Sesaat aku kaku. Barangkali kelinci itu akan menyerbuku. Akan
segera kututup pintu dari luar jika itu terjadi, lalu mencari tameng untuk
melindungi diriku dari sergapannya.
Tapi ia tenang.
Berapa lama kami mengamati satu sama lain. Kelinci itu
seperti patung berbulu. Aku bukan. Aku mengalah. Kutarik kursi lalu duduk di
balik meja, posisiku membelakangi jendela. Kukeluarkan buku catatan setengah
terbakar itu dari laci. Segera aku berbalik, ingin tahu reaksinya.
Ia bergeming.
Kubuka halaman terakhir yang kuisi. Kuangkat pulpen. Sesekali
aku menoleh padanya, masih ia bergeming.
Apa ia akan menerkam leherku saat aku menulis? Punggungku
mendadak bak agar-agar.
…kamu bakal menulis nama-nama
lagi…i…i…
…suara itu berat dan lesu, lamat-lamat. Aku berbalik. Kelinci
itu masih patung berbulu. Jantungku mulai memompa lebih kencang. Dengus napasku
terdengar benar, panas di bawah lubang hidungku.
…kamu bakal menulis nama-nama
lagi…i…i…
Aku yakin mulut kelinci itu tidak terbuka sama sekali. Tapi
suara siapa yang mendenging-denging di kepalaku, menggetarkan indra
pendengaranku dari dalam?
Mataku pada matanya. Patung berbulu. Pada mulutnya, tanpa
sepercik darahpun. Aromanya samar-samar merambat, barangkali karena terpaan
angin dari belakang, kepalaku pening.
...tulislah… suara itu lagi. ...tulislah sebelum tujuh hari...i…i…
Kini aku membeku. Luar dan dalam.
…batasnya tujuh
hari…i…i…
…atau habiskan buku itu…
…lalu giliranmu…
Raib inginku untuk menulis nama-nama. Aku tidak mau melukai
orang lagi.
...di buku itu paling
banyak kamu tulis tentang dirimu…
…darahmu akan sebanyak
yang kamu tulis tentang dirimu…
Aku harap ini hanya mimpi. Sempoyongan aku menggapai-gapai kasur,
meskipun itu mendekatkanku pada sang kelinci. Suara itu memeras otakku, seperti
anak kecil yang menggigiti bola bulu dengan gemas. Sebelah wajahku tenggelam di
bantal, sebelah mataku membelalak ke arahnya. Adakah kamu—adakah kamu? Mata
kelinci itu lurus masih ke mejaku, seolah aku di sana masih…
…kepalanya bergerak sedikit-sedikit. Robotkah ia?
Wajahnya tepat di wajahku. Wajah manusia. Bayang-bayang.
Kelinci hilang. Ini baru petang kan, kenapa tahu-tahu serasa malam? Argh…
Badanku tak bisa kugerakkan. Mulutku dibungkam bantal.
Kupejamkan mata, kubenamkan seluruhnya pada bantal berapa
lama.
Kuintip lagi. Masih ada wajah itu, cuman wajah. Seorang pria
kusut kasau.
Makhluk itu punya mulut kali ini, ia bicara dengan mulut.
Tenanglah! Ia berkata seperti itu
berkali-kali, dan aku seperti terhipnotis. Tapi aku masih terlalu lembam untuk
bangkit. Ini cuman kutukan.
Yeah. Ini cuman… kutu… kan?
…cuman.
Aku terkutuk untuk
melaksanakan perintah.
Perintah dalam buku itu.
Buku itu harus dibuang.
Buang ke lubang yang
tidak mungkin ada.
Lubang yang tidak
mungkin ada di bawah pohon yang tidak bisa dihancurkan.
Buang sebelum tujuh
hari.
Tujuh hari sejak kamu
terakhir kali menulis.
Ini hari keenam.
Besok…
…besok.
…besok…
Lama-lama suara itu menyerupai bisikan. Dan aku tertidur. Aku
tidak bermimpi apa-apa. Hanya hitam. Kepalaku berat. Aku tidak merasakan
kakiku. Pikiranku melayang-layang mencari refleksi, tapi tak mewujud apa-apa.
Hanya mengiang-ngiang selama aku terhanyut ke dalam ketidaksadaran. Ada sebuah
dunia yang lain, yang aku tidak pahami, yang aku terseret, tidak bisa keluar,
dan… to…
…looo…
…ooo…
…ooo…
…ng…
…!
Aku terbangun. Kelinci itu masih patung berbulu di ambang
jendela. Perlahan kututup lagi mataku. Kulelapkan diri ke dalam palung tanpa
mimpi. Sampai aku terangkat kembali oleh parasut yang mendadak terpasang pada
punggungku. Ia patung berbulu masih. Kepalanya menghadap ke meja, seolah aku di
sana masih. Aku terperangah dan ngeri, tapi lamban laun terhunjam dalam lelap
lagi.
Aku bangun dengan tersengal-sengal, seakan baru mendapatkan
giliran dalam marathon.
Kelinci itu!...
…tidak ada di jendela!
Semula moncongnya yang dingin menyentuh ujung jempol kakiku,
menghentakkanku dari lain alam. Lalu ia mulai melahap, menggerogoti. Aku
berteriak. Kakiku bergerak dengan liar, menendang-nendang udara. Tubuh kelinci
itu berat, berayun-ayun di udara, menarik jempolku serta. Kuambil bantal lalu
kuhempas keras-keras di atas buntalan toska itu. Cengkeraman gigi-giginya makin
kuat pada jempolku. Aku mengerang. Makan wortel sana, jangan jempolku!
Merah merembes dari pangkal jempol ke kasurku, sementara
bening dari sudut mata menuju lembah kakiku. Aku tak melihatnya ketika
tahu-tahu jempolku bebas dari mulutnya. Pucuk hidungnya bergerak-gerak. Aku
terpana, sesaat, karena setelahnya terkaman kelinci itu lebih beringas dan
lebih beringas.
Ia menyerbu sekujur tubuhku. Gigitannya silet yang menancap-iris.
Langsung ke kulitku, atau menembus kain bajuku. Ia lukis motif di tubuhku,
berupa bercak-bercak darah. Aku berlari ke luar kamar dengan bebannya
berayun-ayun dari pundakku, serasa segumpal dagingku akan tercerabut.
Ibuku histeris mendapatiku pontang-panting, dan kelinci itu.
Ia kehilangan daya untuk berkata-kata.
Aku terjerembap saat kelinci itu menggarap tempurung lututku.
Lututku terlipat, hendak menghunjam lantai, tapi terhalang tubuhnya.
“Ngek!”
Tak ada lagi sayatan silet tebal pada lututku. Kukira kelinci
itu tewas tertohok lututku.
Ia di pinggangku.
Sebelah lenganku menggapai-gapai ke arahnya. Dapat!—bulunya!
Kurenggut! Akh! Kutarik dengan tubuhnya yang gempal itu sekalian. Aku berteriak
keras karena agaknya selapis dagingku terbawa. Benar saja, menggelantung dari
mulutnya yang bergincu darah. Sementara sebelah tanganku mencekal lehernya,
akuberganti posisi, lalu sebelah tangan lagi. Seerat mungkin kedua tanganku
hendak menghancurkan bagian dalam lehernya. Ia meronta-ronta. Giginya yang
lebih menyakitkan dari duri berupaya mencabik-cabik jemariku.
Sampai ia habis daya.
Sore itu pula kelinci itu kubakar di pinggir halaman. Asapnya
lebih busuk dari bangkai. Berapa lama menyebar ke seantero rumah, barangkali
akan meracuni kami hingga kami jadi zombie. Tak terjadi. Badanku amat lemas
setelah kejadian itu. Ibuku mengobati lukaku sementara, air mata bercucuran
seperti tidak bakal henti, lalu ketika ayahku pulang kami ke rumah sakit.
Buku catatan setengah terbakar itu kukembalikan ke tempatnya
semula, di bawah pohon yang terbelah dua. Kugali tanah dalam-dalam. Si laknat
itu kutanam.
Hujan lebat beberapa hari kemudian. Lembah di mana pohon itu
tertancap longsor.
Kunanti kukuku mengeras, gigiku meruncing, mataku memerah,
kulitku menebal, segala proses yang kubutuhkan untuk jadi zombie. Tidak ada.
Berangsur-angsur luka-lukaku kembali jadi kulit, meski tak secokelat sedia
kala.
Yang ada adalah suatu ketika tubuhku terasa ditekan dari
seluruh penjuru. Telingaku gatal luar biasa, kugaruk kuat karena begitu
menyiksa. Begitupun gigi-gigiku, aku ingin mencopot semua. Di bawah sorot
purnama aku menggeliat, gorden memang selalu kusingkap. Tekanan itu semakin
dahsyat. Sprei kucakar-cakar dengan kukuku yang meruncing. Tungkai lengan dan
kakiku memendek. Apa terjadi. Mataku terbuka lebar-lebar. Sebisa mungkin tak
kututup, agar dengan saksama kusaksikan pertumbuhan rambut-rambut di sekujur
tubuhku. Melebat dan menghijau. Toska.***
Disclaimer!: “Kelinci Toska” adalah lagu karangan
Sind3ntosca, bercerita tentang seekor kelinci yang dijauhi teman-temannya
karena warnanya yang beda, jelek dan bau. Cerpen ini sebetulnya tidak secara
langsung terinspirasi dari lagu tersebut, melainkan begitu saja menancap di
imajinasi saya saat saya mencoba untuk mengerjakan latihan dari sini.
“Bahan-bahan” sebenarnya yang saya gunakan untuk membentuk cerpen ini adalah “a
half-burned notebook”, “an ancient curse”, “a mysterious rabbit”, “an
impossible doorway”, dan “an indestructible tree”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar