kami kenyang, tuan kami masuk ruangan. Pencahayaan hanya dari belakangnya, yang segera tertutup kembali. Paculnya terangkat. Bongkah demi bongkah tanah menyamarkan anyir yang mulai merajalela, hingga tertutup sempurna. Lalu kami dikeluarkan dari ruangan. Kami harus menunggu beberapa lama lagi, hingga bisa mencicipi lagi makanan spesial itu. Hari-hari selanjutnya kami mesti terbiasa lagi dengan buah.

Pisau tidak hanya dapat digunakan untuk mencacah daging. Kami dilatih cara melempar pisau agar tepat sasaran. Menjadikan satu sama lain sebagai sasaran. Bersembunyi dari serangan. Bersalto dan berkelit. Satu per satu dari kami gontai ke lantai, darah menggenang. Yang terkuat yang menang. Tuan kami kembalikan kodrat kami, perbarui kebudayaan kami, tidak di hutan, hanya dalam ruang-ruang luas di tempat tinggalnya. Tidak ada pepohonan, hanya dinding-dinding dan perabotan. Segala porak-poranda, tapi tuan kami terkekeh-kekeh.

Setelah kali ke berapa aku dapat kesempatan makan enak, tuan kami didatangi beberapa lelaki. Pakaian yang mereka kenakan melejitkan ingatanku saat masih bekerja di perempatan: cokelat hampir serupa kulit mereka, tapi yang dulu kerap kulihat dilapisi kuning menyala. Kami tertegun di kandang masing-masing, atau di macam-macam perabotan yang mengisi ruang tengah. Tatapan lelaki-lelaki berseragam itu menyapu kami, sebelum memasuki ruang demi ruang di tempat tinggal tuan kami.

“Monyet-monyet ini peliharaan Anda?” kudengar suara. Tuan kami mengiyakan. Beberapa di antara kami menjerit-jerit. Pamerkan seringai agar lelaki-lelaki berseragam itu gentar. Kerahkan desisan. Jangan sampai mereka mendekat. Kejar, terus kejar. Lawan jika mereka coba menyentuh. Tapi mereka keder duluan. Tuan kami menutup pintu. Beberapa di antara kami masih menggeram-geram.

Selepas kepergian lelaki-lelaki berseragam itu, Ujang dibantai. Ia yang menggigit wanita di rumah sebelah. Ia sudah tak sabaran menyantap makanan enak lagi, sudah beberapa bulan ini belum.

Kami dikumpulkan. Pisau kami dilucuti, diganti pisau baru yang berukuran lebih kecil, lebih tajam. Ia terbenam dalam sofa kebesarannya, seraya memandangi kami yang sedang mencoba-coba senjata baru kami. Belum untuk diarahkan pada satu sama lain, belum ada instruksi. Baginya tak perlu ada kekang pada kami agar kami patuh. Ia seorang master.

Kata-katanya kami dengarkan sembari kami kunyah buah-buah yang ia berikan. Bahwa ia akan meninggalkan rumah ini. Bahwa ia akan melepaskan kami. Pisau baru sebagai bekal kami untuk menguliti apa saja. Makanan, tentu saja. Dasar monyet kalian, bergerak cuman karena makanan! serapahnya. Kalau begitu alangkah lezatnya daging manusia yang telah berlaku keji pada kalian.

Tuan kami pergi. Rumah dikunci, tidak akan pernah dibuka lagi. Kami tidak tahu harus ke mana, mungkin kembali pada majikan kami sebelumnya. Demikian aku. Kuingat dulu ia sering kali menarik-narik leherku, mungkin memang enak rasanya, rasa lehernya. Aku tidak butuh kalung. Aku punya pisau.*997w*


sekadar ngerjain latihan dari sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain