Perempuan
itu tinggal di sudut kamar di lantai dua. Kamar yang hanya ditempati ketika ada
tamu. Aku sudah menyadari keberadaannya sejak aku kecil. Kadang malam-malam aku
menemani ibuku ke gudang, yang terletak di dekat kamar itu. Pintu kamar
terbuka, gelap tanpa setitik pun nyala, dan menampakkan sosoknya yang hanya
disinari bulan.
Aku pernah
menanyakan tentangnya pada ibuku. Ibuku tampak tidak suka. “Hush!” ujarnya.
“Enggak ada siapa-siapa di situ.”
Tapi aku
tahu ia sungguh ada. Setelah ibuku bicara seperti itu, beberapa kali kami ke
lantai dua lagi, aku masih melihatnya. Tapi aku biarkan saja. Lama-lama aku
tidak menggubrisnya juga, sebagaimana ibuku.
Ibuku,
sekalian adikku, kemudian meninggal dalam suatu kecelakaan. Aku tinggal berdua
di rumah dengan ayahku—plus seorang bibik yang bekerja untuk kami dari pagi
sampai menjelang sore. Kalau malam rumahku menjadi sangat sepi, karena ayahku
pulang semakin larut.
Suatu
malam ayahku tidak pulang, ada dinas. Ia menyuruhku untuk menginap di rumah
tanteku saja sementara, tapi aku merasa sudah cukup besar untuk ditinggal
sendiri di rumah semalaman.
Malam itu
aku mengerjakan PR sembari menonton TV. Tidak bisa kupungkiri lama-lama
kesendirian memberdirikan bulu romaku. Sesekali aku mengedarkan pandang ke
sekitarku. Napasku memburu. Kubayangkan seorang pria tiba-tiba memasuki
rumahku, mengacungkan celurit dengan wajah garang, aku digoroknya sampai
nyawaku meregang, lalu ia pergi dari rumah ini dengan menggotong barang-barang
berharga.
Kukeraskan
volume TV. Aku sudah tidak bisa berkonsentrasi pada PR.
Tiba-tiba
ada suara. Aku kontan berlari ke lantai dua. Uh mengerikan sekali di lantai
bawah, sendiri. Barangkali itu hanya kucing atau apa, tapi aku kadung
ketakutan. Kalau di lantai dua kan aku tidak sendiri. Aku tahu, aku ingat.
Perempuan
itu masih ada di sana. Duduk tenang di ambang jendela. Begitu anggun.
Aku duduk
di tempat tidur, jarak di antara kami mungkin hanya semeter.
“Hei,”
panggilku. “Halo.”
Dan itu
menjadi awal perkenalanku dengannya. Sepertinya ia juga sudah mengenaliku sejak
lama, begitu yang aku sangka dari sorot matanya. Rautnya begitu pucat hingga ia
tampak seperti panda berwujud manusia. Pipinya tirus, ia begitu kurus. Rambutnya hitam panjang, agak
acak-acakan. Mulutnya membentuk garis mendatar. Gaunnya putih panjang, seperti
transparan, seperti bersayap. Usianya mungkin belasan tahun lebih tua dariku.
Terlalu
jeri aku untuk kembali ke lantai bawah dan kembali sendirian. Maka aku duduk
saja bersamanya, menikmati malam yang tanpa angin. Aku mencoba berkata-kata
untuk mengusir kecanggungan. Ia tidak bisa menjawab kata-kataku, tapi aku tahu
dari ekspresi matanya ia menyimakku. Kata-kataku keluar semakin lancar hingga
membentuk cerita. Aku ceritakan diriku. Aku ceritakan ayahku. Aku ceritakan
ibuku dan adikku yang sudah tiada. Aku ceritakan teman-temanku di sekolah, yang
tidak terlalu menganggapku. Aku ceritakan orang-orang yang harus kuhindari,
kadang bikin aku sampai berlari. Kadang aku berhenti sejenak, termenung sendiri
akan ceritaku. Tapi di bawah tatapannya aku merasa ditunggu untuk melanjutkan.
Tidak terasa kantuk olehku. Menakjubkan. Setelah mulutku basah kembali aku
berikan yang ia nanti-nanti, sampai wujudnya diburai azan subuh.
Aku
tertegun, dan aku mengantuk. Aku tidur hampir di setiap pelajaran di sekolah.
Hampir-hampir
ia kulupakan ketika ayahku bersamaku saat malam. Teringat ia. Ketika ayahku
tidak memerhatikan aku berlari ke atas. Ia ada. Kutumpahkan hal-hal menarik
yang kualami hari itu, seakan ia sebuah buku harian. Ia tersenyum—ia tersenyum!
Lalu aku kembali ke lantai bawah karena ayahku menyuruhku untuk tidur.
Esok lagi
aku mendatanginya lebih awal. Tidak banyak yang bisa aku ceritakan padanya kali
itu. Tapi aku ingin bersamanya. Walaupun ia selalu diam seperti ayahku, tapi
aku tahu matanya selalu padaku. Aku ingin mengerjakan PR ditemani olehnya.
Dari
ambang pintu kulihat sosoknya, membuatku gembira. Aku nyalakan lampu, dan ia
menjadi tidak tampak.
Kurasa aku
bisa mengerjakan PR dengan penerangan bulan saja.
Malam-malamku
selanjutnya banyak kuiisi dengannya. Jika beberapa malam saja aku tidak bertemu
dengannya, rasanya aku merindukannya. Ia yang mendengarkanku dengan tulus.
Bahkan sesekali ia tertawa meskipun aku merasa tidak ada yang lucu pada
ceritaku, tapi bukan tawa menghina. Barangkali aku telah menghiburnya. Aku kira
ia pun kesepian. Tawanya terdengar seperti dari kejauhan, hampir-hampir lirih
dan tidak menyentuh pendengaranku. Ia tidak pernah memperlihatkan giginya.
Sebetulnya aku ingin ia dapat bicara, tapi sepertinya aku belum siap jika ia
sampai memperlihatkan giginya, meskipun aku tidak tahu giginya seperti apa.
Ia sudah
menantiku sejak magrib dan akan memudar menjelang subuh. Tapi aku tidak lagi
pernah menghabiskan semalaman penuh bersamanya, karena ayahku akan heran kenapa
aku begitu betah di lantai dua yang sumpek, dan ia rahasiaku, ayahku tidak
boleh tahu. Kalau langkah ayahku sampai mendekat aku segera pamit pada temanku
di ambang jendela itu. Di mata ayahku aku sudah tampak seperti senang
memencilkan diri, apalagi kalau ia sampai menyaksikanku bicara sendiri, aku
tidak mau ia sampai mengira ada yang salah denganku.
Tapi pada
suatu malam aku merasa harus menghabiskan malam di kamar itu lagi. Ini bakal
jadi yang terakhir kali, sebab ayahku telah memberitahuku. Kami akan pindah ke
rumah yang lebih besar dengan seorang ibu dan adik-adik untukku. Bukankah itu
menyenangkan? Kami berkemas-kemas hingga berhari-hari, tapi hari sebelum hari
kepindahan kami berkemas-kemas hingga larut aku lelah sekali. Di depan
perempuan itu aku ambruk. Maafkan aku bahkan terlalu lelah untuk bercerita. Aku
tahu ia sudah puas hanya dengan memandangiku. Aku tidur menghadapnya. Tersenyum
padanya sebelum memejamkan mataku. Sinar rembulan menghangatkan wajahku.
Gelap begitu
singkat. Tahu-tahu sayup-sayup subuh menyelusup ke dalam rongga telingaku. Oh
sudah saatnya ia menguap, aku tahu, tapi aku tidak kuasa membuka mataku, malah
membenamkan sisi wajahku lebih dalam ke bantal. Pada sisi wajahku yang terbuka
kurasakan belaian lembut menerpa. Ia telah pergi, selamat tinggal, untuk
kembali lagi di penghujung hari berikut, tapi aku sudah tidak ada. (19.48 – 20. 34/221012)
dengan diiringi
“Anomali” dari Rumah Sakit dan “Pumped-up Kicks” dari Foster The People
sekadar ngerjain latihan dari sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar