Minggu, 28 Oktober 2012

Elegi Kelinci Toska (II)


Sesaat aku kaku. Barangkali kelinci itu akan menyerbuku. Akan segera kututup pintu dari luar jika itu terjadi, lalu mencari tameng untuk melindungi diriku dari sergapannya.

Tapi ia tenang.

Berapa lama kami mengamati satu sama lain. Kelinci itu seperti patung berbulu. Aku bukan. Aku mengalah. Kutarik kursi lalu duduk di balik meja, posisiku membelakangi jendela. Kukeluarkan buku catatan setengah terbakar itu dari laci. Segera aku berbalik, ingin tahu reaksinya.

Ia bergeming.

Kubuka halaman terakhir yang kuisi. Kuangkat pulpen. Sesekali aku menoleh padanya, masih ia bergeming.

Apa ia akan menerkam leherku saat aku menulis? Punggungku mendadak bak agar-agar.

…kamu bakal menulis nama-nama lagi…i…i…

…suara itu berat dan lesu, lamat-lamat. Aku berbalik. Kelinci itu masih patung berbulu. Jantungku mulai memompa lebih kencang. Dengus napasku terdengar benar, panas di bawah lubang hidungku.

…kamu bakal menulis nama-nama lagi…i…i…

Aku yakin mulut kelinci itu tidak terbuka sama sekali. Tapi suara siapa yang mendenging-denging di kepalaku, menggetarkan indra pendengaranku dari dalam?

Mataku pada matanya. Patung berbulu. Pada mulutnya, tanpa sepercik darahpun. Aromanya samar-samar merambat, barangkali karena terpaan angin dari belakang, kepalaku pening.

...tulislah… suara itu lagi. ...tulislah sebelum tujuh hari...i…i…

Kini aku membeku. Luar dan dalam.

…batasnya tujuh hari…i…i…
…atau habiskan buku itu…
…lalu giliranmu…

Raib inginku untuk menulis nama-nama. Aku tidak mau melukai orang lagi.

...di buku itu paling banyak kamu tulis tentang dirimu…
…darahmu akan sebanyak yang kamu tulis tentang dirimu…

Aku harap ini hanya mimpi. Sempoyongan aku menggapai-gapai kasur, meskipun itu mendekatkanku pada sang kelinci. Suara itu memeras otakku, seperti anak kecil yang menggigiti bola bulu dengan gemas. Sebelah wajahku tenggelam di bantal, sebelah mataku membelalak ke arahnya. Adakah kamu—adakah kamu? Mata kelinci itu lurus masih ke mejaku, seolah aku di sana masih…

…kepalanya bergerak sedikit-sedikit. Robotkah ia?

Wajahnya tepat di wajahku. Wajah manusia. Bayang-bayang. Kelinci hilang. Ini baru petang kan, kenapa tahu-tahu serasa malam? Argh… Badanku tak bisa kugerakkan. Mulutku dibungkam bantal.

Kupejamkan mata, kubenamkan seluruhnya pada bantal berapa lama.

Kuintip lagi. Masih ada wajah itu, cuman wajah. Seorang pria kusut kasau.

Makhluk itu punya mulut kali ini, ia bicara dengan mulut.

Tenanglah! Ia berkata seperti itu berkali-kali, dan aku seperti terhipnotis. Tapi aku masih terlalu lembam untuk bangkit. Ini cuman kutukan.

Yeah. Ini cuman… kutu… kan?

…cuman.

Aku terkutuk untuk melaksanakan perintah.
Perintah dalam buku itu.
Buku itu harus dibuang.
Buang ke lubang yang tidak mungkin ada.
Lubang yang tidak mungkin ada di bawah pohon yang tidak bisa dihancurkan.
Buang sebelum tujuh hari.
Tujuh hari sejak kamu terakhir kali menulis.
Ini hari keenam.
Besok…
…besok.
…besok…

Lama-lama suara itu menyerupai bisikan. Dan aku tertidur. Aku tidak bermimpi apa-apa. Hanya hitam. Kepalaku berat. Aku tidak merasakan kakiku. Pikiranku melayang-layang mencari refleksi, tapi tak mewujud apa-apa. Hanya mengiang-ngiang selama aku terhanyut ke dalam ketidaksadaran. Ada sebuah dunia yang lain, yang aku tidak pahami, yang aku terseret, tidak bisa keluar, dan… to…

…looo…

…ooo…

…ooo…

…ng…
           
…!

Aku terbangun. Kelinci itu masih patung berbulu di ambang jendela. Perlahan kututup lagi mataku. Kulelapkan diri ke dalam palung tanpa mimpi. Sampai aku terangkat kembali oleh parasut yang mendadak terpasang pada punggungku. Ia patung berbulu masih. Kepalanya menghadap ke meja, seolah aku di sana masih. Aku terperangah dan ngeri, tapi lamban laun terhunjam dalam lelap lagi.

Aku bangun dengan tersengal-sengal, seakan baru mendapatkan giliran dalam marathon.

Kelinci itu!...

…tidak ada di jendela!

Semula moncongnya yang dingin menyentuh ujung jempol kakiku, menghentakkanku dari lain alam. Lalu ia mulai melahap, menggerogoti. Aku berteriak. Kakiku bergerak dengan liar, menendang-nendang udara. Tubuh kelinci itu berat, berayun-ayun di udara, menarik jempolku serta. Kuambil bantal lalu kuhempas keras-keras di atas buntalan toska itu. Cengkeraman gigi-giginya makin kuat pada jempolku. Aku mengerang. Makan wortel sana, jangan jempolku!

Merah merembes dari pangkal jempol ke kasurku, sementara bening dari sudut mata menuju lembah kakiku. Aku tak melihatnya ketika tahu-tahu jempolku bebas dari mulutnya. Pucuk hidungnya bergerak-gerak. Aku terpana, sesaat, karena setelahnya terkaman kelinci itu lebih beringas dan lebih beringas.

Ia menyerbu sekujur tubuhku. Gigitannya silet yang menancap-iris. Langsung ke kulitku, atau menembus kain bajuku. Ia lukis motif di tubuhku, berupa bercak-bercak darah. Aku berlari ke luar kamar dengan bebannya berayun-ayun dari pundakku, serasa segumpal dagingku akan tercerabut.

Ibuku histeris mendapatiku pontang-panting, dan kelinci itu. Ia kehilangan daya untuk berkata-kata.

Aku terjerembap saat kelinci itu menggarap tempurung lututku. Lututku terlipat, hendak menghunjam lantai, tapi terhalang tubuhnya.

“Ngek!”

Tak ada lagi sayatan silet tebal pada lututku. Kukira kelinci itu  tewas tertohok lututku.

Ia di pinggangku.

Sebelah lenganku menggapai-gapai ke arahnya. Dapat!—bulunya! Kurenggut! Akh! Kutarik dengan tubuhnya yang gempal itu sekalian. Aku berteriak keras karena agaknya selapis dagingku terbawa. Benar saja, menggelantung dari mulutnya yang bergincu darah. Sementara sebelah tanganku mencekal lehernya, akuberganti posisi, lalu sebelah tangan lagi. Seerat mungkin kedua tanganku hendak menghancurkan bagian dalam lehernya. Ia meronta-ronta. Giginya yang lebih menyakitkan dari duri berupaya mencabik-cabik jemariku.

Sampai ia habis daya.

Sore itu pula kelinci itu kubakar di pinggir halaman. Asapnya lebih busuk dari bangkai. Berapa lama menyebar ke seantero rumah, barangkali akan meracuni kami hingga kami jadi zombie. Tak terjadi. Badanku amat lemas setelah kejadian itu. Ibuku mengobati lukaku sementara, air mata bercucuran seperti tidak bakal henti, lalu ketika ayahku pulang kami ke rumah sakit.

Buku catatan setengah terbakar itu kukembalikan ke tempatnya semula, di bawah pohon yang terbelah dua. Kugali tanah dalam-dalam. Si laknat itu kutanam.

Hujan lebat beberapa hari kemudian. Lembah di mana pohon itu tertancap longsor.

Kunanti kukuku mengeras, gigiku meruncing, mataku memerah, kulitku menebal, segala proses yang kubutuhkan untuk jadi zombie. Tidak ada. Berangsur-angsur luka-lukaku kembali jadi kulit, meski tak secokelat sedia kala.

Yang ada adalah suatu ketika tubuhku terasa ditekan dari seluruh penjuru. Telingaku gatal luar biasa, kugaruk kuat karena begitu menyiksa. Begitupun gigi-gigiku, aku ingin mencopot semua. Di bawah sorot purnama aku menggeliat, gorden memang selalu kusingkap. Tekanan itu semakin dahsyat. Sprei kucakar-cakar dengan kukuku yang meruncing. Tungkai lengan dan kakiku memendek. Apa terjadi. Mataku terbuka lebar-lebar. Sebisa mungkin tak kututup, agar dengan saksama kusaksikan pertumbuhan rambut-rambut di sekujur tubuhku. Melebat dan menghijau. Toska.***


Disclaimer!: “Kelinci Toska” adalah lagu karangan Sind3ntosca, bercerita tentang seekor kelinci yang dijauhi teman-temannya karena warnanya yang beda, jelek dan bau. Cerpen ini sebetulnya tidak secara langsung terinspirasi dari lagu tersebut, melainkan begitu saja menancap di imajinasi saya saat saya mencoba untuk mengerjakan latihan dari sini. “Bahan-bahan” sebenarnya yang saya gunakan untuk membentuk cerpen ini adalah “a half-burned notebook”, “an ancient curse”, “a mysterious rabbit”, “an impossible doorway”, dan “an indestructible tree”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...