“You Were Perfectly
Fine” merupakan cerpen karya Dorothy Parker (1893 – 1967), seorang satiris
yang terkemuka di AS. Cerpen yang pertama kali dipublikasikan di The New Yorker
pada tahun 1929 ini mengangkat tentang dampak dari alkohol.
http://article.wn.com/view/2012/07/11/Another_Dorothy_Parker_Mystery/ |
Seorang pria tidak enak badan karena mabuk semalam, pun tidak
ingat apa saja yang telah ia lakukan. Seorang wanita mendekati, lalu menegur.
Percakapan mereka menjadi sajian utama dalam cerpen. Sang pria bertanya apa
saja yang telah ia lakukan semalam. Sang wanita pun menjawab. Sang pria
khawatir akan tingkah yang macam-macam di luar kesadarannya, yang berdasarkan
laporan sang wanita memang terjadi dan sepertinya situasinya sangat kocak…
“Didn’t I eat my dinner?” he said.
“Oh, not a thing,” she said. “Every time the waiter would offer you something, you’d give it right back to him, because you said that he was your long-lost brother, changed in the cradle by a gypsi band, and that anything you had was his. …”
…ini hanya salah satu di antaranya.
Dan selalu, setelah habis laporan mengenai tingkah yang satu,
sebelum dilanjutkan dengan tingkah yang lain, dengan lekas sang wanita
menghibur sang pria. “You were all right”,
“You were wonderful”, “You were perfectly fine”…
Rupanya pada semalam itu pula sang pria telah mengucapkan
sesuatu yang sangat menyenangkan hati sang wanita… tanpa kita ketahui secara
pasti apa sang pria benar-benar memaksudkannya atau tidak.
Sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang orang
ketiga, dan terbatas. Kita tidak diberi petunjuk yang pasti mengenai status
hubungan di antara kedua orang tersebut. Tidak langsung dikatakan bahwa semalam
adalah pesta, si pria mabuk, sehingga dari deskripsi secukupnya yang diberikan
kita cuman bisa mengira-ngira. Pun latar yang digunakan hanya sebuah ruangan,
entah di rumah atau di hotel. Simpel. Bahkan semula saya mengira wanita dalam
cerpen ini memiliki ketertarikan sepihak dengan si pria, lalu hendak menjebak
pria tersebut agar bersamanya.
Adapun sebuah sumber menyebutkan bahwa cerpen ini berdasarkan
kehidupan pengarang dengan suaminya yang alkoholik. Alih-alih memperkarakan
kecanduan suami akan alkohol—bagai menuang bensin ke api unggun—istri malah
menyikapinya dengan humor demi mempertahankan pernikahan mereka. Simpati pun
berbalik.
Anggap saja pria-wanita dalam cerpen ini memang suami-istri.
Agaknya mereka memiliki kehidupan rumah tangga yang rapuh. Istri tidak pasti
akan perasaan suami akan dirinya…
…”And I’d never known, all this time, how you had been feeling about me, and I’d never dared to let you see how I felt about you. …”
...sedang suami seperti yang kurang menaruh perhatian pada
istri. Malah saat mabuk ia sempat-sempatnya menggoda wanita milik orang lain.
“…you know how silly Jim get, when he thinks anybody is making too much fuss over Elinor.”
“Of course you didn’t,” she said. “You were only fooling…”
“Was I making a pass at Elinor?” he said. “Did I do that?”
Akan tetapi setelah segala kejadian memalukan itu, di
perjalanan pulang dalam taksi suami mengatakan sesuatu pada istri yang membuat
istri senang—terlalu senang. Tidak jelas sebetulnya apa yang dikatakan suami
pada istri malam itu, tapi agaknya momentum tersebut membuat asa istri yang semula
redup sontak melejit. Suami mengiya-iyakan saja, saat istri mengungkapkan
betapa indah momen tersebut. Saya kira sebetulnya suami tidak yakin dengan apa
yang ia katakan semalam.
“Oh, surely,” he said. “Mrs. Hoover or anybody. So I fell down on the sidewalk. That would explain what’s the matter with my—Yes. I see. And then what, if you don’t mind?”
…
“Oh yes,” he said. “Riding in the taxi. Oh, yes, sure. Pretty long ride, hmm?”
…
“Yes,” he said. “I guess it must have been.”
Agaknya suami tertegun istri masih sudi menanggapinya dengan
baik, setelah berbagai akibat konyol yang timbul dari alkoholismenya. Dan ia
masih bisa bilang, “I think I’d better go
join a monastery in Tibet,” yang segera ditampik istri.
Suami kemudian menyuruh istri mengambilkan minuman, lalu
sendirian ia menjadi lemas. Ia cuman berkata “oh, dear, oh, dear, oh dear” yang dalam bahasa Indonesia barangkali
“ya ampun, ya ampun, ya, ampun DJ.” Kita tidak diberi tahu apa yang ada dalam
pikirannya. Jika saya boleh mengembangkan cerita ini, saya kira suami tidak
menyangka bahwa hubungannya dengan istri malah baik-baik saja. Mungkin
sebetulnya ia tidak yakin dengan hubungannya dengan istri, alkohol jadi
pelariannya, sementara istri justru masih ingin mempertahankan hubungan
tersebut.
Beberapa link yang
menyediakan cerpen ini secara cuma-cuma di Google. Bacalah, dan terkekeh-kekeh
sendiri, sekaligus merenung. Sejak “The Train from Rhodesia” dari Nadine Gordimer, saya dibikin termenung akan hubungan
suami-istri yang tidak lancar. Agaknya satu individu saja sudah diciptakan
untuk menjadi begitu kompleks, dan ketika ia harus bersatu dengan individu lain
yang tentu kompleks pula, kompleks kali lipat deh.
Saya tidak dekat dengan alkoholisme. Paling tidak saya bisa
beranggapan bahwa alkohol mungkin meringankan di awal, tapi risiko yang mesti
ditanggung setelahnya bisa bikin berabe.***
(dari "The Harper Anthology of Fiction" oleh Sylvan Barnet, 1991, HarperCollins Publishers Inc.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar